Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan kekuatan untuk dapat menyelesaikan buku sederhana yang ini. Semoga segala upaya yang telah dikeluarkan demi terbitnya buku ini menjadi amal jariah dan menjadi timbangan kebaikan di akhirat kelak. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada pembimbing hidup manusia ke jalan yang benar, Nabi Muhammad Saw dan kepada keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat. Semoga Allah Swt memberikan kita kekuatan untuk selalu berada di jalan keselamatan; jalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Merupakan sebuah keniscayaan bahwa mahluk yang dicipta berkewajiban untuk mengabdi kepada sang Pencipta. Dan pada hakikatnya ibadah adalah tujuan utama penciptaan jin dan manusia. Al-Quran telah menegaskan hal ini dalam surat Al-Dzariyat ayat 56 yang berbunyai:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Al-Dzariyat: 56)
Dan untuk itu pula para rasul diutus, sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
Dan sungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut (syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah Swt) (QS. Al-Nahl: 36)
Kata "ibadah" adalah serapan dari sebuah kata dalam bahasa Arab, "'Abd" yang memiliki dua pengertian, yaitu, pertama: segala yang ditundukkan dan dikuasai oleh Allah, dalam arti Dialah yang mengadakan atau menidakannya, menjaga dan mengatur keberadaannya, menetapkan umur dan memberinya rezeki dst. Dengan pengertian seperti ini maka semua mahluk tanpa terkecuali adalah hamba Allah, baik orang yang taat maupun durhaka, orang yang beriman maupun kafir, ahli surga atau neraka, karena semuanya berada di bawah kekuasaan, pengawasan, penjagaan dan pengaturan Allah Swt, tidak ada yang berada di luar kehendak-Nya.
Kedua: 'abd berarti 'âbid, yaitu orang yang menyembah. Maka kata "abdullah" berarti seorang yang hanya menyembah Allah Swt semata, tidak menyekutukannya, menaati perintahnya dan perintah Rasul-Nya, serta menjauhi larangan-Nya dan larangan Rasul-Nya. Dengan pengertian yang kedua ini, maka tidak semua orang adalah hamba Allah, karena banyak manusia yang menyembah selain Allah Swt. Ibadah seorang âbid (hamba) yang dimaksud dalam ayat di atas adalah ibadah dalam pengertian kedua. Karena menurut pengertian pertama, semua makhluk adalah hamba Allah Swt.
Adapaun ibadah itu sendiri adalah penghambaan total; secara lahir dan batin. Ibnu Timiyah mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
العِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
"Ibadah adalah nama bagi seluruh amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt baik berupa ucapan atau perbuatan, yang batin maupun yang zahir."
Maka, shalat, zakat, puasa, haji, doa, dzikir, tilawah Al-Quran, berkata benar, menjalankan amanat, berbakti kepada orang tua, menjaga hubungan kekerabatan (silaturrahim), menepati janji, amar ma'ruf nahi munkar, jihad melawan orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik terhadap tetangga, anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil, hamba sahaya bahkan binatang, semua itu adalah bentuk-bentuk ibadah kepada Allah Swt. Demikian juga dengan hubbullah warasûlihi (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya), khauf (takut) kepada Allah, ikhlas mengabdi kepada-Nya, tawakkal dan berserah diri kepada-Nya, sabar cobaan-Nya, syukur terhadap nikmat-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, rajâ' (mengharap) rahmat-Nya, juga termasuk ibadah kepada Allah Swt.
Sebagai seorang mukmin kita diwajibkan untuk mempelajari tata cara ibadah zahir dan dituntut rajin mengamalkannya. Namun tidak kalah pentingnya adalah mempelajari dan memahami hakikat ibadah batin serta mengamalkannya. Karena dengan demikianlah penghambaan kita kepada Allah akan sempurna. Hal ini karena setiap perintah ibadah zahir yang disyariatkan Allah Swt haruslah dilandasi dengan ruh ibadah batin. Karena ibadah batin inilah yang menjadi ukuran diterimanya amal ibadah. Perintah shalat misalnya, zahirnya adalah pekerjaan badan yang dapat kita lihat, seperti, berdiri, rukuk, sujud dsb. Tetapi menunaikan gerakan badan saja tidaklah cukup, karena shalat memiliki ruh yaitu khusyu', yang dibarengi dengan hati yang ikhlas karena Allah, sabar untuk tetap menjalankannya, mengharap pahala, ampunan dan rahmat-Nya (rajâ'), takut terhadap azab-Nya (Khauf) dst. Demikian juga dengan seluruh ibadah yang lainnya sepeti, puasa, zakat, haji dsb.
Ibadah batin ini semuanya merupakan implementasi atau wujud nyata dari tauhid hamba terhadap Rabb-nya. Sebab, jika salah satunya ditujukan kepada selain Allah maka mengakibatkan tercemarnya kemurnian tauhid kita kepada Allah. Semuanya adalah ibadah yang tidak boleh dilalaikan dan ditinggalkan. Imam Ibnu Taimiyah berkata:
وَهَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاطِنَةُ كَمَحَبَّةِ اللَّهِ وَالْإِخْلَاصِ لَهُ وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ وَالرِّضَا عَنْهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ كُلُّهَا مَأْمُورٌ بِهَا فِي حَقِّ الْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ لَا يَكُونُ تَرْكُهَا مَحْمُودًا فِي حَالِ أَحَدٍ
"Amalan-amalan batin ini seperti mahabbatullah, ikhlas, tawakkal, ridha dan sebagainya semuanya merupakan amalan yang diperintah bagi orang-orang khâshah dan awam, dimana merupakan perkara yang tidak terpuji bagi siapapun yang meninggalkannya."
Yang juga penting diperhatikan bahwa, semua ibadah ini adalah diwajibkan bagi orang-orang berilmu dan awam. Tidak ada dikhotomi untuk orang-orang tertentu sebagaimana sering didengar bahwa amalan-amalan batin hanya untuk golongan khâshah (orang-orang tertentu yang memiliki keluasan ilmu dan kedekatan khusus dengan Rabb-nya). Semuanya adalah ibadah yang harus dilakukan oleh setiap muslim, meskipun dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda sesuai dengan ilmu dan kedekatan tersebut. Semuanya adalah ibadah yang dapat dilatih dan ditingkatkan sebagaimana halnya ibadah zahir. Bahkan justeru kalau kita memperhatikan Al-Quran, perintah terhadap ibadah-ibadah hati seperti ihklas, tawakkal, syukur, sabar dan sebagainya itu jauh lebih banyak dari perintah ibadah-ibadah zahir.
Menyadari akan pentingnya mengetahui hal ini, maka kami dari kelompok kajian ABDIKA ICMI Orsat Kairo, mencoba untuk mengkaji ibadah atau amalan hati ini dan berusaha menyusun dan menyajikannya dalam sebuah buku, dengan harapan semoga amal ini bermanfaat bagi umat Islam pada umumnya dan terutama bagi mereka yang membaca, mempelajari dan mengamalkannya. Untuk merealisasikan tujuan ini kami mencoba mengkaji sebuah buku karya syaikh Shalih Al-Munajjid, sebagai buku standar dan berusaha melengkapi bahasannya dari beberapa buku karya ulama-ulama klasik dan kontemporer seperti, Ihyâ' 'Ulûmiddin karya Iman Al-Ghozâli, Majmu' Fatawa imam Ibnu Taimiyah, Madârijus Sâlikîn karya Imam Ibnu Qayyiom Al-Jauziyah, Mustkhlash fi Tazkiyat al-Anfus, dll.
Manhaj yang kami utamakan dalam menyusun buku ini adalah, sebisa mungkin merujuk kepada sumber utama yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, kemudian perkataan dan pendapat ulama generasi Salaf al-Shâlih. Tujuannya adalah untuk mendapatkan manfaat yang lebih banyak, menekankan bagaimana bermuamalah dengan Al-Quran dan Sunnah, juga demi menumbuhkan kecintaan kita kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan upaya mengajak masyarakat muslim untuk kembali menuju dustur Ilahi dan misykat Nabawi dan berpegang teguh dengan keduanya. Karena hanya orang yang berpegang teguh dengan keduanyalah yang akan selamat dan tidak tersesesat. Maka akan sangat baik jika pembaca dapat lebih mentadabburi mengkaji dan menyelami dalil-dalil dalam buku ini supaya mendapat berkah dan manfaat ilmu yang lebih mendalam.
Di samping itu kami juga berupaya mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan ayat sebisa mungkin dengan merujuk kepada tafsir-tafsir ulama seperti Tafsir Imam Thabari, Tafsir Imam Ibnu Katsir dan sebagainya, untuk membantu menjelaskan letak-letak makna yang ditunjukkan oleh suatu dalil. Demikian juga dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Kami berusaha untuk mendalami maknanya dari kitab-kitab hadis yang mu'tabar, seperti Fath al-Bâri karya imam Ibnu hajar, Syarh Shahih Muslim karya imam Nawawi dan sebagainya.
Dalam upaya ini tentu akan banyak sekali kekurangan atau bahkan kesalahan. Jika ada kebenaran maka semua itu semata-mata dari Allah dan jika sebaliknya maka itu semua dari kami dan setan. Namun dengan amal sederhana ini kami berharap setidaknya telah memberikan sumbangsih dalam meninggikan kalimah Allah Swt, bermanfaat bagi pembaca serta amal jariyah bagi penulisnya di akhirat kelak. Akhîrul kalâm, kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, dan berterimakasih kepada seluruh pihak yang membantu terbitnya buku ini. Semoga amal ibadah kita semua menjadi timbangan kebaikan di hari kiamat nanti. Âmîn yâ rabbal âlamîn
Kairo, 6 September 2007
Lalu Heri Afrizal, Lc.
Koord. ABDIKA
Menyibak Tabir Ilahi Melalui Pintu Ikhlas
Oleh: Ahmad Musyafa'
Merupakan perkara yang tidak diragukan lagi bahwa misi utama penciptaan manusia di muka bumi ini tiada lain adalah untuk beribadah kepada Allah Swt sebagaimana dengan tegas Dia firmankan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."(QS. Al-Dzâriyât: 56)
Di hadapan ayat yang mulia ini tentu akan timbul pertanyaan, ibadah seperti apakah yang diperintahkan dan dikehendaki oleh Allah Swt? Sepertinya tidak perlu repot mencari jawaban dari pertanyaan di atas. Karena yang berhak menjawabnya tentunya adalah Dzat yang memerintah manusia untuk beribadah itu sendiri. Dengan mengkaji dan mentadabburi Al-Quran serta sunnah Rasulullah saw, kita dapat menemukan jawaban pertanyaan di atas dengan jelas, bahwa ibadah yang diperintah adalah ibadah yang dilandasi oleh dua perkara yaitu, keikhlasan dalam beribadah dan ibadah yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dua perkara inilah yang kemudian menjadi syarat utama diterimanya amal ibadah.
Adapun syarat pertama, banyak sekali ayat dan hadis yang menjelaskan hal ini. Sebagai contoh, ayat-ayat berikut ini:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (5)
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya...." (QS. Al-Bayyinah: 5)
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ... (3)
"Ingatlah, hanya bagi Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...." (QS. Al-Zumar: 3)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-An'âm: 162-163)
Dalam sebuah hadis yang masyhur Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
"Sesunggunya (sah dan diterimanya) amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barang siapa yang berhijrah karena dunia ingin meraih dunia atau perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya adalah untuk apa yang tujuakan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud hadis yang mulia di atas adalah bahwa amalan yang diterima di sisi Allah adalah amalan yang dilakukan dengan niat menjalankan perintah Allah dan mengharap keridhaan-Nya. Jika ibadah dilakukan dengan niat hanya karena ingin mendapatkan kehormatan, harta duniawi, isteri dan sebagainya, maka semua itu bisa saja ia dapatkan di dunia, namun ia sama sekali tidak akan mendapatkan pahala kebaikan di akhirat kelak, sebesar apapun amalan itu. Walaupun amalan itu adalah ibadah hijrah yang merupakan ibadah yang sangat besar dan agung sampai-sampai Rasulullah saw berlepas diri dari orang yang mengaku beriman namun tidak berhijrah bersama beliau ke Madinah. Maka niat karena Allah adalah sarat utama diterimanya ibadah.
Adapun syarat kedua adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat dan hadis berikut:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (31) "Katakanlah: 'Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."(32) (QS. Ali Imrân: 31-32)
Mari kita menyimak penjelasan imam Ibnu Katsir tentang kedua ayat di atas. Beliau berkata: "Ayat yang mulia ini adalah hakim terhadap siapa saja yang mengaku mencintai Allah namun tidak berada di atas sunnah nabi Muhammad Saw. Sesungguhnya ia berkata bohong sampai ia benar-benar mengikuti syariat nabi Muhammad Saw. Karena beliau sendiri bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaranku maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim)
Maksud ayat di atas adalah, cinta kepada Allah yang sesungguhnya adalah dengan suatu bukti yaitu mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Jika hal ini telah kita lakukan maka Allah akan mencintai kita. Tentunya cinta Allah kepada kita jauh lebih agung dan istimewa dari pada cinta kita kepada Allah Swt. Kebalikannya adalah jika kita tidak mengikuti sunnah Rasulullah Saw maka pengakuan bahwa kita cinta kepada Allah adalah dusta belaka dan kita tidak akan dicintai Allah Swt. Na'ûdzubillahi min dzâlik.
Menjelaskan makna ayat yang kedua imam Ibnu Katsir berkata: "Kemudian Allah Swt memerintahkan semua orang baik yang berilmu maupun yang awam, 'Katakanlah: 'Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling—tidak taat menaati perintahnya (Rasul)—maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir", ini menunjukkan bahwa menyalahi sunnahnya merupakan suatu bentuk kekufuran, dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki sifat tersebut walaupun ia mengaku mencintai Allah dan beribadah kepada-Nya, sampai ia mengikuti Rasulullah Saw ...." Na'ûdzubillahi min dzâlik.
Sepertinya, atas dasar inilah Al-Fufhail bin 'Iyadh menafsirkan makna ahsanu 'amala--dalam ayat:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun," [QS. Al-Mulk: 2]--dengan: "Akhlashuhu wa ashwabuhu (perbuatan yang paling ikhlas dan paling benar)." Beliau kemudian ditanya apa yang dimaksud dengan "Akhlashuhu wa ashwabuhu? Beliau menjawab: perbuatan ikhlas tapi tidak benar tidak akan diterima, begitu pula perbuatan benar tapi tidak ikhlas tidak akan diterima sebelum keduanya tercapai, benar dan ikhlas. Adapun ikhlas adalah tulus mengerjakan karena mengharap ridha Allah Swt, dan dikatakan perbuatan itu benar apabila sesuai dengan ajaran sunnah."
Dalam tulisan ini, kita akan membahas lebih mendalam hakikat syarat pertama diterimanya amal ibadah ini yaitu ikhlas. Sebenarnya hakikat ikhlas ini telah banyak diulas oleh para ulama salaf. Imam Syafi'i misalnya, mengatakan bahwa ikhlas merupakan sepertiga dari agama Islam. Imam Bukhari juga menempatkan hadis tentang ikhlas dan niat di urutan pertama dalam Shahih Bukhari-nya. Demikian juga dilakukan oleh para ulama setelah beliau seperti, imam Nawawi dalam bukunya Riyadh Al-Shalihin dan Arbaîn. Lebih tegas lagi imam Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, bahwa barangsiapa yang ingin mengarang sebuah karya, pertama kali hendaknya memulai dengan hadis tentang ikhlas dan niat. Semua ini membuktikan perhatian mereka yang serius terhadap konsep ikhlas. Dan mengapa tidak, karena ikhlas adalah syarat wajib dan utama diterimanya amal ibadah. Dengannya seseorang akan masuk surga, dan tanpanya seseorang akan masuk neraka.
Penyebutan kata ikhlas pun sudah sangat akrab di kalangan umat Islam. Akan tetapi fenomena ini belum bisa dijadikan barometer yang menjamin bahwa umat Islam sudah menjalankan substansi ikhlas secara utuh. Apalagi sering kita dengar keluhan-keluhan yang muncul tentang sulitnya aplikasi nilai-nilai keikhlasan dalam setiap aktivitas terutama yang berdimensi ibadah, padahal sudah banyak literatur tentang ikhlas yang sudah dibaca dan dipahami.
Dalam beraktivitas dan bersinggungan dengan orang lain, sering kali kita terpeleset ke jurang riya'. Atau malah sebaliknya, gara-gara takut riya', kita menjadi ragu dan meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya tergolong amal ibadah. Memang, jarak antara ikhlas dan riya' sangatlah tipis, bagai batas pemisah antara hitam dan putih. Riya' yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan amat sangat tersembunyi, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat imam Ahmad, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ فَقَالَ لَهُ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَكَيْفَ نَتَّقِيهِ وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
"Wahai sekalian manusia, berhati-hatilah kalian dari syirik ini, karena sesungguhnya ia lebih tersembunyi dari suara tapak kaki semut." Kemudian seseorang bertanya kepada beliau: "Bagaimana kita berlindung darinya jika ia lebih tersembunyi dari suara tapak kaki semut?" Rasulullah menjawab: "Katakanlah, Wahai Allah sesuungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui dan kami memohon ampun dari syirik tidak ketahui." (HR. Ahmad)
Imam Al-Junaid pernah berkata:
اَلْإِخْلَاصُ سِرٌّ بَيْنَ اللهِ وَبَيْنَ الْعَبْدِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكْتُبُهُ، وَلَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدُهُ
"Ikhas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Malaikat tidak mengetahuinya sehingga ia bisa mencatatnya, dan setan tidak mengetahuinya sehingga ia bisa merusaknya."
Ada kalanya kita tidak ikhlas karena belum memahami secara benar hakikat ikhlas tersebut. Pengetahuan kita tentangnya hanya sepintas lalu, sehingga kita tidak menyadari apakah amalan-amalan yang telah dilakukan benar-benar ikhlas ataukah ada noda riya' yang mengotorinya. Terkadang kita meremehkan hal ini sehingga tidak pernah tergerak untuk mendiagnosa kondisi hati kita. Benarkah kita sudah ikhlas dalam beraktivitas dan beribadah?
Melalui tulisan sederhana ini penulis mengajak kepada pembaca untuk jujur kepada diri sendiri, membuang sikap meremehkan itu untuk kembali mendalami makna dan hakikat ikhlas. Karena denga ikhlas inilah kita akan selamat di dunia dan akhirat. Selain itu kita hendaknya selalu memohon kepada Allah Swt agar memberikan kita taufik agar selalu ikhlas dalam beribadah dan beramal shalih, karena di tangan-Nya lah segala sesuatu. Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan tentang makna dan hakikat ikhlas sebagaimana mestinya.
Definisi Ikhlas
Melalui pintu definisi ini kita akan mencoba mengenal makna ikhlas. Mungkin ada sebagian orang yang menganggap bahwa ikhlas itu sulit didefinisikan, sulit diungkapkan dengan kata-kata, karena ia adalah amalan hati yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Swt. Anggapan ini terjawab dengan kita menelaah kembali beberapa literatur yang diwariskan oleh para ulama salaf. Meskipun mereka tidak mendefinisikan ikhlas dengan ungkapan yang sama, tetapi definisi yang beragam itu membuktikan kekayaan intelektual dan pengalaman para ulama Muslim. Tentunya kita ber-husnuzzhan bahwa mereka adalah orang-orang terdepan dalam hal mengamalkan ikhlas ini. Karena, kedalaman pemaparan mereka tentang konsep ikhlas ini membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat berpengalaman menumbuhkan jiwa-jiwa keikhlasan ini. Seseorang yang berbicara banyak tentang suatu bidang pekerjaan membuktikan bahwa dia telah memakari bidang yang dibicarakannya itu dan banyak memiliki pengalaman tentangnya.
Mereka yang ikhlas adalah orang-orang yang benar-benar bertauhid. Oleh karena itu Kalimat at-tauhid disebut juga dengan kalimat al-ikhlâs. Di dalam Al-Quran terdapat satu surah yang kita kenal bersama dengan nama surah Al-Ikhlas. Karena surat ini dari awal sampai akhir berbicara tentang tauhidullah (pengesaan Allah). Rasulullah Saw menjelaskan bahwa surah Al-Ikhlas adalah sepertiga Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu: sepertiga pertama adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Swt (tauhid), sepertiga kedua ayat-ayat tentang hukum dan sepertiga ketiga ayat-ayat tentang qashash (kisah-kisah).
Para ulama mendefinisikan kata ikhlas cukup beragam. Secara bahasa ia diambil dari kata khalasha-khulûshan-khalâshan, berarti murni dan tanpa noda campuran. Jadi, orang yang ikhlas melakukan sesuatu berarti ia melakukannya hanya karena Allah Swt dan tidak mencampurinya dengan riya'. Oleh karena itu Al-Fairûzabâdi mengatakan, bahwa ikhlas karena Allah adalah meninggalkan riya'.
Adapun definisi ikhlas menurut istilah, para ulama memiliki ungkapan yang berbeda-beda dalam hal ini. Akan tetapi kesemuanya merujuk ke inti dan makna yang sama. Dalam bukunya Madârij al-Sâlikîn imam Ibnu al-Qayyim—rahimahullah—menukil beberapa ungkapan para ulama tentang definisi ikhlas ini. Di antaranya sebagai berikut:
إِفْرَادُ الْحَقِّ سُبْحَانَهُ بِالْقَصْدِ فِى الطَّاعَةِ
"Menjadikan hanya Allah Swt sebagai tujuan dalam setiap ketaatan."
Artinya, melakukan segala sesuatu hanya karena Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan berbuat riya'. Seperti yang dikatakan oleh Amru Khalid, da'i muda asal Mesir, bahwa ikhlas adalah memfokuskan seluruh perkataan dan perbuatan, hidup dan mati, diam dan bicara, gerak yang tersembunyi ataupun yang terlihat, dan setiap aktivitas di dunia ini, dengan niat hanya untuk mencapai ridha Allah Swt.
أَنْ يَكُوْنَ الْعَمَلُ لِلَّهِ تَعَالَى لَا نَصِيْبَ لِغَيْرِ اللهِ
"Setiap perbuatan hendaknya semata karena Allah Swt, tidak ada peluang sedikitpun untuk makhluk."
تَصْفَيَةُ الْعَمَلِ عَنْ مُلَاحَظَةِ الْخَلْقِ حَتَى عَنْ نَفْسِكَ
"Menghindarkan perbuatan dari perhatian orang lain, bahkan dari perhatian diri sendiri."
Maksudnya, bahwa orang yang sempurna keikhlasannya tidak akan riya' (ingin dilihat orang), dan tidak juga merasa ujub (berbangga diri) karena amalannya.
تَصْفِيَةُ الْعَمَلِ مِنْ كُلِّ شَوْبٍ
"Mensucikan perbuatan dari segala noda dan cacat."
Artinya, seseorang yang amalannya murni karena Allah, tidak dicemari noda nafsu duniawi, seperti rasa ingin dianggap baik oleh orang lain, ingin dipuji dan disanjung, ataupun takut dicela orang kalau tidak berbuat sesuatu, singkatnya melakukan sesuatu bukan karena Allah Swt.
Dari penjelasan dan definisi-definisi ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa ikhlas adalah amalan hati yang merupakan ruh semua ibadah dan syarat diterimanya, ia berupa ketulusan beribadah hanya karena mengharap ridha Allah Swt, jauh dari perasaan riya', 'ujub, dan kepentingan-kepentingan duniawi yang dapat mencemari kemurnian ibadah itu. Ia adalah laksana ruh dari sebuah jasad. Amal ibadah tanpa ruh bagaikan badan tanpa nyawa alias bangkai.
Nilai dan Urgensi Ikhlas
Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak pernah menghiraukan lunturnya posisi namanya di hati orang lain, demi kebaikan hatinya bersama dengan Allah Swt dan perbuatannya tidak ingin diketahui orang lain walau sedikitpun. Ikhlas merupakan substansi Islam dan kunci dakwah para nabi, sebagaimana firman-firman Allah Swt di bawah ini:
وما أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ (5)
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus" [QS. Al-Bayyinah: 5]
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (14)
"Katakanlah: Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku." [QS. Az-Zumar: 14]
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
"Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (162) Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." [Al-An'am: 162-163]
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." [Al-Kahf: 110]
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ (125)
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan," [Al-Nisa': 125]
Konsep ikhlas bukan teori untuk dihafal, tapi sebuah ajaran untuk diterapkan dalam setiap aktivitas seiring desahan nafas yang kita keluarkan. Para nabi dan rasul, terlebih lagi Rasulullah Saw dan para sahabat banyak memberikan teladan praktis yang patut diteladani.
Dari penjelasan-penjelasan Allah dan Rasul-Nya, syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyimpulkan beberapa nilai dan urgensi ibadah ikhlas ini, dalam garis-garis besar di bawah ini:
1. Ikhlas sebab keselamatan di akhirat
Karena orang yang tujuannya hanya duniawi belaka, Allah Swt telah mengancam mereka dengan firmannya:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. (15) Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (16) (QS. Hûd: 15-16)
2. Menyelamatkan hati dari belitan perhiasan dunia
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
"Barangsiapa menjadikan akhirat tujuannya, maka Allah akan menganugerahkan kekayaan di hatinya, mengumpulkan kekuatannya, kemudian dunia mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu berada di depan matanya, mencerai beraikan kekuatannya, dan tidak diberikan kenikmatan dunia kecuali yang telah ditakdirkan untuknya." (HR. Tarmidzi).
3. Sumber pahala yang besar, walau amalannya ringan
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
"Sungguh kamu tidak akan menginfakkan hartamu semata karena Allah kecuali kamu akan mendapat pahala, sekalipun makanan yang kau berikan kepada istrimu." (HR. Bukhari)
Imam Ibnul Mubârak berkata: “Betapa banyak amalan kecil yang kemudian bermiali besar karena niat, sebalknya betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat pula.” Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa seorang pelacur diampuni dosanya hanya karena memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan. Semua itu tidak lain karena niat yang ikhlas karena Allah.
4. Penyelamat dari siksa pada hari kiamat
Nabi Saw memberitakan kepada kita bahwa orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat adalah tiga orang. Mereka bukanlah tukang maksiat, melainkan tukang berbuat baik. Mereka adalah orang yang rajin bersedekah, Ahlu Al-Quran sekaligus ulama, dan mujahid di jalan Allah. Akan tetapi Dia bersedekah agar dikatakan dermawan. Pembaca Al-Quran dan pembelajar ilmu mengajarkannya agar dikatakan qâri' (ahli membaca Al-Quran) dan berilmu. Dan mujahid yang berperang agar dikatakan sebagai pemberani. Maka kita harus berhati-hati dalam hal ini, semoga kita termasuk orang yang ikhlas.
Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, imam Muslim, imam Tirmidzi, dan imam Nasai dari Abu Hurairah ra. Ketika menuturkan hadis ini, Abu Hurairah ra diselimuti rasa ketakutan yang sangat dalam. Kata-katanya terputus-putus, nafasnya tersengal, hingga akhirnya pingsan tidak sadarkan diri. Setelah beberapa saat, beliau tersadar kemudian membasahi mukanya dengan air hingga berhasil menuturkan hadis ini sampai akhir setelah berkali-kali pingsan. Jadi orang yang pertama kali merasakan panasnya api neraka bukanlah para pembunuh, pezina, pencuri, pelaku homoseksual, dan peminum khamr, tapi mereka adalah para pembaca Al-Quran dan ulama, tukang sedekah, dan mujahid disebabkan oleh masalah yang sangat penting, yaitu ikhlas.
Begitu juga bagi para penuntut ilmu, hilangnya keikhlasan pada dirinya akan menyebabkan kesengsaraan dan kerugian yang besar di akhirat kelak. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barangsiapa belajar ilmu yang seharusnya untuk mendapatkan keridhaan Allah, namun ia melakukannya hanya untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka di hari kiamat dia tidak akan mencium bau surga." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam hadis yang lain Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
"Barangsiapa belajar ilmu untuk mendebat para ulama (agar terlihat ilmunya), atau mendebat orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya ke neraka." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Di hadapan hadis-hadis yang mulia ini, orang yang pertama kali dituntut berhati-hati adalah para penuntut ilmu dan ulama. Karena jika tanggung jawab ilmu yang mereka bebani tidak dilaksanakan, ataupun melaksanakannya namun dengan niat dan tujuannya salah, maka merekalah orang yang pertama kali dijebloskan ke dalam neraka. Kita memohon kepada Allah afiat dan keselamatan.
5. Pondasi ibadah hati.
Ikhlas adalah pondasi amalan hati seperti syukur, sabar, ridha dan sebagainya. Sedangkan amalan hati adalah pondasi amalan badan. Jika hati baik maka amalan badan juga akan baik, dan jika hati buruk maka amalan badan juga akan buruk. Rasulullah bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
"Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada gumpalan, yang jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Keikhlasan Niat Dapat Menghilangkan Pahala Perbuatan Besar dan Sebaliknya Membesarkan pahala perbuatan kecil
Mengenai hal ini Allah Swt berfirman dalam surah Al-Furqan:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا (23)
"Dan kami hadapi segala amal (kebaikan) yang mereka kerjakan (di dunia), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan." (QS. Al-Furqan: 23)
Amal kebajikan yang mereka lakukan sirna bagai debu yang beterbangan gara-gara mereka tidak didasari tujuan mendapatkan ridah Allah Swt. Kisah masyhur tentang "Muhâjir Ummi Qais" adalah bukti nyata hal ini. Bagaimana seorang yang melakukan hijrah bersama Rasulullah, ibadah yang paling agung, namun menjadi tiada berarti karena niatnya bukan karena Allah, tetapi karena ingin menikahi Ummu Qais. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Umar bin Al-Khaththâb ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya (diterimanya) amal perbuatan itu karena niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (ganjaran dari) apa yang diniatkannya, barang siapa yang berhijrah kapada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, dan barang siapa yang berhijrah karena menginginkan dunia atau ingin menikahi perempuan, maka hijrahnya ia hanya mendapatkan itu dari hijrahnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebaliknya, amalan kecil dapat menjadi besar karena dilakukan dengan niat ikhlas. Di dalam sebuah hadis Rasulullah menceritakan seorang perempuan pelacur diampuni oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan:
بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ
"Ketika seekor anjing berputar-putar mengelilingi sebuah sumur, hampir mati karena kehausan, seorang perempuan pelacur bani Israil melihatnya, kemudian ia melepaskan sepatunya -untuk mengambil air--untuk memberi munim anjing itu, akhirnya ia diampuni karenanya." (HR. Bukhari)
Ibnul Al-Mubarak rh berkata:
رُبَّ عَمَلٍ صَغِيْرٍ تُكَبِّرُهُ النِّيَّةُ وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيْرْ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
"Berapa banyak perbuatan kecil menjadi besar karena niat, dan berapa banyak pekerjaan besar menjadi kecil karena niat."
7. Memperbaiki dan memulihkan kondisi umat
Banyak manusia yang hidup dalam perselisihan, bahkan para aktivis dakwah dan penuntut ilmu—kecuali mereka yang mendapat rahmat dari Allah Swt—karena dihinggapi penyakit "tidak ikhlas" yang menghalangi keberkahan dan taufik Allah Swt. Kemenangan umat Islam pada zaman dahulu, selalu datang dari tangan tentara-tentara yang ikhlas, dakwah islamiah tersebar di tangan para da'i yang ikhlas, ilmu menjadi berkah di tangan para ulama yang ikhlas. Intinya bahwa agama ini akan kokoh jika dipikul oleh mereka yang memiliki-memiliki jiwa-jiwa keikhlasan.
Keterbelakangan umat Islam semakin hari semakin meningkat, hegemoni Barat di dunia Islam telah menyusup ke seluruh lini kehidupan, wibawa umat Islam semakin terpuruk di mata umat lain, semua ini terjadi karena banyak sebab, yang di antaranya adalah hilangnya salah satu unsur terpenting, yaitu keikhlasan dalam menjalankan ajaran agama, keikhlasan dalam berjuang, keikhlasan dalam berkarya dan seterusnya. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan dan pertolongan.
8. Mengubah aktivitas biasa menjadi ibadah
Di antara kelebihan ikhlas adalah merubah aktivitas biasa menjadi ibadah. Misalnya ketika orang mandi kemudian menggunakan minyak wangi dengan maksud mengikuti sunnah Nabi Saw di hari jumat, serta untuk memuliakan dan menghormati rumah Allah Swt, dan tidak menyakiti orang yang ada di samping lantaran bau yang tidak sedarp, maka ia mendapatkan pahala. Makan yang diniatkan untuk menguatkan badan demi menjalankan perintah Allah, mencari nafkah untuk keluarga demi menunakan kewajiban sebagai suami karena Allah, isteri yang taat terhadap suaminya karena Allah, senyum untuk membahagiakan orang lain karena Allah, dan sederet amalan-amalan biasa lainya, semua itu akan dihitung sebagai amal ibadah jika diniatkan mengikuti sunnah Rasulullah Saw, karena Allah Swt. Dan kualitas pahalanya tergantung kualitas niatnya.
9. Syarat diterimanya amal ibadah
Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa perbuatan yang diterima adalah yang ikhlas karena Allah Swt dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Keduanya ibarat dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dalam hadis riwayat imam Nasai disebutkan:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Dari Abu Umâmah al-Bâhily berkata, "Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw dab bertanya, 'Wahai Rasulullah saw—seorang yang berjihad untuk mendapatkan pahala dan agar dikenang apakah yang ia dapat? Rasulullah Saw menjawab, "Ia tidak mendapat apa-apa" dan mengucapkannya tiga kali. Kemudian beliau bersabda kepadanya, "Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan kecuali yang ikhlas dan semata-mata mengharap ridha Allah Swt" (HR. Nasai)
10. Sebab orang mendapat pahala.
Orang yang ikhlas ibarat seorang mujtahid, ahli ilmu dan fuqaha, apabila niat berijtihad dengan ikhlas dengan mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan suatu kebenaran, maka ia mendapat dua pahala jika ijtihadnya benar dan tetap mendapat satu pahala walaupun salah.
Meneladani Keikhlasan
Sejarah mencatat kerja keras dan keikhlasan ulama salaf dalam melaksanakan dan mendakwahkan ajaran Islam. Kita ber-husnuzzhzan bahwa mereka melakukan semua itu semata-mata karena Allah Swt. Buktinya mereka terkadang sengaja menyembunyikannya dari perhatian orang lain. Akan tetapi Allah Swt menghendaki lain, mengungkap semua perbuatan baiknya agar diabadikan oleh tinta sejarah dan dijadikan sebagai teladan bagi generasi-generasi setelahnya hingga semuanya kembali kepada-Nya. Karena Allah telah berjanji:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (105)
"Dan katakanlah: "Berbuatlah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al-Taubah: 105)
Keikhlasan Istri Imran (Ibunda Sayyidah Maryam)
Meskipun nama ibu yang melahirkan wanita termulia di dunia, Sayyidah Maryam, tidak dijelaskan secara detil, tapi patutlah kita meneladani keikhlasannya yang luar biasa, sehingga dicatat dan diabadikan bersama kisah-kisah agung lainnya dalam Al-Quran. Mari kita simak ungkapan hatinya yang tulus dan ikhlas kepada Rabb-nya yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 35:
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Ali Imran: 35]
Yang dimaksud demgam kata "muharraran" dalam ayat di atas adalah dengan ketulusan, keikhlasan, dan tidak mengharapkan apapun kecuali ridha Rabb-nya. Kalau kita bayangkan, seorang ibu mengandung anak selama kurang lebih sembilan bulan dengan segala jerih payahnya, kondisi badan harus senantiasa setabil, tidak boleh berkativitas terlalu banyak, tidur juga terkadang tidak bisa nyeyak. Kemudian setelah si buah hati itu lahir dengan selamat, diberikan kepada orang lain tanpa imbalan apapun, dan bukan karena tidak mampu menafkahinya. Mungkin keikhlasan seorang ibu di lingkungan kita hanya sebatas memohon kepada-Nya: "Ya Allah anugerahkanlah padaku anak yang shalih, lahirkan dia dengan selamat dan aku akan mendidiknya dengan baik agar mengenal-Mu dan senantiasa melabuhkan cintanya pada-Mu."
Tetapi Ibunda sayyidah maryam tidak hanya sekedar berdoa, melainkan menyerahkan jiwa dan raga belahan jiwanya kepada Rabb-nya, seraya memohon agar persembahannya diterima oleh Allah. Allah Swt kemudian mengabulkan permohonannya:
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا... (37)
"Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik…" [Ali Imran: 37]
Apa kemudian yang menjadi buah dari keihklasan tersebut? Putri belahan hati yang ia persembahkan itu kemudian tumbuh menjadi salah satu dari empat wanita sempurna yang ada di dunia ini. Beliaulah sayyidah Maryam, wanita suci yang melahirkan nabi Isa as. Dan menurut sebagian ulama Tafsir, beliau akan menjadi Isteri Rasulullah Saw di Surga kelak.
Keikhlasan Rasulullah Saw
Rasulullah Saw adalah imam dan pemimpin para mukhlisîn. Beliaulah teladan utama dalam hal keikhlasan mengabdi kepada Allah Swt. Seluruh aktivitas beliau adalah cerminan dari ikhlas, mahabbah, ridha, takwa, sabar, syukur, tawakkal, dan ibadah-ibadah hati lain yang akan kita bicarakan pada pembahasan-pembahasan berikutnya. Mari kita melihat salah satu diantaranya, yaitu kebiasaan beliau bangun malam untuk bermunajat kepada Allah Swt. Padahal jaminan masuk surga sudah dijanjikan dan segala kesalahannya sudah diampuni baik yang sudah lewat maupun yang belum.
Beliau menyembah Rabb-Nya adalah karena mahabbah, ikhlas dan syukur beliau kepada Rabb-nya. Doa yang selalu beliau haturkan setiap solat malam, membuktikan betapa kesyukuran, keikhlasan, kecintaan, ketawakkalan beliau kepada Allah Swt. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan:
اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ قَيُّوْمُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَّقُّ، وَوَعْدُكَ حَقٌّ، وَلِقَاءُكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ... اَللَّهمَّ لَكَ أَسلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَإلَِيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسرَرْتُ وَمَا أَعلَنْتُ، أَنْتَ المُقَدِّمُ وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ
"Wahai Allah, bagimu segala puji, Engkaulah penguasa langit dan bumi dan apa-apa yang berada padanya, bagi-Mu segala puji Engkaulah yang mengatur langit dan bumi beserta isinya, bagi-Mu segala puji Engkaulah cahaya langit dan bumi beserta isinya, bagi-Mu segala puji Engkaulah Al-Haqq, janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, para nabi adalah benar, dan Muhammad Saw adalah benar, hari kiamat adalah benar… Wahai Allah, kepada-Mu lah aku berserah diri, kepada-Mu lah aku bertawakkal, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku kembali, karena Engkau aku memusuhi, kepada Engkau aku berhukum, maka ampunilah aku terhadap apa-apa yang telah aku dahulukan, atau yang telah kuakhirkan, dan apa yang aku sembunyikan, atau yang aku perlihatkan, sesungguhnya Engkaulah yang mendahulukan dan mengakhirkan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukankah jaminan keselamatan merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam beribadah? Kalau sudah dijamin selamat dan tidak bersalah, lalu mengapa Rasulullah adalah orang yang paling kuat menyembah Rabb-nya? Jawabannya adalah, justeru ibadah yang beliau lakukan itu adalah bukti bahwa Allah telah menjamin keselamatan beliau. Sebaliknya jika seseorang tidak mau menyembah Allah dan gemar memaksiati-Nya maka hal ini adalah bukti bahwa Allah tidak menjamin keselamatannya.
Rahasia hal ini kembali kepada takdir Allah Swt. Karena Allah Swt Mahamengetahui siapa saja yang akan menjadi kekasih-Nya dan penduduk surga, sebagaimana juga mengetahui siapa saja yang akan menjadi musuh-Nya dan penghuni neraka masuk surga. Maka orang yang telah Allah ketahui sebagai kekasih-Nya dan penduduk surga, Dia akan memudahkannnya untuk menjalankan ketaatan dan mencegahnya berlaku maksiat. Sedangkan orang yang Dia tahu akan menjadi penghuni neraka Dia akan memudahkan baginya berbuat maksiat dan menghalanginya berbuat ketaatan.
Rasulullah saw bersabda: (HR. Bukhari dan Muslim)
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَمَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ قَالَ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ :{ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى }
Rasulullah Saw bersabda: “Tak seorangpun diantara kalian dari setiap yang bernyawa kecual telah tertulis posisinya di surga atau neraka, telah tertulis sebagai orang yang sengsara atau bahagia.” Seseorang kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita pasrah saja dengan apa yang telah ditetapkan dan meninggalkan amal, karena siapa saja di antara kita yang sudah tertulis sebagai orang yang bahagia niscaya ia akan akan melakukan perbuatan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan, dan siapa saja di antara kita yang telah tertulis sebagai orang sengsara maka ia akan melakukan perbuatan orang-orang yang mendapat kesengsaraan?” Rasulullah menjawab: “Orang-orang Ahli Sa’âdah (yang telah tertulis sebagai orang bahagia) akan dimudahkan untuk melakukan amalan-amalan yang menyampaikan kepada kebahagiaan, dan orang-orang Ahli Syaqawah (yang telah tertulis sebagai orang sengsara), maka akan dimudahkan kepada amalan-amalan yang menyampaikan kepada kesengsaraan
Maka bersyukurlah orang yang beriman dengan lapang dada dan gemar melakukan kebajikan dan merasa ringan melakukannya, karena hal itu merupakan pertanda Allah telah memilihnya menjadi penduduk surga. Namun ia tetap harus berhati-hati, karena ia tidak mengetahui takdir Allah yang telah ditetapkan. Ia tidak mengetahui apakah Allah akan mengakhiri hidupnya dengan husnul khâtimah atau sû'ul khâtimah. Sebab belum tentu ia ikhlas dalam beriman dan beramal shalih. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli surga di hadapan manusia sedangkan ia adalah ahli neraka. Dan sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli neraka di hadapan manusia sedang ia adalah ahli surga." (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang telah digariskan menjadi penduduk neraka, sedang ia terlihat di hadapan manusia selalu berbuat baik, tetap saja ia akan masuk neraka. Karena memang hatinya tidak ikhlas sebagaimana diisyaratkan oleh hadis di atas. kebaikan yang ia lakukan hanya tampak di hadapan manusia saja. Kalau benar ia ikhlas, niscaya Allah Yang Maha Adil tidak akan menakdirkannya mati dalam keadaan sû'ul khâtimah. Sebaliknya orang yang di dunia terkenal sebagai penjahat dan selalu bermaksiat kepada Allah, namun di akhir hayatnya ia ditakdirkan mati dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini tentulah tidak serta merta begitu saja. Tetapi karena di dalam hati kecilnya ada keikhlasan bertauhid yang terpatri, sehingga ia dimatikan dalam keadaan bertaubat nasuha dan tidak menyekutukan Allah Swt. Tauhid yang didasarkan dengan ikhlas inilah yang membakar dosa-dosanya.
Banyak cerita orang yang terlihat di hadapan manusia sebagai orang yang shalih, namun mati dalam keadaan sû'ul khatimah, na'ûdzbillah min dzâlik. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ الزَّمَنَ الطَّوِيلَ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ ثُمَّ يُخْتَمُ لَهُ عَمَلُهُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ الزَّمَنَ الطَّوِيلَ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ ثُمَّ يُخْتَمُ لَهُ عَمَلُهُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Abu hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan ahli surga dalam waktu yang lama, kemudian diakhiri amalannya dengan amalan ahli neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan ahli neraka, kemudian diakhiri amalannya dengan amalan ahli surga." (HR. Muslim)
Oleh karena itu Rasulullah saw mengajarkan kita sebuah doa, semoga Allah menetapkan keimanan kita sampai akhir hayat.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا قَالَ نَعَمْ إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ
Dari Anas ra berkata bahwasanya Rasulullah saw sering sekali berdoa: "Wahai, (Dzat) Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa, apakah engkau mengkhawatirkan kami? Beliau menjawab, "Ya, sesungguhnya hati manusia berada di antara jari-jemari Allah, Dia membolak-balikkannya sekehendak-Nya." (HR. Tirmizi dan Ahmad)
Teladan dari Salaf al-Shâlih
a. Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri berkata: "Jika saja ada seorang menghafal Al-Quran tetapi orang lain tidak mengetahuinya, pakar dalam ilmu fikih tetapi orang lain tidak mengetahuinya, biasa melakukan shalat dalam waktu yang lama padahal di rumahnya seringkali dikunjungi tamu tapi mereka tidak mengetahuinya. Sesungguhnya saya melihat segolongan orang di bumi ini tidak mampu menyembunyikan perbuatannya." Orang Muslim berupaya sebisa mungkin tidak terdengar suaranya dalam berdoa kecuali desahan antara dia dan Allah Swt. Sesuai dengan firman Allah Swt:
اُدْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (55)
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-A'râf: 55)
b. Abdullah bin Al-Mubarak
Abdullah bin AL-Mubarak adalah salah seorang pemuka ulama salaf yang terkenal dengan kelusan ilmu dan kezuhudannya. Namun selain itu beliau juga adalah mujahid yang sangat pemberani di medan perang. Beliau memilih bertemu dengan Rabb-nya melalui jalan kesyahidan. 'Abdah bin Sulaiman bercerita: "Ketika kami berada dalam pasukan perang bersama Abdullah bin Mubarak di daerah Romawi, kami berjumpa dengan pasukan musuh. Tatkala dua pasukan bertemu salah seorang dari pasukan musuh keluar dari barisan untuk mubârazah (perang tanding). Maka majulah seorang tentara muslim melawannya. Tapi musuh sangat kuat dan berhasil membunuhnya. Setelah itu keluarlah seorang tentara muslim yang lain, namun ia juga terbunuh. Akhirnya yang ketiga kalinya seorang pasukan muslim keluar dan terbunuh juga. Para tentara yang lain pun mengerumuninya untuk mengetahui siapa dia, ternyata dia menutupi mukanya dengan surbannya. Saya termasuk salah satu orang yang ikut mengerumuni tempat itu, terus saya tarik ujung kain penutup mukanya, ternyata dia adalah Abdullah bin Mubarak."
b. Zainul Abidin
Beliau adalah Zainul Abidin bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. salah seorang yang patut untuk dijadikan teladan dalam beramal shalih. Selama puluhan tahun, para fakir di daerahnya mendapati makanan di depan pintu rumahnya tanpa mengetahui siapa yang mengantarkan makanan. Fenomena yang mengundang tanda tanya itu baru terungkap pada hari beliau wafat. Karena pada hari itu para fakir merasa kehilangan, karena kiriman makanan itu berhenti. Akhirnya mereka mengetahui bahwa yang selama memberikan mereka makan adalah Zainul Abidin. Tatkala mereka mau memandikan mayatnya, mereka menemukan warna hitam di bagian punggungnya. Mereka menyadari bahwa warna hitam itu adalah bekas membawa makanan di pundaknya untuk diantarkan ke rumah-rumah orang fakir miskin selama puluhan tahun.
Demikian sekelumit contoh yang bisa kita jadikan suri tauladan dalam beraktivitas dan berkarya apapun bentuknya. Mereka (para salaf) memiliki ibadah khusus yang tidak ingin diketahui orang lain, sekalipun istrinya sendiri. Ibadah itu merupakan rahasia antara mereka dan Rabb-nya. Maka wajar saja ketika Ali bin Bakkâr yang merupakan salah satu tokoh ulama Bashrah yang terkenal dengan kezuhudannya berkata: "Lebih baik aku bertemu dengan setan daripada bertemu dengan manusia karena aku takut pura-pura berlagak baik karenanya, dan Allah tidak mau melihatku lantaran itu."
Masalah-masalah seputar ikhlas
a. Keraguan ketika beribadah
Tidak dipungkiri bahwa kadang kala keraguan sering kali muncul ketika kita melakukan ibadah, apakah yang kita lakukan itu riya atau ikhlas. Fenomena seperti ini sering sering kita alami, siapapun bisa dihinggapi. Dalam menyikapi hal seperti ini, sebagian orang ada yang memilih tidak melakukan ibadah yang sudah menjadi kegiatan rutinnya karena takut riya. Penyikapan semacam ini menurut ulama bukanlah tindakan yang benar. Karena justru tindakan yang sebenarnya bentuk lain dari riyâ', yaitu riyâ' batin yang lebih samar. Fudhail bin 'Iyadh pernah berkata:
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النًّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يُعَافِيْكَ اللهُ مِنْهُمَا
"Meninggalkan suatu perbuatan karena manusia adalah riya, berbuat karena manusia adalah syirik, dan keikhlasan adalah, ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya."
Tetapi jika seseorang sengaja meninggalkan suatu perbuatan untuk dilakukan di tempat yang tidak dilihat orang lain, maka itu tidak menghilangkan makna ikhlas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi rh:
مَنْ عَزَمَ عَلَى عِبَادَةٍ وَتَرَكَهَا مَخَافَةَ أَنْ يَرَاهُ النَّاسُ فَهُوَ مُرَاءٍ لِأَنَّهُ تَرَكَ لِأَجْلِ النَّاسِ، لَكِنْ لَوْ تَرَكَ الْعَمَلَ لِيَفْعَلَهُ فِي الْخَفَاءِ فَلَا يُنَافِي ذَلِكَ الْإِخْلَاصِ.
"Barangsiapa yang ingin melakukan ibadah kemudian meninggalkannya karena takut dilihat orang maka dia terjatuh dalam riya, sebab ia meninggalkannya karena manusia. Tetapi apabila meninggalkannya untuk dilakukan secara diam-diam maka itu tidak menafikan keikhlasan."
Ulama berpendapat bahwa ketika timbul timbul rasa ragu dalam diri, sebenarnya pada saat itu kita sedang ber-mujahadah dalam batin kita, justru inilah pertanda kebaikan. Sebab, ketika seseorang bertanya pada hatinya, apakah ia melakukan perbuatan ini untuk dilihat orang? Maka hatinya juga akan menjawab: "Ya Allah, aku telah berusaha untuk mengikhlaskan amal ibadah ini untuk-Mu semata, jika ada hal yang mengotorinya baik yang aku ketahui atau yang tidak kuketahui maka ampunilah aku karenanya. Jadikanlah amalan ini hanya untuk-Mu." Adapun jika hati kita merasa tenang ketika melaksanakan ibadah, dalam arti ia membiarkan dirinya larut dalam niat ingin dilihat orang, itulah sebenarnya yang menjadi masalah.
b. Kapan ibadah itu boleh diperlihatkan?
Para ulama berpendapat bahwa boleh amal kebajikan diperlihatkan dengan syarat, dilakukan sebagai contoh dan teladan bagi murid, atau orang lain yang memang perlu mengetahuinya. Ibadah-ibadah wajib sendiri memang harus diperlihatkan, seperti shalat wajib, zakat wajib, jihad, haji dan sebagainya. Karena jika tidak demikian, maka akan hilanglah syiar-syiar Islam. Namun kita harus tetap menjaga hati agar semuanya dilakukan atas dasar iklhlas karena Allah Swt, sesuai dengan perintah-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Ibadah yang utama dilakukan tanpa dilihat orang lain adalah ibadah-ibadah sunnat. Namun tidak berarti tidak boleh memperlihatkannya kepada orang lain dengan tujuan mengajar atau menganjurkan mereka untuk ikut rajin melaksanakan ibadah Sunnah.
Dalam hal ini, penting juga diperhatikan kemampuan dalam membentengi diri dari segala pujian atau celaan dari orang lain. Jika merasa lemah maka sebaiknya tidak diperlihatkan, karena dikhawatirkan ibadah yang dilakukannya menjadi sia-sia. Tetapi jika merasa mampu menghindari riyâ', tahan terhadap celaan, maka baginya lebih utama untuk memperlihatkan amalan, karena hal itu termasuk mengajak kepada kebajikan. Dan mengajak kebaikan adalah kebaikan. Apalagi kebaikan itu kemudian diikuti oleh orang banyak, maka akan menjadai amal jariyah yang pahalanya selalu mengalir, sehingga menjadi kebaikan di atas kebaikan. Rasulullah Saw bersabnda:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Barang siapa yang memulai suatu perbuatan baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang memulai perbuatan buruk maka baginya dosanya dan dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi dari dosa mereka sedikitpun." (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Mâjah, Baihaqi, dan hadis dengan lafaz ini adalah riwayat Ahmad)
Para ulama memberikan teladan yang baik memperlihatkan atau mengabarkan ibadah yang mereka lakukan untuk diikuti oleh orang lain, terutama sebagai pelajaran kepada anak. Seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakr bin 'Iyâsy kepada putranya: "Wahai anakku janganlah kau melakukan maksiat di kamar ini, sesungguhnya aku telah menghatamkan Al-Quran di kamar ini sebanyak dua belas ribu kali." Bagi mereka yang dekat dengan Rabb-nya, memiliki keikhlasan tingkat tinggi, mereka tidak akan terpengaruh ada atau tidak adanya makhluk yang melihat mereka. Tidak juga terpengaruh oleh pujian atau celaan, karena keagungan Dzat yang mereka sembah terlalu besar untuk diusik oleh makhluk yang kerdil dan hina.
Intinya bahwa seseorang diperintah untuk berdakwah dan menyeru orang menuju jalan Allah yang lurus. Selain dengan ungkapan, dakwah juga harus disertai dengan qudwah (teladan yang baik). Karena orang terkadang tidak percaya terhadap Islam karena melihat juru dakwahnya yang tidak mencerminkan akhlak islami. Dalam proses berdakwah ini tentulah akan ada pasang surut niat. Maka hendaknya ia selalu men-tajdid (memperbaharui) niatnya. Ketika timbul niat yang tidak baik maka bersegeralah mengucap tahllil. Rasulullah saw bersabda:
جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
"Perbaharuilah niat kalian." Para sahabat bertanya, "bagaimana kami memperbaharui niat kami wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "perbanyaklah mengucap, 'Lâ Ilâha illallâh'." (HR. Imam Ahmad)
Atau bisa juga mensiasati agar amal tidak terjangkit riyâ', dengan melihat kondisi. Jika ada perasaan ujub dan riyâ', berhentilah sejenak untuk mengintrospeksi diri kemudian melanjutkan amal kembali. Sebagaimana menurut perkataan sebagian ulama:
يَنْبَغِيْ لِلْعَالِمِ أَنْ يَتَحَدَّثَ بِنَيَّةٍ وَحُسْنِ قَصْدٍ، فَإِنْ أَعْجَبَهُ كَلَامُهُ فَلْيَصْمُتْ وَإِنْ أَعْجَبَهُ الصَّمْتُ فَلْيَنْطِقْ، فَإِنْ خَشِيَ الْمَدْحَ فَلْيَصْمُتْ وَلَا يَفْتَرْ عَنْ مُحَاسَبَةِ نَفْسِهِ فَإِنَّهَا تُحِبُّ الظُّهُوْرَ وَالثَّنَاءَ
Hendaknya bagi seorang yang alim berbicara dengan niat dan maksud yang baik. Jika perkataannya membuat dirinya ujub maka hendaknya ia diam, jika diam juga membuatnya ujub maka hendaknya ia berbicara, apabila ia takut dipuji maka hendaknya ia diam dan hendaknya ia tidak menyerah untuk memuhasab diri karena ia suka untuk dilihat dan dipuji.
c. Menyeru meninggalkan perbuatan baik
Menyeru orang untuk menyembunyikan semua amalan baik, terutama syiar-syiar yang agung dan besar yang harus dilakukan secara bersama-sama oleh kaum muslimin, adalah perbuatan yang berbahaya. Karena di samping hal ini dapat menghilangkan syiar-syiar tersebut, perbuatan ini juga merupakan ciri-ciri orang munafik. Orang munafik tatkala melihat seorang muslim bersedekah dengan jumlah besar, mereka akan mengatakan engkau riyâ', tetapi ketika ia bersedekah dengan jumlah yang kecil, mereka akan mengatakan Allah tidak membutuhkan uluran tanganmu yang sedikit itu. Upaya ini tidak lain adalah propaganda untuk merusak niat baik kaum muslimin, dan agar tidak lagi terlihat kebaikan di lingkungan mereka. Jika hal ini terjadi maka bisa-bisa nilai-nilai dan ruh Islam akan tenggelam bersama dengan hilangnya teladan yang baik. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak mendapatkan sesuatu (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih." [Al-Taubah: 79]
Riya’
Kata riya` berasal dari kata ru`yah (melihat). Asalnya adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan menunjukkan kepada mereka berbagai perangai dan sifat baik. Diantara bentuk-bentuk riya’ adalah sebaga berikut:
- Menampakkan keletihan dan kelelahan yang mengesankan kerja keras, merasa sedih memikirkan berbagai persoalan agama dan sangat takut dengan akhirat.
- Penampilan yang dibuat-buat, seperti rambut kusut, menundukkan kepala ketika berjalan, sangat tenang dalam melakukan aktivitas dan membiarkan bekas sujud menempel di wajahnya.
- Memberikan mau’izhah (nasehat), peringatan dan berbicara dengan kata-kata hikmah (mutiara) dan atsâr (Hadits Nabi atau perkataan ‘ulama`), menggerakkan kedua bibirnya untuk bedzikir di depan orang banyak, memanjangkan berdiri, sujud dan ruku’ dalam shalat, semuanya karena ia ingin dianggap sebagai orang sholeh.
Yang Tidak Termasuk Riya'
Ada beberapa contoh sederhana yang mungkin terjadi diantara kita. Perbuatan yang terkadang memunculkan perasaan dan anggapan riyâ' terhadap suatu pekerjaan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Mendapat pujian tanpa diinginkan atau disengaja karena melakukan kebaikan, kemudian merasa bahagia dan tidak merasa besar hati karena semua itu pemberian Allah, maka hal ini tidak termasuk riya' tetapi justeru merupakan kabar gembira dan pertanda kabaikan bagi seorang mukmin. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنْ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
Dari Abu Dzarr ra, ia berkata, ditanyakan kepada Rasulullah saw, "Bagaimanakah dengan seseorang yang melakukan amal kebaikan kemudian dipuji orang lain?" Beliau menjawab, "Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang yang beriman." (HR. Muslim)
b. Seseorang melihat ahli ibadah, kemudian membuatnya semangat dan giat beribadah karena melihat orang lain yang lebih giat darinya. Perbuatan semacam bukan riya', jika diniatkan untuk ibadah karena Allah akan mendapatkan pahala.
c. Memakai pakaian dan sepatu yang bagus, berpenampilan rapi dan wangi bukanlah termasuk riyâ' asal tidak berlebihan. Karena Allah Maha Indah dan menyukai yang indah. Dia juga memerintahkan kita untuk bersih dan rapi tetapi tetap sederhana dan tidak berlebihan.
d. Menyembunyikan dosa dan tidak membicarakannya. Sebagian kita beranggapan bahwa untuk mendapatkan derajat ikhlas harus membeberkan dosa-dosa dan aibnya di hadapan orang lain. Padahal Allah memerintahkan kita untuk menutupi aib diri sendiri dan orang lain, bahkan merupakan perbuatan yang disukai Allah Swt. Jika beranggapan sebaliknya maka hal itu merupakan bisikan dan tipu daya setan untuk menyebarkan kemungkaran di antara manusia. Rasulullah Saw bahkan bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
"Seluruh umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang terang-terangan bermaksiat. Dan termasuk terang-terangan dalam bermaksiat adalah seseorang yang bermaksiat di malam hari kemudian di pagi hari bercerita, wahai fulan tadi malam akutelah berbuat begini dan begini. Ia bermalam dalam keadaan ditutupi aibnya oleh Allah, namun ia malah membuka penutup aibnya sendiri." (HR. Bukhari)
e. Menjadi tenar tapi bukan merupakan kehendaknya. Seperti ulama yang terkenal padahal tujuannya untuk kemaslahatan umat, menunjukkan yang benar, memerangi kebatilan, menjawab tuduhan-tuduhan tidak benar terhadap agama, dan demi menyebarkan agama Allah. Jika datangnya ketenaran adalah sebuah konsekuensi dari apa yang dilakukan itu maka tidak termasuk perbuatan riya'. Tetapi dengan ketenaran sering membuat orang terjebak dalam perbuatan riya'.
Antara riya' dan Menyertakan Lain Dalam Beribadah
Dua hal yang sangat berdekatan dan hampir sulit dibedakan. Penting sekali mengetahui hakikat kedua hal tersebut dalam suatu amal perbuatan. Kapan perbuatan itu dikatakan tidak diterima? Bagaimanakah hukum menyertakan niat lain selain Allah dalam beramal? Kapan seseorang dianggap berdosa, dan kapan dianggap tidak berdosa?
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid membaginya sesuai dengan urutan sebagai berikut:
a. Beramal semata-mata karena Allah dan tidak tercampur oleh niat duniawi lainnya. Tingkatan ini merupakan derajat tertinggi.
b. Beramal karena Allah dan dibarengi dengan niat lain yang diperbolehkan. Misalnya kita berpuasa karena Allah kemudian kita barengi dengan niat demi menjaga kesehatan. Seperti halnya niat haji dan berdagang, berjihad dan mendapat bagian dari ghanîmah (bagian harta rampasan perang), pergi ke masjid dan olahraga dengan berjalan, dan beberapa contoh semisal. Bagaimana hukum perbuatan semacam ini? Apakah embel-embel tujuan itu merusak ibadah? Niat tersebut sesungguhnya tidak merusak amal ibadah, hanya saja dapat mengurangi pahalanya sesuai kadar kecenderungnnya terhadap niat yang lain itu. Yang lebih utama tentunya tidak menyertakan niat sampingan itu dan tidak dimunculkan bersamaan dengan niat karena Allah Swt.
c. Berbuat dengan niat yang tidak diperkenankan. Yaitu ketika melakukan suatu ibadah tapi ada tujuan tertentu yang tidak diperbolehkan, misalnya ingin dilihat, didengar, dipuji atau dikenang. Apakah ibadah ini dianggap tidak diterima? Jika niat itu merupakan sumber asli sebuah amal perbuatan maka tidak diterima. Apabila niat riya' itu muncul di ketika melakukan ibadah kemudian berusaha menghilangkan dengan bermujahadah, maka amalannya benar dan mendapat pahala karena bermujahadah. Tetapi jika penyakit riya' itu timbul ketika melakukan suatu amalan kemudian kita biarkan, tidak ada usaha menghilangkannya, maka perbuatannya tidak dibenarkan.
d. Beramal untuk kemaslahatan dunia semata. Misalnya berpuasa hanya untuk menjaga diri tanpa mengharap pahala, haji untuk berdagang saja, mengeluarkan zakat agar hartanya bertambah, pergi ke masjid untuk berolahraga dengan berjalan, dan lain sebagainya. Tipe seperti ini jelas salah dan tidak diterima. Firman Allah dalam surat Al-Isra' ayat 18:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir." [Al-Isra': 18]
e. Beramal karena riya' semata. Amalan semacam ini jelas tertolak dan tidak mendapat pahala, bahkan pelakunya berdosa. Larangan-larang terhadap riya' dari Al-Quran dan hadis utamanya menujuk langsung kepada amalan seperti ini.
Hukum Perbuatan Yang Dihinggapi Riya'
Ada dua kriteria amalan yang dihinggapi oleh riya' ini. Pertama, seorang yang melakukan amal kebaikan dan perasaan riya' atau ingin dilihat atau mendapat posisi tertentu di hati orang lain menjadi faktor utama yang mendorongnya berbuat. Kedua, tujuan pertama amal kebaikan yang ia lakukan adalah semata-mata karena Allah, akan tetapi di tengah-tengah ia menjalankannya muncul penyakit riya' ini. hukum kriteria yang pertama adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa perbuatan itu jelas merupakan kemaksiatan besar dan termasuk bentuk perbuatan syirik yang tersembunyi. Otomatis perbuatan ini tidak diterima bahkan pelakunya berdosa dan tidak diampuni selama ia tidak beristigfar, bertaubat dan memohon ampun. Riya' semacam ini merupakan bentuk riya' yang paling buruk.
Adapun kriteria yang kedua menurut jumhur ulama juga termasuk riya', akan tetapi tidak menghapus seluruh pahala amalan baik. Inilah bukti akan rahmat Allah kepada hamba-Nya. Lebih lanjut para ulama mensyaratkan agar ketika timbul riya' segera kembali kepada niat awal, tapi jika terlelap dalam riya' maka amalan ibadahnya akan ditimbang, mana yang lebih banyak antara riya' dan ikhlas. Apabila hasilnya berimbang maka si pelaku tidak mendapatkan siksa atau pahala. Jika riya' lebih banyak mengungguli ikhlas maka akan mendapat siksa. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلَا قَمَرًا وَلَا وَثَنًا وَلَكِنْ أَعْمَالًا لِغَيْرِ اللَّهِ وَشَهْوَةً خَفِيَّةً
Dari Syaddâd bin Aus ra ia berkata: "Rasulullah saw besabda, 'Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan dari umatku adalah syirik kepada Allah, bukan yang kumaksud dengan syirik adalah menyembah matahari, bulan atau berhala, tetapi amalan-amalan yang ditujukan selain karena Allah dan syahwat yang tersembunyi'." (HR. Ibnu Majah)
Dalam hadis lain beliau bersabda:
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
Dari Mahmud bin Labîd ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan dari umatku adalah syurik kecil." Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu? Beliau menjawab: "Riya'." Allah azza wajalla akan berkata kepada mereka pada hari kiamat, ketika setiap orang telah mendapatkan ganjaran amalannya: "Pergilah kalian kepada orang-orang yang engkau berbuat riya' karena mereka di dunia, dan lihatlah apakah kalian akan mendapatkan imbalan dari mereka." (HR. Imam Ahmad)
Untuk menanggulangi masalah ini Rasulullah memberikan solusi luar biasa dan tidak sulit dikerjakan, yaitu memperbanyak istigfar, tahlil (mengucap: Lâ Ilâha Illallâh) dan sebuah doa di kala pagi dan petang yang diajarkan oleh beliau:
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ فَقَالَ لَهُ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَكَيْفَ نَتَّقِيهِ وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
"Wahai sekalian manusia, berhati-hatilah kamu terhadap syirik, karena ia lebih tersembunyi dari (suara) langkah semut." Seseorang bertanya, "Bagaimana kami menghindarinya kalai ia lebih tersembunyi dari suara langkah semut?" Beliau menjawab: "Ya Allah kami berlindung dari perbuatan menyekutukan-Mu yang kami ketahui, dan kami mohon ampun (dari menyekutukan-Mu) dengan apa yang tidak kami ketahui." (HR. Imam Ahmad)
Ikhtitam
Menutupi kajian tentang ikhlas kali ini marilah kita mengintrospeksi diri, dimanakah letak antara kita dan ikhlas. Sebagian ulama menyebutkan ciri-ciri bahwa bibit keikhlasan telah tumbuh dalam diri. Apakah kemudian kita telah berupaya mencapainya? Coba kita tanyakan beberapa sinyal-sinyal keikhlasan yang disebutkan oleh syaikh Shalih al-Munajjid di bawah ini kepada diri kita. Apakah kita memiliki semangat dalam beramal demi kemaslahatan Islam? Apakah kita selalu beranggapan bahwa masih banyak hak Allah yang belum ditunaikan? Apakah kita tidak pernah melihat keikhlasan dalam perbuatannya dan selalu bertanya-tanya dalam hati apakah perbuatan ini sudah ikhlas atau belum? Apakah kita tidak pernah menginginkan pujian dari orang lain dan tidak takut terhadap celaan selama melakukan kebenaran, atau sebaliknya? Apakah kita terpengaruh oleh pujian dan celaan orang lain dalam beribadah? Apakah kita selalu menghadirkan niat karena Allah dan terus-menerus memperbaharuinya? Apakah kita lebih gemar melakukan amal ibadah sunnah secara tersembunyi dari pada terlihat, kecuali untuk tauladan? Apakah kita semangat dan sigap dalam beramal dan mencari pahala? Apakah kita mampu bersabar, bertanggung jawab dan tidak suka mengadu kepada makhluk dan selalu kepada Allah? dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyan yang bisa kita lakukan untuk menguji keikhlasan dalam diri kita ini. semoga Allah Yang Maha Pemurah menganugerahi kita keikhlasan dalam beribdah kepadanya. Âmîn yâ rabbal 'âlamîn. Wallahu a'lam
Mantapkan Akidah, Tentramkan Jiwa dengan Tawakkal
Oleh: Ahmad Musyafa, Lc.
Tawakkal adalah salah satu ibadah hati yang paling penting, karena ia adalah kewajiban terbesar yang merupakan konsekuensi keimanan. Ia menduduki peringkat kedua setelah ikhlas kepada Allah Swt. Tawakkal adalah proses memohon pertolongan dengan penyerahan diri dan penghambaan total kepada Allah. Ibadah ini sangat berhubungan erat dengan amalan-amalan zahir, seperti halnya ikhlas. Setiap amalan wajib, sunnah, maupun mubah tidak sempurna tanpa nilai tawakkal. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah zahir manusia harus dibarengi dengan tawakkal.
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tawakkal hukumnya wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar di antara kewajiban yang lain, seperti halnya ikhlas. Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa tawakkal merupakan bentuk penyerahan diri secara total, memohon pertolongan, dan ridha kepada Allah. Syaikh Sulaiman bin Abdullah mengatakan, sumber yang mengeluarkan cabang-cabang amal ibadah adalah tawakkal kepada Allah. Darinya akan terlahir ketergantungan hanya kepada Allah, berlindung hanya kepada-Nya. Ia adalah puncak tauhid yang membuahkan maqâm yang mulia seperti mahabbah, khauf, raja’, ridha dan ibadah-ibadah hati lainnya. Tawakkal yang tinggi bahkan bisa mengantarkan seseorang pada kenikmatan menghadapi ujian, karena ia menganggapnya sebagai nikmat.
Setiap muslim hendaknya memahami bahwa tawakkal merupakan kewajiban dalam beragama dan kebutuhan duniawi. Ia tidak hanya berhubungan dengan urusan mencari rezeki. Ia bahkan menjadi sangat penting ketika seseorang mendirikan ibadah jihad melawan orang kafir, dan merupakan wujud kemantapan iman. Allah Swt berfirman:
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (23)
"Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Maidah: 23)
Tawakkal adalah ibadah hati yang merupakan maqâm yang tidak mudah dicapai oleh sembarang orang. Hanya orang tertentu yang mampu menerapkan tawakkal yang maksimal. Mereka adalah bagian dari tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan siksa. Ini membuktikan bahwa dari sekalian manusia hanya sebagian kecil yang berhasil meraih maqâm tawakkal ini. Rasulullah Saw bersabda tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab: “...Mereka adalah segolongan orang yang tidak menjampi, menganggap sial, tidak mengobati luka dengan besi panas, dan mereka yang senantiasa bertawakkal kepada Rabb-nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Definisi Tawakkal
Secara bahasa tawakkal berarti bergantung, menyerahkan, dan mewakilkan urusan kepada orang lain. Seseorang dikatakan mewakilkan urusannya kepada orang lain ketika ia meminta posisinya digantikan dalam melakukan sesuatu dengan kebergantungan dan kepercayaan penuh kepada orang yang mewakilnya. Dapat dipahami juga bahwa tawakkal berarti menunjukkan kelemahan atau ketidakmampuan dalam menjalanan tugas tertentu sehingga membutuhkan pertolongan orang lain dalam menjalankannya. Kata tawakkal dengan beragam bentuk penggunaannya disebutkan dalam Al-Quran sebanyak empat puluh dua kali, semuanya berarti penyerahan diri secara total kepada Allah Swt
Ada penggunaan kata senada dengan tawakkal yaitu al--wakâlah. Menurut Imam Ibnul Qayyim, kata tersebut mempunyai dua makna; pertama, berarti at-taukîl, yaitu meminta digantikan posisinya. Kedua, berarti at-tawakkul, yaitu proses penyerahan secara penuh. Maksudnya, bahwa proses ini terjadi di antara dua belah pihak; antara hamba dan Rabb-nya. Allah Swt mewakilkan kepada hamba untuk menjaga urusan yang dititipkan kepada hamba itu. Sedangkan hamba bertawakkal dan bergantung sepenuhnya kepada Allah dalam menjalankan urusan tersebut. Ayat yang menunjukkan bahwa Allah mewakilkan amanat kepada hamba terdapat dalam surat Al-An‘am ayat 89:
...فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ (89)
"Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab, hikmat dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya (risalah kenabian) kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya." (QS. Al-An’am: 89)
Maksud dari ayat tersebut adalah Allah menitipkan risalah ilahiyah kepada orang yang beriman, berdakwah, berjihad, dan menolong agama Allah. Artinya Allah Swt menitipkan amanat dakwah dan agama kepada hamba-Nya agar berdakwah untuk menyebarkan misi Allah dan senantiasa berjuang demi kepentingan agama. Ketika ada pertanyaa benarkah Allah menitipkan urusan tertentu kepada sebagian hamba-Nya? Jawabannya adalah benar dan tidak mengurangi sifat-Nya sebagai Mahakuasa, karena menitipkan tidak berarti menyerahkan segala urusan secara penuh. Selain itu tidak mungkin makhluk apapun menggantikan posisi Sang Khalik. Manusia hanya menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Adapun tawakkal menurut istilah syariat adalah kesungguhan hati dalam bergantung secara penuh kepada Allah Swt untuk mendapatkan kebaikan dan menjauhkan diri dari kemadharatan (bahaya dan kerugian) duniawi dan ukhrawi. Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan definisi di atas degnan mengatakan, tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bergantung sepenuhnya kepada Allah Swt untuk mendapatkan kebaikan dan menjauhkan kemadharatan, dibarengi dengan usaha yang diperintahkan oleh Allah. Tidak jauh dengan definisi di atas Syaikh Zubaidy mengatakan, tawakkal adalah yakin sepenuhnya dengan apa yang dimiliki Allah dan tidak yakin dengan apa yang dimiliki manusia, hati bergantung sepenuhnya kepada Allah Swt dibarengi dengan usaha nyata dengan keyakinan penuh bahwa Allah adalah Mahapemberi rezeki, Mahapencipata, Mahamenghidupkan dan mematikan, Mahapemberi dan penghalang, tidak ada tuhan selain Dia.
Penerapan Tawakkal
Al-Quran banyak sekali menyinggung urgensi penyertaan tawakkal dalam melaksanakan ibadah-badah zahir. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah hati berupa tawakkal haruslah menjadi dasar ibadah-ibadah zahir. Ibadah zahir bagaikan usaha nyata untuk menggapai surga Allah Swt. Tapi tetap saja bukan ibadah yang membuat seseorang masuk surga, malainkan rahmat dan ridha Allah lah yang menjadikannya masuk surga. Jadi ibadah yang ia lakukan hanyalah usaha untuk mengemis kepada Allah Swt, sehingga kalau Allah mengasihinya, maka Dia akan memasukkannya ke dalam Surga. Di bawah ini adalah urgensi tawakkal sebagai dasar ibadah-ibadah zahir.
1. Tawakkal dan ibadah secara umum
Allah memerintahkan Rasul-Nya dan sekalian hamba-Nya untuk beribadah dan bertawakkal kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (123)
"…Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya, dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS. Hûd: 23)
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا (3)
"Dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pemelihara." (QS. Al-Ahzab: 3)
2. Tawakkal dalam berdakwah.
Banyak kisah para nabi yang menggambarkan ketawakkalan yang maksimal ketika menyebarkan dakwahnya. Perjalanan dakwah mereka tidak pernah mulus dari ancaman dan penentangan kaumnya. Ketika dakwah mereka tidak diterima oleh kaumnya, para rasul senantiasa bertawakkal kepada Allah. Karena mereka paham bahwa tugas mereka hanya menyampaikan risalah kenabian. Perkara hidayah bukanlah ditangan mereka. Allah Swt berfirman:
مَاعَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (99)
"Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (QS. Al-Maidah: 99)
Soal kaum mereka mau beriman atau tidak, itu adalah urusan Allah, bukan urusan para nabi dan rasul. Karena tugas mereka hanya menyampaikan. Allah berfirman:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (129)
"Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dialah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung."
3. Tawakkal ketika memutuskan hukum
Rasulullah Saw menyerahkan segala urusan dan senantiasa bertawakkal kepada Allah. Sebagian orang, tatkala berbeda pendapat dengan orang lain dalam suatu urusan, mereka mengembalikan urusan itu kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ketika sekelompok masyarakat telah bermusyawarah dan sepakat untuk melakukan kebaikan, maka kewajiban mereka setelah itu adalah bertawakkal, menyerahkan hasil kesepakatan itu kepada Allah, kemudian menjalankannya, pantang surut ke belakang selama berada dalam kebenaran. Demikian juga dengan seorang hakim yang istiqamah dalam kebenaan. Ia tidak akan merasa terbebani oleh penolakan orang lain yang tidak setuju dengan kebijakannya, selama keputusannya benar-benar sesuai dengan syariat agama. Untuk itu seorang qâdhi (hakim) harus senantiasa bertawakkal kepada Allah Swt dalam setiap keputusannya. Allah berfirman:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ (10)
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya adalah kepada Allah. Dialah Allah Tuhanku, kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nya lah aku kembali." (QS. Al-Syura: 10)
4. Tawakkal ketika berjihad memerangi musuh.
Meskipun dengan kemampuan persenjataan dan pasukan yang memadai serta dilengkapi dengan strategi perang yang jitu, tawakkal tidak boleh dilupakan. Karena kemenangan tetaplah karena pertolongan Allah Swt. Firman Allah Swt dalam surat Ali Imran:
إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (122) وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (123)
Dan (ingatlah), ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal (122). Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya (123) (QS. Ali Imran: 121-122)
إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160)
Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (QS. Ali Imran: 160)
Kemenangan adalah mutlak dari Allah Swt. oleh karena itu, apapun kondisi kita, baik dalam keadaan lemah maupun kuat, persenjataan serba canggih atau tidak, jika Allah tidak menghendaki kemenangan maka kemenangan tidak akan berpihak pada kita.
5. Tawakkal dalam mengais rezeki.
Rezeki yang dikaruniakan kepada manusia hanyalah jatah yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. setiap mahluk tidak akan mati sebelum ia menghabiskan jatah rezekinya. Manusia hanya ditugaskan untuk berusaha dan dilarang berpangku tangan. Setelah berusaha, kewajibannya tinggal tawakkal. Kalau ia mendapat rezeki, tugas selanjutnya adalah bersyukur dan kalau tidak ia harus bersabar. Dan dalam keadaan mendapat rezeki atau tidak, ia harus tetap bertawakkal kepada Allah Swt. Allah berfirman:
فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آَمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (36)
"Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. (QS. Al-Syura: 36)
Dan dalam mencari rezeki, tawakkal adalah senjata yang ampuh. Sebab Allah berjanji, siapapun yang bertawakkal penuh kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Al-Thalaq: 3)
6. Tawakkal tatkala berjanji.
Allah Swt menceritakan tentang nabi Ya'qub ketika anaknya meminta untuk didatangkan saudara-saudaranya, kemudian dia jawab sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf ayat 66-67, artinya adalah:
قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلَّا أَنْ يُحَاطَ بِكُمْ فَلَمَّا آَتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ (66) وَقَالَ يَا بَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ (67)
"Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kalian, sebelum kalian memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini). Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah milik Allah; kepada-Nya lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri". (QS. Yusuf: 66-67)
Manusia bisa merencanakan sesuatu, atau berjanji untuk melakukan sesuatu, namun tetap saja rencana atau janji itu akan terlaksana atas izin Allah Swt. oleh karena itu, ketika seseorang telah berazam untuk melakukan sesuatu, maka tugas berikutnya adalah bertawakkal kepada Allah. Allah Swt berfirman:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
"...Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)
7. Tawakkal ketika hijrah di jalan-Nya.
Tidak diragukan bahwa ibadah yang satu ini mempunyai nilai yang sangat agung di sisi Allah. Meninggalkan keluarga dan harta benda setelah dizalimi oleh musuh, demi menjaga dan memelihara keutuhan iman dan ajaran agama. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini dipuji oleh Allah Swt dalam surat An-Nahl ayat 41-42:
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (42)
"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia, dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal." (QS. Al-Nahl: 41-42)
Sebesar apapun pahala suatu ibadah, tetap semua itu adalah pemberian Allah. Dan seorang hamba, setelah mereka melaksanakan suatu ibadah maka ia harus menyerahkannya kepada Allah. Sebab, hanya ditangan-Nya lah suatu ibadah diterima atau ditolak. Tugas manusia hanya berusaha, beribadah kemudian bertawakkal, menyerahkan apa yang telah mereka usahakan kepada Allah Swt. dengan demikian, hatinya akan menjadi tenang karena janji Allah, dan tidak ujub (bangga diri dan berbusung dada) dengan amalan yang telah dilakukannya.
Antara Tawakkal dan Ikhtiar
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa tawakkal adalah penyerahan diri tanpa usaha, padahal ikhtiar atau usaha adalah bukti tawakkal itu sendiri. Ikhtiar tidak bisa dipisahkan dari tawakkal. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
"Kalau engkau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad dan Tirmizi)
Coba kita perhatikan teks hadis di atas. Jelas sekali Rasulullah Saw menerangkan bahwa orang yang bertawakkal kepada Allah akan pergi bekerja dan berusaha. Hadis menyebutkan kata, "taghdû" yang artinya pergi pagi-pagi sekali. Jadi orang yang tawakkalnya benar akan pergi berusaha mencari rezeki, bahkan di pagi-pagi buta, yang mengisyaratkan kesungguhan, kedisiplinan, tidak bermalas-malasan atau berpangku tangan. Sebaliknya orang yang tidak mau bekerja dengan alasan tawakkal, berarti menurut hadis di atas, ia tidak bertawakkal dengan sebenar-benar tawakkal. Sahabat-sahabat Rasulullah sendiri banyak yang kaya. Mereka rajin berdagang, bekerja dan bercocok tanam dikebun-kebun mereka. Dan merekalah uswah kita dalam hal kesungguhan berikhtiar.
Orang-orang matrealis Barat mempercayai bahwa hanya usaha yang akan menyampaikan seseorang menuju hasil, tidak perlu ada campur tangan Tuhan. Sebagai muslim kita wajib menyeimbangkan antara tawakkal dan ikhtiar. Tawakkal tidak boleh terlepas dari usaha nyata, tetapi usaha nyata saja tidak akan membuahkan hasil jika Allah berkehendak lain. Artinya, kita percaya sepenuhnya bahwa segala hasil yang dicapai tidak lain adalah atas izin Allah. Dengan kata lain, hasil adalah takdir dari Allah. Tetapi kita harus memahami bahwa usaha juga merupakan takdir Allah. Allah telah meletakkan sunnah (hukum) sebab akibat dalam alam ini. Jika seseorang ingin mendapatkan hasil, maka ia harus melalui usaha sebagaimana yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. Jika ia ingin kenyang, maka ia harus makan, karena Allah tidak akan menakdirkannya kenyang sebelum ia makan. Kalau ia ingin kenyang tapi tidak mau makan, maka ia akan kelaparan, karena Allah telah menetapkan bahwa tidak makan akan mengakibatkan kelaparan.
Ibnul Qayyim berpendapat bahwa hakikat tawakkal adalah ketika hati bergantung penuh kepada Allah Swt disertai dengan usaha nyata tetapi hatinya tidak boleh bergantung kepada usaha tersebut. Usaha nyata tidak menafikan tawakkal kepada Allah, karena usaha adalah bukti dari tawakkal itu sendiri. Tentang tidak bolehnya bergantung pada diri sendiri ini, Rasulullah Saw bermunajat dalam sebuah doanya:
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
"Ya Allah, aku sangat mengharap rahmat-Mu, maka janganlah engkau membiarkan diri ini bergantung pada diriku sendiri walau sekejap mata, perbaikilah semua keadaanku, tiada Tuhan selain Engkau." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Jika kita menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt, maka Dia akan menolong kita. Siapapun yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan menerima amalannya, mencukupi kebutuhannya, menanggung segala urusannya, menjauhkannya dari segala kejelekan, memberikan apa yang diinginkan, dan menyelamatkannya dari bahaya di dunia dan akhirat. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 59:
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ (59)
"Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, niscaya Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (QS. Al-Taubah: 59)
Bagaimana Betawakkal?
Yang umum dikenal, ibadah tawakkal dipahami sebagai upaya berikhtiar dan dan menyerahkan hasilnya kepada Allah. Sebenarnya tawakkal tidak sesederhana itu. Ada jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam bertawakkal. Jenjang-jenjang itu adalah sebagai berikut:
1. Mengenal wujud Allah, sifat-sifat-Nya, kekuasaan-Nya, keluasan karunianya-Nya dan sebagainya. Artinya ketika kita bertawakkal kepada Allah dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya, kita harus meyakini benar kesempurnaan Allah Swt.
2. Meyakini bahwa Allah telah meletakkan dalam alam ini sunnah-Nya berupa hukum kausalitas (sebab-akibat). Artinya, meyakini bahwa hasil atau akibat adalah takdir Allah, dan sebab atau usaha mendapatkan hasil juga merupakan takdir Allah. Seperti perkataan amirul mukminin Umar bin Khaththab r.a. ketika hendak berkunjung ke suatu daerah. Ketika beliau mengetahui bahwa di negeri itu terdapat wabah penyakit yang telah menyebar dan membunuh banyak orang, beliau mengurungkan niat untuk berkunjung ke daerah itu. Sahabat Abu Ubaidah bin al-Jarrah menegur beliau, "Apakah anda ingin lari dari takdir Allah?" mendengar teguran itu, Umar r.a. sedikit marah. Kata beliau, "Kalau saja yang mengucapkan ini bukan engkau wahai Abu Ubaidah, kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain."
Artinya, jika seseorang ingin terjangkit suatu penyakit, ia harus berupaya menghindar. Karena Allah telah meletakkan sebuah hukum, jika seseorang mendekati tempat yang berpenyakit maka biasanya ia akan terjangkit penyakit. Terjangkit penyakit adalah akibat mendekati tempat berpenyakit. Kita meyakini hal ini adalah takdir Allah, tetapi kita juga harus meyakini bahwa upaya menghindari penyakit juga merupakan takdir Allah. Mendapat rezeki adalah takdir Allah, upaya mencari rezeki juga merupakan takdir Allah. Allah akan memberi rezeki-Nya kepada orang yang berusaha mencarinya, tidak bagi orang yang hanya bermalas-malasan.
3. Mensinergikan antara usaha nyata dengan keyakinan bahwa segala hasil sepenuhnya ditentukan oleh Allah Swt. Al-Quran mengajarkan bagaimana seharusnya usaha nyata itu selalu menyertai keyakinan ini. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (42)
"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia, dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal." (QS. Al-Nahl: 41-42)
Dalam ayat di atas, sangat jelas diterangkan bahwa bagi yang menginginkan tempat yang bagus di dunia dan pahala di akhirat maka ia harus berhijrah terlebih dahulu. Allah Swt memerintahkan kita untuk bekerja dan berbuat serta melarang berpangku tangan. Dia berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk: 15)
Allah memerintahkan kita untuk berjalan mencari karunianya di atas bumi, kemudian mengingatkan kita dengan keyakinan bahwa setiap kita pasti akan dibangkitkan, untuk dipertanggungjawabkan segala amalan kita. Apakah didunia kita telah melaksanakan perintah Allah dengan baik atau tidak. Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung." (QS. Al-Jumu'ah: 10)
4. At-Tafwidh, menyerahkan segara urusan sepenuhnya kepada Allah Swt. Dalam Al-Quran Allah berfirman:
فَسَتَذْكُرُونَ مَا أَقُولُ لَكُمْ وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (44)
"Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu, dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya". (QS. Ghafir: 44)
5. Senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Meyakini bahwa segala ketetapan Allah adalah yang terbaik bagi kita, selama kita telah berusaha menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Walaupun telah berusaha keras, namun tetap saja miskin, kita harus meyakini bahwa takdir Allah itu adalah yang terbaik buat kita. Sebab belum tentu kekayaan kemudian menjadi kebaikan hidup kita di dunia dan kahirat. Banyak orang kaya di dunia yang hidupnya sengsara, dan banyak pula yang lupa akhirat disebabkan kekayaannya. Dalam kedaan seperti itu, harta bendanya justru menyengsarakan hidupnya di dunia dan akhirat. Hati kita tidak boleh goyah karena kehilangan urusan keduniaan. Kalau kita berbaik sangka kepada Allah, itu artinya Allah telah berbuat baik kepada kita, maka hal itu haruslah disyukuri. Allah berfirman dalam sebuah hadis Qudsi:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
"Aku sebagaimana prasangka hamba-ku kepada-Ku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Penutup
Tawakkal merupakan perintah wajib. Oleh sebab itu ia bukanlah sebuah keputusasaan. Sebab Allah Swt tidak mungkin memerintahkan hambanya untuk melakukan perbuatan setan. Putus asa adalah larangan Allah dan tabiat orang-orang kafir. Allah berfirman:
وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (87)
"...Dan jagnanlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS. Yusuf: 87)
Justru yang menjadi ciri khas seorang mukmin adalah optimisme yang tinggi. Optimis meraih janji-janji Allah, karena mustahil bagi Allah mengingkari janji-Nya. Opitimisme inilah yang dikandung dalam hadis:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
"Aku sebagaimana prasangka hamba-ku kepada-Ku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ia yakin Allah akan berbuat baik terhadapnya, sehingga ia tidak pernah berputus asa untuk selalu beramal shalih mengharapkan kebaikan dari Allah Swt. Ia optimis untuk selalu menjadi hamba yang baik dengan berusaha menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Dan inilah wujud tawakkal itu sendiri, berproses menuju ke arah yang lebih baik. Wallahul musta‘ân wa ‘alaihit tuklân.
MEMAKNAI KETAKWAAN
Oleh: Abdul Aziz Sarikan, Lc.
Takwa merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling penting. Ia adalah pokok kebreagamaan yang akan menjadikan kehidupan manusia mulia di dunia dan akhirat. Tidak ada kebaikan hidup bagi manusia tanpanya. Seluruh kebaikan dunia dan akhirat terhimpun di bawah kata takwa ini. Kata inilah yang sering kali menjadi wasiat para khatib jumat. Bahkan takwa adalah wasiat Allah langsung kepada manusia, dan tidak ada wasiat yang lebih berharga dari pada wasiat Allah
Jika kita merenungkan kembali ayat-ayat Al-Quran, betapa banyak kebaikan yang selalu dihubungkan dengan takwa ini, betapa banyak pahala, ganjaran dan kebahagian yang dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tentunya sangat penting bagi kita untuk mengetahui hakikat takwa ini, bagaimana mewujudkannya dalam diri, apa saja manfaat dan keuntungan bertakwa, apa saja wasilah yang dapat membantu seseorang untuk meningkatkan ketakwaannya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan takwa ini, agar kita tergerak untuk selalu meningkatkan kualitas ketakwaan kita terhadap Allah Swt
Definisi Takwa
Secara bahasa, takwa berasal dari kata waqâ-wiqâyah, yang berarti sesuatu yang digunakan oleh seseorang untuk menjaga dirinya. Seperti menjaga kebersihan adalah sarana untuk menjaga kesehatan dan melindungi diri dari penyakit. Begitu pula menjalankan perintah Allah dan manjauhi larangan-Nya adalah sarana untuk menjaga diri dari murka dan azab Allah Swt.
Di dalam Al-Quran kata ini terkadang disandingkan dengan kata al-birr (kebajikan). Seperti pada firman Allah Swt:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ... (2)
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…." (QS. Al-Maidah: 2). Dan sering juga disebut sendirian. Maka, jika kata takwa disandingkan dengan kata al-birr, maka al-birr berarti melaksanakan perintah dan takwa berarti meninggalkan larangan, dan jika disebut sendiri maka takwa mencakup makna al-birr (menjalankan perintah) dan juga meninggalkan larangan.
Adapun menurut istilah, bebrapa ulama mendefinisikan takwa dengan ungkapan berbeda-beda. Namun semuanya merujuk kepada makna yang sama. Istilah yang masyhur dan sering kita dengar adalah, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Definisi lain yang diungkapkan oleh imam Ali r.a. adalah:
اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَالْقَنَاعَةُ بِالْقَلِيْلْ وَالْاِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
"Takut kepada Allah, mengamalkan Al-Quran, qana'ah (merasa cukup) dengan yang sedikit, dan mempersiapkan diri untuk hari kepergian (kematian)."
Umar bin Khattab ra pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab ra: "Apakah arti takwa? Ubay ra menjawab, 'Wahai Amîr al-Mu'minîn, pernahkah anda berjalan di jalanan yang banyak durinya?' 'Ya, pernah', jawab Umar ra. Ubay ra bertanya lagi, 'Apa yang anda lakukan kemudian?' Umar ra menjawab: 'Aku segera mengangkat kainku sampai betis, lalu melihat tempat berpijak kedua kakiku, kemudian memajukan kaki yang satu dang mengakhirkan yang lain, takut terkena duri. Kemudian Ubai bin Ka'ab berkata, 'Itulah takwa'."
Artinya bahwa seorang yang bertakwa selalu berhati-hati dalam hidupnya. Ia akan berupaya melaksanakan segala sesuatu yang menyelamatkannya dari bahaya (melaksanakan perintah Allah) dan menjaga dirinya dari segala yang membahyakannya (meninggalkan larangan Allah), baik bahaya di dunia maupun di akhirat, mirip seperti kehati-hatian orang yang berjalan di jalanan penuh onak dan duri.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
اَلتَّقْوَى هِىَ تَرْكُ مَا تَهْوَى لِمَا تَخْشَى
"Takwa ialah meninggalkan sesuatu yang kau inginkan karena sesuatu yang kau takutkan."
Artinya meninggalkan segala bentuk larangan Allah Swt karena takut terhadap azab dan murka-Nya.
Diriwayatkan dari Daud Ath-Thâ'iy beliau berkata tentang takwa:
أَنْ لَا يَرَاكَ حَيْثُ نَهَاكَ وَلَا يَفْتَقِدُكَ حَيْثُ أَمَرَكَ
" Allah tidak melihatmu di tempat yang dilarang-Nya, dan tidak menemukanmu di tempat yang diperintahkan-Nya."
Artinya, kita harus selalu berada jauh dari larangan-Nya dan tidak sampai melanggarnya. Selain itu, tidak meninggalkan perintah-Nya, yaitu harus selalu berada di jalan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Dengan kata lain, dalam perjalanan menuju Allah, setiap muslim harus menaati segala rambu-rambu agama yang ada, baik berupa perintah ataupun larangan Allah. Pengertian-pengertian yang diungkapkan oleh pada ulama di atas pada hakikatnya tidak saling bertentangan, tetapi masing-masing menyebutkan salah salah satu sisi dari makna takwa. Sehingga makna-makna itu saling melengkapi dan terangkum dalam satu kata yaitu takwa.
Takwa di dalam Al-Quran
Di dalam Al-Quran kita dapat menemukan sumber makna takwa yang disebutkan oleh para ulama di ata.s. Diantaranya adalah:
a. Takwa berarti takut. Allah Swt berfirman:
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (41)
"Dan hanya kepada Aku-lah kamu harus bertakwa (takut)." (QS. Al-Baqarah: 41)
Pemaknaan dengan "takut", tidak berarti menafikan makna lain yang masih dikandung oleh kata takwa di atas, hanya sebatas spesifikasi makna yang lebih ditekankan saja. Dalam ayat lain juga disebutkan:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ...(281)
"Dan takutlah terhadap hari di mana kalian dikembalikan kepada Allah..." (QS. Al-Baqarah: 281)
b. Takwa juga berarti ibadah dan ketaatan, sebagaimana frman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran: 102)
Maksudnya, taatilah Allah dengan sebenar-benar ketaatan, beribadahlah kepadanya dengan sebenar-benar ibadah, sebagaimana penafsiaran Mujahid, ketika beliau mengatakan: "Ditaati dan tidak dimaksiati, diingat (zikir) dan tidak dilupakan serta disyukuri dan tidak diingkari."
c. Takwa berarti meninggalkan maksiat dan membersihkan diri dari dosa, sebagaimana firman Allah :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (52)
"Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan."
Dalam ayat di atas disebutkan kata-kata, yuthi' (taat) yang mewakili makna ketaatan menjalankan perintah, yakhsyâ (takut) yang memiliki makna ketundukan kepada Allah dan ketakutan akan azab dan murka-Nya, dan yattaqhi (takwa) yang mewakili makna meninggalkan segala bentuk maksiat dan membersihkan diri dari dosa. Jadi, masing-masing memiliki makna spesifik yang ditunjukkannya. Akan tetapi kata "takwa" jika disebut secara tersendiri tanpa diiringi dengan kata-kata yang masih memiliki kaitan makna dengannya, maka ia mengandung seluruh makna-makna ditunjukkannya, dengan kata lain meliputi ke tiga makna di atas dan makna-makna lain yang masih terkandung di dalamnya.
Takwa Dan Ilmu Halal-Haram
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hakikat takwa ini, ada hal penting yang perlu kita ketahui yaitu fungsi dan manfaat ilmu terkait dengan takwa ini. Kita harus mengetahui dengan benar dalam hal apa kita harus bertakwa (takwa dalam arti menghindari suatu perbuatan). Ilmu tentang halal dan haram dalam hal ini sangat penting untuk dipelajari. Karena dengannya kita mengetahui apa saja yang harus dikerjakan dan ditinggalkan. Tanpa pengetahuan halal dan haram, seseorang bisa saja meninggalkan kewajiban karena menganggapnya larangan, ataupun sebaliknya.
Di zaman Rasulullah, ada seorang yang tidak ingin menikah, padahal itu sunnah yang sangat diutamakan dan bahkan wajib dalam keadaan tertentu. Ada juga yang ingin puasa sepanjang hayat, padahal yang demikian itu tidak diperbolehkan. Jadi ketakwaan haruslah dituntun dengan ilmu. Ada yang mengatakan, "Jika engkau bertakwa tanpa ilmu, maka kamu akan makan riba. Jika engkau bertakwa tanpa ilmu, maka engkau akan melihat perempuan yang bukan mahram sementara engkau tidak menundukkan pandanganmu, jika engkau bertakwa tanpa ilmu, engkau akan terjerumus ke dalam fitnah (bencana) tanpa engkau sadari."
Sebagian orang mempertanyakan dosa membunuh cecak, tetapi mereka tidak pernah mempertanyakan dosa membakar pencuri hidup-hidup. Padahal pencuri di dalam Islam tidak boleh di bunuh. Cukup dengan menerapkan hukum potong tangan terhadapnya. Hukum inilah yang terbukti sangat efektif mencegah tindak pencurian. Hal ini tidak heran, karena hukum ini adalah hukum Allah Swt yang Mahamengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Hukum ini sangat efektif dalam mencegah pencuri untuk mencuri lagi, dan pelajaran bagi orang lain agar tidak mencuri.
Ketika terjadi fitnah di zaman sahabat, sekelompok orang mendatangi Ibnu Umar ra menanyakan hukum membunuh nyamuk, dan di antara mereka ada pembunuh cucu Nabi Saw, Husain ra. Kemudian Ibnu Umar ra menjawab: "Mereka bertanya kepadaku tentang hukum membunuh nyamuk, namun mereka telah melumuri tangan mereka dengan darah Husain, padahal Rasulullah telah bersabda (tentang Hasan ra dan Husain ra): "Mereka berdua adalah kekasihku di surga."
Kedudukan Dan Manzilah Takwa
a. Takwa adalah wasiat Allah dan Rasul-Nya.
Takwa adalah memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sehingga Allah yang langsung mewasiatkannya kepada umat-umat terdahulu dan khususnya kepada umat Nabi Muhammad Saw Dia berfirman:
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ (131)
"Sungguh kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; hendaklah kalian bertakwa kepada Allah." (QS. Al-Nisa: 131)
Sebagian Ahlul 'Ilmi mengatakan bahwa ayat di atas adalah intisari dari seluruh isi Al-Quran, karena semua isinya mengandung makna ayat di ata.s. Tiada satupun kebaikan lahir maupun batin, dunia maupun akhirat melainkan takwa adalah jalan yang mengantarkan seseorang menujunya, dan tiada keburukan sekecil apapun melainkan takwa adalah benteng yang akan melindungi dan menyelamatkan seseorang darinya.
Imam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari hadis (اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ) beliau berkata: "Aku tidak mengetahui wasiat Allah dan Rasul-Nya yang paling berharga bagi orang yang berakal kecuali ayat ini (An-Nisa: 131). Ketika Rasulullah Saw mengutus Mu'âdz bin Jabal ke daerah Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
"Bertakwalah kamu kepada Allah, ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi)
Mu'âdz bin Jabal adalah salah seorang sahabat yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Rasulullah Saw Beliau pernah bersabda kepada Mu'âdz, "Wahai Mu'âdz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu." Pertanyaannya adalah, ketika Rasulullah mencintai Mu'adz apakah beliau mewasiatkannya hal-hal yang remeh dan sepele? Setiap orang tetunya akan memberikan wasiat yang paling berharga kepada orang yang dicintainya. Dan Rasulullah Saw telah bersumpah bahwa beliau mencintai Mu'âdz. Tentu wasiat yang diberikan kepadanya adalah wasiat yang sangat berharga.
Mu'âdz bin Jabal adalah salah seorang pembesar sahabat, pemuka kaum dan sahabat yang paling alim tentang halal dan haram. Oleh karena itu Rasulullah Saw sering mengutus beliau ke berbagai tempat sebagai qadhi dan hakim. Di antaranya beliau dipercaya untuk menyampaikan risalah Islam kepada penduduk Yaman. Akan tetapi, meskipun sedemikian tinggi kedudukan Mu'adz, tetap saja Rasulullah berwasiat kepadanya: "Wahai Mu'adz, bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada." Hal ini menunjukkan bahwa semua orang memerlukan ketakwaan, tidak terkecuali para ulama. Karena setiap orang berpeluang mengalami kodisi iman yang fluktuatif. Terkadang kuat di suatu keadaan dan melemah pada keadaan yang lain.
b. Takwa adalah sebaik-baik pakaian dan perhiasan. Allah berfirman:
يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)
"Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan untukmu pakaian sebagai penutup aurat dan perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, agar mereka selalu ingat." (QS. Al-A'raf: 26)
Fungsi utama pakian adalah sebagai penutup aurat dan perhiasan. Konteks ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah telah menurunkan bagi manusia pakaian sebagai alat penutup aurat, sekaligus perhiasan. Kata "menurunkan" mengandung makna imtinan (pemberian). Ketika konteks ayat adalah imtinan maka makna yang terkandung di dalamnya, adalah bahwa Allah telah memberikan kepada mahluk-Nya sesuatu yang boleh digunakan dan dimanfaatkan, karena Allah tidak memberikan hamba-Nya kecuali sesuatu yang halal dan baik.
Namun ayat di atas tidak hanya sebatas pemberian, melainkan juga perintah kepada manusia untuk menutupi auratnya yang zahir. Selain itu Allah juga mengingatkan manusia dengan sesuatu yang lebih penting dari itu yaitu menutup aurat batin dengan menggunakan pakaian ketakwaan. Sebagaimana pakian zahir berfungsi untuk menutup aurat zahir dan perhiasan zahir, begitu pula dengan pakaian ketakwaan berfungsi sebagai penutup aurat batin dan perhiasan batin. Kalau pakaian zahir telah kita ketahui bersama maka pakaian ketakwaan adalah, amal shalih dalam segala bentuknya dan menjauhi keburukan apapun jenisnya.
c. Takwa merupakan sebaik-baik bekal. Allah Swt berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ (197)
"Berbekallah, Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal." (QS. Al-Baqarah: 197)
Sebab turun ayat di atas adalah, bahwa sekelompok penduduk Yaman datang ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi mereka tidak membawa bekal di dalam perjalanannya. Mereka hanya berkata, "Kami adalah orang-orang yang bertawakkal, kami datang ke Baitullah untuk melaksanakan haji, kami yakin Allah akan memberi kami makanan, dan Dia tidak akan menelantarkan kami sehingga harus menengadahkan tangan untuk meminta-minta kepada orang lain."
Allah menurunkan ayat yang mulia ini sebagai jawaban atas perkataan mereka. Allah memerintahkan mereka untuk berbekal dalam perjalanan, dengan perintahnya "Berbekallah...!" Karena tawakkal yang sebenarnya adalah setelah bekerja atau melakukan sebab yang mengantarkan kepada tujuan, bukan tanpa berbuat. Yang penting kita perhatikan dalam ayat di atas adalah, bahwa di sela-sela perintah berbekal di atas, Allah Swt menyelipkan pesan yang lebih berharga dari sekedar bekal perjalanan di dunia yaitu, bekal menuju akhirat. "Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa."
Dalam kitab Al-Tamhîd, karya imam Ibnu Abdil Barr, diriwayatkan bahwa suatu ketika Ali bin Abi Thalib ra masuk ke pekuburan kemudian berkata:
يَا أَهْلَ القُبُوْرِ مَا الخَبَرُ عِنْدَكُمْ؟ إِنَّ الخَبَرَ عِنْدَنَا أَنَّ أَمْوَالَكُمْ قَدْ قُسِّمَتْ، وَأَنَّ بُيُوْتَكُمْ قَدْ سُكِنَتْ، وَأَنَّ أَزْوَاجَكمْ قَدْ زُوِّجَتْ، ثمَّ بَكىَ، ثمَّ قَالَ: وَاللهِ لَوِ اسْتَطَاعُوْا أَنْ يُجِيْبُوْا لَقَالُوْا: إنَّا وَجَدْنَا أَنَّ خَيْرَ الزَّاد التَّقْوَى.
"Wahai ahli kubur, ada berita apa pada kalian? Sesungguhnya berita dari kami adalah bahwa harta-harta kalian telah dibagi-bagi, rumah-rumah kalian telah ditempati, dan isteri-isteri kalian telah dinikahi." Kemudian beliau menangis tersedu-sedu, dan berkata: "Demi Allah, jika mereka bisa menjawab, mereka akan berkata: 'sesungguhnya kami menemukan bahwasanya sebaik-baik bekal adalah takwa'."
d. Takwa merupakan ukuran penilaian di sisi Allah
Allah Swt telah menetapkan takwa sebagai ukuran derajat kemuliaan di sisi-Nya sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurât: 13)
Rasulullah Saw bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian juga satu, sungguh tidak ada kelebihan orang Arab atas yang bukan Arab atau orang bukan Arab atas Arab, tidak juga orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, melainkan karena takwa." (HR. Ahmad)
Derajat ketakwaan
Dari hubungan antara makna takwa secara bahasa (sesuatu yang digunakan untuk menjaga diri) dan definisinya menurut istilah (Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya) kita dapat mengklasifikasi derajat ketakwaan menjadi tiga, yaitu:
a. Takwa yang menjadikan seseorang menjaga diri dari sesuatu yang membuatnya kekal di dalam neraka yaitu kesyirikan dan kekufuran. Hal ini dilakukan tentunya dengan memurnikan ajaran tauhid. Oleh karena itu kalimat tauhid (Lâ ilâha Illalâh) di dalam Al-Quran juga disebut dengan kalimat takwa. Sebagaimana firman Allah :
وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا... (25)
"... Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa (kalimat tauhid), merekalah yang paling berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya." (QS. Al-Fath: 25)
Memurnikan ajaran tauhid berarti memurnikan ibadah dan mengikhlaskannya hanya untuk Allah semata. Tidak ada Tuhan selain Dia, sehingga tidak ada yang patut disembah selain Dia. Kalimat Lâ ilâha Illalâh berarti tidak ada sesutu yang patut dipertuhankan atau disembah selain Allah. Kata ilâh dalam bahasa Arab berarti ma'lûh atau sesuatu yang disembah atau dipertuhankan, walaupun pada hakikatnya bukan Tuhan yang sebenarnya. Tidak semua orang yang mengakui bahwa Allah Swt adalah satu-satunya Rabb (pencipta dan pengatur alam semesta), lantas menyembah-Nya. Banyak mereka yang mengakui bahwa Allah satu-satunya Rabb, namun mereka menuhankan selain Dia ataupun menyembah Allah bersama dengan sesembahan yang lainnya.
b. Takwa yang menjadikan seseorang menjaga diri dari segala sesuatu yang dapat menjerumuskannya ke neraka walaupun sebentar, yaitu maksiat (meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan) baik maksiat yang menimbulkan dosa besar ataupun kecil. Maksiat dapat menjadikan seseorang jauh dari Allah, dan bahkan dimurkai oleh-Nya. Orang yang bertakwa pada tingkatan ini tidak ingin jauh dari Rabb-Nya, apalagi sampai dimurkai. Ia akan selalu berupaya meninggalkan maksiat, demi mencapai ridha-Nya.
c. Takwa yang menjadikan seseorang menjaga diri dari segala sesuatu yang dapat malalaikan diri dari mengingat Allah, memperlambat jalan menuju-Nya, walaupun sesuatu itu adalah perkara mubâh (kebolehan). Karena sesungguhnya sibuk dengan perkara mubah yang dapat melalaikan diri dari Allah akan berpengaruh pada hati dan menjadikannya qâsiyah (keras dan sulit menerima peringatan). Hati yang qâshiyah seringkali menggiring seseorang ke dalam perkara makruh, dan membiasakan perkara makruh juga dapat menggiring seseorang untuk melakukan perbuatan haram. Adapun perkara mubah yang tidak melalaikan, tentunya boleh saja, karena kita diperintahkan untuk tidak melupakan dunia. Yang terpenting adalah bagaimana menjadikan dunia hanya di tangan dan tidak di hati, karena hati hanya untuk Allah. "Allâhumma-j'ali-d-dunyâ fî aidînâ wa lâ taj'alhâ fi qulûbinâ." Ya Allah, jadikanlah dunia ini di tangan kami, dan jangan Engkau jadikan ia di dalam hati kami.
Antara Manusia Dan Takwa
Dari ketiga derajat ini dapat dilihat posisi ketakwaan manusia. Sebagian orang ada yang hanya menjaga dirinya agar tidak kekal di dalam neraka. Tetapi ia tidak menjaga dirinya dari dosa-dosa maksiat yang akan menjerumuskannya ke dalam neraka walau sebentar. Dia mengaku bertauhid, mengimani kebenaran para rasul, menjalankan rukun Islam, tetapi ia tetap melakukan perbuatan maksiat, lalai dalam menjalankan kewajiaban dsb. Orang seperti ini tidak bisa disebut bertakwa secara mutlak. Karena ia telah mengajukan dirinya untuk diazab, kecuali jika Allah berkehendak mengampuninya. Karena orang yang bertauhid termasuk ke dalam kehendak Allah. Jika berkehendak Allah mengampuninya dan jika berkehendak Dia mengazabnya.
Sebagian orang ada yang menjaga dirinya dari kekufuran dan dosa-dosa besar dan melaksanakan kewajiban dan ketaatan. Akan tetapi ia tidak menjaga dirinya dari dosa-dosa kecil dan tidak juga memperbanyak ibadah nawafil. Orang ini lebih dekat dari keselamatan dari orang sebelumnya. Karena Allah berjanji untuk menghapus dosa-dosa kecil selama dosa-dosa besar ditinggalkan. Dia berfirman:
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا (31)
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang atas kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (Al-Nisâ': 31)
Rasulullah juga bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
"Shalat wajib yang lima, antara jumat dan jumat, Ramadan dan Ramadan adalah mukaffirat (penghapus dosa) selama dosa-dosa besar ditinggalkan."
Akan tetapi semua itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tetap melakukan dosa kecil, karena pertama, kita tidak mengetahui perkara ghaib, kedua, kita tidak mengetahui kalau Allah benar-benar menghapus dosa-dosa kita, ketiga, belum tentu ibadah kita diterima di sisi-Nya sehingga dapat menghapus dosa-dosa kecil itu, keempat, dosa-dosa kecil jika sangat banyak akan menjadi dosa besar, dan kelima, perasaan mengentengkan dosa kecil terkadang menyeret seseorang melakukan dosa besar, baik secara sadar maupun tidak sadar. Oleh karena itu Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran: 102)
Dalam ayat di atas terdapat perintah untuk melakukan ketaatan dengan sebenar-benar ketaatan dan menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan yang akan menjerumuskan kepada neraka. Bukan hanya dosa-dosa besar, tetapi termasuk juga dosa kecil. Di dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk beristigfar dan bertaubat dari segala dosa. Dan tidak ada yang menjelaskan bahwa beristigfar dan bertaubat hanya dari dosa besar. Semua itu adalah perintah umum yang menyuruh kita untuk beristigfar dan bertaubat dari seluruh jenis dosa, baik besar maupun kecil.
Masalah meremehkan dosa kecil ini sering kali terjadi. Padahal dalam riwayat Imam Bukhari, Ibnu Mas'ûd ra pernah berkata bahwa seorang muslim melihat dosa-dosanya, seakan-akan ia duduk di puncak gunung dan menggigil karena takut terjatuh. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang menempel di hidungnya kemudian terbang begitu saja.
Rasulullah Saw, juga sangat mewanti-wanti umatnya agar tidak terjerumus ke dalam dosa-dosa kecil. Dalam hadis shahih riwayat imam Ahmad beliau bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ لَهُنَّ مَثَلًا كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا أَرْضَ فَلَاةٍ فَحَضَرَ صَنِيعُ الْقَوْمِ فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَنْطَلِقُ فَيَجِيءُ بِالْعُودِ وَالرَّجُلُ يَجِيءُ بِالْعُودِ حَتَّى جَمَعُوا سَوَادًا فَأَجَّجُوا نَارًا وَأَنْضَجُوا مَا قَذَفُوا فِيهَا
Dari Abdullah bin Mas'ûd, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: "Jauhilah kalian dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu akan berkumpul pada seseorang dan eapat menghancurkannya, dan sesungguhnya Rasulullah Saw mengumpamakannya dengan sekelompok orang yang musafir di padang pasir, seorang datang dengan sepotong kayu, seorang lain juga datang dengan sepotong kayu, hungga terkumpul banyak, dan mereka menyalakan api yang dapat membakar apapun yang mereka lemparkan kedalamnya." (HR. Ahmad)
Intinya bahwa dosa-dosa kecil ini bagi seseorang, memungkinkan untuk menyulut api neraka yang dan dapat membakar dirinya.
Derajat takwa yang paling tinggi adalah ketika seseorang telah melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, melakukan ibadah-ibadah nawafil, meninggalkan segala bentuk kemaksiatan baik yang besar atau yang kecil dan bahkan meninggalakan perbuatan mubah karena takut tergiring kepada kemaksiatan. Inilah yang disebutkan dalam sebuah hadis yang berbunyi:
لا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang hamba tidak akan sampai sampai ke derajat orang-orang muttaqin hingga ia meninggalkan hal-hal yang dibolehkan karena takut terjerumus kedalam perkara yang dilarang." (HR. Tirmizi)
Jalan Menuju Takwa
Ada bebrapa hal yang dapat kita lakukan sebagai sarana meningkatkan ketakwaan kepada Allah beberapa hal di bawah ini terlihat mudah diucapkan, tetapi sulit diterapkan dan jarang sekali yang mampu istiqamah menjaganya.
a. Mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain. Hal ini dapat dicapai melalui interaksi yang banyak dengan Allah dengan pola interaksi yang telah diajarkan melalui sunnah Rasulullah Saw Seperti memperbanyak banyak beribadah dan berdzikir kepada Allah . Ibadah merupakan gabungan dari puncak ketundukan dan kecintaan kepada Yang disembah (Allah). Tunduk dan pasrah di hadapan keagungan dan kemahabesaran-Nya, serta mempersembahkan diri atas dasar cinta kepada Dzat Yang Mahaindah yang memiliki segala sifat kesempurnaan, bukan atas dasar keterpaksaan dan ketidaksukaan.
b. Murâqabatullah (merasakan kehadiran-Nya dalam setiap situasi dan kondisi). Jika seseorang yang melakukan perbuatan selalu merasa diperhatikan dan dikontrol oleh orang yang ia takuti, niscaya ia akan berbuat dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan kemarahan orang yang ditakutinya, dan berusaha bagai mana agar orang itu senang kepadanya. Tentunya orang yang merasakan kehadiran Allah, yang mengetahui segala yang tersembunyi dari dirinya, yang lebih dekat dari urat lehernya, akan sangat berhati-hati dalam berbuat. Ia akan berusaha sebisa mungkin mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangannya, demi mencapai keridhaan-Nya dan terhindar dari murka-Nya. Namun seringkali hal ini diremehkan sehingga tidak jarang membuat seseorang meninggalkan perintah Allah dan bahkan terjerumus ke lembah maksiat.
c. Mengetahui balasan kebaikan bagi orang-orang yang bertakwa di dunia dan akhirat. Hal ini akan memotivasi seseorang untuk berbuat kebajikan. Karena telah menjadi tabiat manusia, melakukan sesuatu dengan mengharap imbalan. Oleh karena itu Allah menyiapkan segala bentuk pahala kebajikan, puncak kenikmatan dan kemuliaan berupa surga dan ridha-Nya bagi mereka yang bertaqwa, taat menjalankan perintah dan menjauhi larang-Nya. Tetapi Allah mengajarkan manusia agar tidak mengharap imbalan dari sesama makhluk, akan tetapi hendaklah ia mengharap kepada Sang Khaliq, yang ditangannya kerajaan langit dan bumi, kemuliaan dunia dan akhirat. Itu sebabnya kita diperintah untuk mengikhlaskan segala amal kebajikan hanya untuk-Nya.
d. Mengetahui akibat buruk perbuatan maksiat baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana imbalan kebaikan merupakan motivasi dalam berbuat baik, tentunya balasan keburukan berupa siksa dan murka adalah zâjir (pencegah/penghalang) bagi sesorang untuk berbuat keburukan dan kejahatan. Sebab, tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghendaki penderitaan walaupun sesaat, apalagi penderitaan akhirat yang abadi tanpa bata.s. Walaupun banyak orang yang tidak sadar akan hal ini, baik karena ketidak tahuannya akan penderitaan yang tiada berakhir itu, atau karena kelengahan yang disebabkan oleh tipu daya setan dan nafsu syahwat duniawi. Maka, mengetahui akibat buruk perbuatan maksiat merupakan keharusan bagi setiap mereka yang ingin selamat di dunia dan akhirat.
e. Menumbuhkan sifat wara' dalam diri dengan berusaha memerangi dan mengalahkan hawa nafsu, meninggalkan perkara haram, makruh dan syubhat, memperbanyak ibadah ketaatan berupa ibadah wajib dan sunnah, serta tidak berlebihan dalam perkara mubah. Ulama mengatakan bahwa sifat wara' adalah sifat yang bisa dilatih dan dibiasakan. Dalam latihan tentu akan mengalami banyak kesulitan dan hambatan. Maka diperlukan bimbingan dan nasehat dari ulama dan sahabat. Itu sebabnya di dalam surah Al-'Ashr, kita diperintah untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Agar bisa memposisikan diri pada kebenaran serta istiqamah dan sabar dalam jalan kebenaran itu, dan yang kedua ini tentu lebih berat dari sebelumnya.
f. Mengetahui bentuk-bentuk makar dan tipu muslihat setan yang tidak pernah berhenti mempedaya manusia. Hal ini penting karena dengan demikian orang akan terhindar dari keburukan tersebut. Dengan syarat ia memang berniat untuk menghindari keburukan, bukan mengetahui keburukan untuk dilakukan. Dalam sebuah hikmah dikatakan, "Araftusy syarra lâ lisy syarri." Artinya, aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan itu, tetapi untuk menghindari diri darinya. Dalam sebuah pepatah juga disebutkan, "Man fahima lughata qaumin, amina min syarrihi." Artinya, orang yang mengerti bahasa suatu kaum, ia akan selamat dari keburukan yang datang dari kaum itu. Tentunya orang yang mengerti dan mengetahui dengan baik segala bentuk tipu daya dan makar setan, ia akan selamat dari keburukan akibat mengikuti langkah-langkah setan.
g. Memohon kepada Allah agar diberikan taufik untuk bertakwa kepada-Nya, karena tidak ada daya upaya dari manusia kecuali atas izin Allah . Doa adalah silâh (senjata) orang mukmin, yang tidak boleh diremehkan, karena ia mempunyai kekuatan yang dahsyat dan pengaruh yang besar. Dengan doa, Allah akan memberikan seseorang segala permintaannya sebagaimana janji-Nya. Dengan doa dia akan diberi taufik untuk berbuat baik dan meninggalkan maksiat dan kejahatan. Doa adalah lambang ketundukan, kepasrahan dan ketidak berdayaan manusia di hadapan Rabb-nya. Oleh karena itu doa adalah mukh (otak) dari segala ibadah.
Buah Ketakwaan, Bahaya Maksiat dan Tipu daya Setan
Setelah kita memahami bahwa mengetahui manfaat bertakwa, bahaya berbuat maksiat, dan tipu daya setan merupakan faktor yang penting dalam menumbuhkan ketakwaan di dalam diri, tiba saatnya untuk mengetahui apa saja buah ketakwaan, bahaya berbuat maksiat dan tipu daya setan itu. Di bawah ini akan dijelaskan satu-persatu secara lebih terperinci.
1. Buah Ketakwaan
a. Takwa akan melapangkan setiap kesempitan dan jalan keluar dari setiap masalah, serta dengannya seseorang akan mendapatkan rezeki dari arah yang tidak terduga. Zaman sekarang adalah zaman yang penuh dengan fitnah dalam pekerjaan. Hendaknya kita meninggalkan segala perkara yang diharamkan, dan berhati-hati dalam perkara syubhat. Tetaplah bertakwa walaupun tidak mendapatkan sesuatu dari mahluk. Tetaplah jujur walaupun harus menerima cemoohan dari manusia. Sedikit tetapi berkah akan membahagiakan hidup kita di dunia dan akhirat. Sebaliknya walaupun banyak tapi tidak berkah, akan menyesakkan dada dan mendatangkan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Allah Swt berfirman:
...وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ...(3)
"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangkanya...." (QS. Al-Thalâq: 2-3)
Dikisahkan bahwa seorang pedagang yang bekerja di sebuah toko barang-barang elektronik, sering kali menghadapi transaksi yang dipenuhi riba dan sogokan. Namun karena ia mengetahui bahwa semua itu adalah perbuatan haram, ia tidak pernah mau menerimanya karena takut kepada Allah Swt Akhirnya, setelah lama ia mengalami keadaan ini, datanglah janji Allah, barang-barangnya laris terjual. Banyak orang berdatangan kepadanya untuk membeli, karena mereka tahu kejujuran dan ketakwaannnya.
Ternyata bermuamalah dengan jujur tidak akan mengurangi rezeki bahkan akan menambah keberkahannya. Sebaliknya bermuamalah dengan riba, korupsi dan sogokan tidak akan menambah rezeki, malah akan menghilangkan keberkahannya. Rezeki adalah jatah pasti yang telah ditetapkan oleh Allah untuk setiap mahluk-Nya. Seorang hamba tidak akan mati sebelum menghabiskan jatah rezeki yang telah ditentukan baginya.
b. Allah berjanji akan memudahkan urusan orang-orang yang bertakwa, baik urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Dan jika Allah berjanji, Dia tidak akan mengingkari janji-Nya. Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (4)
"...Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. Al-Thalaq: 4)
c. Bashîrah, adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Bashîrah merupakan pengetahuan yang mendalam berupa pencerahan dari Allah di dalam hati orang yang bertakwa, untuk menerangi jalan hidupnya, dan menjadikannya dapat mengetahui mana kebaikan dan mana keburukan. Atau disebut juga dengan furqân, yang berarti kemampuan untuk membedakan antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah). Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظيمِ (29)
"Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan kepadamu furqân, menutupi kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan sungguh Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfâl: 29)
Dari ayat yang mulia di atas kita mengetahui bahwa Allah berjanji akan menutupi kesalahan orang yang bertakwa dan mengampuni segala dosanya. Dan sesungguhnya Allah Swt tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.
d. Takwa adalah sumber dari segala fadhilah dan akhlak mulia. Kasih sayang, menepati janji, kejujuran, keadilan, wara', suka berderma, dan akhlak terpuji lainnya merupakan buah dari pohon ketakwaan ini. Maka agar pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, perlu menanam benih yang baik, dan memeliharanya dengan baik. Rasulullah Saw bersabda:
عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ فَإنَّهُ جُمَاعُ كُلِّ خَيْرٍ
"Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah, Karena takwa adalah induk setiap kebaikan." (HR. Ahmad)
e. Takwa akan menjadikan seseorang dicintai oleh Allah Swt, para malaikat dan manusia di dunia. Allah Swt berfirman:
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (76)
”(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janjinya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 76)
Kemudian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari bahwa Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي جِبْرِيلُ فِي السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي أَهْلِ الْأَرْضِ
"Sesungguhnya Allah Swt mencintai seorang hamba maka Dia memanggil Jibril: 'Sesungguhnya Allah telah mencintai seorang hamba, maka cintailah ia'. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru penghuni langit, bahwa Allah telah mencintai seseorang, maka mereka pun mencintainya, kemudian dijadikan hamba itu diterima (dicintai) di muka bumi."
f. Orang-orang yang bertakwa akan diberikan keberkahan rezeki dari langit. Keberkahan berarti, memperbanyak yang sedikit, banyak, bertambah, bermanfaat, luasnya kebaikan dan keselamatan. Allah Swt berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96)
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…." (QS. Al-A'râf: 96)
Tidak cukup untuk menuliskan faidah takwa dalam tulisan kecil ini, karena banyak sekali ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang hal ini. Tetapi yang penting kita ketahui bahwa takwa adalah induk segala kebaikan di dunia dan akhirat.
2. Akibat Buruk Perbuatan Maksiat
Setiap amal kebajikan pasti Islam mengajarkan dan memerintahkan umatnya untuk mengerjakannya, demikian juga segala bentuk keburukan dan kejahatan pasti Islam melarang umatnya untuk melakukannya. Setiap amalan yang diperintahkan oleh Islam pasti membawa keuntungan dan kebaikan bagi yang melaksanakannya baik di dunia maupun di akhirat, demikian juga setiap amalan yang dilarang oleh Islam pasti membawa kerugian dan kejelekan baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini merupakan suatu kaidah yang pasti dan tidak mungkin dipungkiri.
Adapun bahaya dan kerugian perbuatan maksiat, manusia cukup mengambil pelajaran dari umat-umat sebelumnya. Apakah yang menyebabkan nenek moyang manusia (Nabi Adam a.s. dan Sayyidah Hawwa) dikeluarkan dari surga? Dari tempat yang penuh kebahagiaan menuju tempat yang dipenuhi segala macam kesulitan dan kesusahan? Apa juga yang menyebabkan Iblis diusir dari surga sehingga mendapat laknat Allah, dan kekal di neraka selama-lamanya? Berubah posisi dari yang semula mahluk mulia di surga kemudian menjadi mahluk yang paling hina?
Apa yang menyebabkan kaum nabi Nuh a.s. dihancurkan oleh banjir bandang yang yang menenggelamkan gunung? Apakah yang menyebabkan kaum 'Âd, Tsamûd, kaum Nabi Luth a.s. dihancurkan oleh Allah? Apakah yang menyebabkan Fir'aun dan bala tentaranya ditenggelamkan di laut Merah? Semua pertanyaan-pertanyaan di atas jawabannya hanya satu, yaitu karena mereka memaksiati Allah Swt Tidak cukupkah semua itu menjadi pelajaran berharga bagi manusia? Perlukah mengalami sendiri segala bentuk azab Allah itu sehingga mereka mau percaya? Na'ûdzbillâhi min dzâlik. Cukuplah bagi orang yang berakal isyarat dan contoh nyata. Contoh azab dunia yang tidak ada apa-apanya dibanding azab akhirat.
Renungkanlah betapa besar akibat buruk dari perbuatan maksiat! Kalaupun ada nikmat yang didapat, itu semua hanya sebentar. Akibat buruk yang ditimbulkan setelahnya tidak akan habis-habisnya. Seorang lelaki dan perempuan melakukan dosa besar karena berzina, kemudian si perempuan hamil, apa hendak dikata. Tidak tahu apa yang akan mereka perbuat. Apakah mereka berdua harus menikah, kemudian membawa aib dan mencoreng nama baik keluarga? Ataukah harus membunuh si bayi di dalam perut ibunya yang berarti menambah maksiat yang lebih besar lagi? Atau membiarkannya lahir kemudian membuangnya di tempat sampah, kolong jembatan dst.? Sungguh kenikmatan sesaat yang diiringi duka nestapa yang tiada kunjung reda.
Kenikmatan yang diperoleh dari perbuatan haram akan segera hilang, setelah itu tinggal dosa dan aib yang selalu menghantui dan tak pernah pergi, sungguh tidak ada kebaikan pada kenikmatan yang berujung neraka. Begitu juga dengan kebaikan. Ia tidak akan pernah lekang dimakan zaman, dan ia akan dibalas dengan kabaikan yang tak akan terputus. Diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razzâq bahwasanya Rasulullah Saw mengingatkan hal ini melalui hadisnya:
اَلْبِرُّ لَا يَبْلَى وَالْاِثْمُ لَا يُنْسَى وَالدَيَّانُ لَا يَمُوْتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ
"Kebaikan tidak akan lekang, keburukan tidak akan dilupakan, Yang Mahamenuntut tidak akan mati (abadi), maka berbuatlah sekehendakmu, sebagaimana engkau berbuat begitulah engkau dibalas." (HR. Abdur Razzaq)
Jika seseorang mentafakkuri semua ini kemudian menyadari akibat buruk perbuatan maksiat, niscaya tafakkurnya akan membawanya untuk lebih bertakwa kepada Allah. Maka manusia harus mengetahui bagaimana cara agar mereka dapat mengalahkan hawa nafsunya. Salah satu cara yang bisa dilakukan selain merenungkan akibat buruk maksiat di dunia dan akhirat adalah dengan memangkas segala pikiran buruk yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat maksiat. Setiap kali terdetik di dalam pikiran untuk berbuat maksiat, maka segeralah di-cut. Sebab api akan mudah di padamkan ketika ia masih kecil. Semakin api syahwat dibiarkan menyala, maka ia akan semakin membesar, apa lagi jika disiram dengan minyak tanah, niscaya ia akan bertambah besar dan susah dipadamkan. Selain itu kita perlu memohon bantuan kepada Dzat Yang Maha memberi pertolongan agar Dia menjaga kita dari perbuatan dosa dan maksiat.
Sifat-sifat Orang Yang Bertakwa
Sebagaimana Al-Quran banyak menyebut faidah dan buah ketakwaan, ia juga banyak memberi gambaran yang merupakan sifat dan ciri orang yang bertakwa. Di bawah ini adalah beberapa sifat dan ciri tersebut:
1. Orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman dengan yang ghaib, mendirikan shalat, menunaikan zakat, suka berinfak, beriman kepada Al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta beriman kepada hari akhir, sebagaimana firman Allah Swt:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
"Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (2) (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (3) Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (4) merekalah orang-orang yang berada dalam hidayah Tuhannya dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Baqarah: 2-4)
Secara bahasa ghaib berarti sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indra, termasuk di dalamnya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, masa yang akan datang dan ketidakhadiran sesuatu di sekeliling kita, seperti perkataan seseorang, "fulân ghâib", yang artinya, orang ini ghaib atau tidak hadir. Adapun menurut istilah, ketika menafsirkan makna ghaib dalam ayat surah Al-Baqarah di atas imam At-Thabari berkata:
تَأْويْلُ قَوْلِ اللهِ تَعَالَى: (الَّذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ) إنَّمَا هُمُ الَّذيْنَ يُؤْمنُوْنَ بِمَا غَابَ عَنْهُمْ مِنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَِالثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَالْبَعْثِ، وَالتَّصْديْقِ بِاللهِ وَمَلَائكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَجَميْعِ مَا كَانَتِ الْعَرَبُ لَا تَدِيْنُ بِهِ فِيْ جَاهليِّتهَا، مِمَّا أَوْجَبَ اللهُ جَلَّ ثَناَؤُهُ عَلَى عِبَاده الدَّيْنُوْنَة بِهِ دُونَ غَيْرِهِمْ
"Makna firman Allah Swt, 'Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib', adalah mereka yang beriman terhadap semua yang ghaib darinya, seperti surga, neraka, pahala kebaikan, siksa, hari kebangkitan, beriman kepada Allah dan malaikat-malaikatnya, kitab-kitab (yang pernah diturunkan)-Nya, dan para rasul (utusan)-Nya, serta semua perkara yang tidak diyakini oleh orang Arab pada zaman jahiliyah, yang diwajibkan oleh Allah--Yang Mahaterpuji terhadap hamba-Nya untuk diimani, bukan yang selain mereka (orang Arab).
Kiranya sudah sangat jelas makna ghaib tersebut, dan yang perlu digarisbawahi adalah maksud kata beliau, "bukan yang selain orang mereka (orang Arab)" adalah, kita tidak boleh mempercayai hal-hal ghaib menurut kepercayaan umat-umat lain selain kepercayaan umat Islam. Beliau menyebutkan orang Arab, karena Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw muncul di bangsa Arab.
Perkara ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari agama Islam. Ia adalah perkara yang wajib diimani oleh setiap muslim. Bahkan sebagian besar asas-asas keimanan seorang muslim adalah beriman kepada hal-hal yang ghaib, seperti iman kepada Allah, malaikat, para rasul, hari kiamat, takdir dsb. Oleh karena itu, Al-Quran menjelaskan bahwa ciri pertama dari orang yang bertakwa adalah beriman kepada hal-hal yang ghaib. Jika ini tidak ada pada diri seseorang, maka ciri-ciri berikutnya juga tidak akan terealisasi. Sebab seseorang tidak akan mau mendirikan shalat, menuniakan zakat, berinfak, beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dan nabi-nabi sebelum beliau, percaya kepada hari akhirat, kalau ia tidak mempercayai bahwa di sana ada Tuhan Yang Mahaagung (Allah Swt) yang akan membalas setiap perbuatan hamba, baik, buruk, besar ataupun kecil.
Iman kepada Allah dan Rasul-Nya inilah yang akan menimbulkan al-dhamîr al-dîniy (naluri keberagamaan) yang melahirkan perasaan bahwa dia selalu diawasi oleh Allah Swt dalam setiap gerak-geriknya yang tampak dan tidak tampak. Kemudian ia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya baik yang terang-terangan atau yang tersembunyi. Kesadaran akan pengawasan dan rasa tanggung jawab inilah yang kemudian menjadi motivasi utama bagi seseorang dalam menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah definisi takwa itu sendiri.
2. Sifat lain yang juga menjadi ciri orang bertakwa adalah bahwa mereka tidak berbuat dosa besar dan tidak terus menerus berbuat dosa kecil. Dan jika sesekali mereka terjatuh berbuat maksiat, mereka akan segera mengingat Allah dan bertaubat kepada-Nya. Allah menjelaskan hal ini dalam firman-Nya yang berbunyi:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (133) (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan suka mema'afkan (kesalahan) orang lain, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (144) Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan fâhisyah, atau menganiaya diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (145) (QS. Ali Imran: 133-135)
3. Ciri orang bertakwa yang lain adalah, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat di atas yaitu, suka menahan marah dan memberi maaf. Hal ini karena orang yang bertakwa lebih suka untuk menyibukkan hatinya dengan berdzikir kepada Allah dari pada memenuhi hatinya dengan penyakit-penyakit hati seperti mudah melampiaskan kemarahan, rasa iri, dengki, pamer dan sebagainya. Selain itu karena pemaaf adalah perbuatan yang mendekatkan kita kepada ketakwaan. Allah Swt berfirman:
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
"… Dan berilah maaf, karena hal lebih dekat kepada takwa...." (QS. Al-Baqarah: 237)
4. Sifat lain dari orang yang bertakwa adalah, selalu berkata benar dan berbuat yang benar. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (33)
"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan melaksanakannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Zumar: 33)
Imam Ibnu Katsir meriwayatkan tafsir imam Mujâhid, Qatâdah, Al-Rabî' bin Anas dan Zaid, bahwa kata ganti yang dikandung oleh kata jâ'a bi al-shidqi (yang membawa kebenaran) dan kata shaddaqa bihî (yang melaksanakan kebenaran itu) dalam ayat di atas merujuk kepada nabi Muhammad Saw Kemudian beliau menyimpulkan bahwa kata ganti tersebut mencakup seluruh orang yang beriman, karena seorang mukmin akan berkata benar dan melaksanakan kebenaran itu, dan tentunya Rasulullah Saw orang paling pertama yang dimaksudkan oleh ayat ini. karena beliau adalah imam al-muttaqîn (imam orang-orang yang bertakwa).
5. Sifat yang lain adalah, mengagungkan syariat Allah Swt Dalam surah Al-Hajj Allah berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (32)
"Demikianlah bahwa barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj: 32)
Maksud dari mengagungkan syiar-syiar Allah di atas adalah bahwa seorang yang beriman akan mengagungkan semua syiar-syiar Allah dan tidak berani meremehkannya. Mengagungkan segala perintah Allah dan tidak berani melalaikannya, melakukannya dengan cara yang paling baik dan penuh ketundukan. Ketika diperintahkan untuk menyembelih kurban, maka ia akan segera melakukannya pada waktunya yang paling baik, cara menyembelih yang paling baik dan memilih hewan sembelihan yang paling baik. Inilah bentuk pengagungan syiar-syiar Allah. dan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat perintah Allah, maka itulah syiar Allah Swt.
6. Sifat yang lain juga yaitu, selalu berbuat adil dan berhukum dengan keadilan terhadap siapapun, walaupun seorang kafir. Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (8)
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Maidah: 8)
Abu Na'îm meriwayatkan dalam kitabnya Hilyat al-Auliyâ' dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa suatu saat beliau memperkarakan baju besinya yang dicuri oleh seorang yahudi ke hadapan hakim. Namun beliau tidak mempunyai saksi kecuali kedua anaknya Hasan dan Husain. Sedangkan dalam hal ini anak tidak boleh menjadi saksi bagi bapaknya. Oleh karena itu sang hakim memutuskan bahwa pemilik baju besi itu adalah orang Yahudi. Orang Yahudi itu pun terperanjat, bagaimana mungkin ia dimenangkan dari Amirul mukminin Ali ra, padahal baju besi itu memang kepunyaan beliau. Melihat keadilan Islam itu akhirnya orang Yahudi itu berkata: "Wahai Amirul mukminin, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah, baju besi ini adalah milik anda, saya mencurinya ketika anda keluar ke Shiffin." Inilah sekelumit tentang sifat dan ciri orang yang bertakwa. Dan masih banyak lagi sifat lain yang dapat ditemukan di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.
Penutup
Tulisan yang sederhana ini tentunya tidak mampu untuk mengungkapkan kedalaman makna takwa ini. Namun semoga ia dapat memberi secercah cahaya penerang tentang samudra ketakwaan ini, dan dapat menjadi motivasi bagi kita untuk terus meningkatkan takwa kita kepada Allah Swt Takwa hanya bisa dirasakan dan dimaknai oleh mereka yang benar-benar mengalami dan menyelaminya. Kita memohon kepada Allah Swt agar memberikan kita taufik sehingga mampu melaksanakan proses bertakwa dengan baik dan meraih manzilah ktakwaan yang tinggi di sisi-Nya. Âmîn yâ Rabbal 'âlamîn. Wallâhu a'lamu bis shawâb.
MAHABBATULLAH
Oleh: Imam Suryansyah, Lc.
Ibnu Al-Qayyim berkata: "Dan karena cintalah
diciptakan langit dan bumi, karena cinta pula alam semesta
bergerak, dan karena cinta gerakan-gerakan tersebut sampai kepada tujuannya..."
(Raudhatul Muhibbîn wa Nuzhatul Muttaqîn)
Mengapa alam semesta dicipta oleh Allah Swt? bukankah Dia adalah Al-Ghaniy, Sang Mahakaya yang tidak membutuhkan makhluk-Nya sedikitpun? Lalu, buat apa mencipta kalau tidak butuh? Bukankah hal itu merupakan perbuatan sia-sia? Padahal Allah Swt maha Suci dari perbuatan yang sia-sia. Semua perbuatannya bijak dan penuh hikmah karena Dialah Al-Hakîm (Sang Mahabijaksana). Jika demikian bagai mana menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Rahasia jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah mahabbah (cinta). Mengapa cinta? Karena cintalah Allah mencipta mahluk--Nya, karena cintalah Allah mencipta alam semesta beserta isinya. Dialah Al-Wadûd, Sang Mahamencinta. Kalau demukian, berarti Allah bukan Al-Ghaniy karena membutuhkan cinta? Cinta bukanlah kebutuhan Allah, tetapi merupakan salah satu sifat-sifat kemuliaan yang dimiliki Allah, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain.
Itulah sekelumit tentang mahabbah sebagai pembuka kajian mahabbatullah kali ini. Mahabbatullah memiliki dua makna, (a) mencintai Allah yaitu dari hamba kepada Allah, dan (b) cinta Allah yaitu dari Allah terhadap hamba. Cinta Allah terhadap hamba inilah yang menjadi tujuan tertinggi cinta kepada Allah, dan cinta Allah ini tidak akan diraih kecuali dengan mencintai Allah. Mahabbatullah adalah tujuan yang utama dan puncak dari setiap maqâm yang dilewati oleh seorang sâlik menuju Allah Swt. Maqâm-maqam sebelum mahabbatullah seperti taubat, sabar, ridha dan lain sebagainya hanyalah mukadimah menuju mahabbatullah. Ahwâl seperti al-syauq, al-unas, al-ridha adalah buah dari mahabbatullah. Mahabbatullah ibarat kepala, khauf dan rajâ' bagaikan dua sayap yang dengannya seorang hamba berjalan menuju Allah. Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat. Mahabbah adalah buah dari khauf dan rajâ'. Sedangkan keduanya adalah penopang jalan menuju mahabbatullah.
Mahabbatullah bagaikan sebuah pohon yang akarnya menghujam kokoh ke dalam tanah, pohonnya tinggi dan menghasilkan buah yang bermanfaat. Demikianlah perumpamaan seorang hamba muslim yang mencintai Rabb-nya. Keshalihan zahirnya menunjukkan menunjukkan keshalihan batinnya. Kebaikan pasti menelurkan kebaikan pula. Maka tidak tepat pernyataan yang mengatakan bahwa orang yang melakukan ritual ibadah zahir dan dilihat oleh orang lain belum tentu mahabbah-nya lebih sempurna dari pada orang yang tidak mau berbuat dan beramal dengan alasan takut riya karena dilihat orang. Mahabbatullah pasti memiliki bukti nyata baik berupa perkataan atau perbuatan. Allah Swt berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)
"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (31) Katakanlah, 'Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (QS. Ali Imrân: 31-32)
Menafsirkan ayat yang mulia di atas imam Al-Thabari meriwayat sebab turunya: "Dari Bakr bin al-Aswad berkata, "Saya mendengar Al-Hasan berkata: "Di zaman Rasulullah Saw ada suatu kaum yang berkata: 'Wahai Muhammad, kami mencintai Rabb kami! Kemudian Allah Swt menurunkan: Katakanlah! jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu', Allah menjadikan ittibâ' (mengikuti sunnah) nabi Muhammad Saw sebagai bukti cinta mereka kepada Allah dan mengazab siapa saja yang menyelisihinya."
Coba kita perhatikan ayat 32 dari surat Ali Imrân di atas, bagaimana Allah Swt memerintahkan kita untuk menaati Allah dan Rasul-nya dan mereka yang tidak mau taat, dalam arti tidak mau mengerjakan perintah dan gemar melanggar larangan. Allah menggolongkan mereka ke dalam orang-orang yang kafir yang Dia tidak sukai. Karena orang yang beriman yang hakiki adalah yang mencintai kepada Rabb-nya dengan hati yang patuh, tunduk, taat dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt
Dalam sebuah syair disebutkan:
تَعْصِي الْإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ** هَذَا لَعُمْرِي فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ ** إنَّ المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ
Engkau bermaksiat kepada Allah dan mengaku mencintai-Nya?
Sungguh hal ini menurut qiyâs (logika akal) sangat aneh
Jika cintamu jujur dan benar, niscaya engkau menaati-Nya
Sesungguhnya orang yang mencintai terhadap yang dicintainya patuh
Oleh karena itu, melalui tulisan sederhana ini marilah kita mencoba menguak misteri mahabbatullah ini. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya agar kita dicintai oleh Allah Swt Mudah-mudahan dapat memberikan kata terang tentang sejauh mana mahabbah kita kepada Allah.
Definisi Mahabbah
Mahabbah dari kata hubb yang berarti putih dan jernih karena orang Arab menyebut gigi yang putih dan bersinar dengan kata hababu al-asnân. Atau dari kata hubâbu al-mâ' yang berarti gelembung muncul dipermukaan air ketika hujan deras, dengan makna ini mahabbah berarti gelora hati yang nampak ketika merindukan pertemuan dengan orang yang dicintai. Atau dari kata habba al-ba'îr idzâ baraka, unta yang teguh dan tidak bergerak ketika duduk, artinya bahwa ketika seseorang mencintai sesuatu maka hatinya akan teguh dan tidak mau berpindah dari yang dicintainya. Atau diambil dari kata habbatu al-qalb yang berarti inti hati yang murni.
Tidak dipungkiri bahwa makna-makna tersebut merupakan kelaziman mahabbah. Mahabbah adalah kejernihan cinta, getaran dan gelora hati terhadap yang dicintai, pengejawentahannya sebagai bukti nyata bagi yang dicintai, keteguhan hati sehinnga tidak mau lepas atau pindah dari yang dicintai, memberikan ketulusan yang terdalam dari inti hatinya kepada yang dicintai. Semua makna ini berkumpul dalam hati seorang muhibb (pecinta) yang menunjukkan ketinggian dan keluhuran nilai mahabbatullah ini. Mahabbah bukanlah hawâ yang dalam bahasa Indonesia juga sering diartikan cinta. Mahabbah tidak mengandung nafsu birahi sebagaimana kata hawâ atau garâm. Untuk membedakan antara keduanya, dapat dibandingkan antara cinta anak kepada orang tua atau sebaliknya dengan cinta sepasang kekasih yang sedang bermesraan.
Adapun mendefinisikan mahabbah dengan makna yang paten adalah hal yang sulit untuk dilakukan, karena kata-kata yang mengungkapkannya hanya akan mempersempit dan menggersangkan keagungan maknanya. Imam Ibnu Al-Qayyim berkata, "Definisi tidak akan menambahkan kepadanya kecuali keredupan (kesamaran) dan kejauhan (kedangkalan) makna, definisinya adalah wujudnya itu sendiri, mahabbah tidak bisa diungkapkan dengan ungkapan yang lebih terang dari kata mahabbah itu sendiri. Orang hanya bisa berbicara tentang sebab dan akibatnya, tanda dan buktinya, buah dan hukumnya." Namun demikian semoga paparan singkat mengenai mahabbatullah ini dapat mewakili walau sedikit dari keagungan maknanya.
Tafsir Ayat-ayat Cinta
Allah Swt berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (24)
Katakanlah: "Jika orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(At-Taubah: 24)
Dalam ayat di atas Allah Swt menyebutkan delapan hal yang paling dicintai oleh manusia yaitu, orang tua, anak, saudara, isteri, karib kerabat, harta benda, bisnis dan tempat tinggal. Allah Swt tidak mencela mencintai semua itu selama tidak didahulukan dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Kata Ahabba ilaikum (lebih engkau cintai) dalam ayat yang mulia di atas mengisyaratkan bahwa kita diperintahkan untuk mencintai orang tua, anak, isteri, keluarga, harta dsb. Namun semua itu tidak boleh didahulukan dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang menguatkan makna ini adalah hadis Rasulullah Saw yang memerintahkan kita untuk mencintai mahluk karena Allah dan tidak mencintainya lebih dari cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menunjukkan bahwa manisnya iman akan dirasakan oleh seorang mukmin jika ia telah mencintai Allah dan Rasul-nya lebih dari segala-galanya. Rasulullah Saw bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أن يكَونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وأن يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إلَّا لِلَّهِ وَ أن يَكْرَه أَنْ يَعود فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَه أَنْ يُقذف فِي النَّارِ
"Tiga perkara yang apabila ada dalam diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; hendaknya ia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari yang selain keduanya, hendaknya ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan membenci kembali kepada kekufuran seperti bencinya ia dilemparkan kea pi neraka." (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdullah Nashih Ulwan menyimpulkan dari ayat di atas bahwa cinta seseorang dapat dibagi menjadi tiga: pertama, cinta Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah yang merupakan cinta yang paling tinggi dan harus didahulukan dari cinta-cinta yang lain. Kedua, cinta orangtua, anak, saudara, istri, keluarga, harta, bisnis dan tempat tinggal adalah cinta tingkatan menengah yang diperbolehkan. Ketiga, mengedepankan cinta kepada keluarga dan harta benda dari pada cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya. Cinta ini adalah cinta yang tercela dan tidak diperbolehkan.
Cinta terhadap hal-hal tersebut di atas tidak tercela, selama ia diposisikan setelah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah Swt yang telah menganugerahi perasaan cinta dalam diri kita, dan Dia juga yang memerintahkan kita untuk mencintai mereka. Mencintai sesuatu yang diperintah Allah untuk dicintai sama dengan menjalankan perintah-Nya, dan menjalankan perintah-Nya adalah bukti cinta terhadap Allah. Namun cinta terhadap hal-hal tersebut hendaknya disalurkan sesuai dengan perintah-Nya juga. Mencintai orang tua misalnya dengan berbakti kepadanya menghormati dan menyayanginya, mencintai istri dengan menyayanginya dan menunaikan haknya, saling mencintai sesama kaum muslimin dalam ikatan ukhuwwah islamiyah, mencintai harta dengan menginfakkannya di jalan Allah dan setersunya. Tetapi ketika cinta duniawi didahulukan dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti mencari harta sebanyak-banyaknya, tidak peduli halal atau haram, lengah terhadap hak-hak Allah dan Rasul-Nya, atau meneruti perintah orang tua, atau isteri untuk bermaksiat kepada Allah dan sebagainya.
Ibnu Taimiyah berkata: "Adapun syirik terembunyi yang jarang sekali orang selamat darinya adalah seperti mencintai karena Allah dan karena yang selain-Nya. Jika cintanya kepada Allah seperti mencintai orang-orang shalih dan amal-amal shalih, maka hal ini tidak termasuk syirik tersembunyi tersebut. Cinta ini justeru merupakan hakikat mahabbatullah itu sendiri, karena hakikat mahabbatullah adalah mencintai Allah dan apa saja yang dicintai oleh-Nya; juga membenci apa saja yang dibenci oleh-Nya. Orang yang cintanya benar, tak mungkin membangkang, karena pembangkangan berarti ketidaktaatan, dan ketidaktaatan menunjukkan kurangnya mahabbah menunjukkan. Allah berfirman:
قُلْ إنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.'
Pembicaraan kita bukan masalah cinta model ini. Akan tetapi pembicaraan kita adalah mencintai sesuatu bukan karena Allah. Cinta inilah yang jelas menunjukkan kurangnya pengesaan mahabbah untuk Allah, dan hal ini merupakan dalil kurangnya cinta kepada Allah. Karena orang yang sempurna cintanya kepada Allah, tidak akan mencintai selainnya. Ini tidak bertentangan dengan cinta yang kami sebutkan pertama tadi, karena cinta tersebut termasuk ke dalam mahabbatullah itu sendiri."
Dalam bukunya Raudhatul Muhibbîn wa Nuzhatul Musytâqîn imam Ibnul Qayyim berkata: "Sesungguhnya mahabbah itu ada tiga jenis: pertama, Mahabbatullâh, kedua, Al-Mahabbah Lahû (lillâh) wa Fîhi (fillâh), ketiga, Al-Mahabbah Ma'ahu (Ma'allâh). Adapun Al-Mahabbah Lahû wa Fîhi adalah penyempurna atau kelaziman Mahabbatullah, bukan sesuatu yang akan memutuskannya. Karena sesungguhnya mencintai Allah berarti mencintai apa yang dicintai-Nya dan mencintai seuatu yang dapat membantu mendapatkan cinta-Nya dan menyampaikannya kepada ridha dan kedekatan dengan-Nya. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak mencintai sesuatu yang dapat membantunya menuju ridha, cinta dan kedekatan dengan Rabb-Nya? Adapun Al-Mahabbah Ma'allah, inilah yang merupakan kesyirikan, yaitu seperti cintanya orang musyrik terhadap tuhan-tuhan mereka, sebagaimana firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ … (165)
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah…. (QS. Al-Baqarah: 165)."
Kemudian setelah itu imam Ibnu Al-Qayyim mengisahkan bahwa suatu ketika Al-Fudhail menjenguk putrinya yang sedang sakit. Putrinya berkata, "Wahai ayahku, apakah engkau mencintaiku? Al-Fudhail menjawab, "Ya." Putrinya berkata lagi, "Lâ Ilâha Illallâh, aku tidak pernah mengira hal ini ada padamu, dan aku tidak percaya kalau engkau mencintai sesuatu selain Allah, akan tetapi jadikan Allah satu-satunya yang engkau cintai, dan jadikan cintamu padaku hanya sebatas rahmah (kasih sayang)." Maksudnya—sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Al-Qayyim—"Jadikanlah cintamu padaku sebatas kasih sayang yang diciptakan Allah dalam hati setiap orang tua terhdap anaknya bukan mencintai sesuatu selain Allah, karena hanya Allah yang memiliki hak untuk dicintai yang tidak boleh diduakan dengan yang lain."
Tanda-tanda Cinta Allah Terhadap Hamba
Ada beberapa tanda hal yang bisa menjadi kabar gembira bagi seorang mukmin jika hal-hal tersebut ada dalam dirinya. Karena hal-hal tersebut merupakan ciri-ciri atau tanda bahwa Allah Swt mencintainya, diantaranya adalah:
Pertama, orang yang dicintai Allah akan dibimbing dan dijaga oleh-Nya ia semenjak. Allah menjadikan iman di dalam dadanya, menyinari akalnya, memilihnya untuk menjadi hamba yang rajin beribadah, menyibukkan hati dan lisannya untuk berzikir, anggota badannya untuk melakukan ketaatan-ketaatan, menjadikannya mengikuti semua jalan yang mendekatkannya kepada Rabb-nya, menjadikannya membenci segala hal yang dibenci Allah dan mencintai segala hal yang dicintai-Nya, membenci segala perbuatan yang akan menjauhkannya dengan Rabb-nya, kemudian setelah itu hamba ini akan dumdahkan urusannya, tanpa harus menjadi hina di hadapan makhluk, dan dimuliakan di antara hamba-hamba yang lain.
Kedua, penyayang dan lemah lembut terhadap hamba Allah, berbuat dengan ringan, tidak membuat-buat dan selalu berbuat kebajikan.
Ketiga, ia diterima di hati manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Disenangi, dicintai dan dipuji dengan kebaikan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis, bahwa ketika Allah Swt menyukai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan mengabarkannya tentang hal itu, lemudian memrintahnya untuk memberitahukan hal itu kepada penghuni langit bahwa Allah mencintai hamba tersebut, sehingga semua penghuni langit mencintainya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضْهُ قَالَ فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضُوهُ قَالَ فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الْأَرْضِ
"Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, memanggil Jibril lalu berkata: "Aku mencintai seseorang maka cintailah ia", maka Jibril pun mencintainya. Kemudian jibril menyeru penghuni langit: "Sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah ia, maka mereka pun mencintainya. Lalu diletakkan baginya qabûl (diterima) di bumi. Dan apabila Dia membenci seorang hamba, memanggil Jibril lalu berkata: "Aku membenci fulan maka bencilah ia", maka Jibril pun membencinya. Kemudian menyeru penghuni langit: "Sesungguhnya Allah telah membenci fulan maka bencilah ia, maka mereka pun membencinya. Lalu diletakkan baginya kebencian di bumi." (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, Allah akan menguji hamba yang dicintai-Nya. Oleh karena itu orang mukmin tidak boleh berburuk sangka dengan ujian yang datang kepadanya jika memang ia tidak berbuat kesalahan. Jika suatu kaum taat kepada Allah, melakukan ibadah dan amala shalih dengan baik, kemudian diuji dengan beberapa cobaan , maka sesungguhnya hal itu merupakan bukti cinta Allah terhaedap kaum tersebut. Diriwayatkan dalam sebuah hadis hasan, dari Anas ra berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"Sesungguhnya pahala yang besar itu bersama dengan cobaan besar. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha maka baginya keridhaan dan barang siapa yang benci maka baginya kemurkaan."
Ujian ini sesuai dengan kadar kekuatan iman dan mahabbah seseorang kepada Allah Swt. Sa'ad bin Abi Waqqâsh pernah bertanya kepada Rasulullah dalam sebuah hadis hasan:
عَنْ سَعْدٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً فَقَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ رَقِيقَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ وَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ قَالَ فَمَا تَزَالُ الْبَلَايَا بِالرَّجُلِ حَتَّى يَمْشِيَ فِي الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
"Sa'ad bin Abi Waqqâsh bertanya kepada Rasulullah Saw, 'Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya? Rasulullah menjawab, "Para nabi, kemudian yang lebih rendah lagi dan lebih rendah lagi, seorang hamba akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya, jika agamanya kuat maka ujiannya akan diperberat, dan jika agamanya lemah maka ia akan diuji sesuai kualitas agamnya, seorang hamba akan selalu diuji sampai ia berjalan dibumi tanpa memiliki dosa." (HR. Ahmad dan Tirmizi)
Kelima, meninggal dalam keadaan melakukan kebaikan (amal shalih). Sering kita mendengar kejadian yang mengagumkan dari orang-orang shalih yang mengakhiri hayatnya dengan khusnul khatimah. Ada yang meninggal ketika sedang bersujud atau sedang membaca Al-Quran dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti bahwa Allah mencintai hamba tersebut. Sebagaimana dalam hadis shahih disebutkan:
إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا عَسَّلَهُ قَالُوْا وَمَا عَسَّلَهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُ لَهُ عَمَلاً صَالِحًا بَيْنَ يَدَيْ أَجَلِهِ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ جِيْرَانُهُ أَوْ مَنْ حَوْلَهُ.
"Apabila Allah mencintai seorang hamba Dia meng-'assal-kannya. Para sahabat bertanya: apa maksud meng-'assal-kannya? Nabi menjawab: memberikan taufik kepadanya berupa amal shalih ketika menemui ajalnya sampai para tetangga dan yang ada disekelilingnya ridha atas dirinya." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim)
Bukti Cinta Hamba Terhadap Allah Swt
Telah disinggung sebelumnya, bahwa cinta Allah tidak akan diraih oleh haba kecuali hamba tersebut mencintai-Nya. Karena mahabbatullah itu adalah perkara yang tersembunyi di dalam hati manusia, maka wajar saja jika banyak orang yang menganggap bahwa dirinya adalah kekasih Allah atau orang yang dicintai-Nya. Diantara manusia ada yang merasa bahwa dirinya adalah pilihan Allah Swt, namun pada kenyataannya mereka adalah musuh-musuh-Nya. Sebagaimana perkataan kaum Yahudi dan Nasrani yang digambarkan dalam Al-Quran:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (18)
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi beserta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada-Nya lah kembali (segala sesuatu)." (QS. Al-Mâidah: 18)
Mudah sekali kalau hanya mengucapkan "Aku mencintai Allah", tetapi betapa sulit merealisasikan mahabbatullah yang sebenarnya dalam diri kita. Maka tidak usah seseorang merasa bangga diri bahwa ia telah dicintai Allah Swt, lantaran tipu daya setan yang membisiki hati, sebelum menguji cintanya, agar ia mengetahui sejauh mana kadar kecintaan kita kepada Allah. Kita perlu mempertanyakan hal-hal berikut ini dan menjawabnya dengan jujur di hati masing-masing:
1. Merindukan pertemuan dengan Allah, karena tidak mungkin seseorang mencintai sesuatu tanpa ingin bertemu dan melihat sesuatu dengan yang dicintainya. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ
"Barang siapa yang cinta untuk bertemu dengan Allah Swt Allah akan cinta untuk bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan Allah, Allah benci untuk bertemu dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang sungguh-sungguh mencintai Allah, pasti akan selalu mengingat-Nya di manapun ia berada, dan mengingat kapan ia dapat bertemu. Namun, tidak berarti seorang hamba ingin segera mati dan berdoa agar kematian itu cepat menjemputnya, karena perjalanan menuju Allah membutuhkan bekal yang banyak. Maksud mencintai pertemuan dengan Allah adalah, kapanpun ajal datang dan ketika ajal itu sudah datang, ia rela dan merasa senang karena ia akan segera bertemu dengan Rabb-Nya dan akan segera menerima ganjaran atas amal shalihnya, berupa surga dengan segala nikmat yang ada di dalamnya.
2. Menjadikan khalwat (menyendiri untuk mengingat Allah) dan munajat sebagai sarana meluapkan kerinduannya kepada Allah Swt. Kesemptan berkhalwat itu ia gunakan untuk banyak berzikir, membaca dan mentadabbur Al-Quran, memanfaatkan keheningan malam untuk shalat tahajjud dan bertafakkur. Barang siapa yang lebih suka tidur dan banyak berbicara yang tidak bermanfaat, maka hal itu menunjukkan kurangnya mahabbah terhadap Allah Swt. Seorang pecinta merasa nikmat untuk berkhidmat terhadap orang yang dicintainya. Namun bagaimana dengan seorang hamba yang masih merasa berat menjalan kan perintah Allah, seperti shalat, puasa dan sebagainya, apakah ia tidak dikatakan mencintai Allah?
Orang yang menjalankan perintah Allah menunjukkan bahwa ia mencintai Rabb-nya, hanya saja jika ia merasa belum bisa menikmati ibadahnya, berarti kekuatan cintanya masih belum sempurna. Jangankan orang yang tetap beribdah dan berjuang menghadapi hawa nafsunya, orang yang bermaksiatpun terkadang masih memiliki cinta kepada Allah Swt. Maksiat tidak menafikan akar-akar mahabbah, namun hanya menunjukkan ketidak sempurnaannya. Mahabbah seperti iman, memiliki akar dan kesempurnaan. Sejauh ia bermaksiat, sejauh itu juga mahabbah dan keimanannya berkurang. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْعَنُوهُ فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dari Umar bin Al-Khaththâb ra bahwasanya seorang laki-laki di zaman Nabi Saw yang bernama Abdullah, ia diberi gelar keledai, ia juga pernah menertawakan Rasulullah Saw, Rasulullah Saw pernah menghukumnya dengan hukum cambuk karena ia meminum khamr, suatu hari ia dibawa ke hadapan Rasulullah, kemudian beliau memerintahkan untuk mencambuknya. Seseorang kemudian berkata, "Ya, Allah laknatilah orang ini, sering sekali ia diadukan (kepada Rasulullah). Kemudian nabi berkata, "Jangan kalian mencelanya, demi Allah, aku tidak mengetahui, kecuali ia mencintai Allahd an Rasul-Nya. (HR. Bukhari).
Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa akar-akar mahabbah ada dalam dirinya, akan tetapi masih kurang sejauh ia bermaksiat. Tetapi apabila seseorang sampai ketingkat nifâq akbar (sifat munafiq yang paling tinggi), maka hilanglah pada dirinya akar-akar keimanan dan mahabbah-nya kepada Allah Swt. Dalam hadis ini disebut salah seorang sahabat yang bermaksiat. Bisa jadi sahabat tersebut bertaubat dan mendapat husnul khâtimah, sehingga hak-hak persahabatannya dengan Rasulullah masih tetap terjaga. Apalagi telah dimaklumi bahwa hukum hudûd menghapus dosa-dosa. Dan telah dimaklumi pula bahwa walaupun ada sebagian sahabat ada yang bermaksiat, tetapi mereka sangat antusias untuk berjihad, mengorbankan nyawa dan hartanya demi membela Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kita tidak boleh berkata tidak baik tentang mereka. Menyebut hadis ini hanya untuk berdalil saja bahwa walaupun seseorang bermaksiat, tidak berarti mahabbah-nya terhadap Allah dan Rasul-Nya hilang sama sekali.
3. Sabar menrima ujian, karena dengan ujian cinta seorang hamba akan teruji, apakah cintanya benar-benar tulus atau hanya sebatas omongan saja. Dengan ujian akan terbukti bahwa, hanya pecinta sejatilah yang akan sabar dan teguh pendirian, seberat apapun ujian yang dihadapinya. Hanya orang yang paling cinta kepada Allah yang paling kuat dan sabar. Memang untuk mencapai kenikmatan dalam beribadah memang tidak cukup hanya dengan mulai menjalankan ibadah. Tetapi dibutuhkan kesabaran dan perjuangan melawan hawa nafsu, dan konsisten menjalankannya. Salah seorang ulama salaf berkata, "Aku telah bersusah payah melawan diriku untuk melakukan shalat malam selama dua puluh tahun, dan aku baru menikmatinya ketika akhir-akhir umurku ini." Dalam masa-masa itu ia akan terus diserang dengan perasaan bosan dan penat, sesaat merasa nikmat namun kemudian futur menyerang kembali, malakuan ketaatan terasa berat dan seterusnya, hingga pada akhirnya kenikmatan beribadah akan datang.
Rasulullah Saw menjelaskan dalam sebuah hadisnya bahwa untuk menggapai surga, seseorang akan selalu berhadapan dengan hal-hal yang ditidak disukai, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketabahan. Dari Anas bin Malik meriwayatkan, Rasulullah Saw. bersabda:
حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
"Surga dikelilingi oleh kebencian dan neraka dikelilingi oleh syahwat (hawa nafsu)." (HR. Muslim)
Di dalam Al-Quran, Allah Swt menceritakan kepada kita tentang seorang hamba yang sangat sabar, yaitu nabi Ayyub As ketika diberi cobaan:
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (44)
"…Sesungguhnya kami mendapati ia (Ayyub) seorang yang sabar. Ialah sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhan-nya). (QS. Shâd: 44)
4. Mendahulukan mahabbah Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya akan mendahulukan cinta terhadap sesuatu selain keduanya. Padahal Allah adalah yang telah menciptakannya, memberikan petunjuk dan hidayah-Nya, menjanjikannya surga, menganugerahkan kepadanya nikmat yang tiada terputus? Bagaimana mungkin ia akan mendahulukan yang lain, sedangkan Rasulullah Saw adalah orang yang berjasa pada dirinya dan umatnya, menyampaikan risalah Allah agar manusia selamat dari siksa neraka, membawa nikmat besar berupa iman dan Islam, menuntun manusia dari kesesatan menuju jalan yang lurus. Oleh karena itu, sanagat wajar jika Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: "Jika orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. Al-Taubah: 24)
5. Menyukai zikir kepada Allah. Lisannya tidak putus-putus berzikir, hatinya tidak pernah lepas dari mengingat-Nya, karena orang yang mencintai sesuatu akan selalu menyebut dan mengingat sesuatu yang dicintainya itu. Allah Swt memerintahkan kita untuk tetap berzikir, bahkan di waktu segawat apapun Allah tetap memerintahkan kita untuk berzikir, karena dengan demikian ia akan mendapat ketenangandan tidak takut kepada selain Allah Swt. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (45)
Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan banyaklah berzikira agar kamu beruntung. (QS. Al-Anfâl: 45)
Orang yang benar-benar mencintai Allah, tidak akan disibukkan nikmat dunia dan tidak pula merasa risau oleh kepayahan dan kesusahnnya. Suara pedang dan tombak yang beradu tidak membuatnya gentar, tetapi justeru membuatnya lebih dekat dengan Allah, berzikir dan berdoa agar mendapatkan pertolongan-Nya.
6. Orang yang mencintai Allah, ketika berkhalwat mengingat-Nya dengan air mata berlinag karena takut kepada Rabb-nya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2)
"Sesungguhnya orang-orang yang sempurna imannya ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah, mereka bertawakkal". (QS. Al-Anfâl: 2)
7. Mencintai kalam Allah (Al-Quran). Jika kita ingin mengetahui sejauh mana cinta kita kepada Allah, maka lihatlah hal itu dari sejauh mana cinta kita kepada Al-Quran. Sebab orang yang mencintai seseorang, pasti akan sangat senang dan sering membaca surat cintanya, dan hal itu merupakan tanda cintanya yang sangat mendalam. Demikian juga dengan orang yang cinta kepada Allah. Al-Quran lebih utama dan lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu, karena ia adalah kalam Allah, kalam yang merupakan hidayah bagi kaum muiminin, kalam yang membacanya saja merupakan ibadah, apalagi dibaca berdasarkan cinta yang juga merupakan ibadah.
8. Merasa menyesal ketika menghabiskan waktu tanpa melakukan ketaatan kepada Allah dan berzikir kepada-Nya. Tetapi tidak hanya sebatas menyesal, ia akan berusaha menggantinya di kesempatan yang lain. Jadi seorang yang cinta kepada Allah adalah orang yang menghargai waktu. Karena waktu merupakan kehidupan itu sendiri, kehidupan yang harus diisi dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Al-Qayyim berkata: "Kehilangan waktu lebih celaka dari pada kehilangan nyawa. Karena menyia-nyiakan waktu memisahkan kamu dari ketaatan kepada Allah dan (mengingat) hari akhirat, sedangkan kematian hanya memisahkan kamu dari dunia dan penghuninya."
9. Selalu merasa kurangan dalam menunaikan hak Allah, dan selalu takut kalau amal mereka tidak diterima. Sehingga dengan demikian ia akan berada pada posisi khauf dan rajâ'. Ia juga takut jika amalannya tersentuh riya' sebagaimana ia sabngat berharap untuk menjadi hamba Allah yang ikhlas.
Agar Kita Dicintai Allah
Pada pembahasan di atas telah disebutkan tanda-tanda cinta seorang hamba kepada Allah Swt. Maka dalam pembahasan ini akan disebutkan bebrapa amal ibadah praktis yang dapat dilakukan demi mencapai mahabbatullah.
a. Membaca Al-Quran dengan memahami dan mentadaburinya maknanya. Allah Swt berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (29)
"Ini adalah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shâd: 29)
b. Melaksanakan farîdhah (ibadah wajib) dengan sempurna dan memperbanyak ibadah nawafil (amalan-amalan sunah), sebagaimana firman Allah Swt dalam sebuah hadis Qudsi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ ...
Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah beirman: barang siapa yang memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya, dan Aku tidak mencintai sesuatu dari seorang hamba lebih dari apa-apa yang telah Kuwajibkan kepadanya. Hambaku akan selalu mendekatiku dengan amalan-amalan nawafil sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengannya ia memegang, Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Dan jika mereka meminta-Ku pasti Aku akan mengabulkannya, dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melidunginya…" (HR. Bukhari)
Memaknai bahwa Allah sebagai pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki bagi para wali Allah adalah dalam hadis Qudsi di atas, imam Ibnu Hajar menukilkan setidaknya enam pendapat ulama dalm Fath Al-Bârî yang intinya hal tersebut merupakan perumpamaan atas pertolongan Allah terhadap para wali-Nya untuk selalu berada dalam ketaatan kepada-Nya. adalah sebagaimana yang beliau nukilkan dari Al-Fâkihâny:
سَادِسُهَا قَالَ الْفَاكِهَانِيُّ: يَحْتَمِل مَعْنًى آخَرَ أَدَقَّ مِنْ الَّذِي قَبْلَهُ، وَهُوَ أَنْ يَكُون مَعْنَى سَمْعِهِ مَسْمُوعَهُ، لِأَنَّ الْمَصْدَر قَدْ جَاءَ بِمَعْنَى الْمَفْعُولِ مِثْل فُلَانٌ أَملى بِمَعْنَى مَأْمُولِي، وَالْمَعْنَى أَنَّهُ لَا يَسْمَعُ إِلَّا ذِكْرِي وَلَا يَلْتَذُّ إِلَّا بِتِلَاوَةِ كِتَابِي وَلَا يَأْنَسُ إِلَّا بِمُنَاجَاتِي وَلَا يَنْظُرُ إِلَّا فِي عَجَائِبِ مَلَكُوتِي وَلَا يَمُدُّ يَدَهُ إِلَّا فِيمَا فِيهِ رِضَايَ وَرِجْله كَذَلِكَ.
"Pendapat yang ke enam adalah, Al-Fâkihany berkata, "Dapat juga mengandung makna yang lebih mendalam dari sebelumnya, yaitu makna sam'uhu (pendengarannya) adalah masmû'uhu (yang didengarnya), karena mashdar (asal kata)—dalam hal ini adalah kata sama'—sering kali berarti maf'ûl (obyek)—yaitu masmû' (yang didengar)—sebagaimana dalam kata fulân amalî (si Fulan adalah harapanku berarti fulân ma'mûlî (si Fulan yang diharapkan olehku). Jadi maknanya, seorang adalah orang yang tidak mendengar kecuali sebutan nama-Ku, tidak menikmati kecuali bacaan Kitab-Ku, tidak merasa tenang keculai dengan bermunajat kepada-Ku, tidak melihat kecuali untuk merenungkan keajaiban ciptaanku, tidak membentangkan tangannya kecuali di mana di sana ada ridha-Ku, demikian pula dengan kakinya."
c. Memperbanyak dzikir kepada Allah Swt dengan lisan, hati dan perbuatan. Ukuran mahabbah-nya kepada Allah adalah sesuai dengan ukuran ia berzikir dengan hati, lisan dan perbuatannya. Orang yang mencintai sesuatu, pasti akan sering menyebut sesuatu yang dicintainya itu, baik menyebutnya dengan lisan, atau perbuatan (menaati yang dicintainya).
d. Mendahulukan cinta kepada Allah ketika hawa nafsu cinta kepada yang lain bergolak walau terasa berat. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:
- Menjalankan segala yang diperintah Allah walaupun diri merasa tidak suka
- Meninggalkan segala yang tidak disukai Allah walaupun diri menyukainya.
Beban mengedepankan mahabbatullah ini akan terasa berat sesuai degnan beratnya tekanan hawa nafsu pada diri seseorang. Tetapi jalan ini harus ditempuh oleh siapa saja yang ingin sampai kepada maqâm mahabbatullah. Semakin berat ujian yang ia rasakan semakin tinggi pula maqâm yang ia raih jika ia lulus uji. Ibnu Al-Qayyim berkata: "Allah Swt tidak menguji seorang hamba yang beriman dengan nafsu syahwat dan maksiat kecuali untuk menggiringnya menuju mahabbah yang lebih utama dari sebelumnya, lebih bermanfaat, lebih baik, lebih lama, dan agar ia bermujahadah terhadap dirinya untuk meninggalkan nafsu maksiat tersebut, sehingga mujahadah ini akan mewariskan mahabbatullah, sampai kepada mahbûb (Dzat yang dicintai) yang paling tinggi. Setiap kali nafsunya menggiringnya kepada syahwat semakin memuncak, maka kerinduan yang yang lebih besar dan agung akan menariknya menuju mahabbatullah azza wajaal."
e. Selain cara-cara di atas, ia juga harus banyak bertafakkur tentang nikmat-nikmat Allah, berserah diri dan bertawakkal kepada-Nya, menyiapkan waktu yang cukup untuk ber-khalwat (berduaan dengan Allah yang dicintainya). Allah berfirman:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6) إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا (7) وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8)
"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (6) Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (7) Sebutlah nama Rabb-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (8)" (QS. Al-Muzzammil: 6-8)
Dalam ayat-ayat yang agung ini Allah Swt mengajarkankan kepada hamba-Nya bahwa waktu tengah malam adalah saat yang paling tepat untuk beribadah, mendirikan shalat malam, membaca dan mentadabburi Al-Quran. Karena hal itu akan menambah kekhusyukan kepada-Nya, dan bacaannya akan lebih mengena dan berkesan. Sehingga ketika siang hari yang merupakan waktu yang panjang untuk bekerja, ia bekerja dengan semangat ibadah malam yang ia lakukan. Ia bekerja untuk secara jujur dan amanah. Selesai bekerja, pada malam hari ia diperintah lagi untu tabattul. Makna tabattal dalam ayat di atas adalah, memutuskan diri dari segala urusan duniawi untuk menghadap kepada Allah dengan beribadah.
Semoga Allah Swt memilih kita untuk menjadi orang-orang yang mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya. Dalam sebuah pepatah disebutkan:
لَيْسَ الشَأْنُ أَنْ تُحَبُّ وَلَكِنَّ الشَّأْنَ أَنْ تُحِبَّ
"Tidak penting engkau dicintai, tetapi yang penting adalah bagaimana engkau mencintai."
Menurut hemat penulis, pepatah ini hanya berlaku pada sesama makhluk. Tetapi kepada Allah pepatahnya akan berbunyi lain:
إِنَّ الشَّأْنَ أَنْ يُحِبُّكَ اللهُ
"Yang penting adalah bagaimana engkau dicintai Allah." Karena tujuan hidup manusia adalah meraih ridha dan cinta Allah. Dan hal itu tidak akan tercapai tanpa kita mencintai-Nya terlebih dahulu dan meridhai segala ketetapan dan takdir-Nya. Wallâhu a'lam
Meraih Ridha Allah Dengan Wara'
Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.
Allah Swt telah menciptakan manusia dan melebihkannya di antara mahluk-mahluk yang lain dengan memberinya fitrah, akal dan hawa nafsu. Fitrah dan akal cenderung mendorongnya menuju tujuan penciptaannya yaitu menyembah Allah Swt. Adapun hawa nafsu cenderung menggiringnya untuk memaksiati Allah Swt dan mengikuti perintah setan. Manusia bukanlah mahluk suci seperti malaikat, sehingga sangat wajar jika ia adalah tempat segala dosa dan kesalahan.
Akan tetapi, wujud manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, ditambah lagi nafsu dan setan yang selalu menghalanginya taat kepada Allah Swt, tidak menjadikannya bebas tugas di muka bumi. Ia tetap diperintah untuk beribadah dan beramal shalih. Karena kekurangan bukanlah alasan untuk tidak berbuat baik. Justeru dengan kekurangan itu, manusia diperintah untuk menutupinya dengan amal shalih. Jika tidak ia akan tetap berada dalam kekurangan. Begitu juga dengan wujud hawa nafsu dan setan, keduanya merupakan tantangan dan ujian bagi manusia. Jika ia lulus menghadapinya, derajatnya ditinggikan, pahalanya dilipatgandakan dan dosanya diampuni.
Hawa nafsu merupakan ciptaan Allah Swt. keberadaannya dalam diri manusia bukan untuk dihilangkan, melainkan untuk dikendalikan dengan baik. Manusia bagaikan penunggang kuda, dan nafsu adalah kuda itu sendiri. Jika manusia berhasil mengendalikan kudanya dengan baik, maka ia akan sampai ke tujuan dengan selamat. Malaikat dan setan adalah pelatih kudanya. Jika ia membiarkan kudanya dilatih oleh setan, maka ia akan kesulitan mengendalikan kudanya, bahkan bisa dicelakai oleh kudanya sendiri, sehingga ia tidak dapat sampai ke tujuan dengan selamat. Oleh karena itu, walaupun pada bulan Ramadan setan dibelenggu, tetap saja ada orang yang bermaksiat. Hal ini karena hawa nafsunya sudah terlatih untuk mengikuti ajaran setan.
Salah satu cara membersihkan diri dari dosa dan kesalahan serta melatih diri mengendalikan hawa nafsu adalah mewujudkan sifat wara' di dalam diri. Wara' adalah salah satu mata rantai amalan hati yang akan mengantar kita menuju derajat ketakwaan yang tinggi. Dalam tulisan sederhana ini kita akan mencoba mengulas makna dan hakikat wara'. Semoga dapat memberikan konsepsi yang benar tentang salah satu ibadah hati ini. Amin.
Definisi Wara'
Secara bahasa, wara' berasal dari kata wa-ra-'a yang berarti mencegah diri. Ia juga berarti 'iffah yaitu mencegah diri melakukan sesuatu yang tidak pantas dikerjakan. Adapun menurut istilah syariat sebagaimana yang dipaparkan oleh syaikh Shalih Al-Munjid adalah:
تَرْكُ مَا يَرِيْبُكَ وَتَرْكُ مَا يَعِيْبُكَ وَالْأَخْذُ بِالْأَوْثَقِ وَحَمْلُ النَّفْسِ عَلَى الْأَحْوَطِ
"Meninggalkan hal-hal yang meragukan, membuang perkara yang dapat menjadi aib pada diri, mengerjakan hal-hal yang paling diyakini dan yang paling hati-hati."
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendefinisikan wara' sebagai berikut:
تَرْكُ مَا يُخْشَى ضَرَرُهُ فِى الْآخِرَةِ
"Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan akan berbahaya di akhirat."
Ibrahim bin Adham berkata:
اَلْوَرَعُ تَرْكُ شُبْهَةٍ وَتَرْكُ مَا لَا يَعْنِيْكَ وَتَرْكُ الْفُضْلَاتِ
"Wara' adalah meninggalkan syubhat, perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan segala sesuatu yang sifatnya lebih (dari mencukupi)."
As-Sayyid al-Jurjâni mendefinisikan wara' sebagai berikut:
هُوَ اجْتِنَابُ الشُّبْهَاتِ خَوْفاً مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الْمُحَرَّمَاتِ
"Meninggalkan perkara syubahat Karena takut terjerumus ke dalam perbuatan haram."
Definisi-definisi yang disebutkan oleh para ulama di atas tidak bertentangan antara satu dengan yang lain, akan tetapi saling melengkapi. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa makna wara' adalah antisipasi diri terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat menjadi aib, memprioritaskan kehati-hatian dalam bertindak, meninggalkan perkara syubhat apa lagi yang sudah jelas haram, menjauhi perbuatan yang tidak bermanfaat, tidak berlebihan dalam mengerjakan hal-hal yang mubah, dengan kata lain meninggalkan segala hal yang dapat membahayakan diri di akhirat.
Definisi imam Ibnu al-Qayyim di atas penting untuk dicermati. Bahwa bahaya di akhiratlah yang harus menjadi prioritas utama untuk ditinggalkan, bukan bahaya dunia. Karena tidak semua yang tampak berbahaya di dunia, akan menjadi bahaya di akhirat. Jihad melawan orang kafir di jalan Allah misalnya, sangat beresiko tinggi, karena taruhannya adalah nyawa. Tetapi hal ini adalah kebaikan yang tiada bandingnya di akhirat kelak. Begitu juga dengan berkata benar di depan penguasa zalim. Akan sangat berbahaya bagi keselamatan hidup di dunia, tetapi perbuatan ini akan mendatangkan keuntungan besar di akhirat.
Selain itu tidak semua sikap mencegah diri dianggap prilaku wara'. Prilaku wara' yang benar adalah wara' yang disyariatakan oleh agama. Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan sifat wara' yang disyariatkan oleh agama, beliau berkata,"Wara' yang disyariatkan adalah, wara' (mencegah diri) dari perkara yang ditakutkan bahayanya, yaitu perkara yang telah diketahui keharamannya, dan perkara yang keharamannya masih samar, apabila ditinggalkan tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar dari pada mengerjakannya."
Jadi, wara' yang disyariatkan adalah wara' yang berhubungan dengan perbuatan yang haram dan makruh atau tindakan isrâf (berlebihan) dalam perkara mubah, bukan pada perbuatan wajib dan sunnah. Ungkapan ini juga merupakan kaidah penting dalam menyikapi perkara-perkara syubhat. Adapun perkara haram, sudah pasti wajib dijauhi. Tetapi terdapat perbuatan yang masih diragukan keharamannya, yang jika dikerjakan akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dari pada meninggalkannya, di sinilah peranan sifat wara'.
Sebagai contoh, mayoritas ulama kontemporer mengharamkan bunga Bank. Namun sebagian yang lain menghalalkannya dengan alasan-alasan tertentu. Seseorang yang akan mengambil bunga bank akan dihadapkan dengan harta yang hukumnya antara halal dan haram (syubhat), menurut kedua pendapat ulama tadi. Jika orang tersebut memiliki sifat wara' yang tinggi, ia tidak akan mengambil bunga uang tersebut, karena ia lebih memilih untuk berhati-hati. Sebab jika ia mengambilnya, dan ternyata pendapat yang mengharamkan benar, maka di akhirat ia akan rugi besar karena telah mengambil barang haram. Jika pendapat yang menghalalkan benar, tidak mengambilnya bukanlah sebuah kerugian bagi dirinya, karena uangnya tetap terjaga dan tidak berkurang. Kalaupun dikatakan sebagai kerugian, hanya sebatas kerugian duniawi yang tidak berimplikasi pada kerugian ukhrawi.
Sebenarnya, Rasulullah Saw. jauh-jauh sebelumnya telah menjelaskan definisi wara' dan merangkumnya dalam hadis beliau yang berbunyi:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ
"Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR.Tirmidzi)
Hadis ini mencakup segala hal yang tidak bermanfaat, seperti berbicara, melihat, mendengar, memegang, berjalan, berfikir, dan semua perbuatan, baik yang zahir maupun yang batin. Jika hal yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan, maka perkara yang sudah jelas keharamannya tentu lebih utama untuk ditinggalakan. Hadis Rasulullah ini sebenarnya telah cukup untuk mendefinisikan wara'.
Antara Ilmu dan Wara'
Karena wara' adalah ibadah, maka ia harus diwujudkan berdasarkan ilmu. Karena tidak mungkin ke-wara'an seseorang akan sempurna tanpa ilmu yang menyertainya. Imam Ibnu Taimiyah pernah berkata: "Kesempurnaan wara' adalah dengan mengetahui mana yang lebih baik di antara dua kebaikan, dan yang lebih buruk di antara dua keburukan. Juga mengetahui bahwa syariah dibangun di atas prinsip mewujudkan dan menyempurnakan kemaslahatan hamba, serta menghilangkan atau meminimalisir kerusakan. Jika tidak demikian maka, seseorang yang melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan tanpa menimbangnya dengan ukuran kemaslahatan dan kerusakan menurut syariat, bisa saja meninggalkan kewajiban atau mengerjakan yang dilarang karena menganggapnya sebagai perbuatan wara'. (Majmu' Fatâwa)
Beliau mencontohkan dengan seseorang yang tidak mau ikut berjihad bersama pemimpinnya untuk melawan orang kafir dengan alasan wara' karena pemimpin yang mengajaknya berjihad adalah fasik dan zalim. Apa yang akan terjadi setelah itu? Kaum muslim akan mengalami kekalahan, sehingga musuh Islam menjajah negeri orang muslim, dan kezaliman akan merajalela lebih parah dari sebelumnya.
Contoh lain adalah, seorang yang dengan alasan wara' tidak mau ikut shalat jamaah di belakang imam yang ia anggap pelaku bidah atau dosa. Demikian juga orang yang tidak menerima kebenaran atau tidak mau belajar ilmu yang benar dari seseorang yang ia anggap pelaku bid'ah tersembunyi. Jadi, kejahilan seringkali menjadikan seseorang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang dilarang dengan alasan wara'.
Disamping mengetahui prioritas utama amalan yang harus dikerjakan atau ditinggalkan, seorang muslim juga harus mengetahui dimanakah prilaku wara' harus diposisikan. Dalam hal ini imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:
اَلْوَاجِبَاتُ وَالْمُسْتَحَبَّاتُ لَا يَصْلُحُ فِيْهَا زُهْدٌ وَلَا وَرَعٌ وَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ وَالْمَكْرُوْهَاتُ فَيَصْلُحُ فِيْهَا الزُّهْدُ وَالْوَرَعُ
"Perkara wajib dan mustahab tidak berlaku padanya sifat zuhud dan wara', adapun perkara haram dan makruh berlaku padanya sifat zuhud dan wara'."
Seorang hamba tidak boleh zuhud atau wara' dalam mengerjakan perbuatan wajib dan sunnah. Ia justeru diperintahkan untuk melaksanakan perintah wajib dan sunnah sebanyak-banyaknya. Adapun prilaku wara' berkaitan dengan perkara-perkara syubhat, makruh dan haram. Sedangkan dalam perkara mubah, ia dianjurkan untuk sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
Sekali lagi bahwa prilaku wara' tidak boleh terlepas dari ilmu. Sebab kejahilan dapat membuat seseorang merasa tidak tenang ketika hendak melakukan sesuatu. Padahal kalau ia bertanya kepada ulama, ia akan merasa tenang mengerjakannya. Seperti para sahabat yang tidak mau memakan daging buruan karena mereka dalam keadaan berihram. Hal ini karena mereka menganggap bahwa jika berburu tidak diperbolehkan dalam keadaan berihram, maka memakan daging buruan juga tidak boleh. Padahal daging itu dibawa oleh seorang sahabat yang bernama Abu Qatadah yang ketika itu tidak dalam keadaan berihram. Akan tetapi Rasulullah Saw. memakannya dan memerintahkan para sahabat untuk ikut memakannya.
Dari kisah ini para ulama membedakan antara daging buruan. Jika orang berihram sengaja menyuruh orang yang tidak berihram untuk berburu, maka hal ini jelas tidak diperbolehkan. Adapun jika orang yang tidak berihram datang memberi daging buruan kepada orang yang berihram tanpa disuruh sebelumnya, maka ketika itu orang yang berihram boleh memakan daging buruan itu. Kisah Abu Qatadah ini tergolong pembagian yang kedua.
Macam dan Kedudukan Wara'
Ulama membagi wara' menjadi tiga macam. Pertama, wara' wajib, yaitu: mencegah diri dari perbuatan haram, dan ini wajib dilaksanakan oleh setiap orang. Kedua, wara' mandûb (sunnah), yaitu: mencegah diri dari perkara-perkara syubhat, dan ini biasanya dilakukan oleh sebagian kecil orang. Ketiga, wara' dari mubâhât (perbuatan yang boleh dilakukan) yang tidak penting, dan ini sifat dan karakter pribadi para nabi, para syuhada dan orang-orang shalih.
Perkara mubah yang dimaksud adalah perkara mubah yang dapat melalaikan diri dari Allah Swt. dan hari akhir. Tetapi jika seseorang melakukan perkara mubah dengan niat yang baik seperti, makan dengan niat agar kuat melaksanakan ibadah, tidur dengan niat bangun tengah malam untuk mendirikan shalat malam, maka perbuatan ini akan berubah menjadi ketaatan.
Setiap kali seseorang melakukan perbuatan yang mencerminkan sifat wara', setiap kali itu juga ia telah mengurangi beban tanggung jawabnya dan mepercepat diri menyebrangi titian shirat di akhirat kelak. Kedudukan manusia di akhirat sesuai dengan kedudukan mereka dalam mewujudkan sifat wara' dalam diri mereka, yaitu mencegah diri dari segala macam keburukan, memperbanyak kebaikan, memelihara keimanan, dan mengontrol diri agar tidak melanggar hudud (batasan-batasan hukum) Allah Swt..
Hudud dapat berarti batas akhir kebolehan atau kehalalan, sehingga manusia dilarang mendekati batas itu. Allah Swt. berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا
"Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya." (QS. Al-Baqarah: 187)
Hudud juga berarti awal mula keharaman. Oleh karena itu manusia dilarang melampaui batas akhir perkara mubah (halal) sehingga mendekati atau bahkan melanggar batas awal keharaman. Allah Swt. berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا
"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melampauinya (melanggarnya)." (QS. Al-Baqarah: 229)
Kaidah dan Aturan Dalam Wara'
Setiap muslim diharuskan untuk berlaku wara' dalam menyikapi setiap perbuatan yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kehancuran, baik yang datang melalui mata, lidah, telinga, perut, kemaluan, tangan, kaki, pikiran, hati dsb. Supaya dapat menghidari perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan itu, ia perlu mengetahui bebarapa kaidah dan aturan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. seperti hadis-hadis di bawah ini:
Hadis pertama:
اَلْإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ
"Dosa adalah sesuatu yang terasa (bahwa perbuatan itu adalah dosa) di dalam hatimu, walaupun orang-orang memfatwakan kebolehannya." (HR. Ahmad)
Hadis yang agung ini mengajarkan bahwa perbuatan dosa memiliki pengaruh-pengaruh tertentu yang dapat dirasakan oleh hati. Jika dikerjakan akan menimbulkan hal-hal seperti: perasaan bersalah, sedih, gelisah dan tidak tenang. Bahkan sebelum dikerjakan dhamîr (hati kecil) akan selalu berupaya mencegah diri melakukan perbuatan itu. Dalam hadis lain juga dijelaskan bahwa di antar ciri perbuatan dosa adalah, ketika perbuatan itu dilihat oleh orang lain, si pelaku merasa malu dan benci.
اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
"Al-Birr (Kebaikan) adalah kemuliaan akhlak, dan dosa adalah sesuatu yang terasa (bahwa perbuatan itu adalah dosa) di dalam hatimu dan kamu tidak suka orang lain mengetahuinya." (HR. Muslim)
Hadis kedua:
دَعْ مَا لَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ
"Tinggalkan apa-apa yang meragukan bagimu dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu." (Hadis Tirmidzi)
Hadis yang mulia ini juga mengajarkan bahwa dalam menyikapi setiap perbuatan, seorang muslim harus mengukurnya dengan hadis ini. Jika perbuatan itu mengandung keraguan, maka untuk menjaga kewara'an, perbuatan itu lebih baik ditinggalkan dan beralih mengerjakan perbuatan yang sudah jelas kebolehan dan kehalalnnya. Tindakan seperti ini lebih selamat dan menenangkan. Ketika seseorang meragukan perbuatan ini dibolehkan atau tidak, maka ia lebih baik meninggalkannya. Ketika ia hendak membeli daging, yang satu disembelih orang hindu dan yang lain disembelih orang Islam, namun ia tidak tahu mana hasil sembelihan masing-masing, maka ia lebih baik meninggalkannya.
Ketika seseorang ingin menikahi salah satu dari dua perempuan bersaudara, kemudian datang seorang wanita tua yang dapat dipercaya mengatakan, "Aku pernah menyusuimu ketika kecil dengan salah satu dari perempuan yang ingin kau nikahi itu, tetapi aku tidak bisa membedakan mereka berdua." Maka, yang merupakan sikap wara' adalah tidak menikahi kedua perempuan yang bersaudara itu. Apa bila ia ragu dalam shalat zuhur apakah ia telah shalat tiga rekaat atau empat rekaat, maka ia harus meninggalkan keadaan yang diragukan yaitu bahwa ia telah sholat empat rakaat, dan menetapkan yang diyakini yaitu tiga rekaat, kemudian menambah rakaatnya yang keempat.
Hadis ketiga:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فقداسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
"Sesungguhnya perkara halal sangat jelas dan perkara haram juga sangat jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat, maka ia telah menjaga kehormatan dirinya dan agamanya. Barang siapa yang terjatuh kepada syubhat maka ia telah mendekatkan dirinya kepada perbuatan haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan piaraannya di sekitar tanah (ladang) yang terjaga, hampir dipastikan piaraannya akan memakan tanaman (milik orang) di tanah itu. Sesungguhnya setiap pemilik mempunyai batas kepemilikian (yang tidak boleh dilampaui orang lain), sesungguhnya batasan-batasan (hukum) Allah adalah perkara-perkara haram, dan sesungguhnya di dalam jasad ini ada gumpalan, apabila ia bagus maka baguslah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah bawa ia adalah hati." (HR. Buhkari dan Muslim)
Hadis yang agung ini menerangkan bahwa di dalam agama kita ada perkara yang sudah jelas kehalalannya dan tidak diragukan lagi kebolehannya. Ada juga yang sudah jelas keharamannya dan tentu tidak boleh dilakukan. Namun, di antara perkara yang sudah jelas kehalalan dan keharamannya itu banyak hal yang syubhat. Dalam hal ini seorang muslim dituntut untuk berlaku wara', dalam menyikapai hal-hal syubhat. Karena perkara-perkara syubhat lebih mendekatkan seseorang kepada keharaman dari pada kehalalan. Apalagi melakukan perkara syubhat dapat menjauhkan seseorang dari prilaku wara' yang merupakan salah satu amalan hati yang sangat mulia.
Cahaya Teladan Orang-Orang Wara'
a. Rasulullah Saw. pernah bercerita tentang dua orang yang memiliki sifat wara'. Seorang laki-laki membali tanah dari orang laki-laki lain. Tak lama kemudian, Si pembeli tersebut menemukan emas di dalam tanah yang dibelinya. Kemudian ia pergi ke penjual tanah dan berkata: "Ambillah emasmu ini, karena aku hanya membeli tanah dan tidak pernah membeli emas." Si penjual tanah berkata: "Aku jual tanahku dengan segala yang ada di dalamnya." Kedua-duanya tidak mau mengambil emas itu. Akhirnya mereka berdua meminta seseorang untuk mengadili. Kemudian orang yang mengadili berkata: "Apakah kalian berdua mempunyai anak?" "Aku mempunyai anak lelaki." Kata salah seorang dari mereka. Seorang yang lain berkata: "Aku punya anak perempuan." Kemudian orang yang mengadili tadi berkata: "Nikahkan anak laki-laki dan perempuan kalian kemudian sedekahkanlah emas itu untuk mereka beruda." (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Rasulullah Saw. dan keluarganya tidak diperkenenkan menerima harta sedekah. Beliau dan keluarga hanya menerima hadiah. Hal ini merupakan kekhususan Rasulullah Saw. dan keluarga beliau. Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim di riwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw. pulang ke rumah, beliau menemukun sebutir korma di atas tempat tidur. Kemudian beliau mengangkat kurma itu untuk dimakan. Tetapi beliau kemudian tidak jadi memakannya karena takut kalau kurma itu adalah kurma sedekah yang terjatuh. Subhanallah, hanya sebutir kurma yang kemungkinan besar kurma milik beliau yang tercecer dan belum tentu kurma sedekah. Namun karena ke-wara'an beliau, kurma itu tidak jadi beliau makan.
Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga disebutkan bahwa, suatu saat cucu Rasulullah Saw. yang masih kecil Hasan bin Ali, mengambil sebutir kurma sedekah di rumah beliau kemudian memasukkannya ke mulut. Ketika Rasulullah Saw. melihat hal itu, beliau langsung mengatakan kukh, kukh..., agar Hasan mengeluarkan kurma yang ada di mulutnya. Kemudian beliau bersabda: "Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak boleh memakan harta sedekah?" Dari hadis ini juga, kita dapat mengambil pelajaran bahwa orang tua harus melarang anakanya memakan seseuatu yang tidak boleh baginya untuk dimakan, walaupun anak itu masih kecil dan belum balig.
c. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa suatu saat pembantu Abu Bakar ra. membawa makanan untuk beliau. Kamudian beliau memakannya. Setelah selesai makan si pembantu berkata: "Tahukah kamu apa yang engkau makan tadi?" Apa itu kata Abu Bakar ra.? Pembantu itu menjawab: "Aku pernah meramal bagi seseorang di zaman Jahiliyah. Aku sebenarnya tidak bisa meramal, aku hanya menipunya. Ketika dia menemuiku, dia memberikan sesuatu padaku, dan itulah yang engkau makan tadi." Seketika itu pula Abu Bakar ra. memasukkan tangannya ke dalam mulut, sehingga beliau memuntahkan semua isi perutnya.
d. Imam bukhari meriwayatkan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab ra. membagi-bagikan masing-masing empat ribu kepada kaum muhajirin pertama. Tetapi ketika beliau membagikan buat anaknya (Abdullah bin Umar), beliau hanya memberinya tiga ribu lima ratus. Kemudian beliau ditanya: "Dia (Ibnu Umar) termasuk orang muhajirin, mengapa engkau mengurangi bagiannya?" Umar ra. menjawab: "Dia berhijrah bersama kedua orang tuanya, dan itu tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri."
e. Ketika terjadi "Hadis al-Ifqi" (kisah dusta) yang disebarkan oleh kaum munafik di Madinah, tentang perselingkuhan ummul mu'minîn Sayyidah Aisyah ra. dengan Shofwan bin Muaththal ra., sebagian kaum muslimin ikut berbicara merendahkan kehormatan mereka berdua. Mereka tidak sadar bahwa tujuan kaum munafik sebenarnya adalah merendahkan kehormatan Rasulullah Saw..
Kisahnya bermula ketika Rasulullah Saw. kembali dari salah satu peperangan. Sayyidah Aisyah ikut menyertai Nabi Saw dalam peprangan itu. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Rasulullah Saw. dan pasukannya beristirahat di suatu tempat. Ketika akhir malam sayyidah Aisyah keluar dari tandunya hendak melakukan qadha' hajat tanpa sepengetahuan para pengusung tandu. Ketika itu juga pasukan bergerak pulang. Para pengusung tandu tidak menyangka kalau sayyidah Aisyah tidak ada di dalam tandu, karena ketika itu beliau masih kecil dan badannya ringan. Akhirnya Sayyidah Aisyah tertinggal sendiri. Sekembalinya dari qadha' hajat Sayyidah Aisyah tidak menemukan siapa-siapa. Akhirnya beliau hanya diam di tempat semula dan tertidur di sana.
Akan tetapi ada salah seorang di antara pasukan Rasulullah (Shafwan bin Mu'aththal) yang juga keluar jalan-jalan di akhir malam dan ketinggalan pasukan lain, menemukan sayyidah Aisyah tertidur sendiri. Sayyidah Aisyah kemudian terbangun karena istrija' (perkataan, Innâ lillâhi wainnâ ilahi râji'ûn) Shafwan. Ketika itu tanpa berkata apa-apa Shafwan langsung mendekatkan untanya untuk dinaiki sayyidah Aisyah, kemudian berjalan kaki menuntun unta sampai di Madinah pada siang hari. Orang-orang munafik menggunakan kesempatan ini untuk menebar fitnah di antara kaum muslimin. Sebagian kaum muslimin ada yang terjerumus ke dalam fitnah itu, dan ada juga mereka yang wara' dan hanya berkata, "Subhânallah, kami tidak mengetahui apa-apa tentang Aisyah kecuali kebaikan." Mereka tidak mau mengotori mulut mereka dosa. Mereka itulah orang-orang yang wara'.
Faidah dan Fadhilah Wara'
Wara' adalah inti sari agama. Suatu saat Al-Hasan al-Bashri pergi ke Mekah. Kemdian beliau melihat salah seorang dari keturunan Ali bin Abi Thalib sedang bersender di tembok Ka'bah sambil menasehati orang-orang. Al-Hasan al-Bashri kemudian bertanya: "Apakah inti sari dari agama ini? Beliau menjawab: "Al-Wara'." Al-Hasan bertanya lagi: "Apakah yang paling merusak bagi agama?" beliau menjawab: "At-Tham'a" (rakus dan tidak pernah merasa cukup). Al-Hasan kagum mendengar jawaban anak muda itu. (Risalah Al-Qusyairiyah)
Wara' adalah salah satu di antara ibadah hati sangat agung dan mulia, sehingga orang yang wara' memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt., dan tidak akan hidup merugi di dunia. Sikap orang yang wara' akan tercemin dalam hadis nabi yang berbunyi:
أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدَّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ وَصِدْقُ حَدِيْثٍ وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ وَعِفَّةٌ فِى طُعْمَةٍ
Empat perkara yang jika ia ada dalam dirimu, engkau tidak rugi dengan apa-apa yang tidak kau dapatkan di dunia: menjaga amanat, berkata benar, berakhlak mulia, sedikit makan." (HR. Ahmad)
Orang yang wara' akan selalu menjaga amanat, karena menyia-nyiakan amanat adalah perbuatan dosa, sedangkan orang yang wara' sangat jauh dari dosa. Orang wara' akan selalu berkata benar, karena dusta selain merupakan perbuatan dosa, juga merupakan kesia-siaan dan orang wara' sangat jauh dari dosa dan kesia-siaan. Berakhlak mulia adalah ciri hidup orang wara' karena mereka tidak akan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi berakhlak tercela yang merupakan larangan. Sedikit makan adalah kebiasaannya, karena berlebih-lebihan dalam makan dan berpakaian adalah perbuatan makruh, atau bahkan haram, karena sikap berlebih-lebihan adalah perbuatan setan. Dan orang yang wara' adalah orang yang sederhana, merasa cukup dengan sedikit yang ada, dan tidak akan mengikuti langkah-langkah setan.
Wara' adalah buah dari khauf kepada Allah Swt., dan buah wara' adalah kezuhudan. Sikap wara' akan melindungi seseorang dari azab Allah Swt., melahirkan ketenangan dan ketentraman hati, mencegah melakukan perbuatan haram, menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, meraih kecintaan dan ridha Allah Swt., karena Allah mencintai dan meridhai orang-orang yang wara', dan derajat manusia di dalam surga sesuai dengan derajat kewara'an mereka di dunia. Orang yang wara' adalah hamba Allah yang paling utama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mâjah dengan sanad hasan, Raslulullah Saw. menasehati Abu Hurairah ra.:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرَعاً تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara', maka engkau akan menjadi sebaik-baik hamba." (HR. Ibnu Majah)
Tidak sempurna ketaatan seseorang kepada Allah Swt. sampai ia memiliki sifat wara' dalam dirinya. Al-Hâfiz Ibnu Abi al-Dun'ya meriwayatkan dalam bukunya "Al-Wara'", dari Abdullah bin Sulaiman bahwasanya Umar bin Khattab berkata: "Siapakah orang yang paling utama?" Orang-orang menjawab: "Orang yang mendirikan shalat." Beliau berkata: "Orang yang shalat sebagian mereka ada yang baik dan ada yang buruk." Kemudian orang-orang berkata lagi: "Orang-orang yang berjihad di jalan Allah Swt.." Umar berkata lagi: "Orang yang berjihad juga ada yang baik dan ada yang buruk." Orang-orang berkata lagi: "Orang yang berpuasa." Umar berkata lagi: "Orang yang berpuasa juga ada yang baik dan ada yang buruk." Kemudian beliau berkata: "Tetapi orang yang wara' dalam agama Allah, dialah yang telah menyempurnakan ketaatan kepada Allah."
Penutup
Sifat wara' adalah intisari agama. Orang yang berilmu dan wara' yang setia membela sunnah Rasulullah Saw. akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar di sisi Allah Swt.. Setiap orang hendaknya menempatkan dirinya pada posisi yang benar dalam hal wara'. Imam Al-Auzâ'iy pernah berkata: "Dahulu kami suka tertawa dan bercanda... namun ketika orang-orang telah meneladani kami, saya takut senyum saja kami tidak boleh."
Sifat wara' ini adalah sifat yang dapat dipelajari dan dibiasakan. Al-Dhahhâk bin Mazâhim berkata: "Orang-orang pendahulu kalian belajar untuk menjadi wara', namun di zaman kalian ini, orang-orang malah belajar untuk banyak bicara." Ketika seseorang berusaha bersikap wara', janganlah mengira ia akan kehabisan sesuatu yang halal, jangan pula menyangka bahwa ia telah mempersempit dirinya. Justeru ia telah melapangkan dada dan menenangkan hatinya. Rezeki Allah Swt. tidak akan habis-habisnya. Seseorang tidak akan meninggal sampai ia menghabiskan jatah rezekinya. Dalam sebuah pepatah disebutkan, "Aku mengetahui bahwa jatah rezekiku tidak akan pernah diambil orang lain, maka akupun menjadi tenang." Semoga Allah Swt. menjadikan kita orang-orang yang mendapat hidayah dan dapat memberi petunjuk bagi orang lain. Amin.
Khauf Minallah, Benteng Keimanan
Oleh: Akhyaruddin, Lc.
"Barangsiapa yang takut kepada Allah Swt, niscaya Allah Swt akan membuat
segala sesuatu takut kepadanya, dan barangsiapa yang takut kepada manusia,
niscaya Allah Swt akan membuat dirinya takut kepada segala sesuatu"
(Al-Hasan al-Bashri)
Mukaddimah
Semenjak Iblis diusir oleh Allah Swt dari surga, karena menolak sujud kepada Adam as, ia bersumpah di hadapan Allah akan menggoda manusia dari segala penjuru, sehingga hanya sedikit orang yang taat kepada Allah Swt, hal ini dijelaskan oleh Allah Swt dalam firmannya:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (16) ثُمَّ لَآَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ (17)
"Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum diriku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)'." (QS. Al-A'râf: 16-17)
Terdapat beberapa pendapat ulama dalam menafsirkan kalimat, min baini aidîhim wa min khalfihim (dari muka dan dari belakang), dan kalimat wa 'an aimanihim wa 'an syamâilihim (dari kanan dan dari kiri). Salah satu riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan, dari muka berarti dari urusan dunianya, dari belakang berarti dari urusan akhiratnya, dari kanan berarti dari kebaikannya dan dari kiri berarti dari keburukannya. Sedangkan Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna 'arah-arah' tersebut adalah dari segala jalan, baik jalan kebaikan maupun jalan keburukan. Dari jalan kebaikan dengan menghalangi mereka dari jalan itu, dan dari jalan keburukan dengan membuat mereka cinta kepadanya. Dan terdapat juga pendapat yang lain selain pendapat di atas.
Menghadapi serangan Iblis yang datang dari segala penjuru dan tiada henti-hentinya ini, tentu setiap orang memerlukan senjata ampuh agar bisa mengalahkannya. Karena berperang tanpa senjata sama artinya dengan bunuh diri. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya seorang prajurit maju ke medan pertempuran tanpa mempersiapkan senjata untuk melawan musuhnya. Akan tetapi, melawan Iblis bukanlah dengan pedang, karena ia memiliki karakter yang tersembunyi dan dapat mengair di dalam diri. Maka senjata yang dibutuhkan adalah senjata yang dapat menandingi karakter Iblis dan dapat membentengi diri dari serangannya. Senjata tersebut tiada lain adalah khauf minallah (takut kepada Allah Swt).
Karena serangan setan datang tiada henti, maka kita membutuhkan khauf sifatnya permanen. Karena sedikit kita lengah dan kehilangan senjata khauf ini, maka serangan setan akan segera mendarat di hati kita. Kemudian sedikit demi sedikit kita akan mengikuti langkah-langkahnya dan akhirnya terjerumus ke lembah kenistaan. Oleh karena itu kita membutuhkan khauf merupakan salah satu maqâm dari maqâm-maqâm perjalanan kita menuju Allah Swt
Makna Khauf dan Khasyah
Kata Khauf dalam bahasa arab berarti ketakutan dan kekhawatiran. Khiftu minhu, artinya: aku takut kepadanya. Khawwafa ar-Rojulu an-Nâs, artinya: lelaki itu membuat orang lain takut. Dalam surat Ali Imran Allah Swt berfirman:
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (175)
"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran:175)
Imam Ibnu Al-Qayyim dan mendefinisikan khauf sebagai berikut:
اِعْلَمْ أَنَّ الْخَوْفَ عِبَارَةٌ عَنْ تَالُّمِ الْقَلْبِ وَاحْتِرَاقِهِ بِسَبَبِ تَوَقَّعِ مَكْرُوْهٍ فِى الْاِسْتِقْبَالِ
"Ketahuilah bahwa takut adalah ungkapan yang menunjukkan makna kesedihan dan kepedihan hati karena merasa akan terjadi sesuatu yang tidak disukainya pada masa mendatang."
Ibnu Qudâmah juga mendefinisikan khauf seperti di atas. Syaikh Shalih al-Munajjid menegaskan makna ini, bahwa khauf adalah ibadah hati berupa ketakutan dan kecemasan karena meyakini hilangnya sesuatu yang diharapkan atau datangnya sesuatu yang tidak diharapkan. Ungkapan ini digunakan dalam masalah-masalah duniawi dan ukhrawi, lawannya adalah perasaan tentram dan damai.
Mengibaratkan perasaan ini imam Ibnu Qudâmah dengan seseorang yang hendak membunuh raja. Tetapi sebelum ia sempat menikamnya, ia lebih dahulu tertangkap. Di sinilah perasaan takut itu muncul di dalam hatinya. Takut kalau sang raja menghukum mati terhadapnya. Tentunya tingkat ketakutan ini akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat keyakinan seseorang terhadap akibat yang akan diterima, karakter kesalahan yang diperbuat, dan pengaruhnya terhadap sang raja. Jika ia tidak yakin akan dihukum mati, karena menganggap kesalahannya ringan, maka ia tidak akan merasa terlalu takut. Demikian juga seseorang yang menjalankan perintah Allah Swt tidak sebagaimana mestinya atau meninggalkannya sama sekali, atau bahkan melanggar larangan-Nya, akan merasa takut kalau ia tidak mendapat ampunan dari Allah Swt dan takut jika ia kelak dimurkai dan dimasukkan ke dalam neraka.
Akan tetapi, perasaan takut terkadang timbul bukan karena sebab meninggalkan perintah atau melakukan larangan, melainkan karena merasakan kesempurnaan dan kemuliaan Dzat dan sifat-Nya yang ditakuti. Ketika seseorang mengetahui bahwa Allah Swt adalah Rabb Yang Maha Perkasa, kekuasaan-Nya maha luas tanpa batas, jika berkehendak Dia sangat mampu menghancurkan alam semesta beserta isinya dalam sekejap, sementara tidak ada yang bisa mencegah atau membendung keinginan-Nya, menyadari semua itu ia akan tunduk dengan segala kepasrahan, takut dan malu melihat dirinya yang kerdil namun sering lancang kepada-Nya dengan berbuat nista, seakan menantang Tuhan Yang Mahaperkasa. Keagungan dan kemahabesaran Allah membuat ia merasa sangat takut dan bergetar mendengar ancaman-ancaman-Nya. Sebagaimana khauf yang merupakan sifat utama para nabi dan orang shalih. Khauf dalam hati mereka bukan karena telah melakukan maksiat atau lalai melakukan kewajiban. Tetapi khauf mereka adalah kelembutan dan kebersihan hati serta makrifatnya yang mendalam tentang Allah Swt.
Makna Khasyiah
Di dalam Al-Quran, penggunaan kata khasyiah lebih khusus dari kata khauf. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama." (QS. Fathir: 28).
Rasulullah saw juga bersabda:
إِنِّى أَتْقَاكُمْ لِلَّهِ وَأَشَدُّكُمْ لَهُ خَشْيَةً
"Sesungguhnya akulah yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, dan akulah yang paling takut kepada-Nya." (HR. Bukhari)
Dalam membedakan antara makna khauf dan khasyiah ini Imam Ibnu al-Qayyim berkata: "Perumpamaannya adalah seperti orang yang tidak mengetahui sedikitpun tentang ilmu kedokteran dan seorang dokter yang sangat berpengalaman. Yang satu akan berusaha menolak dan lari (tidak mau mengobati) dan yang lain akan segera mencari obat." Hal ini karena orang yang pertama tidak mengetahui penyakit dan obatnya sehingga merasa takut untuk mengobati dan berusaha lari, adapun dokter tersebut, karena ia mengetahui jenis penyakit dan obatnya, maka ia akan segera mencari obat untuk mengobatinya. Maka khauf yang dimiliki oleh seseorang yang makrifat dan mengenal Allah Swt, berbeda dengan khauf seseorang yang tidak terlalu mengenal Allah Swt
Syaikh Utsaimin berkata, "Khasyiah adalah rasa takut yang disebabkan oleh pengetahuan yang mendalam akan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan sesuatu yang ditakuti tersebut. Maka jika kau takut kepada orang yang tidak kamu ketahui apakah orang itu bisa mendatangkan hal buruk atas dirimu, maka perasaan takut ini disebut khauf. Tetapi jika kamu merasa takut pada orang yang kamu telah ketahui dengan pasti bahwa ia mendatangkan keburukan atas dirimu, maka rasa takut tersebut dinamakan khasyiah."
Melihat makna ayat dan hadis di atas serta perkataan para ulama, dapat dimaklumi bahwa penggunaan kata khauf adalah untuk semua orang mukmin secara umum. Adapun kata khasyiah adalah ungkapan yang dikhususkan bagi para ulama yang mengenal Allah secara lebih mendalam, dengan kata lain takut mereka kepada Allah disertai makrifat yang mendalam tentang-Nya. Dengan demikian penggunaan istilah khauf dan khasyiah didasarkan pada tingkat keluasan ilmu dan makrifat seseorang terhadap Allah Swt
Antara khauf dan Rajâ
Seringkali kita menemukan kata al-khauf digandengkan dengan kata al-râja'. Hal ini karena kedua-duanya merupakan amalan hati yang tidak bisa terpisah antara yang satu dengan yang lain. Namun yang kemudian sering menjadi pertanyaan adalah manakah di antara kedua amalan hati tersebut yang lebih utama? Imam Al-Ghozali mengomentari pertanyaan di atas sebagai pertanyaan yang salah. Sama seperti orang yang menanyakan manakah yang lebih utama roti atau air? Kedua-duanya sama-sama dibutuhkan, dan sama-sama penting. Hanya saja terkadang roti lebih utama bagi orang yang kelaparan, dan air lebih utama bagi orang yang kehausan. Demikian juga dengan khauf dan râja.
Di dalam Ihyâ' imam Al-Ghozali menjelaskan bahwa khauf dan râja keduanya merupakan obat hati. Keutamaan masing-masing sesuai dengan penyakit yang ada di dalam hati seseorang. Jika yang dominan dalam hatinya adalah penyakit merasa aman dari azab Allah Swt maka saat itu khauf adalah lebih utama baginya. Sebaliknya, jika penyakit yang dominan dalam hati adalah keputusasaan dari rahmat Allah Swt maka ketika itu râja' lebih utama.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwas Ali r.a. berkata kepada sebagian anaknya: "Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah Swt, seperti takutnya kamu ketika datang kepada-Nya dengan membawa segala kebaikan penduduk bumi, sementara Dia menolaknya, dan berharaplah kepada-Nya, seperti harapanmu ketika datang kepada-Nya dengan membawa kejelakan penduduk bumi, kemudian Dia mengampunimu." Ibnu Umar r.a. berkata: "Seandainya semua manusia dipanggil untuk masuk neraka kecuali satu orang, maka aku akan berharap akulah orang itu, dan seandainya semua manusia dipanggil untuk masuk surga kecuali satu orang, maka aku takut jikalau akulah orang itu."
Hukum takut kepada Allah Swt
Melihat firman-firman Allah Swt yang banyak sekali menyeru kita untuk takut kepada-Nya dapat dimaklumi bahwa khauf merupakan sebuah kewajiban. Ibnu Al-Qayyim berkata: "Takut kepada Allah Swt adalah sebuah kewajiban, dan barangsiapa yang tidak takut kepada-Nya maka ia termasuk orang yang berdosa." Banyak sekali dalil yang menjadi dasar kewajiban takut kepada Allah Swt. Diantaranya adalah:
1. Firman Allah Swt:
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (175)
"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran: 175)
Dalam tafsirnya As-Sa'di berkata: "Ayat ini menjelaskan kewajiban khauf kepada Allah Swt yang juga merupakan salah satu kebutuhan iman, karena kadar khauf seorang hamba menunjukkan kadar keimanannya." Dengan kata lain, khauf adalah bukti konkret dari keimanan, karena dalam ayat yang mulia di atas, Allah menjadikan khauf sebagai syarat seseorang disebut beriman. "Jika kamu benar-benra beriman, maka takutlah kepada-ku."
2. Firman Allah Swt:
وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ (40)
"Dan hanya kepada-Ku lah kamu harus takut (tunduk)." (QS. Al-Baqarah: 40)
Ushlûb (gaya bahasa) yang digunakan dalam ayat di atas adalah ushlûb al-hashr yang berarti penggkhususan bahwa hanya Dia yang berhak ditakuti dan yang lainnya tidak boleh sama sekali. Sebagaimana dalam firman Allah, "iyyâka na'budu wa iyyâka nasta'în", yang artinya: hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan. Menyembah kepada selain Allah Swt jelas tidak diharamkan. Jika takut kepada selain Allah tidak diperbolehkan, maka sebaliknya takut kepada Allah adalah perintah yang merupakan kewajiban.
Allah Swt memerintahkan manusia agar khauf kepada-Nya, karena khauf ini adalah sumber segala kebaikan. Orang yang memiliki khauf terhadap Allah akan selalu berbuat baik, menjalankan perintah Allah Swt, serta menjauhi larangannya. Sebaliknya prang yang tidak memiliki khauf terhadap Allah Swt, akan gemar melakukan maksiat dan tidak mau bahkan tidak suka melaksanakan perintah-Nya, na'ûdzubillah min dzâlik.
3. Firman Allah Swt:
...فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ...(44)
"..Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kamu kepada-Ku...." (QS. Al-Mâidah: 44).
Ayat di atas sangat jelas memerintahkan kita agar takut kepada Allah Swt dan melarang kita takut kepada manusia. Karena takut adalah di antara makna ibadah, sehingga orang yang takut kepada selain Allah berarti mempersembahkan kepadanya makna penyembahan atau peribadatan. Takut kepada selain Allah adalah salah satu bentuk syirik kecil yang menunjukkan ketidaksempurnaan tauhid, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini. Manusia memang sangat susah dan berat meninggalkan takutnya terhadap makhluk. Oleh karena itu Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk selalu bertaubat dan beristigfar dari segala dosa syirik baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui:
اَللَّهُمَّ إِنِّى اَعُوْذُبِكَ مِنْ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا أَعْلَمُهُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُهُ
"Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kesyirikan yang aku ketahui maupun, dan aku mohon ampun dari kesyirikan yang tidak ku ketahui." (HR.
4. Allah Swt memuji ahli khauf di dalam Al-Quran, dan berjanji akan menyegerakan kabikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Allah Swt berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
"Sesunguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut terhadap Rabb mereka, orang-orang yang beriman terhadap ayat-ayat Rabb mereka, orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu apapun), orang-orang yang mempersembahkan segala yang mereka miliki, dengan hati yang takut, (karena mengetahui bahwa) mereka pasti akan kembali kepada Rabb mereka, Mereka itu orang-orang yang disegerakan untuk mendapat kebaikan-kebaikan (di dunia), dan merekalah orang-orang yang segera menerimanya (di akhirat)." (QS. Al-Mukminûn: 57-61)
Maksud ayat di atas dijelaskan dalam sebuah hadis yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ {الَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا أَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ
Dari Aisyah ra, ia bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah ayat: {Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka}, apakah ia adalah orang yang suka berzina, minum khamr dan mencuri? Rasulullah menjawab, 'Tidak, wahai putri Al-Shiddiq, tetapi mereka adalah orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah namun mereka takut semua itu tidak diterima". (HR. Imam Ahmad)
5. Memberikan peringatan kepada manusia agar mereka takut terhadap azab Allah Swt adalah salah satu misi para nabi dan rasul. Allah berfirman:
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ ...(48)
"Dan tidaklah kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan...." (QS. Al-An'âm: 48). Kata mundzirîn dalam ayat di atas berasal dari kata indzar yang berarti menyampaikan berita yang tidak menggembirakan atau menakutkan. Dalam kitab Mufradat-nya Ar-Raghib al-Ashfahani menjelasakan bahwa indzâr berarti menyampaikan berita yang tidak menggembirakan atau menakutkan, dan lawannya adalah tabsyir yaitu menyampaikan berita di dalamnya terdapat hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan.
Di dalam Al-Quran Allah Swt menggambarkan azab di banyak tempat, supaya rasa takut kepada-Nya hadir dalam hati hamba-Nya, dan supaya mereka bertakwa kepada-Nya, seperti firman-Nya dalam surat Al-Zumar ayat 16:
لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ (16)
"Bagi mereka lapisan-lapisan api dari atas dan bawah mereka. Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku wahai hamba-hamba-Ku. (QS. Al-Zumar: 16)
Allah Swt juga menjelaskan bahwa mukjizat-mukjizat yang Dia perlihatkan melalui tangan para nabi dan rasul, selain sebagai bukti kenabian dan kebenaran ajaran mereka, adalah juga untuk memberi peringatan supaya mereka takut kepada Allah Swt. Dalam surat Al-Isrâ' ayat 59 Allah berfirman:
وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآَيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ وَآَتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا وَمَا نُرْسِلُ بِالْآَيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا (59)
"Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasan kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu, dan kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti." (QS. Al-Isrâ': 59)
Begitu juga dengan ayat-ayat kauniyah yang kita saksikan di alam semesta ini. Allah Swt berfirman mengenai kilat dan petir:
هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنْشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ (12)
"Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan takut (khauf) dan harapan (rajâ'), dan Dia mengadakan awan mendung." (QS. Al-Ra'd: 12)
Ayat-ayat yang mulia di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa kita dituntut untuk khauf (takut) kepada-Nya. Karena khauf adalah ibadah dan oleh karenanya yang berhak ditakuti hanyalah Allah Swt. Khauf adalah perwujudan tauhid, kesempurnaan khauf merupakan sempurnanya tauhid, dan kekurangannya merupakan bentuk kurangnya tauhid. Begitu juga dengan amalan hati yang lainnya seperti Hubb (cinta), rajâ' (harap), ikhlas, syukur dan sebagainya.
Imam Ibnu Taimiyah berkata: "Jika sempurna khauf seorang hamba terhadap Rabb-Nya, maka ia tidak menakuti apapun selainnya. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إلَّا اللَّهَ (39)
"Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah dan takut kepada-Nya serta tidak menakuti apapun selain-Nya...." (QS. Al-Ahzâb: 38) Jika khauf-nya kurang terhadap Allah, maka ia akan menakuti makhluk. Khauf-nya kepada makhluk sesuai dengan kadar kurang atau lebih khauf-nya kepada Allah. Demikian halnya dengan mahabbah, rajâ' dan yang lainnya. Dan hal ini adalah syirik kecil yang jarang sekali orang selamat darinya, kecuali mereka yang dijaga oleh Allah Swt. Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa syirik dalam umat ini lebih tersembunyi dari suara langkah semut. Dan jalan untuk membebaskan diri dari semua penyakit ini adalah dengan ikhlas kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
"Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia melakukan amal shalih dan tidak menyekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun." (QS. Al-Kahfi: 110)
Dan tidak akan tercapai sebelum zuhud, tidak ada zuhud tanpa taqwa dan taqwa adalah menjalankan perintah dan damnjauhi larangan."
Adapun mencintai sesuatu yang dicintai Allah seperti cinta terhadap orang tua, anak, keluarga, sahabat dan lain sebaginya, tidaklah bertentangan dengan cinta terhadap Allah Swt. Karena mencintai hal-hal yang yang dicintai Allah merupakan perwujudan cinta kepada Allah itu sendiri. Mencintai semua yang dicintai-Nya, dan benci terhadap segala yang dibenci-Nya.
Faidah Takut Kepada Allah.
Khauf adalah cambuk yang dengannya Allah Swt mendorong hamba-Nya untuk tekun dan disiplin dalam menunaikan ibadah dalam segala bentuknya. Mencari nafkah, menuntut ilmu untuk diamalkan, supaya mereka meraih kedekatan di sisi Allah Swt. Anak akan taat berbakti kepada orangtuanya lantaran khauf kepada Allah Swt. Ahli ibadah akan selalu menangis karena khauf kepada-Nya. Orang yang sedang musafir kepada Allah Swt akan selalu ditemani khauf kepada-Nya dalam perjalanannya. Khauf adalah pelita hati yang dengannya seseorang dapat melihat baik dan buruknya sesuatu. Seseorang takut kepada sesuatu akan lari menjauhinya, kecuali takut kepada Allah Swt, ia akan berusaha mendekati-Nya, memohon agar dikasihani, diampuni dan diridhai, karena tak satupun mahluk yang mampu berlari dari-Nya.
Khauf kepada Allah yang tertancap dalam hati seorang hamba akan membakar bibit-bibit maksiat yang ada di dalamnya, serta mengurangi cinta yang berlebih terhadap dunia. Menuruti hawa nafsu terasa manis semanis madu, namun orang yang khauf kepada Allah mengerti bahwa manisnya syahwat bagaikan manisnya madu yang mengandung racun. Ia tidak ingin dan takut meminumnya. Karena di belakang kenikmatan sementara memperturutkan nafsu dan syahwat duniawi, terdapat azab yang dahsyat tak terhingga.
Allah Swt mencipta makhluk dan memerintahkan mereka untuk mengenal, menyembah dan takut kepada-Nya. Dia memperlihatkan tanda-tanda keagungan dan kebesaran-Nya agar mereka takut dan memuliakan-Nya; Dia menggambarkan pedihnya azab neraka yang telah disiapkan bagi orang yang melanggar perintah-Nya, supaya mereka bertakwa, melakukan amal shalih serta menjauhi kemaksiatan dan kejahatan. Di dalam Al-Qur'an berulang kali disebutkan neraka dengan azab dan siksaan di dalamnya, diperuntukkan kepada para pelaku maksiat dan musuh-musuh Allah. Demikianlah Allah Swt mengajak hamba-Nya untuk takut dan bertakwa kepada-Nya, bersegera mengerjakan perintah-Nya yang dan menjauhi larangan
Allah Swt telah menguji para sahabat Nabi Saw agar terbukti siapa yang memiliki rasa khauf kepada-Nya dan yang tidak memilikinya. Di dalam masalah berburu misalnya, Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (94)
"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu, supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih." (QS. Al-Mâidah: 94)
Mengapa pelarangan berburu merupakan suatu ujian? Karena dengan pelarangan ini akan tampak siapa yang tahan uji dan sabar menjalankan perintah Allah Swt. Dengan larangan ini akan tampak perbedaan orang yang takut kepada Allah dan orang yang tidak takut. Orang yang memiliki khauf kepada Allah tidak berani berburu karena takut melanggar perintah-Nya, sedangakan orang yang tidak takut kepada Allah, sangat mudah baginya melakukan apapun yang diinginkannya walaupun perbuatannya melanggar larangan Allah Swt.
Adapun para sahabat Rasulullah Saw, mereka lulus dalam ujian itu, bahkan dalam ujian yang lebih besar pun mereka selalu lulus dengan baik. Rahasia kelulusan ini adalah karena mereka memiliki khauf yang luar biasa kepada Allah Swt. Mereka sangat tunduk dan patuh terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, sekecil apapun perintah itu. Hal ini sangat berbeda dengan sekelompok orang Yahudi zaman dahulu di sebuah perkampungan di pesisir pantai. Mereka tidak lulus uji ketika Allah Swt melarang mereka berburu pada hari sabtu. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt dengan hîlah (muslihat) yang tercela. Mereka mengatakan bahwa yang dilarang itu adalah berburu, adapun mengambil hasil buruan tidak mengapa. Mereka kemudian menebar jaring ikan pada hari Jum'at dan mengangkatnya pada hari sabtu penuh dengan ikan laut. Mereka berkata: "Kami tidak berburu pada hari sabtu." Mereka melakukan hal ini karena tidak takut Allah Swt, tidak meyakini janji dan ancaman-Nya. Hingga Allah membinasakan mereka.
Selain khauf yang tinggi, rahasia kelulusan mereka ini adalah kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya yang sangat tulus. Mereka lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari diri mereka sendiri. Mereka dengan seng hati menyumbangkan harta, jiwa dan raga mereka demi meninggikan kalimat Allah. Mereka rela mengorbankan nyawa demi membela Rasulullah Saw dan risalahnya. Dalam perang Uhud tujuh orang sahabat menjadi perisai Rasulullah Saw. Mereka tidak peduli berapa anak panah yang tertancap di badan, berapa pedang yang menembus jasad, karena mereka tidak ingin Rasulullah Saw terluka sedikit pun.
Seorang budak bernama Zaid bin Al-Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuh karena mengikuti agama yang dibawa Rasulullah Saw dan menjadi sahabat beliau. Zaid digiring menuju Tan'îm di luar kota mekah, diikuti oleh sekelompok orang Quraisy, di antaranya Abu Sufyan. Sebelum dibunuh Abu Sufyan berkata, "Demi Allah wahai Zaid, apakah kamu ingin kalau yang mengganti posisimu sekarang adalah Muhammad untuk kami penggal lehernya sedang kamu berada bersama keluargamu?" Zaid menjawab dengan lantang, "Demi Allah, aku tidak ingin Muhammad sekarang ini, di tempat ia berada, merasa sakit karena tertusuk duri, sedang aku duduk santai bersama keluargaku." Mendengar jawaban ini Abu Sufyan berkata, "Aku tidak pernah melihat orang yang mencintai seseorang seperti cintanya sahabat Muhammad terhadap Muhammad."
Khauf kepada Allah adalah salah satu sifat ulul albab. Ulul albâb adalah orang yang berpikir cerdas dan pandai mengambil pelajaran dari setiap kejadian. Allah menjelaskan hal dalam firman-Nya:
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (19) الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ (20) وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ (21)
"Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (19) (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (20) Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Al-Ra'd: 19-21).
Di dunia, Allah berjanji akan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada orang-orang yang takut kepada-Nya. Allah Swt berfirman:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ (13) وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ (14)
"Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, 'Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka "Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim itu. Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan) menghadap kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku." (QS Ibrahim: 13-14)
Khauf kepada Allah akan membangkitkan semangat untuk melakukan amal shalih dan keikhlasan dalam melakukannya, serta tidak meminta imbalan dari manusia di dunia, dan mengharap ganjarannya di akhirat kelak tidak berkurang. Allah Swt berfirman:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9) إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (10)
"Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami suatu hari yang di hari itu orang-orang bermuka masam penuh kesulitan." (QS. Al-Insân: 9-10)
Allah Swt juga berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ (36) رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (37)
"Bertasbih kepada Allah di masjid yang telah diperihtahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu siang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 36-37)
Khauf kepada Allah memotivasi mereka untuk melakukan amal sholih. Perniagaan, harta dan godaan-godaan duniawi tidak membuat mereka lalai untuk pergi ke masjid dan mendirikan sholat, serta berdzikir kepada-Nya.
Di hari kiamat kelak, Allah Swt akan menaungi orang-orang yang selalu menangis dalam kesendiriannya karena takut kepada Allah. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw beliau bersabda: "Tujuh orang yang dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya di hari yang tiada tempat bernaung keculai naungan Allah; imam yang adil, pemuda yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang diajak (berzina) oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan namun ia berkata, 'Aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah kemudian menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan pemuda yang mengingat Allah dalam kesendirian kemudian air matanya berlinang." (HR. Bukhari dan Muslim)
Tanda-tanda takut kepada Allah Swt
Diriwayatkan dari Malik bin Dînâr bahwa ia berkata, "Apabila seseorang mengaetahui dari dirinya tanda-tanda khauf dan rajâ', maka ia telah berpegang pada sesuatu yang kokoh, adapun tanda khauf adalah menjauhi larangan Allah Swt, dan tanda rajâ' adalah melaksanakan perintah Allah." lebih rincinya imam Abu al-Laits al-Samarqandi mengatakan: "Tanda-tanda khauf kepada Allah Swt tampak pada tujuh hal:
1. Menjaga lisannya. Orang yang takut kepada Allah Swt akan mencegah lidahnya berbohong, ghibah dan banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Ia menjadikan lisannya sibuk berzikir kepada Allah Swt, membaca Al-Qur'an serta untuk mudzkarah ilmu.
2. Menjaga perutnya, dengan tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali yang yang halal dan baik, dan juga tidak makan makanan yang halal kecuali secukupnya dan sesuai keperluannya.
3. Menjaga pandangannya, dengan tidak melihat perkara-perkara yang diharamkan, tidak pula memandang dunia dengan hasrat ingin meraupnya, melainkan dengan pandangan 'ibrah (memperhatikan dan mengambil pelajaran).
4. Menjaga tangannya, dengan tidak mengulurkannya untuk berbuat sesuatu yang diharamkan, tetapi mengulurkannya ketempat-tempat di mana ada ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
5. Menjaga kakinya, dengan tidak melangkahkannya untuk melakukan maksiat kepada Allah Swt.
6. Menjaga hatinya, dengan menghilangkan segala permusuhan, kebencian dan kedengkian terhadap saudara-saudaranya, dan menanamkan sifat menerima nasihat dan simpati terhadap saudara-saudaranya sesama muslim.
7. Menjaga seluruh perbuatan ketaatannya agar semuanya ditujukan hanya untuk Allah dan takut terhadap sifat riya dan nifâq (munafiq).
Demikianlah sekilas tanda-tanda yang merupakan indakator terwujudnya khauf dalam diri seorang hamba. Jika hal-hal tersebut tidak ada dalam diri kita, maka segeralah sadar sebelum Allah Swt bertindak menghentikan nafas kita.
Hal-hal yang dapat menghadirkan khauf
Imam Ibnu Qudâmah menjelaskan bahwa terdapat dua maqâm khauf seseorang hamba kepada Allah Swt. Pertama, khauf terhadap azab-Nya, dan ini adalah khauf umumnya makhluk. Hal ini akan terwujud dengan keimanan terhadap surga dan neraka yang merupakan dua balasan bagi pelaku ketaatan atau kemaksiatan. Khauf ini dapat melemah karena lemahnya iman atau kuatnya kelalaian. Kalalaian ini dapat dihilangkan dengan banyak berzikir dan bertafakkur tentang azab akhirat, dan bertambah dengan melihat kehidupan orang-orang yang khauf kepada Allah, bermuamalah dengan mereka atau mendengarkan kabar tentang mereka. Kedua, khauf terhadap Allah Swt sendiri. khauf ini adalah khaufnya orang-orang yang memiliki makrifat dan kedekatan dengan Allah Swt. Nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt mengandung kehebatan, keagungan dan kemuliaan yang menjadikan hati mereka kecut, sehingga mereka takut jauh dari-Nya.
Di antara hal-hal yang dapat menghadirkan khauf adalah mentadabburi ayat-ayat penggugah hati seperti ayat-ayat azab dan takdir di dalam Al-Quran. Misalnya adalah surat Al-'Ashr. Surat mulia yang seringkali dibaca oleh generasi Salaf Al-Shâlih setiap kali selesai pertemuan, sebagai muhasabah terhadap amalan yang telah dilakukan sekaligus motivasi meniti umur agar lebih semangat beramal shalih. Surat yang senantiasa mengingatkan manusia bahwa hidupnya hanyalah kumpulan detik-detik, dimana setiap detik yang hilang berarti kehilangan bagian dari hidupnya. Detik-detik yang jika tidak dimanfaatkan dalam kebaikan, akan lenyap dalam kesia-siaan, apalagi jika dihabiskan dalam kemaksiatan, tentu merupakan kerugian yang tiada terhingga. Detik-detik yang mustahil kembali, yang memustahilkan harapan untuk memperbaiki kesalahan, detik-detik yang pasti berakhir pada batas termaktub, untuk kemudian dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah Swt. Surat yang mengingatkan manusia, bahwa mereka hidup benar-benar dalam kerugian, jika tidak menghiasi diri dengan empat perkara yaitu, iman, amal shalih, nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Ayat yang lain adalah firman Allah Swt:
وَلَوْ شِئْنَا لَآَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (13)
"Dan jika kami menghendaki niscaya kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah keputusan-Ku: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." (QS. Al-Sajadah: 13)
Kalaulah perbuatan manusia tidak ditakdirkan, niscaya banyak orang yang akan akan bersenang-senang menikmati kehidupannya dalam kelalaian dan menunggu tua untuk bertaubat. Tetapi segala sesuatu telah ditentukan dan tak mungkin bisa diubah, maka tidak ada cara lain kecuali menyerahkan diri, dan tetap memohon hidayah-Nya. Abu Darda r.a. berkata, "Tak seorangpun yang aman akan dicabutnya iman dari hatinya ketika menghadapi maut." Ketika Sufyan Al-Tsauri akan wafat beliau menangis tersedu-sedu. Seseorang kemudian bertanya keheranan, "Apakah anda banyak berdosa?" Beliau kemudian berkata, "Demi Allah, dosa-dosaku tidak ada apa-apanya dibanding hal ini, aku hanya takut kalau imanku dicabut ketika mati." Beliau sangat takut kalau kalau takdir menentukan beliau mati dalam keadaan iman telah dicabut.
Meneladani kisah orang-orang yang khauf
Manusia yang paling takut kepada Allah Swt tentulah para nabi dan rasul-Nya. Dan di antara para nabi dan rasul yang paling takut tentulah nabi yang paling utama, nabi yang pernah bertemu langsung dengan Allah dalam peristiwa Isrâ' Mi'râj, beliaulah nabi Muhammad Saw. Nabi yang telah diperlihatkan kepadanya surga dan neraka, beliau bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
"Aku telah diperlihatkan Surga dan Neraka, maka aku tidak pernah melihat sebelumnya kebaikan dan keburukan seperti pada hari itu, kalau kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa." (HR. Bukhari)
Sayyidah Aisyah r.a. berkata:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَاحِكًا حَتَّى أَرَى مِنْهُ لَهَوَاتِهِ إِنَّمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw tertawa sampai aku dapat melihat gusinya, beliau hanya tersenyum." (HR. Bukhari dan Muslim)
إِنِّى أَتْقَاكُمْ لِلَّهِ وَأَشَدُّكُمْ لَهُ خَشْيَةً
"Sesungguhnya akulah yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, dan akulah yang paling takut kepada-Nya." (HR. Bukhari)
عن عَبْد اَللَّه بْن الشِّخِّير: رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُصَلِّي بِنَا وَفِي صَدْرِهِ أَزِيز كَأَزِيز الْمِرْجَل مِنْ الْبُكَاءِ
Dari Abdullah bin Al-Syikhîr ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Saw shalat bersama kami dan dari dadanya terdengar desahan nafas seperti air yang mendidih di dalam panci, karena menangis." (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw:
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (15) مَنْ يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمَهُ وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ (16)
"Katakanlah: 'Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku. (15) Barang siapa yang dijauhkan azab dari padanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. dan Itulah keberuntungan yang nyata'." (16) (QS. Al-An'âm 15-16)
Ibadah khauf ini juga diwarisi oleh sahabat Nabi Saw dan oleh para tabi'în setelah mereka. Karena takut kepada Allah Swt, diriwayatkan dalam sebuah hadis hasan dari Abu Bakar r.a., Abu Dardâ' dan Abu Dzarr, bahwa mereka berkata:
يَا لَيْتَنِى كُنْتُ شَجَرَةً تُعْضَدُ ثُمَّ تُؤْكَلُ
"Aduhai, andai saja kau adalah dedaunan yang dipetik kemudian dimakan." (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
Umar bin Khathâb r.a. pernah mendengar beberapa ayat yang membuatnya sakit berhari-hari dan dijenguk orang. Suatu hari beliau mengambil segenggam tanah dan berkata, "Aduhai, andai saja aku adalah debu ini, andai saja aku tidak pernah ada, andai saja ibuku tidak melahirkan aku", di wajah beliau terlihat du garis hitam karena seringnya menangis. Abu Ubaidah bin Jarrâh r.a. berkata: "Aduhai andai saja aku adalah seekor domba kemudian disembelih oleh keluargaku dan memakan dagingku dan meminum kuahku."
Demikianlah khauf-nya para nabi, sahabat dan orang-orang shalih. Kita seharusnya lebih utama takut dari pada mereka, karena maksiat yang kita lakukan sangat banyak sekali. Setiap kebaikan yang kita kita perbuat, ada saja maksiat yang mengotorinya, padahal mungkin kita lebih sering bermaksiat dari pada melakukan perbuatan baik. Adapun mereka kekasih dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah, khauf mereka bukanlah karena maksiat atau banyak dosa, akan tetapi karena kesucian jiwa, kejernihan dan kelembutan hati serta kesempunaan makrifat mereka tentang Allah Swt. Sedikit saja mendengar nasihat, air mata mereka mengalir tak dapat dibendung. Namun kita merasa santai saja karena makrifat kita yang sangat kurang tentang Allah, keras dan kotornya hati oleh lumpur dosa yang berkarat. Mereka menangis hanya dengan nasihat yang sedikit, tetapi hati kita tidak juga tergetar walau mendengar seribu nasihat.
Khauf kepada Allah Swt adalah benteng keimanan, dalam arti bahwa orang yang tidak mempunyai rasa khauf, tidak ada yang menghalanginya dari melalaikan kewajiban sebagai hamba dan melakukan kemaksiatan, bahkan pada keadaan tertentu ia bisa degnan mudah mengubah keimanannya--na'ûdzubillâhi min dzâlik. Kita berdo'a kepada Allah semoga Dia menggolongkan kita ke dalam orang-orang dianugerahi khauf yang istimewa, sehingga kita mendapatkan apa yang telah dijanjikan Allah Swt di akhirat kelak. Dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang didekatkan dengan Allah Swt. Amin. Wallahu a'lam bis showab
Menyibak Tirai Rajâ'
Oleh: Lalu Heri Afrizal
Harapan adalah ruh dan penyemangat hidup setiap insan. Orang yang semangat mengerjakan sesuatu, tentu karena ia memiliki harapan di balik pekerjaannya itu. Tanpa harapan, seseorang tidak akan memiliki semangat dan kesungguhan dalam bekerja. Tanpa harapan, hidup hanyalah keputusasaan, ketersiksaan, penyesalan dan kehampaan. Laksana seorang nara pidana yang esok ia harus terpidana mati. Tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri. Sementara ia tidak mungkin mengharapkan kebaikan dari kehidupan dunianya yang penuh maksiat dan dosa, ia tidak mempunyai bekal untuk menempuh hidup setelah mati. Maka sisa-sisa hidup itu baginya hanya kehampaan, penyesalan dan keputusasaan. Begitulah kira-kira gambaran orang yang tidak memiliki harapan.
Dalam bahasa Indonesia rajâ' diartikan dengan “harapan”, baik yang bersifat duniawi atau ukhrawi. Dalam pembahasan kali ini kita akan mencoba menggali makna rajâ' yang bukan sekedar harapan duniawi semata. Melainkan rajâ' yang berdimensi ukhrawi, rajâ' yang merupakan ibadah. Rajâ' yang merupakan salah satu maqâm dari maqâm ibadah hati. Rajâ' adalah kebutuhan hidup seorang mukmin yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah Swt menjadikannya salah satu bentuk ibadah hati yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang beriman.
Namun, apakah definisi rajâ' yang merupakan ibadah hati itu? Apa bedanya dengan angan-angan atau khayalan? Apakah ia memiliki karakteristik dan cara-cara tertentu sebagaimana ibadah-ibadah lahiriah? Rajâ' (harapan) seperti apakah yang sebenarnya dituntut oleh Allah Swt dari pribadi setiap muslim? Untuk menjawabannya, tulisan sederhana mencoba mengulas hakikat ibadah ini. Semoga dapat memberikan penjelasan yang semestinya. Wallahul musta'ân.
Defenisi Rajâ' Dan Perbedaannya Dengan Tamanni
Menurut bahasa rajâ' berarti menunggu kehadiran sesuatu yang disukai. Adapun menurut istilah, dalam kitab Madârij al-Sâlikîn, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan beberapa definisi rajâ, diantaranya:
حَادٍ يَحْدُوْ الْقُلُوْبَ إِلَى بِلَادِ الْمَحْبُوْبِ—وَهُوَ الدَّارُ الْآخِرَةُ—وَيُطَيِّبُ لَهَا السَّيْرَ
Kekuatan yang menggiring hati menuju negeri yang dicintai (negeri akhirat) dan membuat perjalannya menjadi baik.
اَلثِّقَةُ بِجُوْدِ اللهِ تَعَالَى
Keyakinan akan kemurahan Allah Swt
اَلنَّظَرُ إِلَى سَعَةِ رَحْمَةِ اللهِ
Melihat keluasan rahmat Allah Swt
حُسْنُ الظَّنِّ بِاللهِ تَعَالَى فِي قَبُوْلِ طَاعَةٍ وُفِّقْتَ لَهَا أَوْ مَغْفِرَةِ سَيِّئَةٍ تُبْتَ مِنْهَا
Berbaik sangka kepada Allah, bahwa Dia akan menerima ketaatan dan mengampuni kesalahan.
Setelah mengetahui makna rajâ' melalui definisi di atas, kita harus dapat membedakan antara makna rajâ' dan tamanni (berangan-angan dan berkhayal). Karena sebagian orang mengira bahwa dirinya telah melakukan ibadah rajâ' ini. padahal sebenarnya hanya berangan-angan dan berkhayal saja. Mengapa demikian? Karena rajâ' yang hakiki adalah rajâ' yang diiringi dengan amal perbuatan yang dapat mengantar seseorang menuju harapannya. Allah Swt berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
“Maka Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahf: 110)
Adapun jika seseorang berharap sesuatu tanpa berusaha melakukan amalan yang dapat mengantarnya menuju harapannya, maka harapan itu bukanlah rajâ', melainkan tamanni atau angan-angan dan khayalan belaka. Seperti orang yang berharap dapat memanen buah tanpa mau bercocok tanam. Orang yang melakukan ibadah rajâ' secara hakiki perumpamaannya seperti seorang petani yang berharap mendapat hasil panen yang baik setelah sebelumnya bersusah payah mencangkul sawah, mengairinya, menabur benih kemudian memberi tanamannya pupuk, merawat dan menjaganya dari hama penyakit dst.
Allah Swt mencela orang-orang yang hanya ber-tamanni sebagaimana tertera dalam firmannya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا ... (169)
"Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun...." (QS. Al-A'râf: 169)
Dalam ayat ini Allah menyifati orang-orang Yahudi dengan khalf, sebuah kata yang berkonotasi negatif, maknanya adalah generasi jahat. Imam Ibnu Katsir menafisrkan ayat di atas, bahwa setelah perginya generasi yang di dalamnya terdapat orang shalih dan jahat, datanglah generasi berikutnya yang sebagian besarnya adalah jahat. Kemudian beliau menukil tafsir imam Mujahid, mereka adalah orang-orang yang mengambil harta dunia tanpa menghiraukan halal dan haram. Mereka hanya ber-tamanni ketika berkata, "Kami akan diampuni." Mereka mengharap ampunan namun tetap berbuat maksiat.
Orang yang beramal shalih di dunia dengan ikhlas, kemudian mengharapkan pahala, rahmat dan ampunan Allah Swt, dialah orang yang benar-benar telah menunaikan ibadah rajâ'. Dialah orang yang selalu bredisiplin dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt, sebagai bukti keimanannya. Dia mengharap kepada Allah Swt, untuk memberikannya taufik agar tidak melenceng dari kebenaran, memohon agar amal ibadahnya diterima dan mendapat rahmat-Nya. Bukan orang yang hanya bermalas-malasan, enggan beramal shalih, mengisi hidupnya dengan amalan yang tidak bermanfaat, bahkan selalu bermaksiat kepada Allah Swt, kemudian setelah itu mengharap ampunan dan pahala yang besar.
Dari definisi-definisi para ulama di atas, dan perbedaan makna rajâ' dan tamanni, kita dapat menyimpulkan bahwa ibadah rajâ' adalah sebuah maqâm ibadah hati berupa keyakinan--bahwa Allah Swt akan menerima semua ketaatan dan mengampuni segala kesalahan karena kemurahan dan keluasan rahmat-Nya--yang mendorong hati untuk selalu mengharap kebaikan hidup di negeri akhirat dengan disertai amalan yang dapat mengantarkan seorang menuju harapannya. Jika seseorang telah menghabiskan waktunya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan banyak melakukan amal shalih, maka baginya tiada yang tertinggal kecuali mengharap ganjaran yang berada di luar kemampuannya yaitu turunnya rahmat, ampunan, anugerah, pahala dan ridha Allah Swt.
Urgensi Ibadah Rajâ'
Ibadah rajâ' ini merupakan salah satu wasilah utama yang dapat membantu manusia dalam perjalanannya menuju Allah Swt, memantapkan hatinya dalam menjalankan ajaran agama Islam, terutama di zaman modern yang bergelimang fitnah, syubhat dan syahwat. Rajâ' merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Swt. Kebalikannya yaitu ya's adalah salah satu hal yang dilarang. Ya's adalah berputus asa dari rahmat Allah Swt. Karena ya's merupakan hal yang dilarang, maka ia tergolong maksiat. Allah Swt melarang manusia berputus asa dari rahmat-Nya, karena hal ini merupakan perbuatan orang-orang kafir. Allah Swt berfirman dengan wasiat Nabi Ya'qub as. kepada putra-putranya:
وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (87)
"Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidaklah berputusa asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir." (QS. Yusuf: 87)
Dalam ayat lain Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya berputus asa, yang berarti sebaliknya, yaitu memarintahkan mereka untuk selalu mengharap kepada-Nya. Dia berfirman:
لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)
"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (QS. Al-Zumar: 53)
Rajâ' Di Dalam Al-Quran Dan Sunnah
Di dalam Al-Quran dan Sunnah terdapat banyak nash-nash tentang rajâ'. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan rajâ antara lain:
1. Dalam surat Al-Baqarah ayat 218, Allah Swt menerangkan makna rajâ' yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Rajâ' yang dibarengi dengan amal perbuatan:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (218)
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 218)
Sangat jelas diterangkan dalam ayat di atas, bahwa orang yang mengharapkan rahmat Allah (melakukan rajâ') adalah mereka yang berjuang, berjihad dan bersusah payah beramal shalih, dan bukan sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berhijrah meninggalkan kampung halaman mereka, kemudian ikut serta berjihad dengan harta dan nyawa, menahan pedihnya luka, letihnya perjalanan, menusuknya rasa lapar, mencekiknya dahaga, demi membela dan meninggikan agama Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat dan surga Allah Swt.
2. Allah Swt tetap membuka pintu rajâ' bagi hamba-Nya, yang mengharap rahmat dan ampunan, walaupun dalam bentuk pengampunan dosa syirik bagi mereka yang bertaubat. Adapun firman Allah yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (48)
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS. Al-Nisa': 48)
Diriwayatkan bahwa ayat ini turun setelah firman Allah yang berbunyi:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)
"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (QS. Al-Zumar: 53)
Para sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw, "Bagaimana dengan dosa syirik?" Namun Rasulullah tidak menyukai mereka banyak bertanya, sehingga beliau tidak menjawab sampai turunlah ayat di atas, "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya." Dengan demikian dapat dipahami bahwa, maksud tidak diampuninya dosa syirik adalah, bahwa Allah Swt tidak akan mengampuni seseorang yang mati dalam keadaan syirik, adapun jika sebelum mati ia sempat bertaubat, kemudian meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan kembali ke jalan Allah yang lurus, maka Allah Swt akan mengampuninya. Sebelum Islam datang, rata-rata para sahabat adalah orang-orang penyembah berhala, tetapi setelah mereka masuk Islam, Islam menutupi segala bentuk kesyirikan dan dosa sebelumnya.
Beda dosa syirik dengan dosa yang lainnya adalah, dosa-dosa tersebut kadang diampuni oleh Allah Swt dengan banyak beramal shalih melakukan ibadah wajib dan sunnah, sebagaimana Firman Allah Swt:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (114)
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (QS. Hûd: 114)
Rasulullah Saw juga bersabda:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
"Bertakwalah kepada Allah di mana pun engaku berada, dan sertakanlah perbuatan buruk dengan kebaikan, kaena hal itu akan menghapusnya." (HR. Tirmidzi)
Dan telah menjadi ijma' (konsensus) umat dan tsâbit dalam Al-Quran dan hadis Rasulullah Saw bahwa seseorang yang dihatinya ada setitik keimanan, dia tidak akan kekal di dalam neraka. Artinya, bahwa suatu saat ia akan diampuni dan akan dikeluarkan dari neraka kemudian dimasukkan ke dalam surga, walaupun ia memiliki banyak dosa besar dan tidak sempat bertaubat.
3. Firman Allah Swt:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)
"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (QS. Al-Zumar: 53)
Ayat yang mulia di atas merupakan busyrâ (kabar gembira) yang paling memberi harapan dan menguntungkan (arjâ âyatin) bagi umat Islam. Apapun jenis dosa yang dilakukan baik dosa kecil, sedang maupun besar selain syirik, semuanya akan diampuni hingga tidak ada yang tersisa. Sekaligus perintah yang menunjukkan kewajiban rajâ' dan ketidakbolehan putus asa. Ayat di atas tidak ditujukan kepada orang yang mempunyai dosa-dosa kecil. Tetapi ditujukan kepada mereka yang telah melampaui batas dalam melakukan segala macam perbuatan dosa baik besar maupun kecil, karena kata "asrafû" dalam ayat di atas berarti melampaui batas. Kemudian Allah Swt melarang mereka berputus asa dari rahmat-Nya dan memerintahkan mereka untuk selalu mengharap kepada-Nya, berupaya sekuat tenaga untuk meninggalkan maksiat, dan menjalankan perintah Allah Swt semampu mereka.
Adapun hadis-hadis Rasulullah Saw, yang berkaitan dengan rajâ' di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Allah berfirman dalam sebuah hadis Qudsi:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
"Wahai ibnu Adam, sesungguhnya jika engkau memohon dan me-rajâ' kepada-Ku, Aku akan mengampuni semua dosa-dosamu dan aku tidak peduli (terhadap dosa-dosa itu). Wahai ibnu Adam walaupun dosamu telah mencapai puncak langit, kemudian kau memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai ibnu Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan kesalahan sebesar bumi, kemudian engkau mendatangi-Ku sedangkan engkau tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sebesar kesalahanmu."
2. Dalam hadis qudsi yang lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab Shahih-Nya Allah Swt berfirman:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semua berbuat kesalahan siang dan malam, dan Aku mengampuni semua dosa-dosa. Maka mohon ampunlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian." (HR. Muslim)
Hadis ini dan hadis sebelumnya menunjukkan betapa luas rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya. Dia Mahamengampuni segala dosa dan kesalahan. Allah Swt tidak menghiraukan besar-kecilnya dosa hamba, asal ia beristigfar dan bartaubat dengan sungguh-sungguh.
3. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis qudsi bahwa Rasulullah Saw bersabda:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
"Allah Swt berfirman: 'Aku adalah sebagaimana zhann hamba-Ku terhadap-Ku'."
Di dalam kitab Fath al-Bârî, imam Ibnu Hajar menjelaskan maksud hadis di atas, sesungguhnya Allah Swt sangat mampu melakukan apa yang diyakini oleh seorang hamba bahwa Allah melakukannya. Jika seorang hamba meyakini bahwa Allah mengampunianya, maka Allah sangat mampu untuk mengampuninya. Hadis ini mengisyaratkan bahwa kita diperintah untuk selalu mengharap kebaikan kepada Allah, karena Dia akan mengabulkan segala harapan baik kita. Dan tentunya dengan syarat harapan yang dibarengi usaha. Karena tanpa usaha, harapan hanyalah tamanni, angan-angan belaka, seperti yang telah dijelaskan.
Manusia Antara Rajâ' dan Tamanni
Berangkat dari ayat-ayat dan hadis-haids tentang rajâ' di atas, dapat disimpulkan bahwa, manusia terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, sekelompok orang yang ketika mendengar ayat dan hadis di atas, mereka menjadi semakin tenang dan senang melakukan maksiat. Semakin meremehkan perintah dan larangan Allah Swt karena mengira bahwa Allah akan menghapus segala dosa mereka. Orang yang seperti ini adalah orang yang sangat merugi, sebagaimana firman Allah Swt
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99)
"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'râf: 99)
Kedua, sekelompok orang yang ketika mendengar ayat dan hadis di atas, hatinya luluh mengharapkan rahmat dan ampunan Allah Swt. Hal ini timbul karena rasa malu yang sangat mendalam kepada Allah Swt. Bagaimana tidak, nikmat Allah tidak pernah terlepas dari dirinya barang sedetik pun, namun ia merasa dirinya selalu meninggalkan perintah Allah, mengerjakan larangan-Nya dan mengabaikan nasehat-Nya. Ia yakin dengan taubat yang sungguh-sungguh kepada Allah Swt, ia akan diampuni dan dikasihi.
Ia mengetahui bahwa taubat yang sungguh, adalah taubat yang benar-benar menjadikan seseorang meninggalkan maksiat, kemudian membawanya untuk giat beramal shalih. Ia yakin harapannya akan di-ijabah oleh Allah, sebab ia telah berusaha beramal shalih dan mengikhlaskannya karena Allah Swt. Karena orang yang rajâ'-nya benar adalah mereka yang disebutkan oleh Allah dalam ayat 18 surat Al-Baqarah yang telah dijelaskan di atas. Dan dalam hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmizdi bahwa beliau bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
"Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengevaluasi dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya kemudian mengharapkan (kebaikan) dari Allah." (HR. Ahmad dan Tirmizi). Intinya bahwa, rajâ' dalam seluruh ayat dan hadis yang menganjurkan untuk rajâ', diikat oleh sebuah syarat yaitu, amal shalih. Jika tidak maka dia adalah tamanni atau angan-angan belaka. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Cara Melakukan Dan Meningkatkan Kualitas Rajâ'
Kita mungkin sering kita mengharap kebaikan kepada Allah Swt. Tetapi, hanya orang yang menyertai harapannya dengan amal shalih lah yang telah merealisasikan ibadah rajâ' dalam dirinya. Jika kita telah berbuat amal shalih, maka tugas selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas rajâ' tersebut. Maka dua hal ini perlu diketahui agar kita dapat melakukan ibadah ini dengan baik dan dapat meningkatkan kualitasnya.
Rajâ' dapat dilakukan dengan berbagi cara diantaranya:
(a) melakukan amal ibadah dengan mengharap diterimanya amal ibadah tersebut dan mengharap pahalanya dari Allah Swt,
(b) memohon dan mengharap ampunan Allah Swt terhadap dosa-dosa yang telah diperbuat, ketidaksempurnaan dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan kelancangannya karena melanggar larangan-Nya.
(c) menjadikan hati selalu bergantung dan mengeluhkan segala kesediahan dan kesusahan hanya kepada Allah,
(d) memohon pertolongan dan berdoa kebaikan dunia dan akhirat yang dingingkan dari Allah Swt.
Adapun hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas rajâ' diantaranya sbb:
1. Aktif bertafakkur, menghadirkan di dalam hati bahwa kita telah menikmati nikmat Allah yang tiada terkira Dia telah memberikan kita pendengaran, penglihatan, hati, kesehatan, rezeki dll. Dia telah menghamparkan bumi agar layak kita tempati. Dialah sang Mahapengasih yang telah menurunkan kitab suci sebagai hidayah, serta mengutus para nabi sebagai penuntun jalan hidup yang lurus dan benar. Dialah yang telah memberi hidayah kepada kita untuk memeluk agama Islam, sementara banyak orang lain yang masih belum merasakan indahnya Islam. Dengan banyak bertafakkur tentang nikmat Allah ini, kualitas rajâ' akan terus meningkat. Karena tabiat manusia selalu menginginkan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Mengingat janji-janji kabaikan Allah Swt, seperti besarnya pahala bagi mereka yang berbuat baik, luasnya rahmat dan ampunan-Nya, nikmat-Nya yang tiada henti walau tidak diminta sebelumnya, bahkan telah mengalir sebelum kita mengetahui bagaimana cara memohon nikmat, padahal hamba pendosa seperti kita sangat tidak layak mendapatkan nikmat sebesar itu. Kemudian mengingat bahwa Dia adalah Rabb yang maha menepati janji. Dia pasti akan menunaikan janji kebaikannya bagi hambanya yang beriman dan beramal shalih.
3. Mengingat ampunan-Nya yang maha luas bagi para pendosa yang bertaubat. Rahmat dan ampunan-Nya lebih luas dari dosa-dosa seluruh manusia, sekalipun telah memenuhi langit dan bumi. Selain itu, adalah merupakan sebuah ketetapannya bahwa, Rahmat-Nya mengalahkan murka-Nya. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:
لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي
"Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia menulis di kitab-Nya bahwa Dia mewajibkan (tulisan itu) pada Diri-Nya dan menempelnya di 'Arsy, 'Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku'." (HR. Bukhari)
4. Menyadari bahwa hati manusia bagaikan sepetak tanah, yang harus ditebari dengan benih keimanan dan disirami dengan air ubudiyah agar menghasilkan buah keridhan Allah Swt. Kesuburan tanah itu harus dipelihara dan dijaga dari berbagai jenis penyakit hati, syubhat dan syahwat. Karena iman tidak akan tumbuh bersemi pada hati yang penuh penyakit dan kemaksiatan, sebagaimana tanaman tidak akan tumbuh dengan baik pada tanah yang tandus dan mengandung zat penyakit bagi tanaman. Jika seseorang dengan seluruh kemampuannya merawat dan memelihara tanamannya, kemudian ia mengharap tanamannya tumbuh bersemi dan membuahkan hasil yang baik, maka dialah yang telah berhasil mewujudkan ibadah rajâ'dalam dirinya.
Manfaat Dan Keuntungan Rajâ'
Sebenarnya banyak sekali manfaat dan keuntungan orang yang selalu melakukan ibadah rajâ' kepada Allah Swt. Hal ini tentu dapat dirasakan oleh mereka yang benar-benar mengamalkannya. Syaikh Shalih al-Munajjid menyebutkan beberapa diantara keuntungan rajâ' yaitu:
1. Menumbuhkan kekuatan mujahadah dalam malakukan amal shalih, karena mengharap ganjaran yang besar dari Allah Swt di dunia dan akhirat.
2. Menumbuhkan kedisiplinan dan keteguhan dalam melakukan ketaatan walau dalam keadaan bagaimanapun.
3. Menjadikan seorang hamba menikmati ibadahnya serta istiqamah dan teguh dalam manjalankannya.
4. Menumbuhkan kekuatan ubudiyah pada diri seorang hamba dan kebergantungan (tawakkal) penuh terhadap sang Khaliq, bahwa ia tak pernah lepas dari perhatian dan penjagaan (murâqabah) Allah walau sekejap mata.
5. Sesungguhnya Alah Swt mencintai hamba-Nya yang selalu memohon kepada-Nya, mengharap rahmat dan ampunan-Nya, serta tidak henti-hentinya berdoa. Sebab Allah Swt Mahapengasih, yang menyukai untuk selalu dimohon dan dipinta.
6. Allah Swt justru murka terhadap hamba yang tidak mau memohon dan berdoa kepada-Nya. Jadi, dengan ibadah rajâ' seorang hamba dapat terhindar dari murka Allah Swt.
7. Rajâ' adalah pemandu yang menuntun hati dalam perjalanannya menuju Allah, mendorong semangat untuk tetap teguh dan sabar dalam berjalan hingga sampai pada tujuan yang dinanti. Kalaulah bukan karena mengharap besarnya pahala, limpahan karunia dan surga Allah Swt di negeri akhirat, maka semua orang akan berputus asa. Sebab hati tergerak oleh cinta, terusik oleh Khauf dan dituntun oleh rajâ'.
8. Sesungguhnya Allah Swt menghendaki agar setiap hamba berusaha menyempurnakan ubudiyah mereka dengan memunculkan rasa kehinaan dan kerendahan diri, kemudian menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, bertawakkal, memohon pertolongan, takut terhadap murka dan azab-Nya, sabar terhadap ujian dari-Nya, bersyukur terhadap nikmat-Nya dst. Sehingga Allah memberi cobaan kepada manusia berupa perbuatan dosa, agar tingkatan ubudiyah menjadi sempurna dengan selalu beristigfar dan bertaubat. Kalaulah bukan karena dosa, maka penyesalan dan taubat tidak akan terjadi. Padahal dengan istigfar dan taubat itulah makna ubudiyah seseorang menjadi lebih sempurna.
Hubungan Antara Khauf Dan Rajâ'
Bagi seorang mukmin, Khauf terhadap Allah Swt dan ancaman-Nya haruslah disertai dengan rajâ' terhadap janji kebaikan-Nya. Khauf dan rajâ' adalah dua hal yang sangat berhubungan erat. Kedua hal ini harus seimbang pada diri seorang mukmin. Sebab dengan kahuf dan rajâ', seorang hamba yang mengharap sesuatu, takut kalau harapannya itu tidak ia dapatkan. Dan sebaliknya, jika ia takut terhadap sesuatu, ia sangat mengharap belas kasih dan kebaikan yang sesuatu ditakutinya. Artinya, orang yang mengharap kepada Allah sangat takut jika ia tidak mendapat rahmat dan ampunan-Nya, dan orang yang takut kepada Allah sangat mengharap rahmat dan ampunan-Nya agar ia tidak mendapat murka dan azab.
Oleh karena itu sebagian ulama mengumpamakan hubungan antara rajâ' dan khauf sebagai berikut, "Seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah Swt bagaikan seekor burung yang terbang dengan kedua sayapnya. Apabila kedua sayapnya mengepak seimbang maka ia akan terbang dengan baik dan selamat, tetapi jika sayapnya hanya sebelah atau salah satunya bekerja tidak seimbang maka burung itu telah mendekati kematiannya." Yang dimaksud denga kedua sayap tersebut adalah kahuf dan rajâ'. Allah Swt berfirman:
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُواْ الألْبَابِ (9)
"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. Al-Zumar: 9).
Manfaat rajâ' tidak berbeda dengan manfaat khauf. Keduanya merupakan motivator bagi seseorang dalam usaha meraih keridhaan Allah Swt melalui ibadah, ketaatan dan segala bentuk perbuatan baik. Selain manfaat yang sama, keduanya juga memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai obat bagi setiap hamba yang tidak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain bahwa ulama menjadikan kedua ibadah ini sebagai resep yang harus digabungkan. Mereka mengobati khauf dengan rajâ' dan mengobati rajâ' dengan khauf.
Diriwayatkan bahwa Luqman Al-Hakim pernah menasehati anaknya: "Wahai anakku takutlah kepada Allah tanpa ada rasa putus asa dari rahmat-Nya, dan berharaplah kepada-Nya tanpa merasa bahwa engkau aman dari makar-Nya." Dengan demikian, khauf adalah obat yang paling utama bagi mereka yang telah merasa aman dari makar Allah Swt. Karena Allah Swt berfirman:
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99)
"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'râf: 99)
Dan rajâ' merupakan obat yang paling utama bagi mereka diliputi rasa putus asa, karena Allah Swt berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)
"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (QS. Al-Zumar: 53)
I. Macam dan Ciri Rajâ
Imam Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa rajâ' memiliki tiga macam. Dua diantaranya terpuji dan satu lagi tercela.
1. Rajâ' seseorang yang menjalankan ketaatan kepada Allah, berarti ia mengharap ketaatannya diterima dan mendapat pahala dari Allah Swt.
2. Rajâ' seseorang yang melakukan perbuatan maksiat kemudian bertaubat darinya, berarti ia mengharap ampunan dan kasih sayang Allah Swt. Kedua macam rajâ' di atas tergolong rajâ' yang terpuji.
3. Seseorang yang tenggelam dalam kemaksiatan dan larut dalam ketidaktaatan kepada Allah Swt kemudian mengharap rahmat dan ampunan-Nya tanpa melakukan amal shalih dan meniggalkan perbuatan maksiatnya, sesungguhnya ia tidak me-rajâ', malainkan tamanni. Dan jika hal ini dinamakan rajâ', maka inilah rajâ' yang tercela.
Dalam perjalanannya menuju Allah Swt seorang mukmin bercermin pada dua hal. Pertama, melihat dirinya yang penuh aib dan dosa serta amal ibadahnya yang sangat jauh dari kesempunaan. Keadaan ini akan menjadikannya takut kepada Allah Swt. Takut jika aibnya tidak ditutupi, amalnya tidak diterima, dosanya tidak diampuni dan akhirnya dimurkai Allah Swt kemudian dimasukkan ke neraka. Inilah adalah pintu Khauf itu sendiri. Kedua, menyadari luasnya rahmat, karunia, pahala dan ampunan Allah Swt. Sehingga kemudian, dengan kebulatan hatinya ia mengharap rahmat dan ampunan itu. Mengharap agar ia tergolong orang-orang ahli surga. Inilah yang merupakan pintu rajâ'.
Ahmad bin 'Ashim rahimahullah pernah ditanya: "Apakah tanda-tanda rajâ' pada diri seorang hamba?" Beliau menjawab: "Apa bila orang yang selalu berbuat kebaikan, selalu bersyukur dan mengharap kesempurnaan nikmat Allah Swt dan ampunan-Nya di dunia dan akhirat."
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang manakah di antara kedua rajâ' yang lebih utama. Rojâ seorang yang berbuat baik terhadap pahala Allah Swt ataukah rojâ seorang yang bermaksiat kemudian bertaubat terhadap ampunan-Nya? Sebagian mereka menguatkan pendapat yang pertama. Hal ini karena kuatnya sebab-sebab rojâ yang ada pada dirinya yaitu ketaatan yang penuh kepada Allah Swt. Sebagian yang lain berpendapat bahwa rojâ orang yang bermaksiat kemudian bertaubat. Karena rojânya datang dari penyesalan yang mendalam, diiringi dengan kerendahan hati melihat aib dan kehinaan diri. Rojânya murni tanpa dicemari rasa ujub dan bangga dengan amalannya.
Walhasil, kedua pendapat di atas masing-masing memiliki sisi kebenaran. Karena kedua rojâ terpuji tersebut yang harus dimiliki. Karena setiap muslim berada dalam dua keadaan: ketaatan dan mengharap ketaatannya diterima, atau berdosa dan mengharapkan dosanya diampuni.
Faktor-Faktor Yang Memperkuat Kualitas Rajâ'
Kualitas rajâ pada diri seseorang sesuai dengan kedalaman makrifatnya dan keyakinannya kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt, dan bahwasanya rahmat-Nya mendahului murka-Nya, kesungguhan mahabbah-nya kepada Allah. Jika seseorang telah sampai pada derajat makrifat dan mahabbah (cinta) yang tinggi terhadap Allah Swt, maka kualitas rajâ'-nya akan tinggi. Jika tidak ada makrifat dan mahabbah kepada Allah, maka rajâ-nya pun tidak akan ada. Jika rûh rojâ ini tidak ada, maka ubudiah badan tidak tidak akan terwujudkan dan tiada lagi yang akan mengisi rumah-rumah Allah Swt dengan ibadah. Kalau bukan karena rojâ, badan manusia tidak akan tergerak untuk melakukan ibadah dan ketaatan.
Setiap hamba yang mencintai Rabb-nya dan memiliki rajâ, pasti memiliki Khauf. Di sini juga terlihat kaitan yang erat antara rajâ' dan khauf. Dia mengharap Rabb-nya memberikan semua yang bermanfaat bagi dirinya, ia juga sangat takut tergelincir dari jalan-Nya, yang akan menjadikannya terusir dan jauh dari-Nya. Oleh karena itu rajâ' dan khauf dalam diri orang yang cinta terhadap Allah sangat tinggi.
Akan tetapi apakah jika harapan telah terkabulkan, apakah rajâ' akan hilang ataukah bertambah? Apa yang akan terjadi jika seorang hamba yang mencintai Rabb-nya telah meninggal kemudian bertemu dengan-Nya? Seorang hamba yang sebelum meninggal memiliki khauf dan rajâ' yang tinggi, bagaimana keadaannya jika ia telah meninggal? Para ulama mengatakan bahwa rajâ'-nya akan bertambah kuat dengan semakin bertambahnya nikmat yang ia temukan dalam kehidupan setelah kematiannya. Karena ketika ia benar-benar telah mengalami sendiri nikmat-nikmat di alam kubur, maka ia akan semakin yakin dan mengharap nikmat surga yang telah menantinya.
Demikian juga dengan khauf, karena kematian telah membawanya lebih dekat kepada neraka, sebab alam barzah (alam kubur) adalah alam pertama dari silsilah alam akhirat. Ditambah lagi dengan nikmat yang ia saksikan dan alami sendiri di alam barzakh. Kenikmatan alam barzah yang benar-benar telah ia rasakan, menjadikannya semakin yakin dengan nikmat surga dan azab neraka, sehingga ia ingin segera menuju surga dan sangat takut terjerumus ke neraka.
Bahkan di alam kubur, setiap orang akan dibukakan pintu surga dan neraka baginya. Jika ia beriman, ketika dibukakan pintu neraka, dikatakan kepadanya, "Jika kamu kafir, maka disinilah tempatmu." Kemudian dibukakan baginya pintu surga, sehingga ia ingin naik, namun dikatakan kepadanya, "Tinggal dan tidurlah layaknya pengantin baru." Tidak ada yang membangunkannya kecuali keluarga yang paling dicintainya. Demikian juga dengan orang kafir dan munafik, dibukakan baginya pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya, "Disinilah tempatmu jika dahulu kamu beriman." Kemudian dibukakan pintu neraka baginya dan diperlihatkan azab neraka. Setelah itu ia disiksa dengan siksaan yang didengarkan oleh seluruh mahluk kecuali jin dan manusia.
Derajat Dan Tingkatan Rajâ'
Dalam bukunya Madârij Al-Sâlikîn, Imam Ibnu Al-Qayyim menjelaskan tingkatan-tingkatan rajâ' yang dapat dilalui oleh setiap mukmin:
Derajat pertama, rajâ' yang menjadikan seseorang lebih giat, semangat dan dapat menikmati ibadahnya walaupun terasa berat dan payah. Demikian juga dalam meninggalkan larangan Allah Swt. Hal ini mirip seorang yang pergi musafir untuk berdagang. Ia menikmati kepayahan dalam safar, demi meraih keuntungan dalam jual beli sesampainya di tempat tujuan. Demikian juga dengan seorang yang pecinta Allah yang jujur yang berusaha untuk meraih keridhaan Rabb-nya.
Kesulitan bangun pagi untuk shalat subuh berjamaah, kesulitan berwudhu dengan air dingin, beratnya menghadapi resiko dan tantangan jihad, beratnya mengeluarkan sebagian hartanya untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, beratnya menuntut ilmu, susahnya bangun malam untuk shalat tahajjud, payah dan letihnya berpuasa, semua ia jalani dengan senang hati dan kerelaan yang penuh, sehingga lama-kelamaan menjadi terasa nikmat baginya. Tsabit bin al-Banâni, seorang ulama salaf berkata, "Aku bersusah payah bangun untuk shalat malam selama dua puluh tahun, hingga aku menikmatinya dua puluh tahun berikutnya." Jadi kenikmatan beribadah itu akan datang setelah melewati berbagai kepayahan dan kesulitan.
Derajat kedua, rajâ' para mujahid yang memerangi hawa nafsu mereka dengan meninggalkan suatu kebiasaan dan menggantinya dengan kebiasaan yang lebih baik. Rajâ' mereka untuk sampai kepada tujuannya adalah dangan himmah (semangat yang tinggi). Hal ini harus dibarengi dengan ilmu, yaitu mengetahui dengan baik hukum-hukum agama. Karena rajâ' pada derajat ini mengharuskan mereka untuk mengetahui hukum-hukum itu. Sebab bersusah payah dalam beribadah haruslah disertai dengan ilmu dan terus menuntut ilmu, sehingga melakukan dan meninggalkan sesuatu berdasarkan dengan ilmu dan tujuan yang jelas.
Dengan ilmu mereka akan mengetahui keagungan hikmah syariat Allah Swt, kebesaran dan kekuasaan-Nya, sehingga hal ini akan mendorongnya untuk beribadah dengan rasa syukur, rajâ' dan khauf yang tinggi. Tidak terasa lagi olehnya kesusahan dalam melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangannya, karena semua itu untuk kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Dengan ilmu, tingkat khauf-nya menjadi khsyiah, yaitu tingkatan khauf bagi orang yang berilmu, sebagaimana firman Allah Swt:
...إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)
"…Sesungguhnya yang khasyiah (takut) kepada Allah di antara hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahapengampun. (QS. Fathir: 28)
Derajat ketiga, rajâ' orang-orang yang hatinya hanya terpaut dan rindu untuk bertemu dengan Rabb-nya. Rajâ' inilah yang dapat menjadikan seseorang menjadi zuhud di dunia. Derajat ini merupakan derajat rajâ' yang tertinggi. Allah brfirman:
...فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf : 110)
Dalam ayat lain:
مَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآَتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (5)
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Angkabût : 5)
Rajâ' bertemu Allah inilah yang merupakan intisari iman yang menjadi harapan tetinggi orang-orang yang mujtahid (berjuang keras) dalam beribadah. Orang yang memiliki derajat rajâ' seperti ini, hatinya selalu bergetar karena kerinduaan yang mendalam. Rindunya tidak akan terobati sampai ia benar-benar bertemu dengan Allah Swt. Bagi mereka nikmat bertemu dengan Allah Swt jauh lebih besar dari segala macam nikmat yang ada di surga. Bagai seorang yang memasuki istana dan tepana melihat keindahannya. Namun ketika ia bertemu dengan sang raja, maka lupalah ia akan keindahan istana.
Ketika Rasulullah Saw Menyeru kaum muslimin untuk bengkit berjihad, "Bangkitlah untuk menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi," sahabat Umair bin Al-Humâm Al-Anshori ra tidak sabar lagi ingin bertemu dengan Allah. Beliau berkata: "Jika aku masih hidup (setelah pertempuran ini) sehingga aku dapat makan kurma ini lagi, sungguh itu adalah kehidupan yang sangat panjang." Beliau ingin segera syahid untuk bertemu dengan Allah Swt, sampai-sampai beliau tidak tahan hidup berlama-lama di dunia. Padahal hidup dalam sela waktu peperangan itu hanya sebentar saja.
Terapi Masyarakat Dengan Rajâ'
Seyogyanya para da'i harus pandai mendiagnosa terlebih dahulu penyakit yang timbul di dalam masyarakat, agar mereka dapat memberikan obat yang tepat bagi penyakit tersebut. Di zaman sekarang, menggunakan wasilah rajâ' untuk mengobati penyakit masyarakat terkadang tidak terlalu efektif. Hal ini karena banyak orang pada zaman ini memiliki kualitas keberagamaan yang minim karena pengaruh dunia sekularisme. Rutinitas agama terkadang hanya sebatas formalitas semata, tidak dianggap sebagai kebutuhan primer yang wajib dipenuhi. Padahal manusia terdiri dari unsur rohani dan jasmani yang membutuhkan menu makanan tersendiri sesuai dengan karakter masing-masing. Jasmani membutuhkan menu yang sifatnya matrealistik, sedangkan rohani membutuhkan menu ibadah yang sesuai dengan keluhuran fitrahnya.
Rajâ' mengandung obat yang sangat dibutuhkan oleh seorang yang hatinya tertutup rasa putus asa, sehingga meninggalkan ibadah sama sekali, karena menganggap bahwa ibadah tidak mempan lagi menutupi dosanya. Rasa putus asa ini sering muncul di hati para pemuda yang merasa diri sudah terlanjur jauh dari Allah Swt, terlanjur terperosok ke jurang kenistaan. Ketika diberitahukan kepadanya tentang ampunan dan rahmat Allah Swt yang luas, terkadang hal itu menjadi obat baginya. Jika kemudian ia benar-benar bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, memperbaiki hubungannya dengan Allah Swt, sungguh Allah maha penyayang bagi hamba-hamba-Nya.
Allah Swt berfirman dalam sebuah hadis qudsi:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً (رواه الترميذي)
Allah Swt berfirman: "Wahai anak Adam, jikalau engkau berdoa dan mengharap kepadaku, niscaya aku akan mengampuni segala dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, walaupun dosa-dosamu telah mencapai langit, kemudian engkau memohon ampun kepad-Ku, niscaya aku akan mengampunimu dan aku tidak peduli. Wahai anak adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan dosa seperti bumi, niscaya Aku akan mendatangkan bagimu ampunan seperti itu juga." (HR. Tirmidzi)
Seorang da'i haruslah pandai-pandai menggunakan wasilah rajâ' dalam berdakwah, sehingga tidak salah menempatkannya. Karena jika hanya menggunkan washilah ini mungkin saja menyebabkan timbulnya sifat meremehkan pada diri seseorang, yang membuatnya semakin sesat dan jauh dari Allah Swt. Bagi orang tertentu terkadang obat yang lebih mujarab bagi mereka adalah menekankan khauf kepada Allah, mengingatkan azab-Nya yang pedih, setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah Swt, setiap amalan sekecil apapun akan dibalas, baik kebaikan maupun keburuakan dst. Namun tetap resep rajâ' ini tidak boleh juga ditinggalkan sama sekali, agar mereka yang ditakut-takuti tidak sampai putus asa dari rahmat Allah. Ali bin Abi Thalib ra Pernah berkata, "Sesungguhnya orang yang berilmu adalah mereka yang tidak menjadikan orang putus asa dari rahmat Allah, namun tidak juga menjadikan mereka aman dari makar Allah." Jadi haruslah terdapat keseimbangan antara penggunaan resep Khauf dan rajâ', sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang didakwahi.
Setiap orang yang sungguh-sungguh dalam bertaubat, akan diampuni oleh Allah Swt walaupun dosa itu berulang-ulang. Karena hak hamba terhadap Rabb-nya adalah diampuni dan tidak diazab selama ia tidak menyekutukan Allah Swt. Ketika Mu'âdz bin Jabal mendengar hal ini dari Rasulullah Saw beliau lansung berkata: "Apakah aku harus memberi mereka kabar gembira tentang hal ini?" Rasulullah Saw menjawab, "Jangan dulu memberi tahu mereka agar mereka tidak bergantung dengan amalannya."
Demikianlah mudah-mudahan dengan sekilas penjelasan tentang ibadah hati yang satu ini, kita tergerak untuk berusaha mendekatkan diri dengan Allah Swt. menghadapi kehidupan dunia yang semakin gemerlap ini, semoga kita tidak melalaikan ibadah hati kita. Karena hatilah sebenarnya yang dinilai oleh Allah Swt. Jika hati seseorang baik maka perbuatannya akan baik dan demikian sebaliknya seperti sabda Rasulullah Saw:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya, di dalam jasad ada segumpal daging yang apabila ia baik niscaya baik pula seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahua'lam.
Implementasi Syukur Dalam Dunia Nyata
Oleh: Muhammad Edwin
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (78)
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati agar kamu bersyuur."
(Al-Nahl: 78)
Menyimak ayat di atas kita mengetahui bahwa manusia terlahir ke alam dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui apapun, dan tidak mengenal apa yang ada di sekelilingnya. Dengan kata lain bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian Dia melengkapi kehadiran manusia ke alam ini dengan perlengkapan yang sempurna untuk dapat berinteraksi dengan alam di sekelilingnya. Dia menganugerahkan kepadanya naluri fitrah), akal dan indra dengan dengan segala fungsinya yang menakjubkan.
Tidak hanya sampai disitu, Allah Swt juga membimbing manusia menuju hidayah dengan mengutus para nabi dan rasul yang mengajarkan kepada mereka hakikat hidup ini, dari mana ia berasal, apakah misi yang diemban dan kemana setelah kehidupan dunia ini. Bahkan alam semesta yang luas ini diciptakan dan diperuntukkan bagi dirinya. Maka apakah yang paling layak dilakukan oleh manusia selain bersyukur atas semua nikmat itu kecuali bersyukur kepada Sang Mahapemberi?
Namun, bagaimanakah cara seseorang bersyukur kepada Tuhannya? Apakah makna dan hakikat syukur itu sendiri? Untuk dapat mempersembahkan kesyukuran yang baik, tentu kita harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan syukur. Tentunya hakikat syukur yang dituntut adalah sesuai dengan kehendak yang yang memerintahkan untuk bersyukur Allah Swt. Dan dalam hal ini Allah Swt telah memberi kita bimbingan bagaimana seharusnya bersyukur kepada-Nya.
Definisi Syukur
Menurut bahasa syukur berarti mengakui perbuatan baik, seperti dalam perkataan, "Aku bersyukur kepada Allah", yakni bahwa aku mengakui dengan sepenuh hati bahwa segala nikmat yang aku dapatkan ini semata-mata adalah pemberian dan kemurahan Allah Swt. Makna lain dari syukur dalam bahasa adalah, tampaknya pengaruh makanan pada badan hewan. Dalam bahasa Arab, hyawan syakûr berarti hewan yang cukup dengan makanan yang sedikit atau terlihat gemuk walau dengan makanan yang sedikit. Dari makna ini dapat dipahami bahwa orang yang bersyukur adalah mereka yang membuktikan kesyukuran itu dengan perbuatan yang menunjukkan perasaan bersyukur.
Makna lainnya juga menurut bahasa, syukur adalah pujian yang ditujuakan terhadap orang yang memberi kebaikan. Oleh karena itu kita sering mendengar perkataan asykuruka, yakni aku memujimu atas perbuatan ini. Selain itu ada juga makna-makna yang lainnya, namun yang telah disebutkan cukup mewakili.
Adapun menurut istilah, definisi syukur adalah:
ظُهُوْرُ أَثَرِ النِّعَمِ الْإِلَهِيَّةِ عَلَى الْعَبْدِ فِى قَلْبِهِ إِيْمَانًا وَفِى لِسَانِهِ حَمْدًا وَثَنَاءً وَفِى جَوَارِحِهِ عِبَادَةً وَطَاعَةً
Tampaknya pengaruh nikmat Allah Swt dalam diri seorang hamba, berupa bertambahnya iman dalam hati, puji-pujian dengan lisan serta ibadah dan ketaatan dengan anggota badan.
Jadi, syukur bukan lah suatu yang ringan. Dia bukanlah sekedar ucapan lisan, melainkan harus diimplementasikan melalui hati lisan dan perbuatan. Maka tidak heran jika Allah Swt berfirman:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang benar-benar bersyukur." (QS. Saba': 13)
Sesedikit apapun nikmat yang kita rasakan haruslah tetap disyukuri, apa lagi kita merasa mendapat nikmat yang banyak tentu kesyukurannya harus lebih maksimal. Merasa mendapat nikmat sedikit sebenarnya disebabkan karena lemahnya iman. Sebab nikmat Allah Swt sebenarnya sangat banyak bahkan tiada terbatas. Allah berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ... (34)
"Jika engkau menghitung nikmat Allah niscaya engkau tidak dapat menghitungnya." (QS. Ibrahim: 34)
Orang mukmin menyadari bahwa tak sedetikpun dari hidupnya terlepas dari nikmat Allah Swt. Bahkan perasaan bersyukur terhadap nikmat itu sendiri juga merupakan nikmat lain yang sangat besar dan harus disyukuri kembali. Sebab, betapa banyak orang di dunia ini yang tidak tahu atau tidak mau bersyukur terhadap nikmat Allah Swt. Musibah dan cobaan baginya adalah nikmat yang besar. Sebab musibah hanya dapat merusak badannya atau hal-hal yang bersifat fisik dan tidak dapat merusak jiwa dan keimanannya. Hal ini karena ia menyadari bahwa di balik cobaan dan bencana tersebut terdapat ganjaran yang besar.
Rasulullah Saw bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
"Tidak satupun yang menimpa seorang muslim, dari kepenatan, penyakit, keresahan, kesedihan, perasaan disakiti, kesusahan, sampai duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah mengampuni dosa-dosanya. " (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan musibah Allah Swt akan mengampuni dosa hamba, memberi pahala yang banyak, meninggikan derajatnya dan Allah akan mencintainya. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"Sesungguhnya, musibah yang besar membawa pahala yang besar, dan sesungguhnya Allah jika mencintau suatu kaum Dia mengujinya dengan bala' (musibah), barang siapa yang ridha maka Allah akan meridhainya dn barang siapa yang beci, maka Allah akan membencinya." (HR. Tirmizi)
Kedudukan Syukur di Dalam Agama
Dengan mentadabburi Al-Quran kita akan menemukan beberapa hal yang mengagumkan dari ibadah syukur ini. hal ini tidak lain kecuali karena kedudukan ibadah syukur yang tinggi di dalam Islam.
a. Allah Swt menggandengkan antara syukur dengan zikir, di mana keduanya merupakan tujuan penciptaan, dalam arti bahwa manusia dicipta untuk berzikir kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta mensyukuri nikmat-Nya. Allah Swt berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (152)
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (QS. Al-Baqarah: 152)
Lawan kata syukur adalah kufur yang dalam bahasa arab berarti menutupi atau mengingkari. Maka seringkali kita mendengar istilah kufur nikmat yang berarti tidak mensyukuri nikmat atau menutupi dan mengingkari nikmat Allah. Kata kufur jika disambung dengan huruf bâ' (ب) menunjukkan makna ketiadaan iman seperti dalam kata (كفربالله) yang berarti kafir atau tidak beriman kepada Allah Swt. Dan ketika tidak disambung dengan huruf (ب) seperti dalam kata (كفر النعمة) berarti mengingkari atau menutupi nikmat.
Makna ayat di atas adalah Allah memerintahkan kita untuk bersyukur terhdap nikmatnya dengan mempergunakan nikmatnya sesuai dengan perintah-Nya. Sebagai tanda bahwa seseorang telah bersyukur adalah terealisasinya makna syukur menurut istilah di atas yaitu: Tampaknya pengaruh nikmat Allah Swt dalam diri seorang hamba, berupa bertambahnya iman dalam hati, puji-pujian dengan lisan serta ibadah dan ketaatan dengan anggota badan.
b. Allah Swt menggandengkan antara syukur dengan iman, dan bahwasanya Dia tidak akan mengazab makhluk selama mereka bersyukur dan beriman.
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآَمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا (147)
"Apakah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman? Sungguh Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Nisa: 147)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa tidak ada gunanya Allah mengazab hamba-Nya yang telah patuh dan taat untuk beriman dan bersyukur. Jika iman dan syukur telah ditunaikan maka Allah maha mensyukuri hamba-Nya, dengan menganugerahkan kepadanya pahala amal kabaikannya, mema'afkan kesalahannya dan menambah nikmat-Nya. Dan Allah Maha mengetahui siapa yang bersyukur terhadap nikmat-Nya. Dalam kehidupan bernegara, rakyat harus pandai berterimakasih terhadap pemimpinnya dengan mendukung dan menaati peraturannya, tidak hanya pandai protes dan menyalahkan.
Begitu juga dengan pemimpin, jika rakyat telah mendukung dan patuh terhadap peraturan, maka selayaknya mereka harus berterimakasih terhadap rakyatnya, mengayomi mereka menunaikan hak-hak mereka, tidak malah menghianati dan menyalahi amanat, korupsi dan menghambur-hamburkan uang rakyat dan sebagainya. Sebagaimana Allah mensyukuri hambanya yang pandai bersyukur.
c. Allah Swt berkehendak menciptakan orang kaya dan miskin atau kuat dan lemah untuk menguji mereka, siapakah di antara mereka yang bersyukur. Dan Allah Swt akan mengistimewakan dan menganugerahkan pemberian khusus bagi para ahli syukur. Dia berfirman:
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ (53)
"Dan demikianlah telah kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang Allah beri anugerah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" (QS. Al-An'âm: 53)
Pertanyaan "Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" dalam ayat di atas mengisyaratkan bahwa ukuran kemulian di sisi Allah bukanlah kekayaan, kehormatan dan kekuatan di dunia, melainkan tingkat kesyukuran mereka terhadap nikmat Allah Swt, dan Allah maha mengetahui siapa saja di antara mereka yang bersyukur.
d. Allah Swt mengklasifikasi manusia menjadi dua, yaitu syakûr (ahli syukur) dan kafûr (ahli kufur). Yang paling tidak disukai Allah adalah kufur dan ahli kufur, dan yang paling disukai Allah adalah syukur dan ahlu syukur.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)
"Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (QS. Al-Insân: 3)
e. Allah Swt menguji hambanya dengan nikmat, apakah ia pandai bersyukur ataukah malah menjadi kufur. Allah Swt berfirman:
قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (40)
"Ia (nabi Sulaiman as) berkata: 'Ini adalah kurnia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia'." (QS. Al-Naml: 40)
Ketika nabi Sulaiman memerintahkan rakyatnya, siapakah di antara mereka yang bisa mendatangkan singgasana ratu Balqis, kehadapan beliau sebelum ia dan kaumnya datang dalam keadaan muslim. Ifrit berkata, "Aku akan mendatangkannya untukmu sebelum engkau selesai dari majlismu ini, penafsiran lain mengatakan sebelum berdiri dari tempat dudukmu. Namun salah seorang dari umat beliau yang juga menetri beliau, yaitu Ashif bin Barkhiya berkata, "Saya akan mendatangkannya kepadamu sebelum engkau berkedip."
Ketika beliau berkedip, singgasana ratu Balqis sudah berada di hadapan beliau. Seketika itu juga beliau berkata, "'Ini adalah kurnia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)...." Beliau tidak takabur dengan nikmat-nikmat tersebut, tetapi beliau menyadari bahwa semua nikmat itu tidak lain adalah ujian Allah Swt, apakah beliau termasuk hamba Allah yang bersyukur atau malah kufur. Nikmat dan kesengsaraan kedua-duanya adalah ujian dari Allah Swt.
f. Syukur adalah wasiat agung dari Allah kepada manusia, untuk ia haturkan kepada Allah dan kedua orang tuanya. Dia berfiraman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)
"Dan kami mewasiatkan kepada manusia—terhadap kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun—hendaknya ia bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kembalimu." (QS. Luqman: 14)
g. Orang yang bersyukur adalah orang yang benar-benar beribadah kepada Allah. orang yang ibadahnya belum sempurna menunjukkan syukurnya juga belum sempurna. Orang yang menyembah Allah dengan ikhlas, merekalah orang-orang yang bersyukur. Allah Swt berfirman:
وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172)
"Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kamu menyembah kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah: 172)
Di dalam Al-Quran sangat banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang syukur, yang tidak dapat kita telusuri satu persatu dalam tulisan ini. yang terpenting adalah bahwa semua itu menunjukkan ketinggian manzilah syukur dalam Islam.
Syukur Hati, Lisan dan Anggota Badan
Telah dijelaskan dalam definisi syukur makna syukur meliputi tiga hal yaitu, syukur dengan hati, syukur dengan lisan dan syukur dengan perbuatan. Aplikasi dari ketiga syukur tersebut adalah dengan mewujudkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengetahui dan mengenali nikmat (ma'rifat al-ni'mah)
Yang dimaksud dengan mengetahui dan mengenali nikmat ini adalah menghadirkannya di dalam hati dan pikiran, kemudian menelisik, merenungkan dan mentafakkurinya guna mengetahui bentuk-bentuk keagungan nikmat tersebut, yang nantinya dapat menyampaikan seseorang menuju pengetahuan yang lebih mendalam tentang Sang Pemberi nikmat. Karena keagungan nikmat membuktikan keagungan pemberi nikmat, sebagaimana canggihnya sebuah ciptaan menunjukkan kecanggihan pembuatnya. Dengan melakukan hal ini, seorang mukmin telah berupaya untuk bersyukur kepada Rabbnya. Karena dengan mengenal lebih banyak mengenal suatu nikmat, ia akan lebih mengenal Rabbnya, lebih mencintainya dan mensyukurinya.
2. Menerima dan mengakui nikmat (qabûl al-ni'mah)
Menerima nikmat dengan senang hati apapun bentuknya, dan mengakui sepenuh hati bahwa nikmat itu adalah pemberian dari Allah Swt semata. Allah Swt memberikannya semata-mata karena kemuliaan dan kemurahan-Nya, bukan karena Dia harus melakukannya atau kita berhak mendapatkannya.
3. Memuji Sang Pemberi nikmat atas nikmat tersebut. Cara memuji ini dengan dua hal:
a. Mengucapkan puji-pujian bahwa Allah adalah Mun'im (Sang Pemberi nikmat), Karîm (Maha Mulia dan Pemurah), Rahmân dan Rahîm (Maha Pengasih dan Penyayang), Dzu al-Fadhli al-'Azhîm (Yang memiliki pemberian tak terbatas) dan seterusnya.
Tahadduts bi al-Ni'mah, yaitu memperlihatkan bahwa ia telah mendapat nikmat dari Allah Swt, dan Allah menyukai kita memperlihatkannya selama tidak di niatkan untuk pamer dan riya'. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
"Sesungguhnya Allah menyukai melihat pengaruh nikmat-Nya pada hamba-Nya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Kemudian, memperlihatkan nikmat ini dilakukan dengan dua cara:
i. Menyebutnya dengan mengatakan, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan saya ini dan itu, misalnya seperti yang biasa dilakukan oleh khatîb di awal khotbahnya.
ii. Menggunakan nikmat itu untuk melakukan ketaatan kepada Allah Swt, seperti pesan Rasulullah untuk menggunakan masa muda sebelum datang masa tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, kesempatan sebelum kesempitan, hidup sebelum mati.
Tentang tahadduts bi al-ni'mah ini Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
"Barang siapa yang tidak bersyukur tehadap nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan bisa mensyukuri yang banyak, barang siapa yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia berarti ia belum bersyukur kepada Allah, dan tahadduts bi al-ni'mah itu adalah bentuk kesyukuran, dan meninggalkannya adalah kekufuran (kufur nikmat), jamâ'ah (persatuan umat) adalah rahmat, dan perpecahan adalah azab." (HR. Ahmad).
Syaikh Shalih Al-Munajjid menekankan bahwa bahwa tahadduts bi al-ni'mah ini dilakukan kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Akan tetapi tidak melakukannya kepada orang yang hasud dan dengki tidak termasuk kufur nikmat. Akan tetapi merupakan bentuk tindakan antisipasi trehadap kerusakan dan bahaya yang mungkin terjadi, baik terhadap nikmat itu, orang yang diberi nikmat atau orang yang hasud itu sendiri. Dan raf'u al-dharar (menghilangkan bahaya) merupakan salah satu bentuk maqâshid (tujuan) syariat. Wallahu a'lam.
Syukur Hati
Syukur hati adalah dengan mengetahui bahwa yang memberikan nikmat ini adalah Allah Swt. pengetahuan ini bukan sekedar pengetahuan akal saja, melainkan juga pengetahuan hati berupa perasaan dan keyakinan. Dan ini sangat penting untuk di dakwahkan terutama dalam mendidik anak-anak. Dari mana semua nikmat ini datang? Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ (3)
"Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)? (QS. Fâthir: 3)
Nikmat yang pertama adalah nikmat diciptakan, kemudian disusul dengan nikmat-nikmat yang lain. Di dalam Al-Quran disebutkan nikmat-nikmat yang banyak sekali, seperti, makan, minum, bekerja, tidur, berjalan, safar (perjalanan jauh), kesehatan, umur, waktu, harta, anak, ilmu, tempat tinggal, keamanan, kebahagiaan, dan sebagainya. Nikmat-nikmat ini juga dapat kita klasifikasikan menjadi nikmat, keberadaan karena dicipta dari ketiadaan:
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ (11)
"Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud." (QS. Al-A'râf: 11)
Kemudian nikmat kehidupan, karena sebagian makhluk benda mati:
وَهُوَ الَّذِي أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ (66)
Dan dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat." 66. (QS. Al-Hajj: 66)
Kemudian nikmat kemanusiaan, karena manusia adalah makhluk yang dimuliakan di antara makhluk-makhluk yang lain.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (70)
"Dan sesungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan. (QS. Al-Isrâ': 70)
Dan nikmat yang paling tinggi yaitu keimanan dan keislaman—melalui perantara nikmat diutusnya nabi Muhammad Saw—yang menyelamatkan hidup kita di dunia dan akhirat dan membedakan kita dengan manusia yang tidak mendapat hidayah Allah.
... بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ ... (17)
" ... Sebenarnya Allah-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan...." (QS. Al-Hujurât: 17)
Kemudian yang lebih khusus dari nikmat di atas adalah nikmat ketakwaan dan kedekatan (muqarrabîn) dengan Allah, karena tidak semua muslim terpilih menjadi hamba Allah yang benar-benar bertaqwa dan didekatkan kepada-Nya. Dalam surat Al-Wâqi'ah Allah Swt mengklasifikasi manusia menjadi tiga kelompok yaitu, Muqarrabûn (hamba yang didekatkan kepada Allah), Ashhâb al-Yamîn (hamba yang kedudukannya di bawah muqarrabîn), Al-Mukadzdzibîn al-Dhâllîn (yang mendustakan ayat-ayat Allah dan tersesat).
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ (88) فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ (89) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (90) فَسَلامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (91) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ (92) فَنزلٌ مِنْ حَمِيمٍ (93) وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ (94)
"Adapun jika ia termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), (88) Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga Na'îm. (89) Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, (90) Maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan. (91)Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, (92) Maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, (93) Dan dibakar di dalam Jahannam." 94. (QS. Al-Wâqi'ah: 88-94)
Maha benar Allah yang berfirman:
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ (34)
"Dan dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. Ibrâhîm: 34)
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ (20)
"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Namun sebagian manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqmân: 20)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (65)
"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. 65. (QS. Al-Hajj: 65)
Di antara nikmat yang besar seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas adalah ni'mat al-taskhîr bahwa semua yang ada di bumi ini ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan manusia. Coba bayangkan kalau semua hewan tidak ada yang mau tunduk kepada manusia, semuanya mau menyerang dan memangsa manusia, maka tidak akan ada keamanan di dunia ini. Bagaimana kalau angin tidak mau dihirup, bagaimana kalau air tidak mau keluar ke atas permukaan bumi, bagaimana kalau bumi tidak mau mengeluarkan gaya gravitasinya, apa yang akan terjadi di dunia ini? Lâ ilâha illallâh, kami bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Engkau yâ Allah. Syukran yâ Rabb! Terimakasih wahai tuhan kami, kami tidak bisa berbuat apa-apa selain memuji keagungan-Mu. Bahkan pujian kami adalah pemberian-Mu.
Allah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (14) وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (15) وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ (16) أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لَا يَخْلُقُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (17) وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (18)
Dan Dia-lah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar. Kamu dapat mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu juga melihat bahtera dapat berlayar di atasnya, dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. (14) Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar tidak mengoncangmu, menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. (15) Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk (mengetahui arah dsb). (16) Maka apakah (Allah) Yang Mahamencipta itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. (17) Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (18) (QS. Al-Nahl: 14-18)
Syukur Lisan
Lidah manusia merupakan pengungkap keyukuran hati. Apabila hati dipenuhi oleh kesykuran kepada Allah, niscaya lisan tak akan berhenti memuji, bertahmid dan berucap syukur. Coba kita merenungkan ucapan Rasulullah Saw setiap harinya untuk mengungkapkan kesyukurab kepada Allah swt.
- Ketika bangun dari tidur beliau berucap:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَمَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُشُوْرُ
- Ketika akan kembali tidur beliau berucap:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَنْ لَا كَافِيَ لَهُ وَلَا مُؤْوِيَ
- Di antara zikir pagi dan petang yang beliau lantunkan adalah:
اَللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ فَلَكَ الْحَمْدُ وَالشُّكْرُ
- Di antara isi Syyaidul Istigfâr yang beliau ajarkan adalah:
أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِي
- Setiap kali berkhutbah dan berdoa beliau membukanya dengan bertahmid.
- Doa iftitah dalam sholat:
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
- Surat Al-Fatihah:
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
- Bangun dari rukuk:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
- Doa setelah shalat:
اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ
- Doa shalat Tahajjud:
اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ ...
- Doa makan, minum, bersin, ditanya tentang keadaan, pergi bersafar, hendak berkhutbah dan berdoa, semuanya beliau mulai dengan bertahmid.
Dan masih banyak lagi doa-doa beliau yang merupakan ungkapan-ungkapan pujian dan kesyukuran kepada Allah Swt. Maka kita sebagai umat beliau yang berlumur dosa dan kesalahan, tentunya lebih pantas untuk mengikuti sunnah beliau dalam hal banyak bersyukur kepada Rabb semesta alam yang maha pemurah dan Pemberi.
Syukur Aggota Badan
Yaitu syukur yang dilakukan selain oleh hati dan lisan. Syukur dengan lisan saja tidaklah cukup hingga dilengkapi dengan syukur anggota badan. Semua ibadah yang dilakukan oleh anggota badan manusia sebenarnya merupakan bentuk kesyukurannya terhadap Rabb-nya. Dalam surat Al-Naml Allah Swt berfirman:
...وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ (19)
"…Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada orang tuaku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih." (QS. Al-Naml: 19)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa bersyukur dengan lisan saja tidak cukup, tetapi harus diungkapkan juga dengan amal perbuatan. Karena setelah memohon untuk dapat mensyukuri nikmat, Nabi Sulaiman memohon untuk diberi taufik untuk beramal shalih yang Allah ridhai. Tentunya amal shalih yang di maksud adalah ibadah badaniah dan ibadah sosial lainnya.
Di antara wasilah bersyukur dengan anggota badan adalah seperti yang di sebutkan oleh Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi' al-ulûm wa al-hikam di antaranya: ibadah-ibadah badaniah (ibadah degnan anggota badan), ibadah mâliah (ibadah dengan harta berupa zakat dan sedekah), ibadah dengan kepandaian dan pengalaman seperti, mengajar, memahamkan ilmu yang bermanfaat, sedekah waktu dan kesempatan.
Diantara bentuk bersyukur juga adalah, bersyukur (berterimakasih) kepada manusia. Berterimakasih kepada manusia tidak bertentangan dengan syukur kepada Allah Swt, karena Allah yang memerintahkan untuk berterimakasih kepada manusia. Allah Swt bahkan berwasiat kepada manusia dalam firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)
"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah kembalimu. (QS. Luqmân: 14)
Rasulullah Saw juga bersabda:
وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ
"...Barang siapa yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia berarti ia belum bersyukur kepada Allah..." (HR. Ahmad)
Bersyukur kepada Allah berbeda dengan bersyukur kepada manusia, dari segi penghambaan dan derajat. Syukur kepada Allah adalah penghambaan, sedangkan syukur kepada manusia adalah bentuk berinteraksi dengan sesama makhluk. Walaupun itu juga termasuk amal shalih yang diperitnah Allah Swt dan Rasul-Nya. Ketika seseorang tidak mampu bersyukur kepada manusia yang kedudukannya lebih rendah, tentu saja ia belum bisa bersyukur kepada Allah yang tingkatnya tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah Saw di atas.
Perkara-perkara yang mendorong untuk bersyukur
1. Melihat kepada orang yang diberi nikmat lebih sedikit. Melihat orang yang di bawah akan mendorong seseorang untuk bersyukur dan mengingat nikmat-nikmat Allah yang ada pada dirinya, sedangkan melihat ke atas akan menjadikan orang lupa dengan nikmat Allah yang diberikan kepada diri sendiri, sehingga tidak bersyukur dan tidak ridha dengan apa yang dibagi oleh Allah kepadanya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis shahih:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
"Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kamu, dan jangan melihat kepada orang yang di atas kamu, karena hal ini akan membantumu untuk tidak meremehkan dan mendustakan nikmat Allah kepadamu." (HR. Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Majah)
2. Menyadari bahwa segala nikmat, besar atau kecilnya akan dihisab oleh Allah Swt. Jika berbentuk harta akan, di hari kiamat akan ditanya dari mana mendapatkannya dan di mana dipergunakan. Ali bin Abi Thalib ra berkata menyifati harta duniawi: "Halâluhâ hisâb harâmuhâ 'iqâb" (Yang halal akan dihisab dan yang haram akan menyebabkan azab). Jika berbentuk waktu, maka akan ditanya seperti dalam hadis Nabi Saw "Wa 'an al-'umri fî mâ afnâhâ ([ditanyakan] tentang umurnya, di mana ia habiskan). Dengan merenungkan hal ini maka kita akan berusaha mensyukuri nikmat Allah apapun bentuknya, sedikit atau banyak. Karena boleh jadi dengan kesyukuran ini Allah akan meringankan hisab dan menghalangi kita dari neraka, karena Dia meridhai kita dengan kesyukuran itu. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنْ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Dari Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah sangat meridhai seseorang hamba yang memuji Allah dengan sesuap makanan yang ia makan atau seteguk minuman yang ia minum." (HR. Muslim)
3. Memohon kepada Allah untuk menolong kita dalam bersyukur kepadanya seperti sabda Rasulullah Saw:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Dari Mu'âdz bin Jabal ra, bahwasanya Rasulullah Saw mengambil tangannya dan bersabda: "Wahai mu'âdz sungguh aku mencintaimu, demi Allah aku sangat mencintaimu," kemudian beliau berkata: "Aku mewasiatkan kepadamu wahai Mu'âdz, jangan sampai engkau meninggalkan di penghujung setiap shalatmu untuk berdoa, 'Ya, Allah tolonglah aku untuk berzikir kepada-Mu dan mensyukuri-Mu, dan kebaikan ibadahku kepada-Mu." (HR. Abu Dâwûd)
Hikmah Bersyukur
Dalam sebuah kisah imajinatif diceritakan bahwa ketika seorang direktur memasuki mobil mewahnya, ia bertanya pada supir pribadinya, ''Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?'' Si supir menjawab, ''Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai.'' Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, ''Bagaimana kamu bisa begitu yakin?'' Supirnya menjawab, ''Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan.'' Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.
Ada dua hal yang sering kali membuat seseorang tak bersyukur. Pertama, sering memfokuskan diri pada apa yang ia inginkan, bukan pada apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. Umpama ia sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Namun ia tetap merasa kurang karena pikirannya dipenuhi berbagai target dan keinginan. Ia begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan uang lebih banyak. Ia tetap tak puas dan selalu menginginkan yang lebih lagi. Sehingga betapapun banyaknya harta yang dimiliki, ia tak pernah merasa puas dan cukup.
Cobalah lihat keadaan di sekeliling kita, renungkan yang kita miliki kemudian bersyukurlah kepada Allah, niscaya kita akan merasakan nikmatnya hidup. Pusatkanlah perhatian nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita. Terutama nikmat iman dan islam, kemudian nikmat kesehatan lahir dan batin, nikmat memiliki organ tubuh yang lengkap, harta benda yang cukup, pasangan hidup yang baik, anak yang patuh dan taat beragama, tetangga yang menyenangkan, orang-orang yang baik di sekeliling kita dan lain sebagainya. Semua nikmat itu sungguh tidak ternilai harganya.
Coba saja merenungkan nikmat-nikmat yang ada pada diri kita terlebih dahulu. Allah Swt berfirman:
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21)
"Dan dalam dirimu apakah engkau tidak memperhatikan?" (QS. Al-Dzâriyât: 21)
Pernahkah kita berfikir bagaimana kesusahan yang dihadapi orang yang buta, bisu atau tuli? Jika ingin merasakannya, coba pejamkan mata dan berjalanlah di jalanan. Apa yang kita rasakan? Gelap, begitulah kira-kira yang dirasakan oleh orang buta, gelap yang tiada bertepi. Ingin merasakan penderitaan orang yang tuli. Tutuplah rapat-rapat telinga anda dengan kapas. Apa yang terjadi? Sunyi, demikianlah kira-kira yang dirasakan orang yang tuli, kesyunyian yang tiada bertepi. Demikianlah kita mencoba setiap organ tubuh yang lain. Kita tidak pernah membeli semua organ tubuh itu, kita hanya tinggal menikmati. Maka apakah kita tidak mau bersyukur kepada sang Pemberi nikmat itu?
Hal kedua yang juga sering membuat kita tidak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita selalu merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita. Padahal perasaan-perasaan seperti inilah yang sebenarnya membuat kita selalu merasa resah dan gelisah. Hidup di dunia akan lebih bahagia kalau kita dapat mensyukuri dan menikmati apa yang Allah berikan kepada kita. Demikian juga hidup di akhirat adalah milik orang-orang yang ibadah syukurnya tidak pernah terputus. Semoga Allah menggolongkan kita kedalam golongan hambanya yang sedikit sebagaimana firman-Nya:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
"…Sedikit sekali di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur." (QS. Saba': 13)
Ikhtitam
Menutup pembahasan tentang syukur kali ini marilah kita menyimak petuah-petuah ulama Salaf tentang Syukur. Hasan Al-Bashri berkata:
إِنَّ اللهَ لَيُمَتِّعُ بِالنِّعْمَةِ مَاشَاءَ فَإِذَا لَمْ يُشْكَرْ عَلَيْهَا قَلَّبَهَا عَذَاباً وَلِهَذَا كَانُوْا يُسَمُّوْنَ الشُّكْرَاَلْحَافِظَ لِأَنَّهُ يَحْفَظ النِّعَمَ الْمَوْجُوْدَةَ وَ الْجَالِبَ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النِّعَمَ الْمَفْقُوْدَةَ
"Sesungguhnya Allah benar-benar akan memberi kenikmatan dengan nikmat-nikmat sekehendak-Nya. Jika tidak disyukuri, Dia akan membaliknya menjadi azab. Oleh karena itu mereka menyebut syukur dengan sebutan al-hâhiz (penjaga), karena ia menjaga nikmat yang ada, dan menamakannya al-jâlib (pendulang), karena ia mendulang rezeki yang belum didapat."
Umar bin Abdul Aziz berkata:
قَيِّدُوْا نِعَمَ اللهِ بِشُكْرِ اللهِ
"Ikatlah rezeki dengan bersyukur kepada Allah."
Dan cukuplah firman Allah Swt sebagai nasihat:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)
"Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrâhîm: 7). Wallahu A'lam
SABAR KUNCI SUKSES DI DUNIA DAN AKHIRAT
Oleh: Imam Suryansyah, Lc.
Mukaddimah
Imam Ahmad menyebutkan bahwa Allah Swt menggunakan kata sabar di dalam Al-Quran sebanyak sembilan puluh kali. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah hati yang satu ini. Demikian juga dengan ibadah-ibadah hati yang lainnya. Sebab ibadah-ibadah hati di dalam Al-Quran seperti tawakkal, syukur, sabar dan sebagainya, jauh lebih sering disebutkan dari pada ibadah wudhu’ misalanya, yang hanya disebutkan di dalam Al-Quran dalam dua ayat saja. Hal ini tidak lain karena ibadah hati adalah ibadah yang paling mulia dan pondasi bagi ibadah-ibadah badan. Sebut saja ikhlas, ibadah apapun yang dilakukan oleh seorang muslim tidak akan diterima oleh Allah, tanpa dilandasi oleh keikhlasan ini.
Shobr (sabar) adalah temannya nashr (kemenangan). Keduanya akan selalu bersama dan bergandengan. Para mujahid akan mendapatkan kemenangan selama mereka bersabar di medan jihad. Para pelajar akan berhasil jika mereka sabar dalam belajar, memerangi rasa malas, menahan penat dan susahnya bergumul dengan buku. Seorang mukmin akan menjadi ahli ibadah yang dekat dengan Rabb-nya selama ia sabar dan gigih memerangi hawa nafsunya, berusaha semampunya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Seorang dai akan berhasil mengajak orang yang ia dakwahi selama ia sabar menghadapi segala macam tantangan dan cobaan dalam berdakwah, demikian seterusnya. Maka benarlah sabda Rasulullah Saw bahwa sabar selalu bersama dengan kemenangan.
الصَّبْرُ مَعَ النَّصْرِ
“Sabar menyertai kemenangan” (HR. Ahmad)
Sabar adalah modal utama mencapai kesuksesan di dunia dan akhirat. Menurut sebagian ulama sabar adalah setengah keimanan. Hal ini karena hakikat iman ialah taat kepada Allah baik dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan tugas hidup manusia tidak terlepas dari dua perkara tersebut; sabar dalam menjalankan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan, sabar menjalani qadar (takdir) Allah dan sabar untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya. Jika semua tugas hidup tidak terlepas dari sabar, maka sabar adalah kewajiban hidup manusia sepanjang hayatnya.
Kehidupan dunia dan akhirat akan menjadi baik selama sabar menjadi bagian dari sifat dan prilaku hidup manusia. Umar bin Khattab r.a. pernah berkata: “Kami telah menemukan kebaikan hidup kami dengan sabar.” Sabar adalah obat segala kesulitan hidup. Sabar adalah bekal seorang mujahid ketika kemenangan terlambat datang, bekal para da'i ketika orang-orang tidak mau menerima seruan dakwah, bekal ulama di zaman kerterasingan manusia dari ilmu agama.
Di dalam Al-Quran Allah Swt menyebut sabar kurang lebih sembilan puluh kali. Hal ini membuktikan bahwa sifat sabar mempunyai kedudukan istimewa di hadapan Allah Swt. Selain itu, setiap amalan baik yang dikerjakan seseorang, pahalanya akan dilipatgandakan olah Allah Swt dengan bilangan yang telah ditentukan, sepuluh, dua puluh, tiga puluh sampai tujuh ratus kali lipat. Tetapi bagi mereka yang bersabar Allah telah menyiapkan pahala yang tak terhingga. Dia berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10)
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukpkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Al-Zumar: 10)
Maka tidaklah berlebihan ketika Amr Khalid dalam bukunya Al-Dzauq wa Al-Shabr, mengawali tulisannya tentang sabar ini dengan kata-kata ‘Ashabru min Ummahati al-Akhlak’. Sabar adalah salah satu induk dari semua akhlak mulia. Di dalam Al-Quran Allah Swt menyipati orang-orang yang bersabar dengan sifat-sifat terpuji dan mengistimewakan mereka dengan banyak kelebihan. Bagi orang yang bersabar adalah ma'iyyatullah, yang dengannya mereka mendapat kebaikan dan kenikmatan dunia akhirat. Dia juga menjadikan sabar dan keyakinan sebagai syarat untuk mendapatkan imamah (kepemimpinan) dalam agama. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ (24)
"Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan meyakini ayat-ayat kami." (QS. As-Sajdah: 24)
Hakikat Sabar
Kata sabar sering dimaknai dengan keteguhan dalam menghadapi musibah. Padahal sebenarnya, ia lebih tepat jika diartikan dengan keteguhan menghadapi fitnah (cobaan). Karena fitnah memiliki makna yang lebih umum dari musibah. Sebab fitnah berarti cobaan, yang dapat berupa kenikmatan dan dapat berupa kesedihan atau musibah.
Pada hakikatnya sabar terhadap musibah, merupakan derajat sabar yang paling rendah. Hal ini karena sabar menghadapi musibah sifatnya memaksa. Artinya sabar atau tidaknya seseorang, tidak akan menjadikan musibah hilang. Adapun sabar dalam menjauhi larangan, yang merupakan derajat yang lebih tinggi, sifatnya pilihan. Seseorang dapat memilih untuk bersabar atau tidak. Jika ia bersabar maka akan ia akan tetap berada pada jalan yang benar, dan jika ia tidak bersabar, maka ia akan terjerumus ke lembah maksiat. Tentang derajat sabar ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
Sabar menurut bahasa berarti menahan atau mencegah. Di dalam surat Al-Kahf ayat 28, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk tetap bertahan bersama mereka yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ...
"Dan bersabarlah (bertahanlah) kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari karena dengan mengharap keridhaan-Nya...." (QS. Al-Kahf: 28).
Dari pengertian bahasa di atas kita dapat memahami bahwa sabar berarti menahan dan mencegah diri menjadi lemah, menahan dan mencegah lidah dari keluh kesah dan kata-kata kotor, menahan dan tangan mencegah untuk menampar pipi dan menyobek baju ketika berduka, atau menampar orang lain ketika marah, dsb. Makna sabar menurut bahasa di atas singkron dengan maknanya menurut Syara', yaitu, mengekang diri untuk tetap menjalankan perintah Allah Swt, menahan diri untuk menjauhi segala larangan-Nya, menahan diri agar tetap ridha dalam menjalani takdir-Nya, semata-mata karena mengharap ridha-Nya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menjalani takdir Allah….”
Dari pemaknaan sabar secara bahasa dan istilah syara' di atas kita mendapat satu makna yang penting yaitu bahwa di dalam kata sabar terdapat makna ketahanan dan kekuatan, dan bukan kelemahan. Maka ketika dikatakan seseorang bersabar, berarti orang itu tahan dan kuat dalam menerima musibah, kuat menahan beban menjalankan perintah, kuat menahan diri dalam menjauhi larangan, kuat menahan diri dalam melawan hawa nafsunya, kuat menahan diri untuk tetap istiqamah dalam beragama, dst. Oleh karena itu, ulama mengumpamakan sabar laksana kuda perang yang tangguh, prajurit yang gagah berani dan benteng yang kokoh. Jadi sabar adalah kekuatan, dan bukan kelemahan.
Al-Quran memerintahkan untuk bersabar dan menjanjikan keberuntungan bagi mereka yang melakukannya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (200)
"Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS. Al-Imran : 200)
Dalam surat Al-Ahqâf ayat 35, Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw untuk bersabar sebagaimana sabarnya rasul-rasul Ulul 'Azmi (yang mempunyai keteguhan hati yang istimewa) yang lain. Kemudian Allah menyindir bahwa tidak bersabar adalah ciri-ciri orang fasik yang akan binasa dan celaka hidupnya. Kebalikan orang yang beruntung adalah mereka yang tidak bersabar sebagaimana sabarnya para Ulul 'Azmi itu. Simaklah firman Allah dibawah ini:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ (35)
"Maka Bersabarlah kamu sebagaimana kesabaran para Ulul 'Azmi di antara rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang telah dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tidak pernah hidup (di dunia) melainkan hanya sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqâf: 35)
Kalaulah Allah Swt telah menentukan pahala untuk setiap amalannya dengan pahala atau balasan yang jelas. Maka Allah Swt membalas pahala sabar dengan tidak ada batasannya. Allah Swt berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10)
"Katakanlah! "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabb-mu. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Al-Zumar: 10)
Sulaiman bin Al-Qasim berkata: "Setiap amalan diketahui jumlah pahalanya kecuali sabar, karena adanya ayat ini, "Innamâ yuwaffa al-shâbirûn ajrahum bighairi hisâb." Allah Swt akan selalu bersama orang-orang yang bersabar, menolong, memelihara dan memberkahinya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (153)
“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al-Baqarah: 153)
Allah Swt berjanji akan memberikan tiga hal yang selalu menjadi doa orang muslim di dalam setiap shalatnnya yaitu: maghfirah (ampunan), rahmat dan hidayah. Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)
“Sungguh kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila mereka tertimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesunggunya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepadaya’.” Bagi merekalah shalawat (ampunan) dan kasih sayang dari Rabb mereka mereka, dan mrekalah orang-orang yang mendapat hidayah.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Imam Al-Thabari menafsirkan kata shalawat di atas dengan maghfirah (ampunan).
Allah menjadikan sabar sebagai penolong dalam setiap urusan. (QS. Al-Baqoroh: 45) maka barang siapa yang tidak bersabar, tidak ada pertolongan baginya.
Sabar Adalah Kunci Surga
Begitu tinggi kedudukan sabar dihadapan Allah Swt dan begitu nikmat orang yang telah merasakan akhlak yang terpuji ini, sehingga Allah memberikan balasan yang lebih daripada amalan-amalan yang lain berupa “ajrohum bighairi hisab” (balasan yang tak terhingga). Maka, beruntunglah orang-orang yang selalu bersabar dalam hidupnya. Karena hanya merekalah yang akan mampu menempuh segala ujian dalam hidup, sehingga berhasil menuju cita-cita abadi di akhirat kelak.
Surga terlalu mahal untuk dibayar hanya dengan ibadah yang dilakukan dalam sisa-sisa umur yang hanya beberapa puluh tahun, dan itupun dilaksanakan sangat jauh dari kesempurnaan. Kalaulah Allah berkehendak menghukumi manusia dengan kemahaadilan-Nya—bukan dengan rahmat-Nya—niscaya, tak seorangpun yang berhak mendapatkan surga. Namun Dia berkehendak memberikan surga bagi orang-orang yang bersabar di jalan-Nya. Oleh karena itu Allah kehandak menguji setiap mahluknya, apakah tergolong hamba-Nya yang pandai bersyukur atau tidak. Allah berfirman:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (214)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)
Rasulullah Saw juga bersabda:
الجَنَّةُ حُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ وَالنَّارُ حُفَّتْ بِالشَّهَوَاتِ
“Jalan menuju surga dipenuhi dengan hal-hal yang tidka disukai dan neraka dipenuhi dengan hal-hal yang mengandung syahwat”. (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan makârih dalam hadis di atas adalah segala hal yang tidak disukai oleh nafsu berupa mujâhadah yang konsisten dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangnnya. Seperti, sulitnya mendirikan shalat subuh berjamaah di masjid secara berjamaah, sedihnya hati menghadapi musibah, beratnya jiwa menjalankan jihad, susahnya menundukkan nafsu syahwat dan sebagainya. Hadis yang mulia di atas menggambarkan dengan jelas bahwa jalan menuju surga akan selalu dihalangi oleh hal-hal yang tidak disukai oleh hawa nafsu, sebagaimana halnya jalan menuju neraka, yang pastinya tak akan sepi dari rayuan setan dan buaian syahwat duniawi. Tentunya, hanya kesabaran yang akan menjadikan seseorang bertahan menerjang segala hambatan menuju surga, dan mengokohkan kaki agar tidak terjerumus ke lembah yang dipenuhi oleh maksiat.
Keutamaan Sabar dan Ahlinya
Selain disebut berulangkali dalam Al-Quran, di dalam hadis fadhilah sabar juga tidak kalah banyak disebutkan. Rasulullah menerangkan dalam sunnahnya bahwa sabar adalah kebaikan bagi setiap muslim, ketika mereka mendapat musibah. Sabda beliau:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلُّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمْنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ ؛ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menkjubkan keadaan seorang mukmin, setiap urusannya adalah kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapat kebahagiaan kemudian bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya, dan jika ia ditimpa kesengsaraan kemudian bersabar, maka hal itu adalah juga kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Prilaku seorang mukmin memang sungguh menakjubkan. Nikmat tidak membuatnya terlena dan terpedaya, musibah dan bencana tidak melemahkannya atau menjadikannya kafir. Dalam keadaan mendapat nikmat ia bersyukur kepada Allah, ketika ditimpa musibah ia bersabar sambil mengharap pahala dari Allah. Inilah cirri khas baik orang-orang yang ridha dengan takdir Allah, dan ciri ini tidak akan terwujud kecuali pada diri seorang mukmin yang kokoh imannya. Adapun orang yang lemah imannya, mereka akan selalu mengeluh, putus asa, lemah dan marah ketika ditimpa musibah. Tapi bila mereka mendapat kenikmatan, mereka berbuat kerusakan di atas dunia.
Rasulullah Saw juga menyatakan dalam sabdanya bahwa sabar adalah pelita. Tentunya pelita yang dimaksud adalah penerang dalam kehidupan dunia dan akhirat.
وَالصَّلَاةُ نُوْرٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ
“Shalat adalah nur (cahaya), sedekah adalah petunjuk, dan sabar adalah pelita...” (HR. Muslim)
Dalam hadis yang diriwayatkan imam Bukhari dalam Shahihnya disebutkan bahwa, ketika Rasulullah Saw lewat di sebuah pekubuaran, di sana ada seorang wanita yang sedang menangis. Beliau kemudian menasehatinya, “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.” Perempuan itu menjawab, “Menjauhlah engkau dariku, karena engkau tidak pernah ditimpa oleh musibah seperti musibah yang menimpaku.” Ia berkata demikian karena tidak mengetahui siapa yang menasehatinya. Rasulullah hanya bersabar dan tidak mengingkari jawaban perempuan itu. Dan sikap inilah yang seharusnya menjadi prilaku seorang da’i dalam keadaan seperti itu. Ketika Rasulullah berlalu, dikatakan kepada perempuan itu, “Dia itu Nabi Saw.” Perempuan itu sangat terkejut, karena telah menjawab tidak senonoh kepada seorang nabi Allah. Ia kemudian mendatangi Rasulullah untuk minta maaf dan baerkata, “Saya belum mengetahui anda.” Rasulullah kemudian menjawab: “Innama ‘sh-shabru inda ‘sh-shadmati ‘l-ûla,” (Sesungguhnya sabar adalah ketika "hantaman" pertama kali)
Sabar adalah pemberian Allah yang paling baik dan paling luas. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ وًمًا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْراً وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Barang siapa yang menguatkan dirinya untuk bersabar, maka Allah menjadikan ia bersabar, dan Allah tidak memberikan pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari sabar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apa di antara hikmah mengapa sabar adalah pemberian yang paling baik dan luas? Karena seorang hamba terkadang tidak mampu untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah dengan amal ibadahnya. Tetapi Allah Swt mengujinya dengan musibah atau ujian-ujian lainnya, kemudian ia bersabar menghadapinya, sehingga Allah menyampaikannya kepada kedudukan yang tinggi itu. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتَكًوْنُ لَهُ عِنْدَ اللهِ الْمِنْزِلَةُ فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ، فَلَا يَزَالُ اللهُ يَبْتَلِيْهِ بِمَا يَكْرَهُ حَتَّى يُبَلِّغُهُ إِيَّاهَا
“Sesungguhnya seorang hamba dianugerahi kepadanya manzilah di sisi Allah, ia tidak mampu mencapainya dengan amal ibadah, namun Allah selalu mengujinya dengan hal-hal yang ia tidak sukai sampai Allah menyampaikannya kepada manzilah itu.”
Hukum Bersabar
Asal hukum sabar adalah wajib, sebagaimana dalam perintah-perintah Al-Quran berikut. Allah memerintahkan kita untuk bersabar sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (200)
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah berisap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 200)
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)
“Dan minta tolonglah engkau dengan sabar dan shalat...” (QS. Al-Baqarah: 45)
Namun, secara lebih rinci hukum sabar bertingkat-tingkat. Ada sabar yang wajib, dimana seseorang akan berdosa jika tidak bersabar, dan ada pula sabar yang mustahab, boleh dilakukan atau ditinggalkan. Sabar yang wajib adalah sabar dalam menjalankan perintah-perintah wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Sabar yang mustahab adalah sabar dalam menjalankan perintah-perintah mustahab dan dalam meninggalkan hal-hal yang makruh.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa hukum sabar tidak selamanya wajib adalah firman Allah Swt:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ (126)
“Dan jika engkau membalas (terhadap kezaliman yang dilakukan kepadamu), maka balaslah seperti kezaliman yang mereka perbuat terhadapmu. Tetapi jika engkau bersabar, sesungguhnya ia lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” (An-Nahl: 126)
Ayat yang mulia turun sehabis perang Uhud. Ketika itu Rasulullah sangat bersedih melihat paman beliau Hamzah bin Abdul Muththalib yang dibunuh secara khianat. Dadanya terbelah, hatinya tercabik-cabik dimakan oleh Hindun binti Umayyah. Akhirnya beliau berniat untuk membalas perbuatan kejam ini. Namun, petuah langit segera turun untuk menegur beliau. Akhirnya dengan segara kebesaran hati dan keluasan jiwa, ketika beliau menerima ayat di atas, beliau bersabda: “Ashbir yâ Rabb.” (Aku bersabar wahai Rabb-ku).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa membalas orang yang berbuat zalim hukumnya boleh, tetapi jika orang yang dizalimi memilih untuk bersabar dan tidak membalas, maka itu lebih baik baginya, sehingga ia tergolong orang-orang yang bersabar. Tetapi jika ia tidak bersabar dan memilih untuk membalas sesuai dengan kezaliman yang dilakukan kepadanya, maka hal itu boleh saja ia lakukan, dan ia dalam hal ini tidak berdosa. Namun bersabar tetap lebih baik baginya.
Macam-macam Sabar
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid membagi sabar menjadi dua macam yaitu, sabar yang berhubungan dengan raga/badani dan yang sabar berhubungan dengan jiwa/rohani. Kedua macam sabar ini masing-masing mencakup dua bagian yaitu, sabar yang bersifat pilihan dan sabar yang bersifat paksaan (terpaksa). Dengan penjabaran ini beliau menjadikan sabar ada empat macam yaitu: sabar badani yang bersifat pilihan, sabar badani yang bersifat paksaan, sabar rohani yang bersifat pilihan dan sabar rohani yang bersifat paksaan
Untuk lebih memperjelas pembagian ini dapat diilustrasikan dalam contoh-contoh berikut. Membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan berat adalah bentuk dari sabar ragawi yang sifatnya pilihan, karena ia bisa memilih untuk melakukan pekerjaan tersebut atau meninggalkannya. Sedangkan sabar menahan rasa sakit karena pukulan adalah bentuk dari sabar ragawi paksaan, sebab rasa sakit karena dipukul tidak akan hilang darinya baik ia bersabar atau tidak.
Adapun sabar jiwa yang bersifat pilihan adalah seperti kesabaran dalam menjaga diri dari perbuatan yang dilarang oleh syariat, yang tidak diharamkan tetapi tidak baik dilakukan seperti berlebihan dalam mengkonsumsi hal-hal yang mubah. Dalam hal ini ia bisa bersabar dengan memilih untuk tetap sederhana ataupun tetap melakukannya dengan alasan bahwa hal itu hanya perbuatan makruh saja. Sedangkan sabar jiwa yang bersifat keterpaksaan adalah sabarnya seseorang yang mendapat musibah seperti kehilangan orang yang dicintainya. Sebab, baik ia bersabar atau tidak, ia tidak akan terlepas dari bencana tersebut.
Manusia sama dengan hewan dalam hal sabar terpaksa baik yang badani ataupun rohani. Akan tetapi sabar yang bersifat pilihan lah yang membedakan manusia dengan hewan. Seorang ahli hikmah berkata: “Aku tidak pernah dikalahkan sebagaimana aku dikalahkan oleh seorang pemuda dari Muruw. Suatu saat ia bertanya kepadaku, ‘Apa definisi sabar menurut anda? Saya jawab, ‘Kalau kami mendapatkan makanan, maka kami akan memakannya dan kalau tidak kami akan bersabar.’ Pemuda itu menyanggahku: ‘Kalau hanya seperti itu, maka tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh anjing-anjing di daerah kami.’ Akhirnya aku bertanya kepadanya, ‘Kalau demikian apa definisi sabar menurut anda? Ia menjawab, ‘Kalau kami tidak mendapatkan makanan, maka kami akan bersabar, dan kalau kami mendapatkannya, kami akan mendahulukan orang lain dan memberikannya mereka.”
Manusia dan Sabar
Manusia dalam kesabaran terbagi menjadi empat golongan: Pertama, mereka yang mendapatkan nikmat Allah berupa kebahagiaan dunia dan akhirat, lantaran mereka adalah ahli sabar dan ahli takwa. Mereka sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan agama.
Kedua, orang yang memiliki ketakwaan namun tidak memiliki kesabaran kesabaran. Terkadang seseorang taat beribadah, ahli zuhud, rajin berpuasa, bersedekah dan sebagainya. Namun tatkala ia diuji dengan musibah, ia ambruk dan putus asa bahkan membenci takdir sehingga terungkap perkataan-perkataan kotor. Dia berprasangka buruk pada Allah Swt tidak menerima cobaan yang dihadapinya. Imam Ibnul Jauzi pernah berkata, “Saya pernah melihat seorang yang tua, umurnya mendekati delapan puluh tahun, ia sangat rajin shalat berjamaah. Suatu ketika anaknya meninggal dunia, lantas ai berkata, ‘Tidak layak seseorang untuk berdoa kepada-Nya, karena Dia tidak akan pernah mengabulkannya’.”
Ketiga, manusia yang mempunyai kesabaran namun tidak memiliki takwa. Seperti para pelaku dosa dan maksiat. Seperti para pemabuk, perokok, pencuri dan sebagainya. Mereka tahan merasakan sakit dan penat akibat perbuatan mereka, demi meraih kepuasan sementara. Demikian juga para pencari kedudukan dan jabatan, mereka bersabar menjalani rasa sakit, penat, cercaan, penderitaan, kesusahan dan sebagainya demi mencapai tujuannya. Orang-orang kafir juga bersabar dan bersusah payah dalam kekafirannya. Bahkan mereka berusaha sekuat mungkin untuk menghalau kaum muslimin dari jalan Allah. Namun mereka tidak mendapatkan apapun dari uapaya susah payah mereka. Merka malah akan mendapatkan siksa yang pedih.
Keempat, orang orang yang tidak bertakwa dan tidak juga bersabar atas ujian yang ditimpakan kepadanya. Golongan ini adalah golongan yang paling buruk di sisi Allah. Golongan inilah yang disindir oleh Allah dalam firman-Nya:
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21)
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (19) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, (20). Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,( 21). (Al-Ma’arij: 19-21).
Derajat Kesabaran
Sabar dalam diri seorang hamba bertingkat-tingkat. Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah tingkat sabar yang paling tinggi, lebih tinggi dari sabar meninggalkan maksiat. Sabar meninggalkan maksiat juga lebih tinggi dari pada sabar menghadapi musibah. Sabar menjalankan kewajiban adalah tingkat kesabaran yang tinggi, karena melaksanakan kewajiban lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dari pada meninggalkan maksiat. Oleh karena itu, orang yang melaksanakan perintah Allah dengan hati yang ikhlas walaupun masih berbuat maksiat, lebih mulia dari pada orang yang tidak bermaksiat, namun tidak mau menjalankan perintah Allah. Demikian juga, pahala sabar meninggalkan perbuatan haram lebih besar dari pahala sabar menghadapi musibah. Hal ini karena sabar dalam menjalankan kewajian dan meninggalkan kemaksiatan bersifat ikhtiyariyah (bebas dilakukan).
Setiap orang bebas untuk taat beribadah atau tidak taat, dan juga bebas untuk bermaksiat atau tidak bermaksiat. Sehingga ketika ia sabar untuk tetap taat beribadah dan meninggalkan kemaksiatan, maka di sana ada nilai lebih, yaitu ia mampu istiqamah dalam beribadah dan menjauhi maksiat. Padahal bisa saja ia tidak taat perintah atau bermaksiat. Hal inilah yang menjadikan ibadah sabar dalam hal ini bernilai besar di sisi Allah. Bersabar ditimpa musibah juga memiliki pahala yang besar. Hanya saja musibah adalah perkara yang berada di luar kehendak manusia, sehingga ia terpaksa untuk bersabar. Musibah tidak akan hilang dengan ia bersabar atau tidak.
Sabar meninggalkan larangan juga bernilai lebih besar dari pada sabar menghadapi musibah. Imam Ibnu Taimiyah berkata tentang nabi Yusuf A.s.: “Kesabaran nabi Yusuf menghindari maksiat berzina dengan isteri pejabat pemerintah, ketika beliau diajak untuk melakukan perbuatan haram tersebut, lebih sempurna dari sabar beliau menghadapi musibah ketika dibuang saudara-saudaranya ke dalam sumur. Sabar beliau menjauhi maksiat lebih sempurna, lebih agung dan lebih besar pahalanya dari pemenjaraan dan pembuangan beliau ke sumur. Karena kesabaran yang pertama adalah sebuah pilihan, sabar yang lahir dari keridhaan, sabar yang merupakan upaya memerangi hawa nafsu, dalam suatu kondisi yang mestinya mendorong beliau untuk melakukan perbuatan haram itu.
Beliau adalah seorang pemuda, belum menikah, jauh dari daerah asal di mana seseorang biasanya tidak takut melakukan kemaksiatan. Apalagi beliau juga adalah seorang hamba sahaya yang tidak akan dihina kalaupun melakukan kemaksiatan, wanita yang mengajak beliau bermaksiat adalah majikannya dan seorang perempuan yang cantik dan terhormat. Perempuan itu sendiri juga yang mengajakknya bermaksiat, bukan beliau. Dalam keadaan seperti ini biasanya sudah tidak ada lagi kekuatan diri untuk menolak hawa nafsu yang menggejolak dan membara, ditambah lagi dengan ancaman penjara kalau tidak mau melakukannya.
Suami si perempuan juga tidak punya rasa cemburu, hanya menyuruh Yusuf untuk menghindari permasalahan ini dan menyuruh istrinya untuk beristigfar dari dosanya, ia tidak memberikan keputusan yang tepat dan tidak juga memberi solusi bagi masalah. Ketika "paksaan" bermaksiat itu dilakukan, pintu-pintu rumah terkunci rapat, tidak ada penjaga atau orang lain yang melihat. Dalam kondisi seperti ini tidak ada lagi orang yang akan ditakuti, sehingga fator-faktor yang mendorong untuk bermaksiat sangat kuat sekali. Tetapi nabi Yusuf A.s. memilih untuk bersabar menahan diri dalam menjauhi larangan Allah Swt. Maka kesabaran ini lebih tinggi dari sabar beliau ketika dibuang oleh saudara-saudaranya di sumur dan sabar beliau ketika di dalam penjara."
Medan-medan Kesabaran
Medan yang dimaksud adalah kondisi-kondisi di mana seorang mukmin dituntut untuk bersabar. Medan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketika ditimpa musibah dan bencana
Sudah menjadi ketetapan Allah Swt, bahwa Dia mencipta manusia dan akan mengujinya dengan ketakutan, kelaparan, kepayahan, kepenatan dan kesusahan. Tidak peduli orang beriman atau tidak. Masing-masing akan bersusah payah untuk mendapatkan keinginanya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus bersusah payah demi mencapai targetnya, ia harus bekerja sekuatnya untuk menjaga kepentingannya, ia harus berlelah-lelah mengurusnya. Bagi orang yang beriman, ia harus tahan ujian baik lahir maupun batin demi menjaga dan membela keimanannya. Begitu juga dengna orang kafir yang hendak menghalangi orang beriman menyembah Rabb-nya, mereka harus bersusah payah siang dan malam, dengan menggunakan segala cara. Intinya bahwa, susah payah, beban hidup dan bencana memang telah menjadi ketentuan yang harus dijalani manusia, dan semuanya akan berjalan sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Dia berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ (4)
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (QS. Al-Balad: 4)
Inilah yang menjadikan seorang mukmin tetap tabah dan sabar memegang teguh dan membela agamanya, tidak akan gentar dengan segala tantangan kesusahan dan kesulitan hidup, tekanan dari musuh-musuh Allah atau bencana yang menguji keimanan. Karena mereka menyadari, dimanapun posisinya, baik beriman atau tidak beriman, selama ia mansuia, ia tidak akan pernah lepas dari segala macam kesusahan dan kesulitan tersebut. Karena manusia memang telah digariskan untuk menjalani yang demikian itu. Akan tetapi mereka merasa bangga dan bahagia, sebab mereka dikaruniai iman. Suatu nikmat yang paling mahal yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir. Mereka tetap tabah walaupun seringkali ujian pada posisi iman, lebih berat dari pada ujian pada posisi tidak beriman.
2. Ketika nafsu membara
Pada hakikatnya nafsu syahwat adalah fitrah yang diletakkan Allah dalam setiap jiwa. Ia bukan untuk dihilangkan melainkan untuk dikendalikan, dilatih dan disalurkan pada tempatnya dengan benar. Oleh karena itu Islam melarang pengebirian dan mensyariatkan pernikahan. Nafsu memiliki potensi positif jika digunakan pada tempatnya. Artinya bahwa seseorang akan mendapat pahala besar ketika ia mampu menahan nafsunya dengan tidak menyalurkannya pada hal-hal yang haram. Kalau ia tidak punya nafsu, maka maksiat yang ia tinggalkan tidak akan mendatangkan pahala yang besar, karena tidak ada ujian bagi dirinya ketika itu, dan tidak ada nilai lebih karena memang tidak ada tantangan.
Sebaliknya nafsu memiliki potensi negatif ketika ia selalu diperturutkan dan tidak disalurkan pada tempatnya. Dapat diilustrasikan bahwa nafsu bagaikan kuda tunggangan bagi manusia. Jika si penunggang kuda tidak mengekang dan melatih kudanya dengan baik, maka akan membahyakan dirinya sendiri. Sebab menunggang kuda liar akan mengakibatkan seseorang terombang-ambing, bahkan terpental dan akhirnya terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Tetapi kalau ia dapat dikendalikan dengan baik dan telah terlatih, maka ia akan membantu manusia dalam perjalan hidupnya menuju Allah Swt.
3. Ketika kenikmatan dunia begitu menggiurkan
Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (9)
"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. Al-Munafiqun: 9)
Manusia terkadang mampu bersabar ketika ditimpa musiabah. Akan tetapi ia takluk dan tidak mampu menahan diri untuk bersabar ketika mendapat kenikmatan besar. Sebagian orang ketika diuji dengan penjara mampu bersabar. Tapi ketika ia diuji setelah itu dengan kesenangan, dibukakan kepadanya dunia berupa harta, keturunan yang banyak, jabatan yang tinggi, posisi yang terhormat, ia malah tidak mampu bersabar. Oleh sebab itu sebagian ulama Salaf mengatakan:
اُبْتُلِيْنَا بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا وَابْتُلِيْنَا بِالسَّرَّاءِ فَلَمْ نَصْبِرْ
"Kita terkadang mampu bersabar ketika diuji dengan kesusahan dan tidak mampu bersabar ketika diuji dengan kesenangan."
Mungkin seseorang akan bertanya, bagaimana kita bersabar dengan perhiasan dunia seperti harta benda dan keturunan? Jawabannya adalah seperti yang diungkapkan oleh imam Ibnul Qayyim, bahwa sabar menghadapi kehendak nafsu harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (a) tidak menjadikannya segala-galanya dan tidak tertipu karenanya, (b) tidak tenggelam dalam mengejarnya dan tidak berlebihan dalam mencarinya, (c) sabar dalam menjalankan hak Allah yang ada padanya, (d) tidak menggunakannya dalam perkara-perkara haram.
Yang dimaksud dengan tidak tenggelam dalam mengejarnya dan tidak berlebihan dalam mencarinya adalah sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang dimana sebagian orang sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk beribadah, bahkan sampai untuk shalat atau zikir kepada Allah mereka tidak punya waktu. Hidup hanya untuk kunjungan kerja, lawatan, bisnis, tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk mengingat Allah. Sebagian pegawai saking tamaknya dengan pekerjaannya, meninggalkan kewajiban-kewajiban agama, bahkan ada yang sampai bermakisat di kantornya, korupsi, menerima suap dan sebagainya. Mereka tenggelam dalam pekerjaannya. Pekerjaan adalah segala-segalanya seakan-akan dijadikan sebagai Tuhan.
Adapun sabar dalam menjalankan hak Allah yang ada padanya, berarti menjalankan perintah Allah yang berhubungan dengan harta kekayaan dan keluarga. Misalnya, Allah mewajibkan agar kita mengeluarkan zakat harta, menganjurkan banyak bersedakah dengnan menginfakkannya di jalan-jalan kebaikan, tidak terlena dengan harta sehingga ia lalai menunaikan kewajiban-kewajiban yang lain. Begitu juga dengan hak Allah pada keluarga. Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk menjaga keluarganya dari api neraka. Tentunya dengan menunaikan tanggung jawab terhadap keluarga, berupa nafkah lahir dan batin. Terutama pendidikan dan bimbingan agar mereka mengenal Tuhannya, dapat menjalankan hak dan kewajiban sebagai hamba. Melakukan sebaliknya dalam arti tidak menyalurkan hak Allah pada harta dan kekayaannya atau tidak membimbing dan mendidik keluarga ke jalan Allah, berarti melanggar keriteria yang ke empat di atas, yaitu tidak menggunakannya pada perkara-perkara haram.
4. Sabar dalam ketaatan kepada Allah Swt.
Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah derajat sabar yang paling tinggi, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun yang perlu diperhatikan bahwa sabar menjalankan perintah tidak hanya sebatas menjalankan begitu saja, melainkan ada tahapan-tahapan yang harus dilewati. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
Pertama, sabar sebelum menjalankan perintah, dengan cara memperbaiki niat, berusaha sekuat mungkin untuk mengikhlaskan ibadah hanya demi Allah semata, menghilangkan segala gangguan riya atau ingin dilihat atau dipuji orang.
Kedua, sabar ketika menjalankan perintah, dengan tidak lengah mengingat Allah, tidak bermalas-malasan dalam menyempurnakannya, memperhatikan kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnahnya.
Ketiga, sabar setelah selesai menjalankan perintah. Yaitu dengan selalu menjaga diri agar tidak mengumbar-umbar ibadah yang dilakukannya, tidak merasa ujub atau bangga diri dengan amalannya.
Sabar dalam tiga hal tersebut jika tidak terpenuhi akan berakibat batalnya pahala amalan kita. Oleh karena itu Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (33)
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian membatalkan amalan-amalan kalian." (QS. Muhammad: 33)
Lebih jelas lagi Allah menegaskan dalam surat Al-Baqarah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (264)
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membatalkan (menghilangkan pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. Al-Baqarah: 264)
5. Sabar dalam mengemban dakwah dijalan Allah
Berdakwah di era dimana manusia jauh dari agama adalah tugas yang berat. Akan banyak rintangan dan hambatan yang akan menghalangi dan tentunya keadaan ini membutuhkan kesiapan lahir dan batin dari seorang dai. Apalagi untuk mengubah sebuah tradisi dimana anak-anak tumbuh dewasa dan tua berada dalam tradisi itu, sehingga seolah-oleh telah menjadi agamanya. Mengubah tradisi itu tentu bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan kesabaran yang ekstra dan prima, guna menghadapi segala rintangan dengan lapang dada.
Penutup
Agar ibadah sabar dalam diri kita dapat tumbuh, maka hendaknya kita harus lebih memahami tabiat kehidupan dunia beserta kesusahan dan rintangan yang ada didalamnya. Manusia dicipta memang untuk diuji. Dengan ujian ini ia akan terseleksi apakah tergolong orang yang lulus atau tidak. Dengan memahami bahwa dunia beserta isinya adalah milik Allah, pahala dan balasan yang baik disiapkan untuk orang-orang yang sabar, kemudahan akan datang bersama kesabaran, maka akan bersemi dalam hati ibadah sabar ini. Semoga juga, bahsan singkat tentang hakikat sabar ini dapat membantu kita untuk mengoptimalkan ibadah sabar dalam diri kita.
Menikmati Hidup Bahagia Dengan Ibadah Ridha
Oleh: Umarulfaruq Abubakar, Lc.
Alangkah indahnya kehidupan bila ibadah ridha telah bersemayam di dalam jiwa. Apa saja ketentuan Allah menjadi selalu dapat diterima dengan hati yang lapang. Ucap kesyukuran dan desah kesabaran telah menjadi pengiring kehidupannya. Tidak ada penyesalan terhadap segala apa yang telah terjadi, tidak ada kekesalan, tidak ada caci maki, yang ada hanya kerelaan dan kepasrahan hati, sehingga seluruh sisi hidupnya menjadi detik-detik penghambaan yang utuh kepada tuhannya, dan akhirnya Tuhannya pun akan meridhainya disebabkan keridhaannya terhadap segala takdir-Nya.
Ridha adalah buah dari mahabbah seorang mukmin terhadap Allah Swt. Ridha adalah menerima dengan senang hati dan keluasan dada segala kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang mukmin yang hakiki akan selalu berusaha memurnikan ibadah ridha ini di dalam sanubarinya.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ (207)
"Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba- Nya." (QS. Al-Baqarah: 207)
Keridhaannya Begitu Menakjubkan
Hari itu dunia bergetar. Sebuah senandung doa penuh ketulusan dari sang pembawa risalah bergema memenuhi lembah Nakhlah, dekat perkampungan bani Tsaqif.
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya upayaku dan lemahnya diriku menghadapi manusia. Wahai Tuhan Yang Mahapenyayang, Engkaulah Rabb orang–orang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau serahkan diriku ini? Kepada orang jauh yang senantiasa memerangiku atau kepada musuh yang mau menangkapku?Selama tidak ada kemurkaan-Mu terhadap diriku ini atas semua itu, niscaya aku tidak peduli (akan ku teruskan perjuangan ini).
Akan tetapi ampunan-Mu sangat aku harapkan. Aku berlindung dengan cahaya keridhaan-Mu—yang telah menerangi kegelapan dan dengannya seluruh perkara dunia dan akhirat menjadi lebih baik—dari turunnya azab-Mu kepadaku. Engkaulah puncak segala pengharapan dan keridhaan. Tidak ada daya, upaya dan kekuatan kecuali atas kehendak-Mu.”
Di saat-saat seperti itu, Allah mengutuskan malaikat penjaga bukit datang mengadap Nabi Saw untuk memohon izin menghempaskan bukit Thaif ke atas seluruh penduduknya yang telah menyakiti Rasulullah Saw. Namun Nabi Saw menjawab: “Demi Allah , bahkan apa yang aku berharap dari sulbi–sulbi mereka bakal lahir generasi yang mengabdikan diri kepada Allah Rabb Yang Mahaesa. Ya Allah tunjukilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Sungguh sebuah gambaran budi pekerti yang teramat tinggi, sebuah gambaran akan kesabaran sang Nabi yang penuh kasih. Ia tidak hanya membalas lemparan batu, tapi justru mendoakan kebaikan bagi mereka dengan penuh ikhlas. Doa yang keluar dari hati yang suci dan penuh pengharapan agar semua manusia ini dapat bersamanya menuju jalan kebahagiaan. Sungguh sebuah cinta yang amat dalam dari sang Rasul pilihan Tuhan semesta alam. Dengan penuh keridhaan beliau lalui segala rintangan dalam menjalankan tugas kenabian, sehingga titik terang hidayah itupun bersinar memenuhi semesta dunia.
Episode-episode kehidupan Nabi Saw sungguh adalah serial kehidupan yang sangat menakjubkan. Ketegaran beliau di masa-masa sulit, saat boikot ekonomi di Mekah, menghadapi cacian dan siksaan dari kaum Quraisy, penentangan bangsa Yahudi pengkhianat di Madinah dan berbagai kejadian yang ada, baliau hadapi dengan penuh keridhaan. Beragam ujian dan cobaan yang dihadapi dalam rangka menyebarkan kebenaran, beliau terima dengan penuh keridhaan, kesabaran, tawakkal dan pengharapan yang tinggi kepada Allah Swt.
Takdir Allah Sudah Selesai
Tidak ridha menghadapi kenyataan sama sekali tidak dapat mengubah takdir yang sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Segala yang telah ditakdirkan pasti akan menimpa seseorang, sebagaimana juga sesuatu yang tidak ditentukan tidak akan menimpa seseorang. Pena takdir sudah diangkat dan tintanya sudah kering. Si A ingin begini, si B ingin begitu, tetapi yang akan terlaksana tetap saja keinginan Allah Swt. Allah telah mengatur segalanya berdasarkan perhitungan-Nya yang maha teliti dari ilmu-Nya yang maha luas, kebijaksanaan yang maha sempurna dan kekuasaan yang tiada batasnya.
Takdir Allah pasti berlaku dalam diri setiap hamba. Dalam munajatnya Rasulullah bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ...
”Wahai Allah, sungguh aku ini hanyalah hamba-Mu, anak seorang hamba laki-laki dan perempuan-Mu, ubun-ubunku berada ditangan-Mu, ketentuan-Mu telah berlaku pada diriku dan takdir-Mu adil pada diriku….” (HR. Ahmad)
Walaupun segala sesuatu berada di tangan-Nya, namun Allah adalah Hakim Yang Mahabijaksana. Dia menentukan takdir setiap hamba berdasarkan kemahaadilan-Nya yang tiada batas. Dia telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Nya dan tidak pula berlaku zhalim terhadap hamba-Nya. Maha suci Allah dan akan terhindar dari melakukan kezaliman kepada umat manusia. Tapi justru manusia itu sendirilah yang menzalimi diri mereka sendiri.
Sabda Nabi Saw:”… ketentuan-Mu adil pada diriku…,” mencakup ketentuan dosa dan ketentuan konsekuensi atau balasan perbuatan dosa. Kedua hal itu adalah wilayah takdir Allah. Allah menentukan dosa atas hamba-Nya karena Dia Mahamengetahui segala perbuatan yang akan diperbuat oleh hamba-Nya di muka bumi. Kemudian Dia menjalankan kekuasaan-Nya pada pengetahuan yang Dia ketahui tentang diri hamba-Nya. Dia tahu bahwa seorang hamba akan melakukan perbuatan dosa, kemudian Dia pun menakdirkan perbuatan itu pada hambanya dan akan memberikan balasannya. Dia tidak menggantinya walaupun Dia Mahakuasa melakukannya, sehingga hamba lah yang sebenarnya berbuat zalim pada dirinya sendiri, bukan dizalimi Allah Swt, karena dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman bahwa Dia telah mengharamkan Diri-Nya berlaku Zalim.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, Rasulullah Saw pernah bersabda:
إِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يُصْلحُ إِيْمَانَهُ إِلاَّ الفَقْر ، وَإِنْ بَسَطْتُّ عَلَيْهِ أَفْسَدَه ذَلِكَ ، وَإِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يُصْلِح إيْمانَه إلَِّا الْغِنَى ، وَلَوْ أَفْقَرْتُه ، لَأَفْسَدَه ذَلكَ ، وَإنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يصْلِح إيْمَانَه إلاَّ الصِّحَّة ، وَلَوْ أَسْقَمْته ، لَأَفْسَدَه ذَلِكَ ، وَإِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يصْلح إِيمَانه إلَِّا السُّقْم ، وَلَوْ أَصْحَحْتُه ، لَأفْسَدَه ذَلكَ ، وَإنَّ مِنْ عباديْ مَنْ يَطلب بَاباً من العبَادة ، فَأَكُفُّه عَنْه ، لكَيلَا يَدْخله العُجْبُ ، إني أُدبِّر عبَاديْ بعلْمي بمَا فيْ قلوْبهمْ ، إني عَليْمٌ خَبيْر
"Sesungguhnya dari diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan kefakiran, sekiranya Aku beri dia kekayaan, maka itu akan merusak imannya. Diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik dengan kecuali dengan kekayaan, sekiranya Aku beri dia kefakiran, maka itu akan merusak imannya. Diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik dengan kecuali dengan kesehatan, sekiranya Aku beri dia penyakit, maka itu akan merusak imannya. Diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan sakit, sekiranya Aku beri dia sehat, maka itu akan menghancurkannya. Diantara hamba-hambaku ada yang mengetuk pintu ketaatan namun Aku tak membukakannya untukknya agar di hatinya tidak menyelinap perasaan ujub. Sesungguhnya Aku mengatur hamba-hamba-Ku dengan pengetahuan yang aku miliki tentang apa yang di hati mereka. Sesungguhnya Aku Mahamengetahui."
Kesadaran akan hal itu semua menjadi sebuah syarat utama untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Kesadaran itu kemudian diiringi oleh keridhaan dan usaha untuk berbuat yang terbaik di setiap edisi kehidupan. Usaha itu kemudian diiringi dengan doa yang tulus agar dimudahkan untuk meniti titian takdir yang berliku. Allâhumma ya lathîf ulthuf binâ fîmâ jarat bihil maqâdîr. (Wahai yang Maha Lembut, berilah kami kelembutan di setiap ketentuannmu)
Pengertian Ridha
Secara bahasa ridha (rela dan pasrah) adalah lawan dari shukht (murka dan tidak menerima). Dalam hadits disebutkan:
اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan keridhaanmu dari kemurkaan-Mu dan dengan keafiatan-Mu dari hukuman-Mu" (HR. Muslim)
Secara istilah, ridha seorang hamba terhadap Tuhannya berarti penerimaannya atas segala ketentuan yang berlaku pada dirinya. Sementara ridha Tuhan kepada hamba adalah ketika Dia merestui, menyayangi dan menerima hamba-Nya serta tidak memurkainya, karena melihat si hamba melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan ikhlas dan istiqamah.
Titik Keridhaan
Kehidupan seorang mukmin, seperti kata syeikh Abdul Qadir al-Jailani yang dikutip di kitab Nashaihul Ibad, tidak pernah keluar dari tiga hal: amrun yamtatsiluhu (perintah yang harus ia kerjakan), nahyun yajtanibuhu (larangan yang mesti ia jauhi), dan qadarun yardha bihi (ketentuan yang mesti ia terima). Dalam lingkup segitiga inilah kehidupan seorang mukmin beredar.
Dalam hal perintah, dalam setiap waktu ada perintah yang mesti ia laksanakan baik amalan anggota tubuh, seperti shalat, puasa, berlaku jujur, membantu orang lain, menundukkan pandangan, menepati janji, maupun amalan-amalan hati, seperti kasih sayang, setia, yakin, tawakkal, sabar, syukur, dan lain sebagainya. Dalam hal larangan, ia juga senantiasa dituntut untuk meninggalkan hal-hal yang di larang Allah baik itu pekerjaan anggota tubuh, seperti, mencuri, membunuh, menyakiti hati orang lain, berkata kasar, mencuri, merampok dan lainnya, maupun maksiat hati, seperti dengki, iri hati, buruk sangka, riya, dan lain sebagainya. Adapun ketentuan Allah, itu selalu melingkupi hidupnya, kapan dan dimana pun. Semua hal yang menimpa, baik atau buruk, adalah bagian dari ketentuan Allah.
Dalam tiga hal inilah seorang yang beriman berusaha untuk menyikapinya dengan penuh keridhaan. Ia ridha dengan perintah shalat lima waktu sehari semalam, ia ridha dengan kewajiaban puasa, ia ridha dengan kewajiban membayar zakat, naik haji dan amalan lainnya, kemudian mewujudkan perasaan ridha itu dengan mengerjakan amal-amal tadi dengan sebaik-baiknya. Segala larangan Allah, walaupun ia merasa seakan itu nikmat baginya, tak akan ia sentuh. Ia ridha dengan penuh kepasrahan atas segala undang-undang yang telah Allah tetapkan yang tentunya kebaikan itu akan kembali kepada dirinya. Sementara dalam qadha dan qadar, ia menerimanya dengan hati yang lapang dada dan hati yang ikhlas. Ia senantiasa berusaha untuk berbuat maksimal dalam episode-episode kehidupannya sambil senantiasa berharap ridha dari Allah Swt.
Ridha kepada tiga hal ini adalah konsekuensi dari pengakuan ridha kepada Allah Swt. sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah. Pernyataan "Radhitu billahi Rabba, wabil islami diina, wa bi muhammadin nabiyyan wa rasuulan", menjadi sebuah pengakuan yang berarti dan benar-benar terpatri jika bisa dipahami dan dijiwai dengan baik. Maka tidak heran bila Nabi Muhammad menganjurkan untuk selalu mengulangi iqrar ini setiap pagi dan sore, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi:
مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ
"Barang siapa yang ketika sore hari mengucapkan, 'Aku ridha Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabiku, niscaya Allah pasti meridhainya." (HR. Tirmizi)
Makna "Radhitu billahi Rabba, wabil Islami Dina wabi Muhammadin nabiyyan wa rasula."
Makna dari pengakuan radhitu billahi rabba mencakup keridhan dengan hanya mencintai-Nya semata, beribadah kepada-Nya semata, merasa takut hanya kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya dan bertawakkal hanya kepadanya. Pengakuan keridhaan kepada Allah ini juga berarti pengakuan keridhaan atas segala perintahnya, ketentuannya, dan kesediaan untuk meninggalkan segala apa yang dilarangnya.
Makna dari keridhaan terhadap Muhammad Saw sebagai nabi dan utusan Allah adalah tunduk kepada segala perintah yang dibawanya dari Allah Swt dan meneladani segala kehidupannya serta melaksanakan sunah-sunnahnya. Pengakuan ini juga mengharuskan seorang mukmin untuk menjadikan nabinya lebih utama dan lebih dicintainya dari dirinya sendiri.
Adapun makna ridha kepada Islam sebagai agama ialah, benar-benar menjadikannya sebagai pedoman hidup. Mengikuti ajaran dan petunjukkan serta keberanian menolak segala hal yang tidak sesuai dengan ajarannya.
Ridha antara Karunia dan Usaha
Ibadah ridha pada hakikatnya adalah karunia dari Allah, namun ia bisa didapatkan dengan segenap usaha dan kesungguhan. Keridhaan ini adalah penghujung tawakkal, artinya setelah ada tawakkal barulah datang keridhaan. Ridha tak kan ada tanpa adanya tawakkal dan penyerahan diri kepada Allah Swt. Seorang hamba dapat mencapai maqâm ridha, seperti kata Yahya bin Mu'adz, apabila dalam interaksi dengan tuhannya ia bisa melaksanakan empat hal: bila saya diberi saya menerima, bila saya tidak diberi maka saya pasrah, bila saya ditinggalkan saya tetap menghamba dan bila saya dipanggil saya menjawab dengan segera.
Dalam kitab La Tahzan, Dr. Aidh Al-Qarni menyatakan bahwa seorang hamba dapat merasakan nikmatnya keridhaan dan merasakan segala persoalan terasa lebih mudah apabila setiap menghadapi takdir Allah, dalam hatinya selalu terbesit tiga hal:
Pertama: Mengetahui hikmah yang dirahasiakan oleh Pe,ilik takdir dan menyadari bahwa Dia lebih mengetahui kemaslahatan hamba dan apa saja yang bermanfaat baginya.
Kedua: Menyadarkan diri untuk menunggu pahala yang besar dan ganjaran yang banyak, sebagaimana janji Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang sedang ditimpa musibah dan bersabar.
Ketiga: Menyadari bahwa semua keputusan dan semua permasalahan itu adalah wewenang mutlak Rabbul Âlamîn, sedangkan tugas hamba adalah berserah diri dan tunduk kepada kehendak-Nya.
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّك (32)َ
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu?" (QS. Az-Zukhruf: 32).
Syekh Muhammad Shalih al-Munajjid juga turut memberikan resep keridhaan. Beliau berkata, "Untuk mendapatkan keridhaan hendaklah dalam dirimu ada perasaan tawakkal yang benar dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, karena dari sinilah keridhaan itu tumbuh."
Buah Keridhaan
Sungguh nikmat hidup seorang hamba yang hatinya selalu beribadah dengan keridhaan. Banyak keutamaan dunia dan khirat yang bisa dicapainya. Ibadah ridha memiliki buah yang melimpah. Orang yang ridha akan terangkat derajatnya hingga tempat yang paling tinggi, melahirkan keyakinannya yang kokoh dan mendalam, yang tentunya berpengaruh pada kejujuran dalam berucap, berbuat dan berperilaku.
Dalam buku Silsilah A'malil Qulub dan La Tahzan, Syekh Muhammad Shlaih Al-Munajjid dan Dr. Aidh Al-Qarni banyak menguraikan indahnya keridhaan dan buruknya perasaan tidak menerima takdir. Dintara manfaat keridhaan yang bisa didapatkan oleh seorang hamba adalah:
• Ridha dibalas ridha
Dalam Al-Quran Allah menyatakan:
رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ (8)
"Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya." (QS. Al-Bayyinah: 8)
Satu hal yang harus disadari adalah bahwa ridha hamba kepada Allah akan dibalas dengan ridha Allah kepada hamba-Nya. Ketika seorang hamba ridha dengan rezeki yang sedikit, maka Rabb-nya akan ridha kepadanya dengan amal sedikit yang ia persembahkan. Ketika hamba itu ridha kepada Rabbnya dalam segala keadaan yang melingkupinya dan tetap mempertahankan kualitas keridhaannya itu maka Allah akan cepat meridhainya ketika dia meminta keridhaan-Nya.
Dengan kacamata ini, coba kita melihat orang-orang yang ikhlas. Walaupun ilmu mereka tidak banyak, hanya saja Allah meridhai semua usaha mereka karena memang mereka ridha kepada Allah dan Allah meridhai mereka. Apalagi kalau ilmu dan amalnya banyak. Tentu Allah akan lebih ridha lagi terhadapnya. Berbeda dengan orang-orang munafik yang amalannya selalu ditolak oleh Allah, sedikit ataupun banyak. Hal ini karena mereka tidak ridha apa yang telah Allah turunkan dan tidak suka terhadap keridhaan-Nya, maka Allah pun menyia-nyiakan amalan mereka.
• Ketenangan dan kebahagiaan yang melimpah
Keridhaan akan melahirkan ketenangan hati, tidak tertipu menghadapi syubhat, kekuatan dalam menghadapi berbagai permasalahan seberat apapun masalah itu. Hati yang ridha akan yakin sepenuhnya dengan janji Allah dan Rasul-Nya. Hati orang seperti ini seakan selalu dibisikan oleh firman Allah yang berbunyi:
هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (22)
"Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu tidak menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al-Ahzab: 22)
Sementara sikap tidak menerima akan selalu melahirkan kegoncangan hati, keraguan, kecemasan, kegalauan, kelemahan dan sakit hati, seakan selali dibisiki dengan firman Allah:
وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا (12)
"Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan pada kami melainkan tipu daya." (QS. Al-Ahzab: 12)
Keridhaan sungguh suatu karunia yang sangat berharga yang akan memberikan ketenangan dan ketentraman. Sementara sikap tidak menerima hanya menjauhkannya dari ketenangan, sejauh besar kecilnya ketidakridhaan terhadap takdir Allah. Ketika ketentraman hilang, maka dengan serta merta kegembiraan, rasa aman, dan kedamaian hidup juga akan lenyap.
• Keridhaan adalah Kekayaan dan Rasa Aman
Barangsiapa memenuhi hatinya dengan keridhaan terhadap takdir Allah, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan kekayaan hati, ketentraman jiwa dan qana’ah (merasa cukup dan puas dengan pemberian Allah). Selanjutnya, Allah akan menjadikan hatinya penuh dengan mahabbah dan tawakkal kepada-Nya. Sebaliknya, orang yang tidak ridha, hatinya akan dipenuhi dengan hal-hal sebaliknya. Ia akan disibukkan oleh hal-hal yang melawan kebahagiaan dan keberuntungannya.
Tak akan menikmati kehidupan orang yang selalu mengeluh karena tidak menerima takdir Allah. Di matanya yang tampak hanyalah rezekinya yang selalu kurang, nasibnya selalu menyedihkan dan musibah yang menimpanya berlipat-lipat. Padahal ia merasa bahwa dirinya berhak mendapatkan yang lebih. Di matanya, Tuhan selalu berbuat tidak adil, selalu menghalanginya dari keuntungan, selalu memberikan ujian, selalu membebaninya dan seterusnya. Mengapa hal ini terjadi padanya? Allah Swt menjawab:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ (28)
"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menjadikan sirna (pahala) amal-amal mereka." (QS. Muhammad: 28).
• Keselamatan Bersama Keridhaan
Keridhaan akan mengantarkan seorang hamba dan membukakan baginya pintu keselamatan. Hal ini karena ridha akan membuat hati menjadi terbebas dan bersih dari tipu daya, kebusukan dan kedengkian. Dan hanya orang yang berhati bersihlah yang selamat dari adzab Allah. Dalam hati seperti ini hanya ada satu: Allah. Allah berfirman:
وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (87) يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (88) إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (87) (yaitu) di hari harta dan keturunan tidak berguna lagi (88) Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (89). (QS. Al-Syu'ara': 87-89)
Hati yang bersih adalah hati yang bersih kesyirikan, perkara-perkara syubhat, jauh dari keraguan, jauh dari hasad dan dengki dan jauh dari jerat-jerat Iblis yang menyesatkan. Hati yang bersih adalah hati yang ridha terhadap Allah. Semakin hamba ridha kepada Allah, maka semakin bersih hatinya. Diibaratkan keridhaan itu dengan sebuah pohon yang baik, disirami dengan air keikhlasan dan ditanam di kebun tauhid. Akarnya keimanan, dahan-dahannya adalah amal shaleh, dan buahnya sangat manis. Disebutkan dalam hadits:
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Orang yang merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabinya.” (HR. Muslim).
Demikianlah bahwa ibadah hati berupa ridha ini begitu indah. Dengannya lah kita bisa menikmati indahnya hidup di dunia dan indahnya hidup di akhirat. Semoga Allah menjadikan kita ridha terhadap-Nya dan Dia ridha terhadap kita. Hanyalah kepadanya kita berharap dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolognan. Amin.
MENYELAMI SAMUDRA TAFAKKUR
Oleh: Ruhyana
قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَى وَفُرَادَى ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا
Katakanlah: "Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja,
yaitu supaya kamu menghadap Allah, berdua-dua atau sendiri-sendiri;
kemudian bertafakkurlah... (QS. Saba': 46)
Tafakkur adalah amalan hati yang sangat agung dan mulia, karena memiliki keutamaan dan faidah yang besar. Tafakkur merupakan sarana mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, sumber pencerahan, pemahaman dan ilmu pengetahuan yang apabila dibukakan pada diri seseorang, akan melahirkan ketenangan hati, kepuasan jiwa dan kesungguhan dalam beramal, aktif, kreatif dan efektif dalam melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Itu semua dapat diawali dengan bertafakkur. Maka beruntunglah orang yang diberikan taufik oleh Allah Swt untuk bisa bertafakkur.
Telah banyak diketahui fadhilah dan keutaman bertafakkur. Akan tetapi tidak banyak orang yang benar-benar memahami hakikat dan manfaatnya, sehingga masih jarang yang benar-benar mengkhusukan waktunya untuk bertafakkur menyelami dan menghayati tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Padahal Allah Swt telah membari perintah kepada manusia untuk selalu bertafakkur, baik dalam kaeadaan berdiri, duduk atau berbaring. Bertafakkur menghayati ayat-ayat keesaan dan kebesaran-Nya, baik yang maqrû’ah-masmû’ah (dapat dibaca dan didengar yaitu Al-Quran), maupun yang mar’iyyah/kauniyah (dapat diindera, berupa alam semesta seperti langit, bumi, pepohonan, binatang ternak, pergantian siang dan malam, penciptaan diri kita, dsb).
Tafakkur adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, karena Di dalam Al-Quran, Allah Swt seringkali memerintahkan kita untuk aktif berfikir. Dalam salah satu kaidah disebutkan bahwa, "Al-Ashlu fil Amri lil Wujûb illâ Mâ dalla ad-Dalîl 'alâ khilâfihi". Maksudnya, jika Allah Swt dan Rasul-Nya memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan, maka perbuatan yang diperintah tersebut wajib dilaksanakan, kecuali ada dalil lain yang menerangkan bahwa perbuatan itu tidak wajib. Dalam perintah tafakkur ini tidak ditemukan dalil yang menerangkan bahwa tafakkur hukumnya tidak wajib. Justeru dalam sunnah Rasulullah Saw, ditemukan hadis-hadis yang menguatkan kewajiban perintah bertafakkur ini.
Berangkat dari pemahaman di atas, kita hendaknya memiliki waktu khusus setiap hari untuk bertafakkur. Karena dengan demikian, selain kita telah menjalankan perintah, kita juga akan mendapat keuntungan besar dari tafakkur ini. Diantaranya Allah Swt akan menguatkan keimanan kita, menganugerahkan cahaya-cahaya pemahaman, pencerahan dan ilmu pengetahuan kepada kita. Sebab ulama-ulama kita terdahulu dapat mewariskan turats ilmu pengetahuan yang sangat menakjubkan, tidak lain karena kuantitas dan kualitas tafakkur mereka yang prima. Imam Ibnu Al-Jauzi dalam mukaddimah bukunya Shaid al-Khâthir berkata: "Aku melihat diriku bahwa setiap kali aku membuka mata hati tafakkur, diperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban alam ghaib yang sebelumnya tak pernah terduga, sehingga mengalirlah kapadanya lautan pemahaman yang dan tak boleh dilewatkan."
Definisi Tafakkur
Tafakkur berasal dari kata fakkara yang berarti kegiatan berfikir, merenung, dan tadabbur. Menurut Ibnu Faris, seorang ulama ahli bahasa: “Tafakkur adalah aktifitas hati dalam memikirkan dan menghayati sesuatu." Artinya bahwa makna tafakkur lebih dalam dari aktifitas berpikir biasa, karena tafakkur menggunakan hati dan otak sedangkan berpikir hanya menggunakan otak. Tafakkur juga bermakna perenuangan dan penghayatan, bukan menghayal, karena menghayal dilakukan dengan tanpa memfokuskan otak dan hati.
Tafakkur Adalah Ibadah
Mengapa tafakkur adalah ibadah? Sebagaimana sebelumnya dijelaskan bahwa tafakkur merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Jika perintah itu adalah perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, maka perintah tersebut tentunya adalah ibadah. Imam Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Ubudiyah mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
العِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
"Ibadah adalah nama bagi seluruh amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt baik berupa ucapan atau perbuatan, yang batin maupun yang zahir."
Dari definisi ibadah di atas kita dapat menyimpulkan bahwa tafakkur merupakan amalan batin yang sangat dianjurkan, dan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Swt. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa tafakkur adalah ibadah sebagai berikut:
1. Perintah Allah Swt. Untuk Bertafakkur
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan kita untuk berfikir tentang ciptaan Allah, sebab semua ciptaan itu mengandung bukti kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. Selain itu Allah Swt memuji hamba-Nya yang selalu bertafakkur tentang ciptaan-Nya kapan dan di mana saja ia berada serta dalam keadaan bagaimanapun. Dia berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
"(Yaitu) orang-orang yang selalu berzdikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan (bertafakkur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'." (Al-Imran: 191)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa tafakkur merupakan salah satu ibadah yang utama. Karena ketika dzikir merupakan ibadah secara umum yang meliputi semua perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perbuatan lahir maupun batin. Maka penyebutan tafakkur--yang merupakan salah satu bentuk dzikir--setelah dzikir, menunjukkan penyebutan khusus yang mengisyaratkan bahwa amalan itu adalah salah satu bentuk dzikir yang sangat diutamakan dan dianjurkan.
Ayat-ayat yang memerintahkan untuk berfikir dan merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah Swt banyak sekali di dalam Al-Quran. Sebagai contoh, dalam surat Yunus ayat 101, Allah Swt memerintahkan hamba-Nya untuk merenungkan penciptaan langit dan bumi:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ... (101)
"Katakanlah: 'Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi'." (QS. Yunus: 101)
Bertafakkur adalah memikirkan semua ciptaan Allah di langit dan di bumi, termasuk memikirkan tentang penciptaan diri kita sendiri. Dalam surat Al-Dzariat ayat 21, Allah Swt memerintahkan berfirman:
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21)
"Dan (juga) pada dirimu sendiri (ada tanda-anda kekuasaan Allah), apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS. Al-Dzariât: 21)
Dalam ayat yang lain Allah Swt mencela orang yang berpaling dan tidak mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, seperti ciptaan-Nya yang menunjukkan kesempurnaan dzat dan sifat-Nya, hikmah syariat-Nya, dsb. Dia berfirman:
وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105)
"Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya." (Qs. Yûsuf: 105)
2. Seruan Rasulullah Untuk Bertafakkur
Rasulullah Saw menyuruh kita untuk selalu bertafakkur. Suatu hari Ibnu Umair berkata kepada 'Aisyah istri Nabi Saw: "Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang menakjubkan yang pernah engkau lihat dari Rasulullah Saw." Ibnu Umair melanjutkan perkataannya: "Maka menangislah 'Aisyah sambil berkata: "Semua perkaranya sangat menakjubkan. Suatu malam beliau (Rasulullah Saw) bersamaku kemudian berkata: "Tinggalkan aku sendiri untuk beribadah kepada Rabb-ku Yang Mahaperkasa dan Mahaagung." Maka berdirilah beliau menuju kamar mandi untuk berwudlu dan membersihkan gigi, lalu beliau mendirikan shalat. Tiba-tiba beliau menangis hingga air matanya membasahai jenggot, lalu beliau bersujud dan menangis hingga air matanya membasahi tempat sujud, kemudian beliau berbaring sampai Bilal datang untuk mengumandangkan adzan shubuh seraya berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang engkau tangisi padahal Allah Swt telah mengampuni dosa-dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang? Maka bersabdalah Rasulullah Saw: "Sesungguhnya telah turun kepadaku beberapa ayat:
(إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ)...إلى قوله... (فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ)
dan celakalah bagi orang yang membacanya akan tetapi tidak menghayati isi di dalamnya."
Dalam hadis di atas Rasulullah Saw menjelaskan bahwa orang yang hanya membaca ayat di atas tanpa menghayati maknanya akan celaka dan merugi, apa lagi orang yang tidak mengerjakan ajaran yang terkandung di dalamnya. Sebab, tujuan perintah beliau untuk menghayati ayat tersebut tiada lain agar orang yang mau membacanya dan kemudian menjalankan pesan yang terkandung di dalamnya.
3. Anjuran Ulama Salaf Untuk Bertafakkur
Riwayat-riwayat dari ulama generasi salaf tentang anjuran untuk bertafakkur banyak sekali. Hal ini menunjukkan betapa agungnya ibadah ini, dan betapa ia sangat penting bagi mereka, walaupun orang sekarang banyak yang melipakannya. Diriwayatkan dari Muhammad bin Wasi', bahwasannya seorang lelaki dari penduduk Bashrah datang kepada Ummu Dzarr ra. setelah wafatnya Abu Dzarr ra.. Ia datang untuk menanyakan ibadah yang dilakukan Abu Dzarr ra. sehari-hari. Ummu Dzarr menjawab: "Seluruh siangnya ia habiskan untuk bertafakkur di pojok rumah."
Imam Hasan berkata: "Bertafakkur sejenak lebih baik dari shalat malam." Beliau juga berkata:
مَنْ لَمْ يَكُنْ كَلَامُهُ حِكْمَةً فَهُوَ لَغْوٌ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ سُكُوْتُهُ تَفَكُّرًا فَهُوَ سَهْوٌ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ نَظْرُهُ اعْتِبَارًا فَهُوَ لَهْوٌ
"Barang siapa yang perkataanya tidak berhikmah maka perkataannya sia-sia, barangsiapa yang diamnya tidak bertafakkur maka ia telah lalai, dan barang siapa yang melihat sesuatu tanpa mengambil pelajaran maka sia-sia."
Al-Fudhail bin 'Iyâdh berkata:
اَلْفِكْرُ مِرْآةٌ تُرِيْكَ حَسَنَاتِكَ وَسَيِّئَاتِكَ
"Berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan dan keburukanmu."
Sufyan bin Uyainah seringkali mengucapkan perkataan seseorang:
إِذَا الْمَرْءُ كَانَتْ لَهُ فِكْرَةٌ ... فَفِى كُلِّ شَيْئٍ لَهُ عِبْرَةٌ
"Apabila sesorang memiliki fikrah (perenungan) ... Maka segala sesuatu baginya mengandung 'ibrah (pelajaran)."
Bisyr berkata: "Sekiranya manusia berfikir tentang keagungan dan kebesaran Allah Swt, niscaya ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya." Suatu ketika Abu Syuraih sedang berjalan, tiba-tiba ia terduduk dan menangis. Kemudian beliau di tanya, "Apa yang membuat engkau menangis?" Beliau menjawab: "Aku bertafakkur tentang hilangnya umurku, sedikitnya amalku dan dekatnya ajalku." Abu Sulaiman Al-Dârani berkata: "Biasakanlah matamu dengan menangis dan hatimu dengan tafakkur." Beliau juga berkata: "Berpikir tentang kehidupan dunia merupakan pengghalang dari akhirat dan siksaan bagi pelakunya, sedangkan berpikir tentang kehidupan akhirat akan mewariskan hikmah dan menghidupkan hati. Berdzikir akan menambah cinta kepada Allah dan tafakkur akan menambah khauf kepada-Nya."
Ibnu Abbas ra berkata: "Bertafakkur dalam kebaikan akan memotivasi seseorang untuk melakukannya, menyesali segala keburukan dan mendorongnya untuk meninggalakannya." Ibnu Ishak seorang ulama salaf berkata: "Suatu malam ketika terang bulan Dawud At-Thâ'i berada di atap rumah. Ia menatap ke langit, bertafakkur tentang keagungan penciptaan langit dan bumi. Kemudian ia menangis tersedu-sedu, sehingga tanpa sadar ia terjatuh ke rumah tetangganya. Maka loncatlah pemilik rumah dari tempat tidurnya dan segera mengambil pedang karena menyangka ada pencuri, ketika ia mengetahui bahwa orang itu adalah Dawud, ia kembali dan menaruh pedangnya kemudian bertanya: "Siapa yang melemparmu dari atap rumah?" Daud menjawab: "Aku tidak merasakan apa-apa."
Imam syafi'i adalah orang yang sangat jenius dan sangat cerdas dalam mengambil kesimpulan hukum. Beliau pernah berkata: "Kebenaran dalam melihat permasalahan akan menyelamatkan seseorang dari tipu daya, kecermatan dalam berpendapat akan menyelamatkan seseorang dari sikap berlebihan, penyesalan dan berpikir akan membuka pintu keteguhan dan kecerdasan, bermusyawarah dengan ahli hikmah merupakan keteguhan dan pencerahan hati. Maka berpikirlah sebelum bertindak, atur langkah sebelum menyerang, dan bermusyawarahlah sebelum mengerjakan sesuatu." Dan masih banyak lagi riwayat lain tentang keutamaan tafakkur yang tidak dapat dituliskan di sini.
Apa saja yang harus ditafakkuri?
Dalam bukunya Al-Fawâid imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran Allah Swt menyeru hamba-Nya untuk bertafakkur tentang dua hal, yaitu:
Pertama, merenungkan ayat-ayat-Nya yang kauniyah/mar'iyyah (ciptaan-Nya yang terlihat). Sebagai contoh, firman Allah Swt sebagai berikut:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ... (101)
"Katakanlah: 'Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi'." (QS. Yunus: 101)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. Al-Baqarah: 164)
Ayat yang pertama dengan jelas memerintahkan kita untuk melihat segala ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi untuk dijadikan bahan renungan dan tafakkur. Ayat kedua bahkan langsung memberikan contoh apa saja model ciptaan di langit dan di bumi yang perlu ditafakkuri. Setiap obyek dari pembuatan menunjukkan adanya proses perbuatan, dan setiap perbuatan menunjukkan ada yang berbuat, karena tidak mungkin ada perbuatan tanpa ada yang melakukannya, tidak mungkin ketiadaan akan melahirkan keberadaan, karena ketiadaan bukan apa-apa dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Begitu juga dengan ciptaan, pasti menunjukkan adanya penciptaan dan Pencipta. Selain itu, ciptaan yang menakjubkan bahwa Penciptanya adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, maha Berkehendak dan Maha Berkuasa, karena tidak mungkin suatu wujud dicipta oleh Pencipta yang tidak memiliki ilmu dan kemampuan.
Segala kemaslahatan dan hikmah yang terdapat dalam penciptaan itu menunjukkan kemahabijaksanaan Penciptanya. Setiap keluasan manfaat, anugerah dan kebaikan yang ada di dalamnya menunjukkan keluasan rahmat Penciptanya. Setiap pembalasan, hukuman, kehinaan dan kerugian yang ada di dalamnya menunjukkan kemurkaan Penciptanya, begitu juga dengan kemuliaan dan penjagaan membuktikan mahabbah (cinta) Penciptanya. Perubahan makhluk dari ketiadaan menjadi ada membuktikan kepastian hari kebangkitan. Fenomena perubahan dari kecil menjadi besar, sedikit menjadi banyak, kurang yang menjadi sempurna menjukkan bahwa yang memberi kesempurnaan tentulah memiliki kesempurnaan, karena Fâqidu al-syai'i lâ yu'thîhi, seseorang tidak bisa memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya.
Bertafakkur seperti ini akan membuahkan keimanan yang mendalam serta pengetahuan dan penghayatan terhadap makna nama-nama dan sifat-sifat Allah yang mulia. Hal ini akan pengagungan yang penuh dalam diri, dan pengagungan yang penuh akan melahirkan penghambaan yang utuh.
Kedua, merenungkan ayat-ayat-Nya yang matluwwah/masmu'ah (yang dibaca dan didengar, yaitu Al-Quran). Sebagai contoh adalah firman Allah Swt:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ …(82)
"Maka apakah mereka tidak mentadabbur Al-Quran,..?" (QS. Al-Nisa: 82). Dan firman Allah Swt:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (29)
"Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabbur ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai berakal." (QS. Shâd: 29). Dan banyak lagi ayat-ayat lain tentang hal ini.
Ayat-ayat di atas dengan tegas memerintahkan kita untuk mentadabbur Al-Quran. Karena mereka yang mentadabbur Al-Quran itulah orang-orang ulul albab (yang berakal). Ayat di atas juga mengandung makna bahwa orang yang tidak mau mentadabburinya berarti mereka adalah orang yang tidak berakal. Berakal tidak selamanya berarti cerdas. Karena, banyak orang yang cerdas, namun perbuatannya lebih parah dari orang gila. Salah satu makna 'aqala dalam bahasa arab adalah "mengikat". Sehingga orang yang berakal maksudnya adalah orang yang mengikat dirinya dari perbuatan buruk walaupun ia tidak cerdas. Semua orang kafir, walaupun mereka cedas, sebenarnya tidak berakal. Allah Swt berfirman:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (22)
"Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang bisu (tidak mau mengakui kebenaran) dan tuli (tidak mau memahami kebenaran) yang tidak berakal." (QS. Al-Anfâl: 22)
Jadi setiap orang yang berperilaku buruk bukanlah orang yang berakal. Orang yang berakal sebenarnya adalah orang yang menerima dan mengamalkan kebenaran, dan suka bertafakkur merenungi keagungan ciptaan Allah, menjadikan segala yang ia lihat, dengar dan rasakan sebagai pelajaran yang berharga, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat di atas. Tadabbur Al-Quran berarti menajamkan mata hati dan memfokuskan pikiran untuk menyelami makna dan kandungan Al-Quran. Dan untuk inilah Al-Quran diturunkan, bukan sekedar membaca tanpa berusaha memahami apalagi dengan hati yang lengah.
Imam Ibnu al-Qayyim berkata: "Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba dalam hidupnya di dunia dan akhirat dan lebih mendekatkannya kepada keselamatan, selain mentadabburi, memanjangkan perenungan dan memfokuskan pikiran terhadap makna ayat-ayat Al-Quran. Karena amalan ini akan menunjukkannya kepada rambu-rambu kebaikan dan keburukan, jalan, tujuan dan buah keduanya (kebaikan dan keburukan), tempat kembali bagi pelakunya.
Dengan amalan ini (tadabbur) ia telah menaruh di tangannya kunci kebahagiaan dan ilmu-ilmu yang bermanfaat, menguatkan pondasi keimanan di dalam hatinya, menghadirkan dirinya seolah-olah berada di antara orang-orang terdahulu dan menyaksikan apa yang Allah perbuat terhadap mereka, menunjukkannya tempat-tempat ibrah, membuatnya melihat keadilan dan kemurahan Allah Swt, mengenalkannya dengan dzat, nama-nama, sifat-sifat, dan af'âl (perbuatan) Allah Swt, apa-apa yang dicintai dan dibenci oleh-Nya, jalan yang menyampaikan kepada-Nya, dan apa saja yang diperuntukkan bagi orang yang menapaki jalan itu, apa saja yang memutuskan jalan menuju-Nya.
Amalan ini juga mengenalkannya tentang jiwa dan sifat-sifatnya, jalan ahli surga dan neraka serta perbuatan-perbuatannya, keadaan dan ciri-ciri mereka, amalan baik dan buruk, tingkatan orang yang mendapatkan kebahagiaan dan kesengsaraan, pembagian makhluk dalam hal apa saja mereka bersatu dan dalam hal apa saja mereka berpecah. Ringkasnya, amalan ini akan mengenalkannya dengan Rabb yang ia sembah, jalan untuk sampai kepada-Nya dan kemuliaan apa saja yang akan ia dapatkan jika telah sampai kepada-Nya. Dan mengenalkannya tiga hal sebaliknya yaitu, apa saja seruan setan, jalan yang menyampaikannya kapada seruannya dan balasan yang akan diterima oleh orang yang mengikuti seruannya berupa azab yang pedih"
Sesungguhnya, Al-Quran adalah samudra ilmu dan hikmah yang tiada bertepi. Semakin kita menyelaminya, semakin terlihat kedangkalan pengetahuan kita serta kedalaman makna dan kandungannya. Bayangkan saja, puluhan ribu buku telah ditulis untuk mengungkapkan ilmu dan hikmah yang ada di dalam Al-Quran. Namun, para ulama dari dahulu sampai sekarang dan yang akan datang, tidak pernah kehabisan bahan untuk mengkaji Al-Quran. Bahkan semakin dalam ilmu seseorang semakin ia melihat bukti kebenaran Al-Quran.
Allah Swt juga berjanji akan membuktikan kebenaran Al-Quran dengan ayat kauniyah, terhadap mereka yang tidak mau mengimaninya. Dan hal ini telah terbukti dengan kebenaran Al-Quran yang mendahului penemuan-penemuan ilmiah modern. Allah Swt berfirman:
سَنُرِيهِمْ آَيَاتِنَا فِي الْآَفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ... (53)
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar...." (QS. Fushshilat: 53)
Tafakkur Yang Disyariatkan
Ada satu hal lagi yang perlu kita ketahui untuk menambah pemahaman kita tentang ibadah tafakkur ini, yaitu perkara apa saja yang harus ditafakkuri. Pembahasan ini penting, karena akan membantu kita dalam melaksanakan ibadah ini, selain itu ada beberapa hal yang tidak boleh dijadikan obyek tafakkur. Imam Al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal Ihyâ' Ulûm Al-Dîn, memetakan perkara-perkara yang harus kita tafakkuri. Beliau menjelaskan bahwa seseorang bertafakkur tidak lebih dari dua perkara:
Pertama: Berhubungan dengan dirinya sendiri, sifat, dan keadaannya. Bertafakkur tentang diri ini ada empat macam, yaitu: bertafakkur ketaatan, kemaksiatan, hal-hal yang dapat menghancurkannya, dan hal-hal yang dapat menyelematkannya. Kedua: Berhubungan dengan Dzat Allah, sifat, nama dan bukti-bukti kekuasan dan kebesaran-Nya.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim dalam bukunya Al-Fawâid. Beliau berkata: "Adapun tafakkur yang paling bermanfaat adalah tafakkur tentang maslahat ukhrawi dan jalan untuk mendapatkannya, kemudian tafukkur tentang bahaya akhirat dan jalan untuk menghindarinya. Empat perkara inilah yang merupakan bahan tafakkur yang paling utama. Di bawah itu ada empat perkara yang lain yaitu: tafakkur tentang maslahat duniawi dan jalan untuk meraihnya, kemudian tafakkur tentang mafsadah duniawi dan jalan untuk menghindarinya.
Delapan perkara inilah yang mesti menjadi bahan renungan bagi orang yang berfikir. Empat yang pertama adalah tafakkur tentang nikmat dan pemberian Allah Swt, perintah dan larangan-Nya, jalan untuk mengenali dan mendekati-Nya, memahami makna nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia melalui Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Perenungan seperti ini akan melahirkan mahabbah kepada Allah dan makrifat tentang-Nya.
Jika seseorang bertafakkur tentang akhirat dengan segala kemuliaan dan keabadiannya, bertafakkur tentang dunia dengan segala kehinaan dan kefanaannya, merenungi terbatasnya cita-cita--yang dapat dicapai--serta sempitnya waktu yang dimiliki, semua ini akan menimbulkan kesungguhan dalam memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Lawan dari pikiran seperti di atas adalah pikiran-pikiran tercela yang ada dalam hati kebanyakan orang, seperti berpikir tentang hal-hal tidak dibebankan untuk memikirkannya, tidak juga diberikan ilmu tentangnya seperti, berpikir tentang hakikat dzat dan sifat Allah Swt yang tidak mungkin dicapai oleh akal."
Bertafakkur tentang hakikat dzat dan sifat Allah Swt merupakan sesuatu yang sangat dilarang, sebagaimana Rasullah Saw bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِى خَلْقِ اللهِ وَلَا تَفَكَّرُوْا فِى الْخَالِقِ
"Bertafakkurlah tentang makhluk Allah, dan jangan bertafakkur tentang dzat Allah."
Rasulullah Saw melarang hal ini karena akal manusia tidak akan mampu memikirkan hakikat dzat Allah Swt. Jika manusia bersikeras melakukakannya, maka perbuatannya ini tidak akan membuahkan hasil, dan bahkan akan membawanya berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Karena Allah Swt tidak memberikan pengetahuan tentang hakikat dzat-Nya. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dosa besar sebagaimana firman-Nya:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (33)
"Katakanlah: 'Bahwa Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji yang tampak dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata atas nama Allah apa yang tidak kamu ketahui'." (QS. Al-A'râf: 33)
Jelas dalam ayat di atas bahwa mengatakan sesuatu atas nama Allah adalah perbuatan yang di sandingkan langsung dengan kesyirikan, perbuatan keji, dan kezaliman, yang semua itu adalah dosa-dosa besar. Hal ini mengisyaratkan bahwa berbicara atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dosa besar. Mengatakan sesuatu atas nama Allah, termasuk di dalamnya sumpah palsu atas nama Allah, berfatwa tentang hukum Allah tanpa ilmu, dan berbicara tentang hakikat dzat dan sifat Allah.
Kita beriman kepada Allah sebagaimana Dia dan Rasul-Nya berbicara tentang diri-Nya. Kita tidak boleh mendahului keduanya. Karena dalam hal ini, tidak ada yang mempunyai otoritas berbicara kecuali Allah sendiri dan Rasul-Nya. Cukuplah bagi kita dengan mengatakan sesuatu tentang Allah sebagaimana Allah dan Rasul-Nya berbicara tentang diri-Nya. Jika di dalam ungkapan Allah dan Rasul-Nya terdapat semacam tasybîh (penyerupaan), sebelum kita berpikir tasybîh, Allah Swt telah memberikan kaidah umum untuk memahami ungkapan itu melalui firman-Nya yang berbunyi:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Mahamendengar dan Mahamelihat."
Yang disyariatkan dalam bertafakkur adalah merenungi kebesaran dan keagungan Allah Swt, kekuasaan-Nya, dan segala ciptaan-Nya. Adapun bertafakkur tentang Allah, dalam arti mempelajari dan memahami makna nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt (bukan berusaha menyelami hakikatnya), guna menambah keimanan dan pengagungan kita kepada-Nya, maka hal ini sangat dianjurkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama—seratus kurang satu—barang siapa yang menghitungnya, maka ia akan masuk surga."
Penyebutan 99 nama dalam hadis di atas tidak berarti bahwa asmâ' al-husnâ (nama-nama kemuliaan Allah) terbatas pada 99 saja. Asmâ' al-husnâ bagi Allah tidak terbatas pada jumlah tertentu. Hanya Dia sendiri yang tahu hakikat jumlahnya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis shahih:
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي
"Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang Kau miliki yang Engkau gunakan untuk menamai diri-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada siapa saja di antara hamba-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada pada-Mu, agar Engaku menjadikan Al-Quran bersemi di dalam hatiku, sebagai cahaya di dalam dadaku, yang menghilangkan kesedihan dan keresahanku..." (HR. Ahmad, Ibnu Hibbân dan Hâkim)
Jadi, agar makna hadis di atas selaras dengan hadis yang lain, maka ungkapan tersebut tidak boleh berhenti pada kata "99 nama", tetapi hari harus diteruskan dengan kalimat berikutnya, karena merupakan satu kesatuan kalimat yang tidak terputus. Dengan demikian makna hadis tersebut adalah, Allah memiliki 99 nama yang jika seseorang dapat menghitungnya maka ia akan masuk surga. Ungkapan di atas jelas tidak berarti bahwa nama Allah hanya 99. Sama seperti perkataan kita, "Aku memiliki uang 100 ribu yang kugunakan untuk bersedekah." Jelas bahwa kalimat di atas tidak berarti bahwa aku hanya memiliki uang 100 ribu. Aku bisa saja memiliki banyak uang, namun yang kugunakan untuk bersedekah hanya 100 saja. Demikian juga Allah Swt memiliki banyak nama-nama kemulian, namun siapa saja yang dapat menghitung 99 dari nama tersebut, maka ia akan masuk surga.
Adapun makna "ahshâha" (menghitung nama-nama Allah), dalam kitabnya Fath Al-Bârî Imam Ibnu Hajar menukilkan banyak penafsiran para ulama. Diantaranya adalah, menghafalnya, memahami maknanya, mengamalkannya, dalam arti mengamalkan sifat-sifat Allah yang layak bagi hamba seperti rahmân, rahîm, dsb., bukan sifat-sifat yang khusus bagi Allah yang tidak boleh ditiru seperti, Jabbâr (Mahamemaksa), mutakabbir (Mahasombong), dsb. Di antara artinya juga adalah mengamalkan muqtadhâ (konsekuensi) dari nama-nama dan sifat-sifat itu. Jika Allah adalah jabbâr maka hamba harus banyak memohon keridhaan-Nya, jika Allah adalah mutakabbir, maka hamba harus tunduk dan merendahkan diri dihadapannya, jika Allah adalah rahmân, maka hamba harus banya memohon kasih sayang kepada-Nya, jika Allah adalah Gaffâr, maka hamba harus banyak memohon ampun kepada-Nya dst.
Bertafakkur Tentang Kehidupan Akhirat
Rasulullah Saw pernah bersabda mengingatkan kita:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
"Orang yang cerdas adalah orang yang selalu bermuhasabah (mengevaluasi) terhadap dirinya, dan berbuat untuk sesuatu setelah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah." (HR. Ahmad dan Tirmizi)
Hadis yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa orang yang cerdas adalah mereka yang selalu mengevaluasi dirinya agar mengetahui sisi-sisi kekurangannya sehingga dengan itu ia termotivasi untuk beramal shalih demi keselamatannya di hari setelah kematiannya. Hadis ini juga mengajak kita untuk bertafakkur tentang limâ ba'da al-maut (sesuatu setelah kematian) yaitu kehidupan akhirat. Memikirkan tentang prahara hari akhirat, mulai dari azab kubur, padang mahsyar, pengadilan Allah, nikmat surga, azab neraka, apakah kita kelak tergolong orang yang bernasib baik atau buruk, dsb..
Ulama-ulama generasi salaf memiliki perhatian besar dalam bertafakkur tentang kehidupan akhirat. Hari-hari mereka banyak disibukan untuk merenungkan nasib diri di kehidupan akhirat nanti. Mereka banyak menangis apabila diingatkan dengan akhirat. Dikisahkan pada suatu hari seorang ulama salaf melewati tempat pembakaran api tiba-tiba berhenti kemudian langsung menangis, dikatakan kepadanya, mengapa engkau menangis? Beliau menjawab: "Aku teringat api neraka." Pada suatu hari Abdullah bin Al-Mubarak berkata kepada Sahal bin Ali saat beliau melihatnya diam bertafakkur: "Sudah sampai dimana engkau? Sahl menjawab: "Sudah sampai titian shirat." Akan tetapi yang terjadi pada zaman sekarang, manusia lebih banyak lalau dan lengah oleh kehidupan dunia. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk meneladani keshalihan ulama generasi Salaf.
Manfaat Bertafakkur
Syariat agama adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt terhadap hamba-Nya. Pengutusan para rasul dan penurunan kitab-kitab suci adalah demi keselamatan dan kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat. Maka pensyariatan ibadah tafakkur, juga untuk kepentingan manusia. Tafakkur akan membuka kesadaran mereka, bahwa kedudukan manusia hanyalah sebatas mahluk yang sangat membutuhkan kasih sayang Rabb-nya. Bahwa dunia yang fana ini tiada lain merupakan ladang beramal untuk bekal hidup di hari akhirat yang kekal. Itulah salah satu dari sekian manfaat ibadah tafakkur. Di bawah ini akan di jelaskan beberapa manfaat lain yang bisa didapatkan dari ibadah ini, dan tentunya masih banyak manfaat dan keuntungan yang belum sempat disebutkan di sini:
1. Memperteguh Keimanan Dan Menambah Kecintaan
Tafakkur merupakan salah satu wasilah untuk meneguhkan keimanan. Dengan selalu bertafakkur merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya yang tiada tara, akan timbul di dalam diri kita kekaguman dan pengagungan terhadap Sang Pencipta serta keikhlasan menyembah kepada-Nya. Kemudian akan timbul perasaan betapa kerdilnya diri ini, betapa kita hanya mahluk kecil yang tidak memiliki apa-apa, tidak bisa terlepas dari nikmat dan penjagaan Allah Swt. Betapa kita sangat membutuhkan petunjuk dan hidayah-Nya.
Dengan banyak mentafakkuri betapa luasnya nikmat, kasih sayang dan ampunan Allah Swt, aktifitas ini akan menambah mahabbah kita kepada Allah Swt, karena seseorang akan mencintai orang yang suka memberinya, apalagi Dzat yang tidak pernah putus pemberian-Nya. Dengan banyak bertafakkur tentang nikmat dan anugrah Allah Swt, hati akan tergerak untuk menjalankan perintah Allah Swt atas dasar mahabbah kepada-Nya, tidak karena terpaksa.
Manfaat khusus dari tafakkur ini adalah ilmu. Jika ilmu telah menghias hati, maka kondisinya akan berubah. Perubahan dalam hati tentunya akan berpengaruh pada perubahan dalam amal perbuatan. Perubahan dalam hati ini dapat berupa, khasyah (takut kepada Allah), rajâ' (mengharap rahmat dan ampunan-Nya), perasaan bahwa diri ini sangat kurang dalam menunaikan hak-hak Allah, bahkan sangat sering melanggar hudud-Nya (batasan-batasan hukum-Nya). Semua itu akan menimbulkan perubahan dalam amal perbuatan berupa semangat dan usaha untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya, dengan segala bentuk amal ibadah zahir. Dan jika kita benar-benar telah menunaikan hak-hak Allah maka itulah tanda bertambahnya iman.
2. Tafaqquh Fi al-Dîn
Tafakkur merupakan wasilah untuk memahami secara lebih mendalam ajaran-ajaran agama, seperti memahami hikmah dan tujuan pensyariatannya. Pemahaman yang mendalam terhadap syariat akan membuahkan kecintaan terhadapnya, serta semangat untuk membela dan mendakwahkannya kepada orang lain. Selain itu, pemahaman yang baik terhadap agama merupakan anugrah Allah yang sangat agung, dan salah satu tanda bahwa Allah Swt menjamin kebaikan hidup seseorang di dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
"Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka Dia memahamkannya dalam agamanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Untuk menguatkan makna ini mari kita lihat makna yang terkandung dalam ayat berikut. Allah Swt Berfirman:
سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ... (146)
"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku…." (QS. Al-A'râf: 146)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat di atas, bahwa orang-orang yang berlaku sombong; tidak mau taat kepada Allah di muka bumi, Allah Swt akan memalingkan mereka dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, dari hukum-hukum syariat-Nya. Artinya, sebagaimana mereka berlaku sombong tanpa alasan yang benar, Allah menjadikan akbiat perbuatannya itu kejahilan.
Tafakkur tentang keagungan Allah Swt akan melahirkan kerendahan hati dan kehinaan diri di hadapan Allah Swt. Sedangkan orang yang rendah hati (tidak sombong) akan mendapat taufik dari Allah untuk memahami dan menghayati ayat-ayat kekuasaan-Nya dan hikmah syariatnya, sebagaimana maksud ayat yang mulia di atas. Dengan kata lain bahwa orang yang rajin bertafakkur akan mendapatkan anugrah cahaya-cahaya ilmu dan pemahaman. Ia akan diajarkan dan dipahamkan langsung oleh Allah Swt ilmu-ilmu yang sebelumnya ia tidak ketahui.
Namun, fenomena yang terjadi sekarang, pemahaman manusia tentang agama semakin menurun. Dan bahkan banyak pemahaman yang justru semakin hari semakin menyesatkan banyak orang. Hal ini selain diakibatkan karena kurangnya minat orang belajar agama sehingga mengakibatkan kejahilan tehadap agama, dan penafsiran terhadap teks-teks agama berdasarkan hawa nafsu yang dilakukan oleh sebagian kaum intelek, juga karena kurangnya kemampuan dan aktivitas manusia untuk bertafakkur menyelami hikmah dan tujuan syariat agama yang hanif ini. Seandainya meraka menyempatkan diri untuk banyak bertafakkur niscaya mereka tidak akan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang sesat.
Fenomena jauhnya manusia dari agama ini sebenarnya telah diperingatkan oleh Nabi Saw empat belas abad silam. Beliau menjelaskan bahwa Islam suatu saat akan menjadi aneh. Hal ini tidak terjadi kecuali karena orang-orang telah sangat jauh dari Islam. Di Zaman sekarang keadaan ini sudah mulai tampak dari prilaku masyarakat yang jauh terhadap agama, kejahilan mereka terhadap agama, anti terhadap hukum agama sendiri, maksiat dan kemungkaran yang merajalela dsb. Semua itu membuktikan mukjizat Nabi Saw ketika beliau bersabda dalam hadis riwayat imam Muslim:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
"Islam datang sebagai suatu yang aneh, dan ia akan kembali aneh sebagaimana datangnya pertama, maka beruntunglah orang-orang yang aneh (karena berpegang teguh terhadap ajaran Islam)." (HR. Muslim)
3. Menyadari Akibat Sebelum Bertindak
Imam Ibnu Al-Jauzi berkata: "Barang siapa yang bertafakkur tentang segala akibat yang ditimbulkan oleh dunia, maka ia akan berhati-hati. Barang siapa yang yakin penjangnya perjalanan, maka ia akan bersiap-siap. Sungguh aneh dirimu yang meyakini sesuatu kemudian melupakannya, melihat bahaya sesaat namun sangat menakutinya. Engkau menakuti manusia, padahal Allah lah yang paling pantas engkau takuti. Dirimu dipenuhi oleh hal-hal yang masih engkau ragukan, tetapi tidak menghiraukan hal-hal yang engkau yakini."
Beliau menasehati kita bahwa orang yang bertafakkur tentang resiko dan akibat kehidupan dunia ini. Setiap detik dari hidup ini akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt, dan akan menerima balasan baik atau buruk. Orang yang rajin bertafakkur akan mempersiapkan dirinya agar tidak terkena akibat buruk dunia di akhirat dan berusaha agar dapat meraih kebaikannya. Selain itu di dunia manusia juga akan mendapat ajrun mu'jjal (persekot kebaikan) bagi orang yang berbuat baik, dan juga keburukan bagi orang yang berbuat buruk.
Banyak manusia yang yakin dengan adanya hari akhir di mana mereka akan diberi ganjaran terhadap seluruh perbuatan mereka di dunia, baik atau buruk, besar atau kecil, semuanya akan diperhitungkan, tidak akan ada yang terlewatkan dalam pengadilan Allah Swt. Tetapi kebanyakan mereka melupakan semua itu. Mereka hanya takut terhadap bahaya duniawi yang hanya sesaat. Mereka lebih menakuti sesama manusia dari pada menakuti Allah Yang Mahaperkasa dan maha membalas segala amal perbuatan.
Kemudian beliau melantunkan sebuah syair:
كَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ بِأَخْبَارِ مَنْ مَضَى وَ لَمْ تَرَ فِي الْبَاقِيْنَ مَايَصْنَعُ الدَّهْرُ
فَإِنْ كُنْتَ لَا تَدْرِي فَتِلْكَ دِيَارُهُمْ مَحَاهَا مَجَالَُ الرِّيْحِ بَعْدَكَ وَ الْبَقَـرُ
Seakan engkau tidak pernah mendengar kabar orang-orang terdahulu
Dan belum pernah melihat apa yang dilakukan zaman terhadap mereka yang masih hidup.
Jika memang engkau tidak mengetahuinya, maka lihatlah itu rumah-rumah (kuburan) mereka. Disapu bersih oleh desiran angin dan telapak kaki sapi
4. Motivasi Amal Shalih
Orang yang aktif bertafakkur akan lebih banyak merenungi nasibnya, di akhirat kelak. Merenungi nasibnya ketika tiba saatnya ia sampai di halte akhir kehidupannya di dunia. Di saat kebanyakan orang terlena oleh masa muda yang indah, gelamor dunia yang megah, mereka melupakan teman-temannya yang telah mendahuluinya meninggalkan dunia, karena terpedaya oleh thûl al-amal (panjang angan-angan). Sebagian yang lain mengatakan, "Sekarang waktunya menuntut ilmu dan besok kita beramal." Membiarkan diri terlena dengan alasan istirahat, "Nanti kita bertaubat kalau sudah tua", lupa bahwa kematian tidak kenal usia. Mengakhirkan taubat, padahal maut sering menjegal tanpa permisi.
Tetapi orang yang menjadikan tafakkur sebagai kebiasaannya, akan menyadari semua itu. Tafakkur akan membuahkan qashr al-amal (pendek angan-angan). Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan maksud qashr al-amal yaitu, menyadari dekatnya waktu berpulang, cepatnya perjalanan waktu, sehingga menjadikan seseorang lebih memfokuskan diri untuk memanfaatkan waktu dengan bersegera menggelar lembaran amal shalih, menyiapkan bekal safar yang panjang dan melengkapi kekurangan-kekurangan diri. Sebab ia tidak tahu kapan Rabb-nya akan menjemput dirinya secara tiba-tiba, dan ia tidak tahu akan bagaimana nasibnya ketika itu.
5. Meluaskan Cakrawala Ilmu dan Pengetahuan
Faidah dan manfa'at yang pertama dari tafakkur adalah menambah dan memperbanyak ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Dari mana para ulama terdahulu menghasilkan ilmu yang luas dan melimpah? Bagaimana mereka bisa menulis buku-buku turats yang demikian menakjubkan? Tidak diraguikan lagi bahwa, selain kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu, sebagian besar hasil tesebut bersumber dari hasil perenungan mereka terhadap ayat-ayat Allah yang tersurat maupun tersirat.
Tabiat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang. Semakin lama akal manusia semakin maju. Apabila dalam akal seseorang terdapat sepuluh maklumat, maka elaborasi maklumat yang sepuluh ini, akan menghasilkan seratus maklumat lainnya dan yang seratus akan menghsilkan seribu maklumat dan seterusnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern saat ini. Manusia yang hidup seribu tahun lalu tidak mengetahui kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai manusia sekarang.
Ayat-ayat Al-Quran yang menyerukan untuk bertafakkur:
Selain menganjurkan kita untuk bertafakkur, Allah Swt di dalam Al-Qur'an memberi kita contoh beberapa ayat yang merupakan perumpamaan yang mengajak kita untuk bertafakkur. Sebagai contoh adalah ayat-ayat berikut ini:
1. Surat Al-Baqarah ayat 266 :
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (266)
"Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Tiba-tiba kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, hingga terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya." (QS. Al-Baqarah: 266)
Dalam ayat ini diperumpamakan seorang tua yang sangat mencintai kebunnya. Hatinya sangat bergantung pada kebun itu disebabkan karena beberapa hal, antara lain: Sesungguhnya kebun tersebut adalah kebun yang besar. Di dalamnya terdapat berbagai jenis pepohonan yang banyak dan sangat berharga, diantaranya adalah kurma dan anggur. Sumber air bagi kebun itu tidaklah sulit, karena air mengalir dari sungai yang ada di dalam kebun tersebut. Pemilik kebun itu adalah seorang yang sudah sangat tua, sehingga ia tidak bisa lagi bekerja mencari nafkah untuk keluarganya kecuali dengan mengharapkan hasil panen dari kebun itu. Keturunan pemiliki kebun itu masih Mempunyai kecil-kecil, kalau ia mati tidak ada sumber rezeki bagi anak-anaknya kecuali kebun itu. Jadi, ketergantungan hatinya terhadap kebun itu sangat besar.
Maka akan seperti apa perasaan orang tua tersebut apabila kebunnya itu hancur begitu saja, karena diterpa badai yang mengandung api dan membakar seluruh isi kebun itu? Demikianlah Allah memberi perumpamaan bagi orang-orang yang beramal shalih, bersedekah, dan sebagainya, akan tetapi semua yang ia lakukan tidak diniatkan ikhlas karena Allah. Ia hanya mengaharapkan pujian dan sanjungan orang lain. Maka pada hari kiamat kecemasan-kecemasan akan mendatanginya dari segala penjuru, padahal ia sangat membutuhkan pahala kebaikannya di dunia, yang akan menyelamatkannya dari api nereka, terik matahari yang panas membara, titian shirat yang membentang di hadapannya, dan huru-hara hari kiamat yang lainnya. Tidak ada keselamatan baginya kecuali dengan amal shalih yang dilakukan ikhlas karena Allah Swt. Namun pahala amalannya hangus dan hancur karena riya dan ingin disanjung orang.
2. Surat Yunus ayat 24:
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (24)
"Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti hujan yang kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan subur tanam-tanaman bumi karena air hujan itu, yang kemudian dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu menjadi indah dan terhiasi (dengan gunung, lembah dan tanaman yang menghijau), dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti dapat memetik hasilnya, tiba-tiba datanglah kepadanya urusan kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir." (QS. Yûnus: 24)
Ayat di atas menggambarkan hakikat kehidupan dunia yang diumpamkan seperti air hujan yang turun dari langit dan menyatu dengan tumbuhan yang ada di bumi, kemudian tumbuhan tersebut menjadi indah dan enak di pandang bagi penghuninya. Namun ketika suatu waktu pemiliknya ingin menperoleh hasilnya, Allah Swt menetapkan hancurnya alam semesta ini. Demikianlah kehidupan dunia yang sifatnya penuh dengan kenikamatan dan kelezatan, keindahan kegemerlapan yang pada akhirnya akan hancur dan tiada tersisa. Allah menjelaskan perumpaan ini untuk kita, supaya bisa memikirkannya dan mengambil ibarat darinya sehingga tidak terjerumus dan terpedaya oleh gemerlap dunia yang semu dan sementara.
Demikialan sekelumit tentang samudra Al-Quran yang perlu ditafakkuri. Siapa saja dapat menyelaminya semampunya. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk melakukannya dan menganugerahkan kepada kita hikmah hidup yang dapat menjadi penerang jalan menuju-Nya. Wallâhu A'lam
Muhâsabah; Kunci Kemuliaan Diri
Oleh; Umarulfaruq Abubakar, Lc.
Memulai pembahasan kali ini mari sejenak kita merenungi firman Allah Swt yang berbunyi:
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan- kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Mahaluas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”(QS.Al-Najm: 32)
Ayat Allah Swt tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa dan yang tidak. Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Dia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.
Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan setan yang gencar dari segala penjuru. Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan setan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran untuk selalu murâqabah dan muhâsabah adalah satu kemestian.
Pengertian Muhâsabah
Secara bahasa muhâsabah berasal dari kata hâsaba-yuhâsibu yang berarti menghitung. Jadi muhâsabah merupakan usaha seorang muslim untuk menghitung dan mengevaluasi diri, berapa banyak dosa yang telah ia kerjakan dan apa saja kebaikan yang belum ia lakukan. Muhâsabah juga merupakan sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan 'Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Sebagian ulama menyatakan bahwa muhâsabah adalah kesiapan akal untuk menjaga dirinya dari perbuatan khianat, dan senantiasa bertanya dalam setiap perbuatan yang ia lakukan; mengapa ia melakukannya dan untuk siapa ia lakukan? Apabila ternyata perbuatannya itu karena Allah, maka ia melanjutkannya. Namun bila ia berbuat karena selain Allah maka segera ia menghentikannya,dan menyalahkan dirinya atas kekurangan dan kesalahan yang ia lakukan. Bila mungkin, hendaknya ia berusaha untuk menghukum dirinya atau memalingkannya ke arah kebaikan.
Urgensi Muhâsabah
Muhâsabah adalah kewajiban yang sangat penting dilakukan. Ia adalah kunci kemuliaan dan kebersihan diri seorang muslim. Banyak ayat Al-qur'an yang menyiratkan perintah muhâsabah ini, antara lain:
1) Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Mujâdalah; 6
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
”Pada hari ketika Allah Swt. membangkitkan mereka semuanya, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkannya sementara mereka melupakannya. Dan Allah Swt. Maha Menyaksikan atas segala sesuatu"
(QS. Al-Mujâdalah; 06)
2) Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Zilzalah; 8-6
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتاً لِّيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ {6} فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ {7} وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ {8{
”pada hari itu manusia berbangkit berpisah-pisah untuk diperlihatkan amalam mereka. Maka barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarrah maka dia akan melihat balasannya dan barang siapa yang berbuat kejahatan sebesar zarrah dia pun akan melihat balasannya" (QS. Al-Zilzalah; 8-6)
3) Firman Allah Swt. dalam Surat Ali Imran; 30
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَراً وَمَا عَمِلَتْ مِن سُوَءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَداً بَعِيداً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَاللّهُ رَؤُوفُ بِالْعِبَادِ {30{
"Pada hari kiamat tiap-tiap diri memperoleh segala kebajikan yang telah ia lakukan dihadirkan kepadanya, begitu pula dengan kejahatan yang ia kerjakan. Ia ingin agar kejahatan itu dijauhkan darinya. Dan memperingatkanmu terhadap siksa diri (siksa)-Nya. Dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya (Ali Imran; 30)
4) Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Baqarah; 281
وَاتَّقُواْ يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ {281{
"Dan takutlah dengan suatu hari, yang dihari itu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudia akan disempurnakan (ganjaran) tiap-tiap orang (menurut) apa yang telah ia kerjakan, sedangkan mereka tidak dianiaya (QS. Al-Baqarah; 281)
Selain ayat-ayat yan tersebut diatas, banyak lagi ayat lainnya yang menyiratkan perintah agar setiap muslim senantiasa melakukan muhâsabah untuk menghadapi kematian yang datangnya tiba-tiba.
Muhâsabah adalah jalan orang-orang yang beriman. Seorang mukmin yang bertakwa kepada Rabb-nya akan selalu memuhâsabahi dirinya. Ia menyadari bahwa hawa syahwatnya tidak akan pernah membiarkan dirinya berjalan menuju kebaikan. Banyak cara yang digunakan nafsu syahwat untuk menggelincirkan manusia dari jalan kebenaran. Maka evalusi diri menjadi suatu yang penting untuk tetap menjaga keseimbangan diri agar selalu berada di jalan yang benar.
Al-Hasan Al-Bashri berkata saat mengomentari firman Allah, walâ uqsimu binnafsillawwâmah, "Seorang mukmin akan selalu bertanya kepada dirinya; Apa tujuan dari pembicaraanku ini? Apa tujuan dari makanku ini? Apa tujuan dari minumku ini? Sementara seorang fâjir (pendosa) terus melangkah dan tidak pernah bertanya kepada dirinya." Dalam kitab Ighâtsatullahfân, Ibnul Qayyim menyatakan; "Sesungguhnya seluruh penyakit hati berasal dari dorongan nafsu, yang pada gilirannya penyakit ini akan berpengaruh kepada anggota tubuh yang lain."
Oleh karena itu, seringkali dalam pembukaan pidatonya Rasulullah Saw memohon kepada Allah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
"Segala puji bagi Allah, kami mohon pertolongan, mohon petunjuk dan mohon ampun kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kami dan keburukan amalan kami." (HR. Ahmad, Tirmizi, Nasai dan Abu Daud)
Beliau berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu dan amal-amal buruk yang disebabkan olehnya. Seorang mesti bersungguh-sungguh mencontoh hal ini dan berjuang menghadapi nafsunya dengan senantiasa melakukan muhâsabah. Sebab banyak sekali kebaikan yang akan luput dari orang yang tidak melakukan muhâsabah. Seorang muslim hendaknya memelihara dirinya dari perkara yang haram dan menjauhi dirinya dari perkara syubhat. Apalagi bagi penuntut ilmu. Sebab bila ia tidak menjaga dirinya maka ilmunya tidak akan bermanfaat. Bahkan akan menjadi saksi yang buruj di hadapan Allah Swt.
Penjagaan diri adalah pokok segala keutamaan. Sementara kelalaian akan menjauhkan seseorang dari kebenaran. Orang yang berilmu seharusnya melakukan muhâsabah dengan sungguh-sungguh terhadap dirinya. Hal ini dapat memberikan manfaat kepada dirinya dan orang-orang yang disekitarnya. Sebaliknya kelalaiannya dalam hal ini akan menyesatkan dirinya dan menyesatkan orang-orang disekitarnya. Disisi lain, kebiasaan melakukan muhâsabah dalam segala hal dapat meminimalisir terjadinya kesalahan yang berulang. Kebiasaan ini juga menjadikan seseorang produktif dalam berkarya dan meningkatkan kualitas amal perbuatannya.
Dalam sebuah kesempatab Umar bin Khattab pernah berpesan:
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَزِنُوْا أَعْمَالَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا فَإِنَّهُ أَهْوَنُ فِى الْحِسَابِ غَدًا أَنْ تُحَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ
"Hisablah diri kalian sebelum kelak di hisab di akhirat dan timbanglah amalan kalian sebelum nantinya ditimbang di hari kiamat. Sungguh lebih mudah kamu menghisab dirimu sekarang daripada nanti besok dihisab di padang mahsyar."
Apa Yang Harus Dimuhâsabah dan Kapan Dilakukan?
Seorang pedagang yang cerdas akan menghitung laba setiap hari agar mengetahui untung-rugi perdagangannya. Seorang mukmin ibarat pedagang yang selalu mengontrol modal, keuntungan, dan kerugian, agar dapat diketahui apakah dagangannya itu untung atau rugi. Modal seorang mukmin adalah Islam yang mencakup segala perintah, larangan, tuntutan, dan hukum-hukumnya. Keuntungan akan diperoleh bila kita melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya. Dan kerugian akan didapat bila kita melakukan perbuatan dosa dan maksiat.
Ketika kita selalu memperhatikan modal, memperhitungkan keuntungan dan kerugian, bertobat dikala melakukan kesalahan dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan, Insya Allah kita termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari penghisaban, yaitu hari kiamat. Maka kita pun hendaknya menghitung dan memuhâsabah diri kita, karena pada dasarnya kita sedang melaksanakan perdagangan dengan Allah Swt. atas diri dan harta kita. Allah Swt. telah membelinya dengan surga sebagaimana firman Allah Swt., “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS.Al-Taubah: 111)
Ibnul Qayyim menyatakan bahwa waktu muhâsabah itu ada dua; muhâsabah yang dilakukan sebelum melaksanakan sesuatu dan muhâsabah yang dilakukan setelah melakukan sesuatu. Berikut ini adalah penjelasan waktu muhâsabah yang dimaksud.
Pertama; Muhâsabah sebelum melakukan sesuatu
Ialah dengan memperhatikan niat dan keinginan diri sebelum melakukan suatu hal. Muhâsabah ini hendaklah dilakukan sejak munculnya lintasan hati (khawâthîr) dalam diri. Hal ini dilakukan dengan bertanya kepada diri; apakah pekerjaan ini karena Allah atau tidak? Bila pekerjaan tersebut karena Allah, maka silahkan melanjutkannya, namun bila bukan karena Allah, hendaklah ia secepat mungkin meninggalkannya.
Al-Hasan berkata: "Sungguh Allah merahmati seorang hamba yang memperhatikan keinginannya dan melakukan muhâsabah terlebih dahulu. Apabila pekerjaan itu karena Allah dia segera melaksanakannya, namun bila perbuatan itu bukan karena-Nya dia meninggalkannya secepatnya"
Dalam proses muhâsabah sebelum melakukan suatu pekerjaan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Apakah ia mampu melakukannya?
2. Apakah melaksanakannya lebih baik dari meninggalkannya?
3. Apakah perbuatan ini dilakukannya karena Allah?
4. Apa saja sarana yang akan ia gunakan dalam hal ini?
Kedua; Muhâsabah Setelah Melakukan Suatu Kegiatan
Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
Pertama; memuhâsabah diri atas ketaatan yang kurang maksimal dilakukan. Seperti kurangnya khusyu' ketika shalat, atau rusaknya nilai puasa karena maksiat yang dilakukan atau tidak sempurnanya haji karena beberapa pelanggaran. Perlu juga ditanyakan kepada diri sendiri; apakah saya telah melakukan ketaatan ini dengan sempurna? Apakah sudah sesuai dengan tuntunan sunnah? Apakah ada yang kurang?
Dalam melakukan ketaatan ada enam hak Allah yang harus dipenuhi oleh seorang hamba. Enam perkara inilah yang harus sering kali dipertimbangkan dan dievaluasi olehnya.
1. Keikhlasan melaksanakannya
2. Walâ' (loyalitas) kepada Allah
3. Sesuaikah dengan sunnah Rasulullah Saw?
4. Apakah telah diupayakan untuk membaguskan dan menyempurnakannya
5. Pengakuan bahwa ketaatan ini adalah nikmat dari Allah
6. Pengakuan tentang kekurangan diri dalam melaksanakan ibadah
Bila muhâsabah itu perlu dilakukan ketika melaksanakan ketaatan maka muhâsabah ketika melakukan kemaksiatan tentunya lebih perlu lagi. Evaluasilah segala pelanggaran yang dilakukan oleh mata, telinga, lidah, tangan, kaki, perut, kemaluan dan anggota tubuh lainnya. Sebab maksiat dan dosa berdatangan dari semua itu. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina; ia akan pasti akan menemukan hal itu. Zina mata adalah pandangan, zina lidah adalah ucapan, zina jiwa adalah khayalan dan syahwat dan kemaluan akan membuktikan hal itu atau menafikannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Shahih imam Muslim dari sanad yang lain ditambahkan:
وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِي فَزِنَاهُ الْقُبَلُ
"Dan kedua tangan berzina, zinanya adalah pegangan, kedua kaki berzina, zinanya adalah langkah, bibir berzina, zinanya ciuman." (HR. Muslim)
Dari riwayat imam Muslim juga dengan sanad yang lain ditambahkan:
وَالْأُذُنُ زِنَاهَا الِاسْتِمَاعُ
"Dan telinga, zinanya adalah pendegnaran." (HR. Muslim)
Kedua; memuhâsabah diri atas segala perbuatannya yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan, bila ia melalaikan dari ibadah yang utama. Seperti seorang yang sibuk dengan shalat malam sementara shalat shubuhnya terlewatkan. Disini kita dituntut merenung dan berfikir untuk melakukan amal yang terbaik, dan meninggalkan amalan lain yang kurang utama atau dapat menghalangi diri untuk melaksanakan amalan terbaik tadi.
Ketiga; memuhâsabahi diri atas pekerjaan-pekerjaan yang mubah. Untuk apa hal ini saya lakukan, apakah saya melakukan ini karena mengharap ridha Allah, apakah hal ini ada manfaatnya bagi diri saya di dunia dan akhirat, adakah pekerjaan lain yang bisa saya lakukan yang lebih bermanfaat dari pekerjaan ini? Dan seterusnya. Dengan selalu bertanya seperti ini, maka keuntungan yang akan didapatkan semakin berlipat ganda. Seluruh amal perbuatan akan lebih berkualitas dan bernilai ibadah di sisi Allah Swt.
Cara Mengevalusi dan Mengetahui Kekurangan Diri
Sesungguhnya bila Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah akan memberikan kesempatan kepada hamba tersebut untuk mengetahui aib dan kekurangannya untuk diperbaiki di kemudian hari. Dalam kitab Ihya 'Ulum Ad-dîn, Imam Al-Ghazali menyebutkan empat cara yang bisa digunakan untuk mengetahui kekurangan diri sendiri:
Pertama; duduk di hadapan seorang syekh yang bisa melihat aib dan kekurangan diri, minta pengarahan darinya untuk menunjukkan kekurangan yang ada sekaligus meminta solusi bagaimana menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.
Kedua; meminta kepada kawan yang jujur dan baik dalam beragama untuk mengawasi dan mengingatkannya serta menunjukkan kepadanya kekurangan dirinya. Demikianlah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang shaleh dan para ulama. Umar bin Khattab pernah berkata; "Semoga Allah merahmati orang-orang yang mau menunjukkan kepadaku akan aib dan kekuranganku". Dalam sebuah pepatah dikatakan; temanmu adalah orang yang berkata benar tentangmu, bukan orang yang selalu membenarkanmu.
Ketiga; memanfaatkah lidah para musuh. Orang yang dihatinya ada kedengkian dan permusuhan akan selalu mencari-cari kekurangan orang yang dimusuhinya. Hal ini ini bisa dimanfaatkan untuk mengetahui celah-celah diri dan kemudian memperbaikinya. Musuh yang selalu dapat menunjukkan dan memberikan masukan tentang kekurangan diri jauh lebih bermanfaat daripada kawan yang hanya bisa memuji dan membenarkan kita dalam setiap tindakan.
Keempat; memperluas pergaulan dan interaksi. Seorang mukmin adalah cermin dari saudaranya. Ia dapat memperhatikan tingkah laku orang-orang yang ada di sekitarnya untuk memperbaiki dirinya. Apa yang baik dicontohnya dan apa yang buruk dari perilaku mereka segera ditinggalkannya. Nabi Isa a.s. pernah ditanya; siapakah yang mendidikmu (sehingga engkau bisa memiliki akhlak yang mulia)? Nabi Isa menjawab; "Tidak seorang pun yang mendidikku. Hanya saja bila aku melihat perbuatan yang tidak terpuji dari seseorang, maka aku menjauhi perbuatan itu.
Tahapan-Tahapan Peningkatan Diri
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.
Dalam Al-Quran Allah befirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ
Hai orang-orang yang beriman, sabarlah kamu dan teguhkanlah kesabaranmu dan bersiap-siagalah (QS. Ali-Imrân: 200)
Keinginan untuk menata diri menjadi lebih baik tidak cukup sekedar keinginan dan hanya berakhir dengan ucapan. Keinginan mulia yang ada di hari ini mesti ditindaklanjuti dengan proses yang nyata dalam kehidupan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam usaha peningkatan diri, para ulama menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang mesti dilalui.
Tahapan-tahapan tersebut adalah Musyârathah (berjanji dengan diri sendiri) kemudian diikuti oleh Murâqabah (merasa diawasi Allah) yang disertai dengan Mujahadah (bersungguh-sungguh). Setelah perjuangan yang sungguh-sungguh itu lakukanlah Muhâsabah (evaluasi) dan Mu'atabah (mencela diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan). Bila ternyata diri ini banyak berbuat kelalaian dan tidak sesuai dengan perjanjian awal yang sudah dibuat, maka lakukanlah Mu'aqabah (menghukum diri sendiri), dan bila ternyata dia mampu berbuat sesuai harapan atau lebih dari apa yang diinginkan maka berikanlah ia Mukafa'ah (memberi hadiah).
• Musyarathâh atau Mu'ahadah (Berjanji dengan diri sendiri)
Musyarathâh atau Mu'ahadah berarti mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah Swt di alam ruh. Di sana sebelum menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi atas hal itu.” (QS. Al-A'râf:172). Musyarathâh atau Mu'ahadah juga sebuah bentuk perjanjian dengan diri sendiri untuk berbuat yang terbaik di hari ini sesuai dengan apa yang Allah perintahkan.
Kegiatan berjanji dengan diri sendiri ini bisa dilakukan setiap bulan, setiap minggu atau setiap hari. Semakin sering dilakukan maka kesadaran akan tugas dan tanggung jawab diri ini semakin tinggi. Hanya perlu meluangkan sedikit waktu untuk melakukannya. Setelah shalat shubuh misalnya, duduk sejenak sekitar lima belas menit untuk mengevaluasi hubungannya dengan Allah dan mengigat-ingat kewajiban yang Allah tetapkan kepadanya. Setelah ingat akan kewajiban kepada Allah, mulailah mengingat-akan kewajiban dan tugas yang diamanahkan kepadanya, baik menyangkut urusan ruamh tangga, kerja, karir, studi, sosial dan lain sebagainya.
Perlu terus diingatkan kepada diri bahwa kehidupan ini begitu singkat. Waktu akan cepat berlalu. Bila hari ini dia tidak berbuat yang terbaik maka kesempatan untuk berbuat itu akan berlalu begitu saja. Buat perjanjian dengan diri sendiri bahwa hari ini saya akan berbuat yang terbaik, hari ini sekian tugas akan saya selesaikan, sekian amanah akan saya tunaikan, dan sekian kewajiban akan saya selesaikan sepenuh hati. Dengan ber-mu'ahadah, kesadaran diri lebih meningkat, perencaanan lebih matang, hidup lebih terarah, lebih disiplin, tertib dan efisien dalam menggunakan waktu. Detik demi detik bisa dilalui dengan penuh produktifitas dan menjadi sebuah rangkaian ibadah kepada Allah Swt.
• Murâqabah (Merasa diawasi Allah)
Setelah perjanjian ini dilakukan, maka mulailah memperhatikan dan mengawaasi janji yang dilakukan. Sebab diri ini ingin bersenang-senang dan berlepas dari kewajiban dan amanah yang harus ia laksanakan. Hal ini untuk menjaga agar perjanjian yang dilakukan sebelumnya bisa dipenuhi dan diwujudkan dengan baik. Setiap ingin melakukan sesuatu, dalam diri berusaha dihadirkan perasaan merasa diawasi oleh Allah Swt. Allah Maha Melihat dan memperhatikan segala gerak-gerik dengan teliti. Dia tahu tentang gerak-gerak itu ketika baru sebagai lintasan pikiran bahkan jauh sebelum itu.
Perasaan selalu diawasi oleh Allah adalah perasaan yang patut ditumbuhkan dalam hati seorang mukmin. Sebuah keyakinan bahwa seluruh gerak-geriknya disaksikan oleh Allah. Keyakinan kuat yang menjadikannya selalu merasa malu dan takut kepada Allah, baik karena tidak sempurna melaksanakan perintah dan banyak melanggar larangan. Orang yang dapat mencapai derajat ini, berarti telah mencicipi derajat Ihsân. Derajat di mana menyembah Allah, seolah-oleh ia melihatnya. Rasulullah Saw bersabda ketika ditanya malaikat jibril tentang Ihsân ini:
مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Engkau menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jikapun kamu tidak melihat-Nya maka Dia pasti melihatmu" (HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya keyakinan seperti ini mendorong setiap orang untuk selalu mengikhlaskan hati dalam berbuat. Sebab, kesalahan dalam berniat dapat menyebabkan rusaknya amal. Allah meliahat gerak-gerik makhluk-Nya, termasuk kita, manusia. Getaran-getaran maksiat yang terdetik di hati seluruhnya diketahui oleh Allah. Disaat sendiri, godaan untuk berbuat maksiat itu biasanya lebih kuat. Baik itu zina mata, telinga, zina hati, dan berbagai bentuk maksiat lainnya. Padahal saat itu kita tidak sendiri. Ada satu Zat yang selalu memperhatikan;
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
"Dan Dia selalu bersama kamu dimana saja kamu berada" (QS. Al-Hadîd: 04)
Suatu saat Khalifah Umar menguji seorang penggembala untuk menjual seekor anak kambingnya dan mengatakan kepada tuannya bahwa anak kambing itu dimakan serigala. "Fa ainallah?" (lalu, dimanakah Allah)?" Tanya si penggembala kepada Umar. Jawaban anak gembala ini membuat Umar r.a. menangis tersedu-sedu. Dimanakah Allah? Memang saat ini hanya kita berdua, ataupun sendiri, tapi dimanakah Allah? Bukankah Dia selalu menatap makhluk-Nya? Orang yang selalu merasakan hadirnya pengawasan Allah akan memegang teguh janji dan amanah yang dibebankan kepadanya sebagai makhluk.
Tingkatan Murâqabah
Menurut Imam Al-Ghazali, murâqabah itu mempunyai dua tingkatan. Tingkatan tersebut adalah:
Pertama, tingkatan orang-orang yang dekat degnan Allah (Al-Muqarrabûn). Dalam tingkatan ini, seorang hamba merasakan kebesaran Allah dalam setiap detik hidupnya. Ia seakan tenggelam dalam samudra keagungan-Nya. Sehingga kehadiran manusia, setinggi apapun kedudukannya, tidak lagi berpengaruh di hatinya. Sebab keyakinannya akan kehadiran Allah telah kuat terpatri di lubuk hatinya.
Kedua, tingkatan orang-orang yang zuhud. Dalam tingkatan ini seorang hamba merasa malu dengan pengawasan Allah. Ia merasa malu kepada Allah yang selalu hadir dalam setiap geraknya. Perasaan malu ini mengontrol dirinya untuk selalu berada di jalan kebenaran.
Menumbuhkan Murâqabah
Dalam buku Taujîhât Nabawiyyah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh menyebutkan bahwa perasaan murâqabah ini bisa ditumbuhkan dengan keyakinan bahwa Allah mengetahui apa yang dilakukan setiap manusia, sebagimana firmannya:
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ (3)
"Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi; dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, serta mengetahui semua yang kamu usahakan." (QS. Al-An'âm: 3).
Dan keyakinan bahwa Allah akan memperhitungkan dan membalas segala perbuatan manusia, sebagaimana firmannya:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا (49)
"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang durhaka dan pendosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Alangkah celakanya kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya, dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan di hadapannya (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun." (QS. Al-Kahf: 49)
Untuk melestarikan perasaan murâqabah ini, ada dua cara yang dapat dilakukan; pertama, selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah. Kedua, tidak memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.
• Mujâhadah (berjuang sungguh-sungguh)
Mujahadah adalah upaya keras untuk berjuang melawan diri sendiri, dengan bersungguh-sungguh melaksanakan perintah kepada Allah serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka'ab bin Malik r.a. sehingga tidak ikut serta dalam perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang ber-mujahadah dan terlena menikmati hawa kebunnya yang sejuk di kota Madinah. Ka'ab bin Malik r.a. akhirnya harus membayar mahal kelalaian ini dengan pengasingan atau pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya. Ka'ab r.a. mengakui dengan jujur kelalaian dirinya, sehingga kejujurannya inilah yang menyebabkan beliau diampuni oleh Allah Swt.
Rasulullah Muhammad Saw terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Afalâ akûnu 'abdan syakuran?" (tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur).
Diri ini memang perlu dipaksa untuk melakukan hal-hal yang baik dan meniggalkan hal-hal yang buruk. Sebab sudah menjadi tabiat nafsu cenderung bersenang-senang dan bermalas-malasan. Dia hanya suka kepada kenikmatan-kenikmatan tanpa memperhatikan apa dibalik kenikmatan yang semu itu. Maka perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk membawa nafsu, mendidik dan mengarahkannya ke hal-hal yang diridhai Allah Swt. Allah berjanji:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" (Q.S. Al-Ankabut: 69)
• Muhâsabah (Evaluasi diri)
Tentang muhâsabah ini telah dijelaskan di atas. Intinya bahwa setiap orang harus melalui proses mu'ahadah, muraqabah dan mujahadah. Setelah itu, yang penting dilakukan selanjutnya adalah melakukan evaluasi atau muhasabah atas apa yang telah dilakukan. Muhâsabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengevaluasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Cukup meluangkan waktu sejenak sebelum tidur, sekitar lima sampai sepuluh menit, untuk mengingat kehidupan yang dilalui pada hari ini, sejak bangun pagi hingga hendak tidur.
Bila ternyata ada kesalahan dalam perjalanan hari ini, atau ada kewajiban yang belum tertunaikan, atau ada kelalaian yang dilakukan maka segera ucapkan 'Astghfirullah' seraya memohon kepada Allah agar diampuni kesalahan-kesalahan ini dan diberi taufiq agar dapat melakukan kebaikan-kebaikan di hari-hari selanjutnya. Bila ada perbuatan baik yang dilakukan, ucapkan 'Alhamdulillah' sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah sembari memohon agar diberikan keteguhan dalam melaksanakan kebaikan. Bela berhubungan dengan hak manusia, maka beristigfarlah kepada Allah, kemudian mintalah kerelaan orang itu keesokan harinya. Kalaupun tidak bisa, gantilah dengan memintakan ampun terhadap orang itu dan mendoakan untuknya kebaikan dunia dan akhirat.
• Mu'atabah (Mencela diri sendiri)
Abu Bakar Al-Siddiq pernah berkata; "Barang siapa yang memarahi dirinya karena Allah maka ia akan aman dari kemarahan Allah." Hawa nafsu memang perlu terus didik dan dilatih untuk selalu berada di jalan yang benar. Sebab ia adalah musuh yang paling berbahaya jika diperturutkan. Sejak awal ia diciptakan dengan sifat ammaratun bissû', yaitu senantiasa memerintah untuk berbuat kejelekan dan cenderung kepada kejahatan. Bila ia tidak dipaksa dan diarahkan menuju kebaikan, maka ia sendiri yang akan menggiring manudia kepada kejahatan.
Hawa nafsu perlu untuk terus di'marahi', dicela dan diajak kepada cahaya kebenaran sampai dia benar-benar cinta kepada kepada kebenaran itu. Nafsu ini bila tidak disibukkan dengan kebenaran maka ia akan menyibukkan kita dengan kebatilan. Dalam sebuah pepatah disebutkan:
نَفْسُكَ إِنْ لَمْ تُشَغِّلْهَا بِالْحَقِّ شَغَّلَتْكَ بِالْبَاطِلِ
"Nafsumu jika kau tidak menyibukkannya dengan kebenran niscaya ia akan menyibukkan dirimu dengan kebatilan."
Berbahagialah seorang hamba yang mengenal dirinya dan selalu berusaha untuk mempebaikinya. Dialah hamba beruntung karena semakin ia bersungguh-sungguh menata dirinya dan membersihkannya dari segala kotoran yang melekat, semakin dekat pula ia kepada ampunan dan kasih saying Allah Swt.
Ketika lima hal ini sudah dilakukan, maka ada dua berikutnya yang perlu diperhatikan, yaitu mu'âqabah dan mukâfa'ah.
• Mu'aqabah (Menghukum diri sendiri)
Bila ia melihat dirinya banyak melakukan kelalaian, maka perlu diberikan hukuman kepada diri ini, sebab bila tidak ia akan terus berulang melakukan kesalahan sebelumnya. Proses menghukum diri ini tidak sampai membuat dia payah sehingga tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Penghukuman ini juga tidak dilakukan terus menerus sehingga diri menjadi terbiasa dengan hukuman yang ada dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap perbaikan diri. Yang perlu untuk terus diusahakan adalah menyempurnakan segala apa yang sudah ditetapkan dalam perjanjian sebelumnya.
Amirulmukminin Umar bin Khaththab r.a. terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu'aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Hukumlah dirimu sebelum kelak engkau dihukum”. Umar r.a. sendiri pernah terlalaikan dari menunaikan shalat Zuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun itu beserta isinya untuk keperluan fakir miskin.
Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau lupa berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya. Ibnu Umar melaksanakan qiyam sepanjang malam bila ia tidak sempat melaksanakan shalat berjamaah. Hukuman kepada diri bisa juga dilakukan dengan melarangnya melakukan beberapa hal mubah yang ia sukai sementara waktu, seperti tidak menuruti keinginannnya untuk datang ke tempat-tempat tertentu, tidak makan makanan tertentu yang sangat ia sukai, atau mengurangi jatah tidur dan istirahat yang seharusnya dengan melakukan hal-hal lain yang bermanfaat dengan menegaskan kepada diri, bahwa semua ini saya lakukan karena kesalahan yang telah dilakukannya.
• Mukâfa'ah (Memberi hadiah)
Mukâf'ah ini adalah kebalikan dari mua'qabah. Ketika diri ini bisa melaksanakan segala apa yang telah direncanakan sebelumnya atau berbuat yang lebih baik dari pada apa yang dipikirkan sebelumnya, atau bisa melaksanakan target yang sudah dicanangkan dengan sebaik-baiknya, maka tidak ada salahnya kita memberinya hadiah.
Diri yang patuh, taat dan cinta kebaikan sudah sepantasnya kita beri dia hadiah, agar terpacu semangatnya untuk melakukan kebaikan-kebaikan berikutnya. Hal ini juga adalah salah satu cara menyayangi, mencintai dan menghargai diri sendiri. Hadiah yang diberikan bisa bermacam-macam, seperti membawanya untuk sedikit rehat dan menikmati tempat-tempat yang indah, membelikannya makanan yang ia sukai, membelikannya sebuah barang yang berharga dan lain sebagainya.
Keuntungan Ber-muhâsabah
Seseorang yang rajin ber-muhâsabah akan mudah melakukan perbaikan pada dirinya. Ia juga akan rajin meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisa baik dan buruk dirinya. Sehingga ia mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan, serta kekurangan yang harus diperbaiki, ditutupi dengan kebaikan atau dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jika dirinci, paling tidak ada lima keuntungan yang akan diraih orang yang rajin melakukan muhâsabah:
1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.
2. Istiqamah di atas syari'at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak, maka cobaan sebesar apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah Saw sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).
3. Aman dari berat dan sulitnya hisab Allah di hari kiamat nanti
4. Disisi lain, kebiasaan melakukan muhâsabah dalam segala hal dapat meminimalisir terjadinya kesalahan yang berulang. Kebiasaan ini juga menjadikan seseorang produktif dalam berkarya dan meningkatkan kualitas amal perbuatannya.
5. Masuk surga tanpa hisab. Dalam sebuah Hadis Rasulullah Saw. bersabda: “Ada tujuhpuluh ribu orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do'akan aku termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, engkau kudo'akan termasuk di antara mereka”, sahut Nabi Saw. Ketika ada sahabat lain meminta hal yang serupa, Nabi Saw. menjawab dengan singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?” Tanya seorang sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat.”
Fenomena muhâsabah merupakan sifat dan kebiasaan Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Karenanya, kebiasaan baik ini jangan sampai hilang dari kehidupan umat ini. Rasulullah Saw bersabda,
اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
”Orang yang cerdas adalah orang yang melakukan muhasabah terhadap dirinya dan beramal untuk kepentingan akhiratnya.” (HR. Ahmad dan Tirmizi). Wallahu a'lam bishshawab
Daftar Pustaka
1. Ikhlas
- Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Al-Musnad, Dar el-Hadits, Kairo, 2005
- Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahîh Bukhari, Dar es-Salam, Riadh, 1998,
- Imam Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Dar es-Salam, Riadh, 1998,
- Imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fathul Bâri, Dar et-Taqwa, Kairo, 2000
- Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Al-Mathba'ah al-Mishriyyah, Kairo
- Taqiuddin Ibnu Daqiq al-'Ied, Ihkâmul Ahkâm Syarh Umdatul Ahkâm, Dar el-Fikr, Beirut
- Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al-Baghdadi ad-Dimasyqi (Ibnu Rajab al-Hanbali), Jami'ul 'Ulûm wal Hikam, Dar el-'Aqidah, Kairo, 2002
- Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, Silsilatu A'mâlil Qulub, Dar el-Fajr lit Turâts, Kairo, 2005
2. Tawakkal
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Imaduddin Abul Fida Ismail bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsirul Quranil 'Azhim, Maktabah Ash-Shofa, Kairo, 2004
- Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim al-Jauziyah, Madarijus Sâlikîn baina Manâzili Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în, Dar el-Hadits, Kairo, 2003
- Sayyid Hawwa, Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus, Dar es-Salam, Kairo, 2007
- Silsilatu A'mâl Al-Qulûb (Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid)
3. Taqwa
- Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Jâmi'ul Bayân 'an Âeil Qurân, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo
- Tafsir Ibnu Katsir
- Sahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Musnad Ahmad
- Abu 'Îsa Muhammad bin Îsa at-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Maktabah Al-Ma'ârif lin Nasyr wat Tauzî', Riyadh, tanpa tahun.
- Imam Tqiyuddin Abul Abbâs Ahmad bin Abdul Halîm bin Taimiyah al-Harrâny, Majmu' Fatâwa, Dar el-Wafâ', Kairo, 2005
- Madarij Salikin (Imam Ibnul Qayyim)
- Silsilah A'mâlil Qulûb (Syeikh Shalih al-Munajjid)
4. Mahabbatullah
- Tafsir Thabari (Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)
- Tafsir Al-Quran Al-Azhîm (Ibnu Katsir)
- Fathul Bâri (Ibnu Hajar al-Asqalâny)
- Madârijus Sâlikîn (Ibnu Qayyim al-Jauziyah)
- Majmu' Fatawa (Ibnu Taimiyah)
- Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytâqîn, Dar el-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1992
- Imam Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyâ' Ulumiddin, Maktabat al-Iman, Kairo, 1996
- Silsilah A'mâlil Qulûb (Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid)
5. Wara'
- Shahih Bukhari (Imam Bukhari)
- Shahih Muslim (Imam Muslim)
- Musnad Ahmad (Imam Ahmad bin Hanbal)
- Sunan Tirmidzi (Abu 'Îsa at-Tirmîdzi)
- Sunan Ibnu Majah, Maktabah Al-Ma'ârif lin Nasyr wat Tauzî', Riyadh, tanpa tahun
- Madarijus Sâlikîn (Ibnu Qayyim al-Jaziyah)
- Ihya' Ulumiddin (Imam Al-Ghazali)
- Sisilatu a'mâlil Qulûb (Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid)
- Syeikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn, Syarh Riyâdhus Shâlihin, Maktabah al-Îmân, Kairo
6. Khauf
- Imam Abil Laits Nasr bin Muhammad al-Samarqandi, Tanbîhul Ghâfilin, Dar el-Fajr Lit Turats, 2004, Kairo
- Ihya Ulumiddin, (Imam al-Ghazali)
- Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Ibnu Katsir)
- Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Tasîrul Karîmir Rahmân Fî Tafsîr Kalâmil Mannân, Dar el-'Aqidah, 2007, Kairo
- Majmû' Fatâwâ (Imam Ibnu Taimiyah)
- Muhammad Ahmad bin Abdurrahman bin Qudâmah al-Maqdisi (Ibnu Qudâmah Al-Maqdisi), Mukhtashor Minhâjul Qâshidîn, Dar el-Fajr lit Turats, 2005, Kairo
- Syarh Riyâdh al-Shalihin (Syaikh Utsaimin)
- Al-Mustakhlas fi Tazkiyatil Anfus, (Sa'id Hawa)
- Silsilatu A'malil Qulub, (Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid)
7. Raja'
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Sunan Tirmidzi
- Tafsir Ibnu Katsir
- Madarij Al-Sâlikîn
- Mukhtashar Munhâj Al-Qashidîn
- Al-Mustakhlash fî Tazkiyat al-Anfus
- Silsilah A'mâl Al-Qulûb
8. Sabar
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Musnad Imam Ahmad
- Fathul Bâri
- Majmu' Fatawa
- Tafsir Ibnu Katsir
- Madarijus Sâlikîn
- Sisilatu a'mâlil Qulûb
9. Syukur
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Musnad Ahmad
- Abu Daud Sualiman bin al-Asy'ats as-Sijistâni, Sunan Abi Daud, Maktabh al-Ma'ârif lin Nasyr wat Tauzî', Riyadh
- Fathul Bâri
- Tafsir Ibnu Katsir
- Madarijus Sâlikîn
- Sisilatu A'mâlil Qulûb
10. Ridha
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Thabrani dalam Kitab Al-Ausath,
- Tafsir Ibnu Katsir
- Sunan Abi Daud
- Dr. Aidh Al-Qarni, Lâ Tahzan, Maktabah Abikan, Riyadh, 2006
- Nashaihul Ibad, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani,
- Silsilah A'mâlul Qulub
11. Tafakkur
- Ihya Ulumuddin (Al-Ghazali)
- Imam Abul Faraj Abdurrahman bin Ali al-Jauzi, Shaid al-Khâtir Dar el-Hadits, Kairo, 2005
- Imam Muhammad bin Abu Bakr bin Qayyim al-Jauziyah, Al-Fawâid, Dar el-Hadits, Kairo, 2004)
- Majmu' Fatawa (Ibnu taimiyah)
- Tafsir Ibnu Katsir (Ibnu Katsir)
- Tanbîh al-Ghafilin, (Abul Laits as-Samarqandi)
- Madârij Al-Sâlikîn (Ibnul Qayyim)
- Syeikh Muhamad bin Shalih al-Utsaimin, Al-Qawaid al-Mutsla fi as-Sifât wa Asmâ'illâh al-Husna, Dar Ibnul Jauzi, 2005, Kairo
- Silsilah A'malil Qulub
12. Muhasabah
1. Al-Mustakhlash fi tazkiyatil anfus; Said Hawwa
2. Silsilah A'malil Qulûb; (Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid)
3. Ihya Ulumiddin; (Imam Al-Ghazali)
4. Mukhtashar Minhajil Qashidîn; (Ibnu Qudâmah Al-Maqdisi)
5. Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Taujîhât Nabawiyyah 'Alath Thariîq; Dar el-Wafâ', 1999, Kairo.
0 Response to "Ibadah Hati"
Posting Komentar