tag:blogger.com,1999:blog-19919734104442323602024-02-19T22:55:25.547+08:00Welcome To My Blogesitecinta memang tak
harus memiliki.. .. ..
tapi.. .. hakekatnya.. .. ..
cinta itu adalah
saling memilikiandinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-46472319182570355922013-03-04T18:24:00.001+08:002013-03-04T18:24:43.797+08:00Kedudukan Perempuan dalam Islam <br />
<div style="text-align: justify;">
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi. India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah “Dewi Cinta” yang terkenal dalam peradaban Yunani.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah). Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari peradabanperadaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka me ngatakan bahwa “Racun, ular dan apitidak lebih jahat daripada wanita.” Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan “Anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak.</div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika Elizabeth Blackwill – yang merupakan dokter wanita pertama di dunia – menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran, Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.</div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum, menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan pandangan yang demikian tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Al-Quran. Disisi lain, sedikit atau banyak pandangan demikian mempengaruhi pemahaman sementara pakar terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-Quran sebagaimana akan disinggung berikut ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
ASAL KEJADIAN PEREMPUAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13,</div>
<div style="text-align: justify;">
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia – dan seorang lelaki dan perempuan – sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia – baik lelaki maupun perempuan – yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah Swt. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa, “Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki – potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak.” Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa’i, Abu As-Su’ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi’ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad ‘Abduh, dalam tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti “jenis.” Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah pendapat mayoritas ulama.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah “pasangannya,” mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa. Agaknya karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu wanita bersifat ‘auja’ (bengkok atau tidak lurus).”</div>
<div style="text-align: justify;">
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok… (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).</div>
<div style="text-align: justify;">
Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki – hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ath-Thabathaba’i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas menegaskan bahwa “perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita</div>
<div style="text-align: justify;">
dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim,” demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 30)</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain urat Al-Isra’ ayat 70,</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan. Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang menyatakan,</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain …”</div>
<div style="text-align: justify;">
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:</div>
<div style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS Ali ‘Imran [3]:195)</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat ini dan semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Dalam konteks pembicaraan tentang asal kejadian ini, sementara ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena</div>
<div style="text-align: justify;">
Hawa, niscaya kita tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan semacam upaya mempersalahkan perempuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran Adam dan Hawa diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti, Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya… (QS, Al-A’raf [7]: 20).</div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga itu, dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya… (QS Al-Baqarah [2]: 36).</div>
<div style="text-align: justify;">
Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan berbentuk tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah, Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan berkata, “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?” (QS Thaha [20]: 120).</div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
HAK-HAK PEREMPUAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat, dan pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Secara umum surat An-Nisa’ ayat 32 menunjukkan hak-hak perempuan:</div>
<div style="text-align: justify;">
“(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dan apa yang diusahakannya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam. Hak-hak perempuan di luar rumah Pembahasan menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di luar rumah dapat bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain berbunyi,</div>
<div style="text-align: justify;">
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar rumah. Al-Qurthubi (w 671 H) – yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum – menulis antara lain: “Makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah, Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut.” Selanjutnya mufasir tersebut menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar Wanita-wanita tinggal di rumah, dan tidak ke luar rumah kecuali karena keadaan darurat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-’Arabi (1076 – 1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu, penafsiran Ibnu Katsir lebih moderat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurutnya ayat tersebut merupakan larangan bagi wanita untuk keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, seperti shalat, misalnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut paham yang mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya Al-Hijab, ulama ini antara lain menulis bahwa para ahli qiraat dari Madinah dan sebagian ulama Kufah membaca ayat tersebut dengan waqarna; dan bila dibaca demikian, berarti, “tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada di sana.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara itu, ulama-ulama Bashrah dan Kufah membacanya waqimah dalam arti, “tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan hormat.” Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah “menampakkan perhiasan dan keindahan atau keangkuhan dan kegenitan berjalan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa:</div>
<div style="text-align: justify;">
Tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Terbaca bahwa Al-Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tetapi “kebutuhan atau keperluan.” Hal serupa dikemukakan oleh Tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI. Ini berarti bahwa ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah. Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya, “Bolehkah mereka bekerja?”</div>
<div style="text-align: justify;">
Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun menulis, dalam bukunya Ma’rakat At-Taqalid, bahwa “ayat itu bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar.” Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih jauh menjelaskan:</div>
<div style="text-align: justify;">
Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sayyid Quthb, dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah, Waqarna fi buyutikunna, berarti, “Berat, mantap, dan menetap.” Tetapi, tulisnya lebih jauh, ,’Ini bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Sa’id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer – memberikan contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu ‘ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
IsaAbduh, seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan bahwa surat Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran meletakkan kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan perempuan. Ayat yang dimaksud adalah:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Maka Kami berfirman, “Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan menyebabkan engkau (dalam bentuk tunggal untuk pria) bersusah payah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak suami atau ayah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih dikembangkan lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi Saw., sahabat-sahabat beliau, dan para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak jenis dan ragam pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.</div>
<div style="text-align: justify;">
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ahli hadis Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita, seperti: “Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad,” “Bab Peperangan Perempuan di Lautan,” “Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban,” dan lain-lain .</div>
<div style="text-align: justify;">
Disamping itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu, Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasulullah Saw., dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun, betapapun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.</div>
<div style="text-align: justify;">
HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR</div>
<div style="text-align: justify;">
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)” (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas’ud)</div>
<div style="text-align: justify;">
Para perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad Saw.</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Quran menegaskan bahwa:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman, “Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan.” (QS Ali ‘Imran [3]: 195) .</div>
<div style="text-align: justify;">
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.</div>
<div style="text-align: justify;">
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw.:</div>
<div style="text-align: justify;">
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni Aisyah).</div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar “Fakhr Al-Nisa’, (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih</div>
<div style="text-align: justify;">
banyak lagi yang lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat, misalnya Al-Khansa’ dan Rabi’ah Al-Adawiyah. Rasulullah Saw. tidak membatasi kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-’Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis:</div>
<div style="text-align: justify;">
Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tcelgga, pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan. Demikianlah sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan. Kalau demikian halnya, mengapa timbul pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali lagi, salah satu penyebabnya adalah ayat waqarna fi buyutikunna yang dikemukakan di atas.</div>
<div style="text-align: justify;">
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna ‘alan nisa’ biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut berbicara tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing kelamin. Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral – untuk membantu pasangannya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,</div>
<div style="text-align: justify;">
“Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi).” Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh surat An-Nisa’ ayat 34, yang menyatakan bahwa “lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri).” Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:</div>
<div style="text-align: justify;">
1.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.</div>
<div style="text-align: justify;">
2.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnu Hazm – seorang ahli hukum Islam – berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak membebaskan masing-masing pasangan – paling tidak dari segi kewajiban moral – untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal.</div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, “Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya.” Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawabatas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab – bersama suami – untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada konteks inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri berada di rumah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Firman Allah waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal berdiam di rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati dapat dipahami sebagai acuan kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita harus terus-menerus berada di rumah dan tidak diperkenalkan keluar, melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus diemban oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya. Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni “tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya.” Dan dalam konteks inilah Rasulullah Saw. menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia dipandang, menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri, harta, dan anak-anaknya, bila suami jauh darinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut. Mengabaikan potensi ini,</div>
<div style="text-align: justify;">
berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakar-pakar ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang merasa kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami ketimpangan kepribadian.</div>
<div style="text-align: justify;">
Rasulullah Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis, sehingga membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda, “Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?</div>
<div style="text-align: justify;">
Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil. Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu, yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.</div>
<div style="text-align: justify;">
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK</div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik? Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
1.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Ayat Ar-rijal qawwamuna ‘alan-nisa’ (Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) (QS An-Nisa, [4]: 34)</div>
<div style="text-align: justify;">
2.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki; keberagamaannya pun demikian.</div>
<div style="text-align: justify;">
3.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra’at (Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan). Ayat dan hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki. Al-Qurthubi dalam tafsirnya menulis tentang makna ayat di atas:</div>
<div style="text-align: justify;">
Para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan, karena lelaki berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka, juga (karena) hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut bertempur. Sedangkan semua itu tidak terdapat pada wanita. Selanjutnya penafsir ini, menegaskan bahwa: Ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Wanita berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu bukan perintah maksiat. Pendapat ini diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian banyak mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak harus dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan berumah tangga. Seperti dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah “suami” karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Ayat ini secara khusus akan dibahas lebih jauh ketika menyajikan peranan, hak, dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga Islam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun mengenai hadis, “tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan,” perlu digarisbawahi bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan redaksi hadis tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi, melalui Abu Bakrah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa’i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah).</div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi sekali lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuarl agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah ayat 71:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh llah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengertian kata awliya’ mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase “menyuruh mengerjakan yang makruf” mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki</div>
<div style="text-align: justify;">
dan perempuan Muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi, “Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang dapat menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk bidang politik. Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) agar bermusyawarah, melalui “pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.” “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS Al-Syura [42]: 38).</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Syura (musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik. Ini dalam arti bahwa setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan tanpa kecuali terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Quran menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk melakukan bai’at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12. Sementara pakar agama Islam menjadikan bai’at para perempuan sebagai bukti kebebasan untuk rnenentukan pandangan berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad Saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. , memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya Khalifah ketiga ‘Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun. Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan yang oleh sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan kepala negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim, namun perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukungan larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas dasar kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih – bukan hanya sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat – kita dapat menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut dalam berbagai bidang. Tentu masih banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai hak-hak perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan daripada yang lain:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan juga ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisa, [4]: 32)</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
Di atas telah dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit banyak berbeda satu dengan lainnya. Hemat penulis, perbedaan pendapat tersebut muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat istiadat, serta kecenderungan masing-masing, yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. Tidak mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama putra-putri abad kedua puluh, dan mengalami apa yang kita alami, serta mengetahui perkembangan masyarakat dan iptek, mereka pun akan memahami ayat-ayat Al-Quran sebagaimana pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya, seandainya kita berada di kurun waktu saat mereka hidup, tidak mustahil kita berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa seluruh pendapat yang dikemukakan, baik dari para pendahulu maupun pakar yang akan datang, semuanya bermuara kepada teks-teks keagamaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
WAWASAN AL-QURAN (Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat) – Dr. M. Quraish Shihab, M.A.</div>
<div style="text-align: justify;">
Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. </div>
<div style="text-align: justify;">
Salam …</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber : http://www.masbied.com/2010/01/02/kedudukan-perempuan-dalam-islam/</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
andinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-60948926078271793782011-08-07T21:56:00.000+08:002011-08-07T21:56:30.663+08:00Sidebar ( Disabler chatbox facebook )mau tau cara agar chat box facebook kembali seperti dulu ??... mmmmm kunjungi aja link di bawah ini, tinggal pilih type browser apa yang kamu pakai... dibawah ini ada 3 type link yang berbeda..... tinggal pilih... :) slmt berchat ria in facebook....<br />
<br />
https://addons.mozilla.org/en-US/firefox/addon/fb-chat-sidebar-disabler/<br />
<br />
https://addons.opera.com/addons/extensions/details/facebook-chat-sidebar-disabler/?display=en<br />
<br />
https://chrome.google.com/webstore/detail/bfipfkeoidmndggnnpobeenlamiclald?hl=enandinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-17877522240564796672011-05-24T22:50:00.034+08:002011-05-24T23:01:05.086+08:00Cara Meningkatkan Trafik Blog dengan cepatCara Meningkatkan Trafik Blog dengan cepat<br />
<br />
<br />
Untuk Anda yang masih ngos-ngosan (hehehe…) menjaring visitor alias pengunjungnya masih 300an/hari kebawah, saya mengajak kita semua untukmeningkatkan visitor blog hingga diatas 500 visitor/hari. Ini suda saya jalani diblog saya dan lumayan bagus hasilnya. Cara kerjanya adalah salingmempromosikan blog secara berurutan. Ini ditempuh dengan menjadi member pada Fweb Traffic.<br />
<br />
Menurut saya sih bagus , ini dilihat dari sistem yang diterapkannya karena setiap member baru akan berkunjung ke blog para member lama untuk mengambil kode yang diberikan. Begitulah seterusnya. Saya angkat jempol untuk perancangnya. Terbukti cara ini sekarang sedang banyak digandrungi.. dan tak ada salahnya untuk dicoba. mumpung gratis, kalau dilihat peminatnya yang begitu banyak siapa tahu adminnya berubah pikiran jadi berbayar. Ayooo kita sama-sama mencobanya :<br />
<br />
<a href="http://www.fwebtraffic.com/?rid=1327112" target="_blank"><br />
<img border="0" height="60" src="http://www.fwebtraffic.com/images/fwebtraffic468x60-2.jpg" width="468" /></a><br />
<br />
atau ini :<br />
<br />
<a href="http://www.fwebtraffic.com/?rid=1327112" target="_blank"><br />
<img border="0" height="60" src="http://www.fwebtraffic.com/images/fwebtraffic468x60-1.jpg" width="468" /></a><br />
<br />
Inilah langkah-langkah Tips Meningkatkan Visitor Blog :<br />
<br />
<ol><li>Silahkan Pilih dan KLIK salah satu BANNER diatas atau boleh juga klik disini; <a href="http://www.fwebtraffic.com/?rid=1327112">get one million visitor free</a> </li>
<li>Scroll terus kebawah sampai pada format Sign Up Now For Free , seperti ini :<br />
<div style="margin-left: 40px;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUDyR5ncUk0sq_iemFcCN-5kgxGIix8ilz39EuRVS1SNSzPHhyphenhyphen-v7q7OyP7D79mDILuMse4UbbxT_ONwVeFlB3QrsZ_Amj2I01KXC6a0ySOYNAFuk-LYjznxFNUcZc-NIxbp9VFCY3w5MX/s1600/belajar-komputer.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="165" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUDyR5ncUk0sq_iemFcCN-5kgxGIix8ilz39EuRVS1SNSzPHhyphenhyphen-v7q7OyP7D79mDILuMse4UbbxT_ONwVeFlB3QrsZ_Amj2I01KXC6a0ySOYNAFuk-LYjznxFNUcZc-NIxbp9VFCY3w5MX/s320/belajar-komputer.jpg" width="320" /> </a></div> </li>
<li>Klik link yang ada disana seperti gambar diatas secara berurutan dari 1 s/d 6 untuk mendapatkan code AD-nya , kemudian tunggu sebentar sampai kodenya muncul. Kodenya akan muncul pada bagian Header blog.</li>
<li>Jika kodenya sudah muncul, misalnya AD CODE #1: 63708, nah kode yg 63708 di copy kedalam kotak [Code for Ad …] seperti form dibawah ini, hati-hati karena kode untuk no.1 harus disimpan juga di kotak [Code for ad 1], dan begitulah seterusnya. <br />
<div style="margin-left: 40px;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF2ktbjQQp0KemS9m91-hMKBk9LL_2YcpagfrRhpbaW2BcNzhIiOnKpg-k-PoihxSwfpZVmTT9RlUmDxTxFoW09AAFpdu95iEYA5YQXZz3CbaP4jQrdRERoYWlnZ8DHM3qQhi7FS61VZE5/s1600/meningkatkan-traffic.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="177" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF2ktbjQQp0KemS9m91-hMKBk9LL_2YcpagfrRhpbaW2BcNzhIiOnKpg-k-PoihxSwfpZVmTT9RlUmDxTxFoW09AAFpdu95iEYA5YQXZz3CbaP4jQrdRERoYWlnZ8DHM3qQhi7FS61VZE5/s320/meningkatkan-traffic.jpg" width="320" /></a></div></li>
<li>Setelah semua kode dimasukan , baru mengisi data yang diminta, seperti Nama, Email, Text untuk Iklan, Website Url dan password.</li>
<li>Kolom [Your Text Advert:……] diisi dengan titel blog Anda atau kata-kata yang bisa jadi identitas Anda.</li>
<li>Setelah itu baru klik [SUBMIT]</li>
<li>Buka email untuk verifikasi dan klik link yang diberikan.</li>
<li>Nanti akan ada kata2 Congratulations! kemudian klik here pada You can login to your new members area here.</li>
<li>Buka Email lagi untuk mengambil user id , password dan link url yang bisa digunakan untuk promosi dan login ke member area ( simpan user id dan passwordnya , karena nanti mungkin kita gunakan lagi)</li>
<li>Login ke member area lihat linknya sudah ada , disini juga bisa merubah teks iklan , melihat down line serta mengambil kode marketing tools seperti code banner dan text link</li>
<li>Selanjutnya terserah anda… tinggal promosi saja , seperti pasang banner atau text link , karena semakin banyak yg daftar melalui link kita tentu semakin banyak pula visitornya …</li>
<li>Akan lebih baik lagi jika anda juga membuat postingan tentang tips ini atau copas saja postingan ini tinggal ganti linknya lalu alamat artikelnya Anda pakai untuk blogwalking. Gampang kan? Dari 10-15 promosi Anda pastilah salah satunya berhasil. Selamat mencoba !!!</li>
</ol>andinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-86915304880932959472010-05-16T19:17:00.000+08:002010-05-16T19:17:10.421+08:00Negara Islam<div style="border: 1px solid #cccccc; height: 200px; overflow: auto; padding: 8px; width: 470px;"><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 16.0pt; line-height: 150%;">Negara Islam<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span style="font-family: Verdana;">Syekh Taqiyuddin An Nabhani<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">-- --<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Daftar isi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Politik dalam Negeri Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 1<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Politik Luar Negeri Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>…. 9<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Penaklukan-Penaklukan Islam adalah untuk Penyebaran Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 16<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Pemusatan Daerah-Daerah Penaklukan Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 19<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Sublimasi Bangsa-Bangsa Menuju Satu Umat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 25<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Faktor-Faktor yang Memperlemah Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 33<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Lemahnya Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 41<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Perang Misionaris<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>…. 52<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Perang Salib<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 65<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Pengaruh Perang Misionaris<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>…70<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Perang Politik Dunia Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 77<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Melenyapkan Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 82<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Pengubahan dengan Tanpa Mendirikan Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 97<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Mendirikan Negara Islam Wajib atas Seluruh Muslim<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 107<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Hambatan-Hambatan Mendirikan Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 113<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Bagaimana Mendirikan Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>… 122<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">POLITIK DALAM NEGERI NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Politik dalam negeri Negara Islam adalah melaksanakan hukum-hukum Islam di dalam negeri. Negara Islam memberlakukan hukum-hukum Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dalam negeri yang tunduk pada kekuasaannya. Maka dari itu, Negara Khilafah ini menerapkan sistem muamalah, penegakan hudud, penerapan sanksi-sanksi, pemeliharaan akhlak, mengisi penegakan dengan syiar dan ibadah, dan mengatur semua urusan umat menurut hukum-hukum Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Islam telah menjelaskan bagaimana memberlakukan hukum-hukumnya terhadap manusia yang tunduk pada kekuasaannya. Sasaran hukum taklifnya meliputi seluruh warga daulah, baik yang beragama Islam maupun yang bukan. Dalam penerapannya, daulah mengikuti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">thariqah Islam</i> (tata operasional) karena thariqah termasuk hukum syar'i, sebagaimana juga penyelesaian problem. Orang-orang yang kena <i style="mso-bidi-font-style: normal;">khithab</i> Islam (sasaran taklif nash) adalah semua manusia karena Allah memberi khithab ini untuk seluruh bangsa manusia. Khithab-Nya dengan sifat kemanusiaan (ketentuan-ketentuan hukumnya bersifat manusiawi), tidak dengan sifat yang lain. Allah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Baqarah: 21)</b>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Hai manusia, apa yang telah memperdayakanmu [berbuat durhaka] terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Infithar: 6).</b><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><st1:place w:st="on">Para</st1:place> ulama <i style="mso-bidi-font-style: normal;">uhsul fiqih</i> berpendapat bahwa khithab dengan hukum syara' berlaku pada setiap yang berakal dan memahami khithab itu, baik dia sebagai muslim atau non-muslim. Dalam kitab <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Mushthafa</i> dalam bab ilmu uhsul, al-Ghazali berkata, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Sesungguhnya orang yang dikenai khithab adalah orang mukallaf. Syaratnya, dia harus orang yang berakal dan memahami khithab. Adapun orang yang ahli menetapkan hukum dalam masalah al-dzimmah, maka pengambilan faidahnya dari sisi kemanusiaan yang memang telah dipersiapkan untuk menerima kekuatan akal yang dengannya dapat memahami taklif."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Atas dasar ini, maka sasaran khithab Islam terhadap semua bangsa manusia adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">khithab dakwah</i> dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">khithab taklifi</i>. Adapun khithab dakwah, maksudnya adalah mengajak manusia memeluk Islam. Sedangkan khithab taklifi maksudnya adalah memastikan manusia untuk mengamalkan Islam. Ini kaitannya dengan manusia secara umum. Sedangkan yang berhubungan dengan orang-orang yang diperintah Daulah Islam, maka Islam mengatagorikan mereka sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jama'ah</i> yang dihukumi dengan kewajiban patuh pada sistem ini, sebagai bentuk perwujudan penyatuan manusia, dengan tanpa melihat sisi kelompok<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dan jenisnya. Dalam penerapannya tidak ada syarat kecuali mengikuti. Dengan demikian, dalam Daulah Islam tidak ditemukan kelompok-kelompok minoritas. Seluruh manusia dikatagorikan sebagai manusia saja. Mereka semua adalah rakyat Daulah Islam. Dan, selamanya mereka mengemban peran atau fungsi mengikut (tabi'iyah: tunduk, patuh, dan mengikuti aturan-aturan daulah). Setiap orang yang mengemban (melaksanakan) fungsi ini dapat menikmati hak-hak yang telah ditetapkan oleh syara', baik dia seorang muslim atau non-muslim. Sedangkan yang tidak mengembannya, maka dia diharamkan menikmati hak-hak ini, meski dia seorang muslim. Seandainya seorang anak laki-laki memiliki ibu nasrani yang patuh pada aturan Daulah Islam, sementara ayahnya yang muslim tidak mematuhinya, maka ibunya berhak memperoleh nafkah dari anaknya, sedangkan ayahnya tidak. Seandainya sang ibu menuntut nafkah pada anaknya, maka <i style="mso-bidi-font-style: normal;">qadhi</i> menjatuhkan hukum yang memihak kepada sang ibu dengan hak memperoleh nafkah karena dia mengemban fungsi mengikut (patuh pada aturan Daulah Islam). Jika ayahnya menuntut nafkah pada anaknya, maka qadhi tidak menjatuhkan keputusan hukum yang memihak kepadanya dan menolak dakwaannya karena dia tidak mengemban prediket atau fungsi mengikut. Jama'ah yang berhukum dengan Islam dikatagorikan sebagai rakyat. Penerimaan hukum Islam menjadikan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">fungsi tab'iyah</i> sebagai legitimasi memperoleh hak-hak mereka di mana perolehan itu dapat memelihara urusan-urusan mereka dengan Islam dan menjadikan mereka hidup dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Darul Islam.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ini kaitannya dengan pandangan negara pada rakyat dari aspek hukum dan otoritas pemeliharaan berbagai urusan. Adapun aspek penerapannya, maka negara memformulasasikan hukum-hukum Islam dalam undang-undang negara, tidak pada sisi ruhani. Demikian itu karena Islam memandang bahwa sistem untuk diterapkan pada rakyat dan penerapannya dengan memperundangkan undang-undang, tidak dengan refleksi mistik keagamaan. Yakni, dengan memanifestasikan hukum-hukum syara', tidak dengan ungkapan religius-spiritual. Mengapa? Karena nash-nash lebih memperhatikan sisi pemberlakuan hukum syara'. Bukankah nash didatangkan untuk memecahkan problem? Pembuat syara' (Allah) memaksudkan syara' pada mengikuti makna, bukan berhenti pada nash-nash saja. Karena itu, pengambilan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">istinbat</i> (penggalian dan perumusan) hukum harus memperhatikan sisi 'illatnya. Yakni, memperhatikan esensi nash-nash ketika mengambil istinbat. Dalam tasyri' Islam, ketika seorang khalifah memberi instruksi agar hukum-hukum Islam dijadikan undang-undang, maka hasil keputusan instruksi ini wajib diterapkan pada seluruh masyarakat. Dari sini ketundukan seluruh manusia pada Daulah Islam menyangkut hukum-hukum syara' adalah perkara pasti dan mutlak. Orang-orang yang meyakini Islam, kaum muslimin, maka kepemelukan dan kepercayaan mereka pada Islam itulah yang mengharuskan mereka menjalankan semua hukumnya. Karena, ketundukan yang menerima akidah Islam bermakna ketundukan pada semua hukum yang bersumber dari akidah. Akidah Islam mengharuskan para penganutnya mengikat kehidupan mereka dengan semua nilai (hukum-hukum) yang didatangkan akidah ini. Keharusannya tidak bisa ditawar dan pasti. Yang mengikat hubungan Islam dengan kaum muslimin adalah syari'at melalui tasyri'. Yakni, agama yang darinya melahirkan undang-undang. Mereka dipaksa menjalankan semua hukumnya, baik yang berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah, yakni ibadah, hubungan mereka dengan diri mereka, yakni akhlak-akhlak dan makanan-kamanan, atau yang berkaitan dengan selain mereka, yaitu muamalat dan sanksi-sanksi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kaum muslimin sepakat dalam akidah Islam. Mereka juga menyepakati Al-Kitab dan al-Sunnah sebagai dua sumber pokok dalil-dalil dan kaidah-kaidah syara' serta hukum-hukum syara'. Secara mutlak, tidak satupun di antara mereka yang berselisih dalam masalah ini. Akan tetapi, dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Nabi dengan hukum ijtihad, mereka berselisih. Akibat adanya perbedaan-perbedaan pemahaman, maka mereka berada dalam mazhab-mazhab yang berbeda-beda pula dan kelompok-kelompok yang bermacam-macam. Demikian itu, karena Islam mendorong kaum muslimin melakukan ijtihad untuk memperoleh istinbat (penggalian, penyimpulan, dan perumusan hukum). Karena adanya tabiat perbedaan pemahaman-pemahaman, maka dalam pemahaman pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan akidah dan bagaimana mengambil istinbat juga terjadi perbedaan di antara mereka. Demikian juga dalam hukum-hukum dan pendapat-pendapat yang disimpulkan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Rasul telah mendorong kaum muslimin agar melakukan ijtihad. Beliau menjelaskan bahwa seorang hakim (mujtahid) jika berijtihad dan keliru, maka dia memperoleh satu pahala. Jika benar, maka dia memperoleh dua. Islam telah membuka pintu ijtihad. Maka tidak heran jika di tengah umat Islam banyak kelompok Islam, seperti Ahlus Sunnah, Syi'ah, Mu'tazilah, dan kelompok-kelompok lainnya. Juga tidak asing jika di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> timbul banyak mazhab Islam, seperti Syafi'iyah, Hanafiah, Malikiah, Hambaliah, Ja'fariah, Zaidiah, dan masih banyak yang lainnya. Semua kelompok dan mazhab Islam menganut akidah satu, yaitu akidah Islam. Mereka semua di-khithabi dengan keharusan mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mereka juga diperintah mengikuti hukum syara' dan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tidak terbatas hanya pada satu mazhab tertentu. Mazhab tidak lain hanyalah satu pemahaman tertentu tentang hukum syara' yang diikuti oleh orang-orang yang bukan golongan mujtahid, yaitu orang-orang yang tidak mampu berijtihad. Oleh sebab itu,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>orang muslim diperintah mengikuti hukum syara', bukan pada mazhab. Dia harus mengambil hukum ini dengan ijtihad jika mampu, dan beritba' atau bertaklid jika tidak mampu berijtihad. Atas dasar ini, semua kelompok dan mazhab yang meyakini akidah Islam dan mempercayai Kitabullah dan Sunnah sebagai sumber dalil-dalil, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum syara', semuanya dikatagorikan muslim. Mereka semua dikatagorikan dan mengatagorikan sebagai muslim dan hukum-hukum Islam diberlakukan kepada mereka. Bagi daulah tidak boleh menghalang-halangi kelompok-kelompok Islam ini, juga tidak diperkenankan mengikuti mazhab-mazhab fiqih selama kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab itu tidak keluar dari akidah Islam. Jika kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab keluar dari akidah Islam, baik sebagai individu atau kelompok, maka semuanya dihukumi sebagai orang yang keluar dari Islam dan hukum murtad wajib dikenakan kepada mereka. Kaum muslimin dituntut dengan semua hukum Islam. Khusus untuk hukum-hukum yang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">qath'iy</i> (kepastian hukumnya bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar), tidak ada peluang atau ruang bagi satu pikiran pun untuk mengeluarkan pendapat atau hasil ijtihad, seperti hukum potong tangan dalam pencurian, pengharaman riba, kewajiban zakat, shalat 5 waktu, dan hukum-hukum qath'iy lainnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Dengan demikian, semua hukum Islam harus diberlakukan pada seluruh kaum muslimin dalam pemahaman yang satu-utuh karena kedudukannya sebagai hukum yang qath'iy.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ada</span></st1:city></st1:place><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> pula hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan pendapat-pendapat yang kaum muslimin berbeda dalam memahaminya. Setiap mujtahid berbeda pemahamannya dengan mujtahid yang lain, seperti tentang sifat-sifat khalifah, jumlah persen pungutan pajak tanah, sewa tanah, dan lain-lainnya. Jika terdapat hukum-hukum yang berbeda dengan hukum-hukum yang dibangun oleh khalifah, maka ketaatan terhadap hukum khalifah wajib dilakukan oleh kaum muslimin. Ketika itu setiap orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat yang didektretkan oleh seorang imam, maka dia wajib meninggalkan pendapatnya dan menjadikan pendapat imam sebagai pendadatnya. Karena, perintah imam menghapus perbedaan dan taat pada imam hukumnya wajib.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kaum muslimin wajib melaksanakan semua perintah khalifah yang diwujudkan dalam hukum-hukum yang dibangunnya. Perintahnya berlaku secara zahir dan batin, dalam rahasia maupun terang-terangan. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan hukum syara' yang bukan hukum yang dibangun dan diperintahkan oleh imam dihukumi perbuatan dosa. Karena, perintah khalifah yang dikatagorikan sebagai hukum syara' yang ditetapkan sebagai kewajiban kaum muslimin hanya menyangkut hukum yang didekretkan oleh imam, dan apa yang selain dekret itu tidak dikatagorikan hukum syara'. Mengapa? Karena hukum syara' dalam masalah yang satu tidak dihitung dengan hak seorang saja. Seorang khalifah tidak [berhak] membangun nilai apapun dalam akidah karena bangunan ini akan menjadikan beban bagi kaum muslimin dalam berakidah. Hanya saja jika terdapat ahli bid'ah dan ada kecenderungan-kecenderungan terhadap akidah yang tidak benar, maka negara wajib mendidik dan memberi pelajaran mereka dengan sanksi-sanksi yang mengekang. Sanksi ini dijatuhkan jika akidah mereka kufur. Jika akidah mereka benar-benar kufur, maka mereka harus diperlakukan sebagai orang murtad. Demikian pula khalifah tidak berhak membangun hukum-hukum dalam masalah ibadah karena ketetapan hukumnya akan menciptakan kesulitan bagi kaum muslimin dalam beribadah. Karena itu, dalam masalah ibadah, khalifah tidak mengeluarkan dekret dengan hukum yang jelas kecuali tentang zakat, jihad, dan pembatasan dua hari raya. Aturan ini berlaku selama ibadah-ibadah ini adalah hukum-hukum syara'. Akan tetapi, di luar masalah itu, yaitu dalam bidang muamalah, khalifah berhak membangun hukum-hukum, seperti jual-beli, sewa-menyewa, perkawinan, perceraian, nafkah, syirkah, kerja-sama, dan lain-lainnya, juga dalam masalah sanksi, seperti hudud dan ta'zir, serta dalam hal makanan, pakaian, dan akhlak. Dalam hal ini kaum muslimin wajib menaati hukum-hukum yang ditetapkan khalifah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Memang benar, seorang khalifah adalah subjek yang menjalankan hukum-hukum ibadah. Dia menjatuhkan sanki pada warganya yang meninggalkan shalat dan tidak berpuasa Ramadan. Khalifah juga yang menjalankan semua hukum ibadah sebagaimana juga menjalankan seluruh hukum lainnya. Pelaksanaan ini wajib bagi daulah karena kewajiban shalat bukanlah lahan ijtihad, juga tidak dikatagorikan sebagai hukum bentukan dalam ibadah. Khalifah hanyalah pelaksana hukum syara' yang diputuskan di tengah masyarakat dan membangun hukum untuk melaksanakan sanksi-sanski atas penerapan hukum manapun. Ini kaitannya dengan kaum muslimin. Adapun kaitannya dengan non-muslim yang menganut selain akidah Islam, maka mereka adalah (i) orang-orang yang mengaku bahwa mereka muslim dan meyakini akidah yang bertentangan dengan akidah Islam (ii) orang-orang dari Ahli Kitab (iii) orang-orang musyrik dan mereka adalah para penyembah berhala, penyembah bintang, kaum Majusi, pemeluk Hindu, dan semua penganut agama selain Ahlu Kitab.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Mereka semua ini, berikut apa yang menjadi perilaku akidah dan ibadah mereka dan dalam semua urusan perkawinan dan perceraian, dibiarkan berjalan mengikuti agama-agama mereka. Negara (Daulah Islam) hanya menentukan seorang qadhi dari dan bagi mereka yang akan mengawasi pertikaian-pertikaian mereka dan diselesaikan dalam mahkamah negara. Adapun masalah makanan dan minuman, mereka diperlakukan menurut kedudukan hukum-hukum agama mereka sendiri yang operasionalnya dijamin dalam sistem umum (yaitu sistem yang mencakup toleransi syari'at Islam). Selain Ahlu Kitab diperlakukan seperti perlakuan terhadap Ahlu Kitab. Nabi saw. bersabda tentang hak orang Majusi: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Perlakukan mereka dengan perlakukan hukum Ahlu Kitab."</i> Sedangkan dalam muamalah dan sanksi-sanksi, penerapannya terhadap non-muslim disamakan dengan kaum muslimin. Mereka semua kedudukannya sama. Sanki yang dikenakan pada non-muslim juga sama dengan sanksi yang dikenakan pada kaum muslimin. Pelaksanaan dan pembatalan muamalah yang diberlakukan pada non-muslim kedudukannya juga sama dengan yang diberlakukan pada kaum muslimin. Semuanya di mata hukum Islam sama, tanpa ada perbedaan atau perlakukan khusus terhadap orang-orang tertentu. Karena, semua yang mengemban fungsi mengikut (tabi'iyah), meski agama, jenis bangsa, dan mazhab mereka berbeda, dikenai khithab dengan hukum-hukum syari'at Islam. Khithabnya menyangkut semua persoalan muamalah dan sanksi. Mereka juga diharuskan mengikuti dan menjalankan hukum-hukum tersebut. Hanya saja kewajiban mereka terhadap hal itu terbatas pada sisi pelaksanaan undang-undang, tidak dari sisi ruh keagamaan. Karena itulah, mereka tidak boleh dipaksa berakidah dengan akidah tertentu karena memang mereka tidak boleh dipaksa memeluk Islam. Allah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Baqarah: 256).</b> Rasulullah saw. juga dilarang mengancam Ahlu Kitab agar melepaskan agama mereka, akan tetapi mereka dipaksa untuk tunduk pada hukum-hukum Islam. Keharusan ketundukan ini dikarenakan posisi hukum Islam sebagai undang-undang negara yang harus dilaksanakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kesimpulannya, Negara Islam dalam politik dalam negerinya melaksanakan hukum Islam yang dibebankan kepada semua warga negara yang mengemban fungsi mengikut (tab'iyah), baik mereka sebagai seorang muslim atau non-muslim. Bentuk pelaksanaannya sebagai berikut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(1) Pelaksanaan semua hukum Islam dibebankan kepada kaum muslimin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(2) Membiarkan masyarakat non-muslim mengikuti apa yang mereka yakini dan sembah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(3) Memperlakukan masyarakat non-muslim dalam persoalan-persoalan makanan dan pakaian dengan mengikuti agama-agama mereka yang tercakup dalam sistem umum.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(4) Memutuskan persoalan-persoalan perkawinan dan perceraian di antara masyarakat non-muslim dengan mengikuti agama-agama mereka. Penanganannya dilakukan oleh qadhi yang dipilih di antara mereka dan diputuskan di Mahkamah Negara, tidak di mahkamah khusus. Persoalan-persoalan ini jika berhubungan dengan antara kaum muslimin dan non-muslim, maka pemutusannya mengikuti hukum-hukum Islam dan dijalankan oleh qadhi muslim.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(5) Negara melaksanakan semua syari'at Islam selain hukum-hukum di atas, seperti muamalah, sanksi-sanksi, sistem-sistem pemerintahan, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya. Pelaksanaannya dibebankan pada semua warga negara. Dalam hal ini, baik yang muslim maupun non-muslim kedudukannya sama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(6) Semua orang yang mengemban fungsi mengikut aturan Islam adalah rakyat negara. Negara wajib mengatur semua urusan mereka dengan adil, tanpa membedakan atau memberi pengecualian antara yang muslim dan yang non-muslim.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">POLITIK LUAR NEGERI NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Politik luar negeri adalah hubungan Negara Islam dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain. Hubungan ini adalah bentuk pemeliharaan urusan-urusan umat di sektor luar negeri. Politik luar negeri Daulah Islam adalah bentuk hubungannya dengan negara, bangsa, dan umat lain. Politik ini berdiri di atas pemikiran yang <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">baku</st1:city></st1:place> dan tidak berubah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Wujud pemikiran <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">baku</st1:city></st1:place> ini adalah penyebaran Islam ke semesta alam di semua umat dan bangsa. Inilah asas yang di atasnya dibangun politik luar negeri Negara Islam. Asas ini tidak berubah selamanya juga tidak berbeda-beda meski para pemegang kekuasaannya berbeda-beda. Asas ini ada dan tetap <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">baku</st1:city></st1:place> dalam semua periode semenjak Rasul tinggal di Madinah hingga Daulah 'Utsmani berakhir, yaitu Daulah Islam yang terakhir. Secara mutlak, asas ini tidak berubah. Semenjak Rasul mendirikan Negara Islam di Madinah, beliau mulai mengadakan hubungan kenegaraan dengan negara-negara lain. Bentuk hubungannya didasarkan pada asas penyebaran Islam. Beliau menjalin hubungan perjanjian dengan Yahudi agar punya kesempatan menyebarkan dakwah di Hijaz. Kemudian beliau menjalin perjanjian Hudaibiyah dengan kafir Quraisy agar bisa memantapkan penyebaran dakwah di Jazirah Arab. Kemudian beliau mengirim surat-surat ke negara-negara di luar dan dalam Jazirah Arab. Semua hubungannya ditegakkan di atas prinsip penyebaran Islam dan mengajak mereka memeluk Islam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><st1:place w:st="on"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Para</span></st1:place><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> khalifah yang datang sesudah Nabi saw. juga menjalin hubungan-hubungan kenegaraan dengan semua negara kafir. Hubungan ini juga dibangun di atas dasar penyebaran Islam dan mengambil peran pengembanan dakwah Islam ke seluruh penjuru alam. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> penguasa yang menjalankan pemerintahan berbeda-beda dalam penyebaran Islam. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> penguasa Negara Islam dari bani Amawi lebih banyak menjalankan politik ekspansi dan penaklukan besar-besaran. Banyak negara yang dikuasai dinasti ini. Sementara Dinasti 'Abbasi lebih banyak menjalankan politik penyebaran Islam ke luar wilayah Daulah Islam. Dinasti 'Utsmani lebih banyak menjalankan politik ekspansi dan penaklukan sekaligus penyebaran Islam ke luar di kerajaan-kerajaan non-Islam. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan ini sebatas perbedaan sumbangan politik luar negeri daulah. Sedangkan penyebaran Islam tetap selalu membayangi asas yang di atasnya dibangun hubungan Daulah Islam dengan negara, bangsa, dan umat lain. Tidak ada perubahan pada khalifah manapun. Adanya daulah semata-mata untuk menerapkan Islam di dalam dan mengemban dakwahnya ke luar di seluruh penjuru alam. Karena itu, urgensi Daulah Islam di luar wilayahnya adalah pengembanan dakwah Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun yang menjadikan penyebaran Islam sebagai landasan politik luar negeri daulah adalah risalah Muhammad saw. yang didatangkan ke dunia untuk seluruh manusia. Allah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. <st1:place w:st="on">Saba</st1:place>': 28).</b> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Ynus: 57).</b> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Katakanlah, hai manusia, sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu semua"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-A'raaf: 158).</b> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan Al-Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang Al-Qur'an telah sampai [kepadanya]"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-An'aam: 19).</b> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan [apa yang diperintahkan itu, berarti] kamu tidak menyampaikan amanat-Nya"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Maaidah: 67).</b> Dan, Rasulullah saw. telah menyampaikan risalahnya kepada seluruh manusia. Ketika Rasul sudah bertemu (wafat) dengan Kekasihnya Yang Maha Tinggi, penyampaian risalah kepada seluruh manusia dilanjutkan oleh kaum muslimin. Dengan demikian, pengembanan dakwah Islam ke penjuru alam terus berlanjut sebagai bentuk pelaksanaan wasiat Rasul. Kaum muslimin berjalan di atas jalan itu dan melanjutkan misi dakwah Islam. Pada waktu haji wada', Rasulullah saw. bersabda: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Agar orang yang menyaksikan (hadir) menyampaikan pada yang tidak hadir. Berapa banyak orang yang menerima penyampaian (yang tidak hadir) lebih mengerti daripada yang mendengar."</i> Beliau juga bersabda, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Allah membaguskan orang yang mendengar ucapanku, lalu dia mengumpulkannya, kemudian menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarkannya."</i> Seperti demikianlah pengembanan dakwah Islam yang dijadikan landasan pembentukan jalinan hubungan antara Daulah Islam dengan negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lainnya di masa Rasulullah saw., para khalifahnya, dan generasi berikutnya. Ini adalah hukum syara' dan ditetapkan dengan Al-Kitab, Al-Sunnah, dan Ijma' Shahabat. Dengan demikian, politik luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Politik luar negeri yang <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">baku</st1:city></st1:place> dan tidak berubah ini dijalankan dengan cara yang tetap dan tidak berubah pula, yaitu jihad. Meski para pemegang kekuasaan berbeda-beda, cara ini tetap berlaku dan sudah dijalankan di semua periode, semenjak Rasul menetap di Madinah hingga akhir Daulah Islam di masa 'Utsmani. Secara mutlak, cara pelaksanaan politik luar negeri ini tidak berubah. Rasulullah saw. semenjak berhasil mendirikan negara di Madinah, beliau telah menyiapkan pasukan dan memulai jihad untuk menghilangkan penghalang-penghalang dakwah yang berbentuk fisik atau materi. Kafir Quraisy adalah penghalang dakwah yang bersifat materi (fisik). Mereka menghalang-halangi jalan dakwah Islam, dan Rasul berteka untuk menghilangkannya. Tidak berapa lama, beliau berhasil menyingkirkan kafir Quraisy dan penghalang-penghalang lain. Dan, jihad pun terus dilakukan hingga Islam merata di seluruh Jazirah Arab. Kemudian Daulah Islam mulai mengetuk pintu-pintu umat-umat lain agar Islam tersebar pula di tengah-tengah mereka. Setiap penguasa muslim yang sedang berdakwah ke umat yang lain pasti menemukan penghalang. Untuk itu dia dituntut harus menghilangkannya dari hadapan dakwah dan mengajak mereka dengan bijak hingga mereka bisa melihat dan merasakan langsung keadilan Islam dan kebahagiaan hidup di bawah panji-panjinya. Mereka diajak ke Islam dengan ajakan yang terbaik, tanpa pemaksaan. Seperti demikianlah peran jihad dalam melanjutkan pelaksanaan thariqah penyebaran Islam. Negara-negara dan berbagai wilayah ditaklukkan dengan jihad. Pengikisan kerajaan-kerajaan dan negara-negara di luar kekuasaan Daulah Islam, pelaksanaan pemerintahan Islam di bangsa-bangsa dan umat-umat, dan penyebaran Islam ke alam hingga ratusan juta manusia memeluk Islam setelah mereka dikuasai, semuanya diwujudkan dengan jihad. Dengan demikian, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">thariqah</i> (tata operasional atau cara) yang menyertai pelaksanaan politik luar negeri Negara Islam adalah jihad. Thariqah ini <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">baku</st1:city></st1:place>, tidak berubah, dan tidak akan berubah selama-lamanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Jihad adalah ajakan kepada Islam dan perang di jalan Allah. Operasinya bisa dijalankan secara langsung ataupun dengan bantuan harta, pikiran atau dengan memperbanyak tokoh buatan. Jihad hukumnya wajib yang ditetapkan oleh nahs Al-Quran dan hadits. Kaum muslimin tidak boleh memulai permusuhan dengan peperangan hingga mereka menawarkan Islam lebih dulu atau membayar <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jizyah</i> (kompensasi atas jaminan keamanan untuk mereka dari Daulah Islam: semacam upeti tapi bukan upeti). Hukum syara' dalam jihad memberi aturan bahwa jika kita mengepung musuh (kaum kafir), artinya kita mengajak mereka ke dalam Islam. Jika mereka menerima, maka mereka menjadi bagian dari umat Islam dan haram diperangi. Jika menolak, maka mereka dituntut membayar jizyah. Jika mereka membayar, maka darah dan harta benda mereka dijaga Islam. Dan, jadilah negara mereka sebagai Negara Islam, yaitu suatu wilayah yang diperintah dengan Islam. Mereka juga memperoleh hak sebagaimana yang didapat kaum muslimin, seperti keadilan, kesepadanan, pemeliharaan, pengayoman, dan memberi keamanan pada mereka. Urusan-urusan mereka dijaga Negara Islam seperti halnya menjaga urusan-urusan kaum muslimin. Mereka juga mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban kaum muslimin, baik terhadap negara maupun sistem pemerintahan. Akan tetapi, jika kaum kafir<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>menolak Islam dan menolak bayar jizyah, maka seketika itu mereka halal diperangi. Karena itu, peperangan tidak dihalalkan kecuali setelah menawarkan dakwah Islam ke penduduk negeri itu. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ulama fiqih memfatwakan bahwa kita tidak dihalalkan memerangi orang yang belum menerima dakwah Islam. Atas dasar itu, maka sebelum melancarkan operasi militer, maka lebih dulu negara membentuk opini umum tentang Islam, memberi pikiran yang benar tentang dakwah Islam, dan berupaya menyampaikan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia, hingga mereka punya kesempatan untuk memperoleh pemahaman yang di dalamnya ada jaminan hukum yang dapat menyelamatkan mereka, meski pengetahuan itu bersifat global. Sementara Daulah Islam wajib menjalankan tugas-tugas politik yang di antaranya berkaitan dengan pemberian informasi yang jelas tentang Islam, menyebarkan pikiran-pikiran Islam, dan berdakwah serta mendorong mereka pada Islam, di antaranya juga yang berkaitan dengan penampakan kekuatan Daulah Islam dan keperkasaan serta keberanian kaum muslimin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Rasulullah saw. pernah memberikan contoh tentang hal ini. Di antaranya dengan mengirim para utusan di jantung negara kafir agar penduduknya memeluk Islam sebagaimana<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang pernah dilakukan Rasul dengan mengutus 40 laki-laki ke penduduk <st1:place w:st="on">Najd</st1:place> agar mendakwahkan Islam. Beliau juga terkadang menampakkan kekuatan negara, seperti inspeksi pasukan Islam di Madinah pada perang Tabuk sebelum keluar ke <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">medan</st1:city></st1:place>. Karena itu, beliau bersabda, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Saya dimenangkan dengan ketakutan [yang bisa dirasakan musuh] dari perjalanan sejauh sebulan."</i> Pasukan Islam di Daulah Islam di banyak periode yang berbeda sering ditakuti. Karena itu, negara-negara Eropa mempunyai persepsi tersendiri tentang pasukan Islam. Mereka berpendapat bahwa pasukan Islam selamanya tidak bisa dikalahkan. Persepsi ini terus menguasai benak mereka hingga beberapa abad. Karena itu, di antara pekerjaan-pekerjaan politik yang harus dijalankan adalah yang berkaitan dengan penyebaran pemikiran-pemikiran Islam, menampakkan kekuatan negara (Daulah Islam), kemudian baru melancarkan serangan langsung ke jantung musuh. Dan jihad, meski ini merupakan thariqah yang <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">baku</st1:city></st1:place> dan tidak berubah sebagai metode penyebaran Islam, pekerjaan-pekerjaan politik dan gerakan-gerakan yang diorientasikan ke Islam harus dijalankan lebih dulu sebelum mengawali peperangan. Inilah persoalan asasi dalam memusatkan pembentukan hubungan antara Daulah Islam dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain. Pemusatan hubungannya dibangun di atas arah dan visi yang jelas dan tertentu, baik dari sisi kebaikan hubungan ketetanggaan, hubungan ekonomi, atau bentuk-bentuk lain yang sekiranya akan memudahkan penyebaran Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Atas dasar itu, maka pemikiran politik yang di atasnya dibangun hubungan Daulah Islam dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain adalah bentuk operasi penyebaran Islam dan pengembanan dakwah di tengah mereka. Jalan yang ditempuhnya adalah jihad. Hanya saja harus diingat bahwa di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> terdapat garis-garis besar dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">uslub-uslub</i> yang dibangun negara. Uslub-uslub dan garis-garis itu memiliki sarana-sarana dan perangkat-perangkat pelaksanaan, seperti membuat perjanjian bilateral yang baik dengan sebagian musuh dan pada sisi lain memerangi musuh yang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul di awal pembangunan Kota Madinah. Atau, bisa juga dengan mengumumkan perang terbuka terhadap semua musuh, sebagaimana yang dilakukan Abubakar ketika menghadapi pasukan Iraq dan Syam dalam waktu yang bersamaan, atau membentuk perjanjian-perjanjian untuk tujuan tertentu, sehingga opini umum untuk dakwah terbentuk. Contoh ini dapat dilihat pada peristiwa pembentukan perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan Rasul. Terkadang ada ide<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>politik yang menciptakan pertempuran-pertempuran lokal dan melakukan sabotase atau teror sebagaimana pernah dilakukan Rasul dengan mengirimkan detasmen sebelum meletus perang Badar. Ide ini juga pernah dilakukan di zaman Amawi ketika menyerang daerah-daerah perbatasan Romawi dengan mengikuti perbedaan cuaca di musim panas dan dingin. Negara terkadang membuat perjanjian-perjanjian dagang dengan sebagian negara dan tidak mengikat perjanjian yang sama dengan negara-negara lain. Semua strategi dan operasi politik luar negeri ini dilakukan dengan tetap mengacu pada asas kepentingan dakwah. Bahkan, kadang pula politik ini dilakukan dengan membentuk hubungan-hubungan tertentu dengan negara-negara tertentu, sementara dengan negara-negara lain tidak dibentuk. Pola-pola hubungan ini atau tidak adanya hubungan sama sekali mengikuti garis kebijaksanaan yang terumus untuk dakwah. Rumusan kebijakan ini terkadang mengikuti uslub-uslub dakwah dan propaganda bersama sebagian negara dan di waktu yang sama mengikuti uslub-uslub yang menyingkap garis kebijakan negara dan melancarkan perang cepat pada sebagian negara yang lain. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah Daulah Islam meletakkan garis-garis besar kebijakan politik luar negerinya dan menjalankan uslub-uslubnya dengan mengikuti apa yang ditetapkan oleh satu bentuk perbuatan dan menyelesaikan maslahat dakwah. Garis-garis haluan dan uslub-uslub ini akan mempermudah penyebaran Islam sebagaimana mempermudah urusan jihad. Karena itu, garis-garis besar haluan negara dan uslub-uslub merupakan keharusan dalam politik luar negeri. Maka, mewujudkan opini umum tentang Islam dan negara ke seluruh alam adalah keharusan juga. Akan tetapi, semua itu harus diorientasikan pada kepentingan penyebaran Islam. Sementara thariqah atau tata operasi penyebarannya adalah jihad.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">PENAKLUKAN-PENAKLUKAN ISLAM </span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">ADALAH UNTUK PENYEBARAN ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ketika umat Islam dibebani keharusan mengemban dakwah ke seluruh manusia, maka mereka wajib menyampaikannya ke seluruh alam. Maka sudah barang tentu Negara Islam wajib menjalankan tugas mulia ini. Negara menyampaikan dakwah dan mengambil cara yang ditetapkan Islam. Karena itu, merupakan hal yang pasti jika Negara Islam menaklukkan negara-negara dan penaklukan-penaklukan besar-besaran menjadi bagian dari misinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Operasi berbagai penaklukan ini tidak lain merupakan bentuk pelaksanaan dari kewajiban yang menjadi beban kaum muslimin, yaitu menyampaikan Islam ke seluruh manusia dengan menegakkan pemerintahan Islam dan menyebarkan pemikiran-pemikirannya di tengah mereka. Penaklukan-penaklukannya tidak dimaksudkan untuk menguasai, menjajah atau mengeruk kekayaan negara-negara bangsa. Tujuannya hanya satu, yaitu mengemban dakwah Islam kepada manusia agar mereka terselamatkan dari kehidupan yang sengsara dan kekangan sistem yang merusak. Kenyataan ini tampak dalam fakta sejarah pertumbuhan Negara Islam, perjalanan penaklukan-penaklukannya, dan dalam kewajiban jihad.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Negara Islam tumbuh dengan kuat, terkonsentrasikan, meluas, berkembang, menyebar, dan bersifat terbuka. Benihnya memiliki potensi pertumbuhan menjadi negara dunia, bukan negara lokal atau regional. Karena akidahnya adalah akidah dunia, yaitu akidah manusia dan sistemnya adalah sistem dunia, yaitu sistem untuk seluruh manusia. Oleh sebab itu, merupakan hal yang wajar jika Negara Islam selalu menyebar dan mengembang. Negara Islam memiliki karakter penakluk. Negara-negara bangsa yang belum masuk wilayahnya (menerima Islam) akan menjadi sasaran penaklukannya karena memang tabiat pertumbuhannya mengharuskan demikian. Inilah Rasul yang pernah dibaiat kaum muslimin di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">baiat aqabah</i> ke-2. Mereka berbaiat dan bersumpah setia pada Rasul untuk memerangi manusia, baik yang berkulit merah ataupun hitam, meski untuk melaksanakannya dapat mengantarkannya pada kemusnahan harta dan kehilangan nyawa. Mereka berbaiat pada Rasul untuk selalu mendengar dan taat, baik dalam kesulitan atau kemudahan, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Mereka harus berkata benar di manapun berada. Di dalam Allah, mereka tidak takut kecaman orang yang mengecam. Mereka juga berbaiat pada beliau untuk siap mati di jalan menjaga dakwah Islam. Mereka tidak memperoleh tebusan apa-apa selain surga. Mereka inilah inti pasukan Negara Islam yang mengemban dakwah. Bagaimana mungkin pasukan ini berbaiat dengan baiat semacam ini? Mengapa pasukan ini dibentuk? Apa urgensi peperangan yang tampak dalam baiat ini? Bukankah urgensinya adalah mengemban dakwah Islam? Itulah kepentingan satu-satunya yang mereka datangkan dari tujuan baiat. Mereka berbaiat untuk dakwah dan siap mati di jalannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Rasulullah saw. sebelum kewafatannya telah meletakkan garis-garis besar haluan tentang prinsip-prinsip penaklukan. Setelah mendirikan Negara Islam di Jazirah, beliau meletakkan garis-garis besar tentang penyebaran dakwah Islam keluar Jazirah dengan cara mengirim berbagai <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">surat</st1:place></st1:city> di tahun ke-7 H. Surat-surat misi politik keislaman itu dikirimkan ke Kisra, Kaisar, dan beberapa raja dan gubernur non-muslim. Mereka semua diajak memeluk Islam. Beliau juga menempuh dua cara lain, yaitu (i) melancarkan perang Mu'tah dan Tabuk (ii) menyiapkan pasukan Usamah. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> khalifah sesudahnya juga menjalankan garis-garis besar haluan ini ketika berhasil menaklukkan negara-negara bangsa yang telah ditawari Rasul untuk menerima Islam. Kemudian penaklukan terus berlanjut dengan asas ini. Karena itu, Negara Islam dalam penaklukan dunia tidak membedakan antara menaklukkan Mesir karena kekayaan dan kemudahannya dengan menaklukkan Afrika Utara yang tandus, gersang, miskin, dan banyak kesulitan. Semuanya ditaklukkan atas prinsip yang sama, yaitu untuk penyebaran Islam dan pengembanan dakwahnya. Demikian itu tetap menegaskan sikap politik negara untuk tetap memasuki dan menguasai negara-negara bangsa, meski negara itu fakir atau kaya, juga tetap menghadapi bangsa apa saja, meski mereka menyerah atau melawan. Karena, penyebaran Islam dan pengembanan dakwah ke seluruh manusia tidak mengenal kaya-miskin suatu negara, juga tidak mempedulikan apakah penduduknya menerima atau menolak. Negara hanya mengenal satu prinsip, yaitu mengemban dakwah Islam dan menjadikannya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">qiyadah fikriah</i> yang darinya akan memancar sistem-sistem kehidupan, serta menjadikan misinya untuk semua manusia di semua negara bangsa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Al-Qur'an yang mulia telah menerangkan pada kaum muslimin tentang sebab-sebab peperangan dan keharusan jihad. Keharusannya tidak lain kecuali di jalan Islam dan pengembanan risalahnya ke seluruh alam. Di dalamnya juga terdapat ayat-ayat yang melimpah ruah yang memerintahkan mereka berperang demi Islam. Allah berfirman dalam <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">surat</st1:city></st1:place> al-Anfaal: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Anfaal: 39)</b>. Dalam <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">surat</st1:city></st1:place> al-Baqarah juga disebutkan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada finah lagi dan [hingga] agama itu hanya untuk Allah semata. Jika mereka berhenti [dari memusuhi kamu], maka tidak ada permusuhan [lagi] kecuali terhadap orang-orang zalim"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Baqarah: 193)</b>. Dalam surat al-Taubah juga ditegaskan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] kepada hari kemdian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, [yatu orang-orang] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Taubah: 29).</b> Ayat-ayat ini dan lainnya adalah ayat-ayat yang memerintahkan jihad, yang tujuannya bagi kaum muslimin telah ditentukan dengan penaklukan-penaklukan. Ayat-ayat itulah yang mendorong mereka untuk mengadakan penaklukan-penaklukan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Atas dasar ini, maka mengemban dakwah Islam adalah misi yang ditegakkan Negara Islam. Pembentukan pasukan Islam juga dimaksudkan untuk dakwah. Keharusan jihad ditetapkan di jalan dakwah. Penaklukan-penaklukan berjalan dengan perhitungan dakwah. Dan, pengembanan dakwah Islam itulah yang menyiapkan kaum muslimin untuk mendirikan Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">PEMUSATAN DAERAH-DAERAH PENAKLUKAN ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kaum muslimin telah menaklukan banyak negara, lalu memerintahnya dengan Islam. Islam mengharuskan mereka mengatur pemerintahan dan kendali masyarakat. Mereka tidak boleh diperintah oleh pemerintah non-muslim. Dalam <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">surat</st1:city></st1:place> al-Nisa', Allah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan sekali-kali Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang mukmin"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS.An-Nisaa': 141).</b> Allah memberikan kemuliaan pada kaum muslimin. Dalam <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">surat</st1:city></st1:place> al-Munafiquun, Allah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Padahal kekuatan hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahui"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Munaafiquun: 8).</b><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Akan tetapi, Allah tidak memberi mereka kemuliaan (kemenangan) dan tidak menguasakan pemerintahan dan kepemimpinan pada mereka kecuali jika mereka telah mampu mewujudkan jiwa Islam dalam diri mereka yang mampu menciptakan pemerintahan sebagai sarana untuk menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya, bukan karena nafsu pada pemerintahan dan kekuasaan. Ketika pada diri mereka ditemukan akal Islami, maka akal itu akan memahami makna pemerintahan dan mengetahui hakikat tanggung jawabnya di hadapan Allah. Cahaya Islam tampak pada aktifitas-aktifitas dan ucapan-ucapan para penguasa itu sebagaimana cahaya ini tampak dalam penerapan hukum-hukum Islam pada mereka yang menguasai masyarakat. Akibat dari pemberlakuan penerapan hukum-hukum Islam terhadap manusia, maka mereka berbondong-bondong masuk agama Allah dan memeluk akidah Islam. Mereka menjadi muslim yang memiliki kemuliaan, kepemimpinan, dan pemerintahan. Negara mereka menjadi Negara Islam. Penaklukan-penaklukan Islam menjadi memusat dengan diterapkan adanya penerapan pemerintahan Islam, kemudian penduduknya memeluk agama baru ini (Islam), sehingga penaklukan kaum muslimin di negara manapun menjadi penaklukan abadi hingga hari kiamat. Penaklukan Islam berhasil menghapus negara-negara bangsa dan penduduknya dari kondisi lama menjadi kondisi baru, dan mengubah mereka dari kondisi kafir menjadi muslim, sebagaimana juga mengubah negara mereka dari negara kafir menjadi Negara Islam. Negara-negara bangsa itu akhirnya menjadi Negara Islam hingga pemerintahan Islam hilang darinya, sementara penduduknya masih tetap muslim. Negara itu menjadi Negara Islam hingga pemerintahan Islam hilang darinya dan naungan negara terkelupas darinya. Jika Negara Islam telah hilang, maka negara yang telah ditaklukkan kaum muslimin masih tetap menjadi Negara Islam dan penduduknya tetap dalam keadaan muslim. Negara tetap menjadi tempat untuk kembalinya pemerintahan Islam dan pendistribusian kekuasaan Negara Islam di atas rumahnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ada</span></st1:city></st1:place><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> beberapa hal yang menjadikan penaklukan-penaklukan Islam terkonsentrasi secara abadi dan Islam menjadi tetap berada di dalamnya hingga hari kiamat. Di antaranya, memudahkan semua pemerintahannya semenjak awal kemunculannya, seperti perumusan undang-undang; menyiapkan penduduknya untuk memeluk Islam, seperti tata operasional pemerintahan dan perilaku para penguasa; dan memantapkan pemusatan Islam dalam jiwa pemeluknya dengan pemusatan yang abadi, seperti akidah Islam dan pembangunan hukum-hukum Islam. Secara global persoala-persoalan ini dapat disimpulkan dalam beberapa poin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(1). Islam adalah agama yang akidahnya logis. Ide-ide dan hukum-hukumnya penuh pemikiran-pemikiran. Islam mewajibkan pemeluknya beriman melalui akal dan memahami hukum-hukumnya dengan akal pula. Karena itu, memurnikan pemelukannya akan mengubahnya menjadi manusia pemikir ketika berhasil mengarahkan pandangannya pada makhluk-makhluk Allah untuk mengetahui wujud Sang Maha Pencipta dan ketika pemikiran itu bisa dibangkitkan untuk membahas hukum-hukum syara' agar memperoleh kesimpulan-kesimpulan hukum yang tepat dan mampu memecahkan problem-problemnya. Dengan demikian, Islam telah menyatu dalam dirinya selamanya ketika dia meyakininya secara pasti, memahami hukum-hukumnya, dan menerapkannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(2). Islam mengharuskan pemeluknya membaca dan belajar. Untuk mempelajari dan memahami Islam, tidak cukup bagi seorang muslim mengucapkan dua kalimat syahadat saja, tetapi dia harus mempelajari dan mendalaminya dengan sungguh-sungguh, banyak inspirasi, dan penuh kesadaran. Penelaahan ini memperluas ketinggian cakrawala seorang muslim, menumbuhkan pengetahuan-pengetahuannya, menyuburkan akalnya, dan menjadikannya mampu mengajari lainnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(3). Tabiat mabda' (ideologi) dan hukum-hukum syari'at Islam menetapkan keharusan adanya tata operasi mempelajarinya. Tata operasinal ini bernilai tinggi dan berpengaruh bagi yang mempelajarinya dan di tengah kehidupan. Karena itu, kaum muslimin mempelajari Islam untuk dikerjakan. Mereka menekuni dan menggauli hukum-hukumnya dengan pemikiran. Ini sangat mempengaruhi perasaan-perasaan mereka. Karena itu, perasaan-perasaan mereka tentang kehidupan dan dampak-dampaknya merupakan hasil dari pemikiran yang membawa efek. Dari perasaan-perasaan, pemikiran, banyaknya pengetahuan, dan keluasan cakrawala, maka dalam diri kaum muslimin dapat dihasilkan gelora dan semangat untuk gerakan Islam. Ini terjadi karena akidah Islam telah meresap dan tertanam dalam jiwa mereka; ide-ide, pemikiran-pemikiran, dan hukum-hukumnya telah mereka ambil setelah dipelajari dan dimurnikan; dan karena sisi prakteknya merupakan standar dan pengendaliannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Mereka mempelajari Islam tidak semata-mata karena ilmu. Jika demikian, niscaya mereka hanya menulis buku-buku yang mencakup pengetahuan-pengetahuan tentang Islam. Mereka juga tidak sekedar mendengar fatwa-fatwa dan petunjuk-petunjuknya saja. Jika demikian, tentu mereka hanya menjadi kaum yang pengetahuannya dangkal dan tidak ada api yang membakar semangat iman. Akan tetapi, mereka justru menyingkirkan dua sisi yang membahayakan ini, yaitu (i) [tidak] mempelajari Islam semata-mata untuk dipelajari dan (ii) [tidak] menjadikan Islam semata-mata sebagai nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk. Mereka membatasi cara pengambilan pemahaman-pemahaman dan hukum-hukum dengan cara Islam, yaitu mengambil Islam dengan keseriusan, pemahaman, dan kejelasan; untuk diterapkan sebagai perbuatan nyata dalam kancah kehidupan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(4). Islam agama yang dinamis dan maju. Kehadirannya menjadikan pemeluknya berjalan seiring di jalan kesempurnaannya. Islam memberi kewajiban pemeluknya dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu dan keharusan menjalankannya. Dengan tugas-tugas ini dan dengan tangan (kekuatan) manusia, Islam menjadikan manusia maju dan berjalan menuju kesempurnaan. Dalam Islam, manusia dapat menikmati kehidupan dengan keluhuran ruhani dan ketentraman jiwa serta kebahagiaan yang hakiki. Islam menjadikan manusia tetap di atas ketinggian yang tidak merosot. Meski berada di ketinggian di jalan kesempurnaan menuju ketinggian yang lebih tinggi adalah sulit, maka sudah barang tentu tetap dalam posisi ketinggian akan jauh lebih sulit. Karena itu, tugas-tugas ini dijadikan abadi dan bukan temporer. Sehingga dengan demikian diharapkan manusia terus-menerus dalam posisi ketinggian dan kedinamisannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan ini adalah ibadah. Di antaranya ada yang wajib dan ada pula yang sunnah. Melaksanakan kewajiban-kewajiban bagi semua manusia sebagai upaya mewujudkan batas yang sama dalam pencapaian ketinggian adalah keharusan. Melaksanakan amalan-amalan sunnah dapat mendorong manusia untuk tetap bertahan di jalan kesempurnaan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Melaksanakan ibadah-ibadah ini tidak dengan perintah yang memberatkan dan sulit, juga tidak dengan sesuatu yang merusak dan menguruskan. Dalam perintah-perintahnya juga tidak ada larangan menikmati kenikmatan dan kelezatan dunia, tidak ada keharusan untuk berpaling dari hal-hal yang mubah dan menyenangkan, tidak ada tugas-tugas yang membalik<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kecenderungan naluri, dan tidak ada penentangan tabiat. Sekali-kali tidak ada yang demikian. Menjalankan ibadah-ibadah wajib bagi manusia telah ditentukan oleh Allah sebagai perintah yang dimudahkan, meski kekuatannya ada dan kehendaknya selalu muncul. Perintah-perintah wajib tidak sampai meniadakan (mengharamkan) perhiasan dunia. Demikian juga ibadah-ibadah sunah. Kaum muslimin menjalankannya dengan kerinduan dan kegemaran. Mereka menjalankannya lebih banyak dari amalan wajib. Mereka merasakannya dengan perasaan yang dalam dan menikmatinya dengan keridaan Allah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(5). Kaum muslimin menaklukan negara untuk mengemban misi dakwah Islam dan menyebarkannya di negara itu. Karena itu, mereka merasa sebagai para delegasi Allah yang membawa rahmat dan hidayah. Mereka masuk suatu negara dan memerintahnya dengan pemerintahan Islam. Dengan hanya menerima pemerintahan Islam dan masuk golongan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ahlu dzimmah</i> (kafir dzimmi), penduduk negeri itu sudah menjadi memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga muslim. Sementara negara taklukan itu menjadi negara yang memiliki hak dan kewajiban terhadap Negara Islam sebagaimana negeri-negeri taklukan lainnya. Negara itu secara otmatis menjadi bagian dari Negara Islam sebagai konsekwensi dari sistem pemerintahan Negara Islam yang satu. Karena itu, penduduk negeri taklukan tidak merasa bahwa mereka dijajah. Dirasa dari sisi manapun mereka tidak membau bau apek penjajahan. Maka tidak heran jika banyak manusia yang menerima Islam setelah melihat praktek Islam yang nyata dan tatacara kaum muslimin menjalankan pemerintahannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(6). Sesungguhnya mabda' dan hukum-hukum Islam besifat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>umum dan berlaku untuk seluruh manusia. Hukum-hukumnya boleh dipelajari dan diajarkan kepada siapapun, bahkan wajib mengajarkannya kepada semua manusia hingga mereka merasakan manisnya Islam dan mengetahui hakikat-hakikatnya. Rasulullah saw. pernah mengutus para gubernur (wali), penguasa, hakim, dan pengajar untuk mengatur manusia dengan hukum Islam dan mengajarkan mereka hukum-hukumnya. Demikian juga kaum muslimin periode sesudahnya yang telah mengusai negeri-negeri. Mereka tinggal di negeri-negeri baru untuk menjalankan hukum Islam, mengajari dan memberi pemahaman manusia dengan Islam serta mengajari mereka tentang hukum-hukum Al-Qur'an. Penduduk negeri-negeri taklukan menerima pengetahuan-pengetahuan Islam hingga <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tsaqafah</i> mereka menjadi tsaqafah Islam, bahkan yang tidak memeluk Islam pun bertsaqafah Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(7). Syari'at Islam adalah syari'at dunia yang sempurna. Karena itu, ketika kaum muslimin berhasil menaklukkan negeri-negeri, mereka tidak butuh pengetahuan syari'at dan undang-undang penduduk negeri-negeri itu, juga tidak mengkompromikan antara hukum-hukum yang mereka bawa dengan undang-undang yang diberlakukan di negeri-negeri itu sebagai bentuk pemecahan problem-problem kehidupan. Bahkan, mereka menaklukkan berbagai negeri sambil membawa syari'at yang sempurna. Mereka langsung menerapkan Islam sejak berhasil menguasai suatu negeri. Cara mereka dalam menerapkan Islam bersifat revolusioner. Tidak ada penerapan yang dilakukan secara bertahap atau periodik. Fakta yang ditemukan tidak mereka simpan untuk dipelihara karena penaklukan negeri-negeri bagi mereka adalah untuk tempat penyampaian Islam dan objek pengubahan fakta yang rusak dan kehidupan yang membahayakan. Tata laksananya dengan menghapus sistem lama dan membuat sistem baru secara menyeluruh. Karena dengan cara ini akan memudahkan mereka menjalankan pemerintahan negeri itu semenjak awal penaklukan. Pemerintahan mereka dipusatkan secara penuh dan sempurna. Oleh sebab itu, dalam operasinya mereka tidak menyelamatkan krisis undang-undang yang ada, juga tidak membantu keadaan yang transformatif. Mereka hanya membawa misi dakwah mereka sendiri, yaitu akidah yang darinya memancar sistem-sistem, undang-undang, dan hukum-hukum, yaitu syari'at yang diterapkan pada seluruh manusia di semua zaman dan tempat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">SUBLIMASI BANGSA-BANGSA MENUJU SATU UMAT</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Rasulullah saw. wafat setelah seluruh Jazirah Arab masuk Islam, setelah melumatkan kemusyrikan, setelah Negara Islam memerintah dengan Islam, baik secara akidah maupun sistemik, setelah Allah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya terhadap kaum muslimin dan meridhai Islam menjadi agama mereka, dan setelah beliau memulai dakwahnya ke seluruh umat dan bangsa-bangsa yang menjadi tetangganya dengan cara mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan para penguasanya, dengan detasmen-detasmen dan peperangan-peperangan di perbatasan Romawi di Mu'tah dan Tabuk.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kemudian para <i style="mso-bidi-font-style: normal;">khalifah rasyidin</i> (Abubakar, Umar bin Khaththab, 'Utsman bin 'Affan, dan 'Ali bin Abi Thalib) mengikuti jejak beliau. Mereka juga melakukan penaklukan-penaklukan. <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Iraq</st1:country-region></st1:place> yang penduduknya sangat heterogen berhasil ditaklukkan. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> yang beragama Nasrani, Mazdakiyah, dan Zaradasytiyah dan ada pula yang berbangsa Arab dan Persi. Tidak berapa lama Persi menyusul. Penduduknya terdiri dari orang-orang 'ajam, sedikit Yahudi, dan Romawi, namun mereka beragam dalam agama Persi. Syam juga jatuh ke tangan para khalifah rasyidin. Syam termasuk wilayah jajahan Romawi dan berbudaya dengan kebudayaan Romawi dan beragama Nasrani. Penduduknya terdiri dari bangsa Suriyah, Arman, Yahudi, dan sebagian Yahudi dan sebagian Romawi. Afrika Utara yang penduduknya dari kaum Barbar dan di bawah kekuasaan Romawi akhirnya juga jatuh ke pangkuan kaum muslimin. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Setelah periode <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Khulafau al-Rasyidin</i>, muncul masa Amawi. Mereka juga mengikuti jejak-jejak para pendahulunya dengan melanjutkan penaklukkan-penaklukan. Sind, Khawarizmi, dan <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Samarkand</st1:place></st1:city> dikuasai dan dimasukkan ke wilayah Negara Islam. Kemudian mereka menyeberangi selat <st1:place w:st="on">Gibraltar</st1:place> lalu menaklukkan Andalus dan dijadikan bagian dari wilayah Negara Islam. Aneka macam negeri-negeri ini memiliki suku-suku, bahasa, agama, kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, undang-undang, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu dilatari perbedaan-perbedaan pemikiran dan jiwa. Karena itu, proyek pembauran dan peleburan, kemudian mengubah perbedaan-perbedaan itu menjadi umat yang satu yang disatukan oleh agama, bahasa, tsaqafah, dan undang-undang merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan berat. Jika dikatagorikan berhasil, tentu merupakan sesuatu yang sangat tidak lazim, dan selain Islam tidak mungkin merampungkannya. Proyek ini juga tidak akan terwujud kecuali dengan Negara Islam. Bangsa-bangsa ini setelah tunduk di bawah bayangan panji-panji dan pemerintahan Negara Islam serta masuk ke dalam jati diri Islam menjadi umat yang satu, yaitu umat Islam. Ini terjadi karena pengaruh penerapan hukum Islam terhadap mereka, di samping kenyataan mereka yang memeluk akidah Islam. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> empat hal penting yang merampungkan sublimasi bangsa-bangsa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">1. Perintah-perintah Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">2. Pembauran kaum muslimin penakluk dengan bangsa-bangsa taklukan di tempat tinggal dan kehidupan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">3. Masuknya penduduk negeri taklukan ke dalam Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">4. Orang-orang yang memeluk Islam diubah secara total dan beralih dari satu keadaan ke keadaan yang baru (Islam).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perintah-perintah Islam membawa konsekwensi bagi para pemeluknya keharusan menyerukan Islam, mengemban dakwahnya, dan menyebarkan hidayahnya. Mereka dituntut mengerjakan pekerjaan-pekerjan ini menurut kemampuan mereka. Tugas-tugas dakwah ini otomatis mengharuskan adanya jihad dan penaklukan negeri-negeri. Dua misi suci ini dilakukan sampai dapat mendudukkan manusia pada pemahaman Islam dan memposisikan mereka dalam perwujudan hakikat hukum-hukumnya. Misi ini tentunya juga menuntut Islam membiarkan manusia menentukan pilihannya. Jika mereka menghendaki Islam, bisa langsung memeluknya. Jika tidak, mereka boleh tetap memeluk agama lama mereka. Mereka hanya dituntut tunduk pada hukum-hukum Islam tentang urusan-urusan muamalah (hukum-hukum perdata) dan hukum-hukum pidana. Tujuannya untuk mengatur dan menata pekerjaan-pekerjaan manusia dengan kesatuan sistem yang menjamin pemecahan problem-problem mereka, di samping untuk menumbuhkan perasaan jiwa warga non-muslim bahwa kedudukan mereka di mata sistem Islam (dalam hal undang-undang perdata dan pidana) sama dengan kaum muslimin. Mereka semua saling terikat dan sama-sama sebagai warga negara yang punya kewajiban menerapkan sistem yang berlaku. Mereka dapat menikmati hidup dengan tentram dan akan selalu di bawah naungan panji-panji Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perintah-perintah Islam menciptakan satu konsekwensi, yaitu memandang orang-orang yang diperintah dengan pandangan kemanusian, bukan pandangan sektarian, kelompok atau mazhab. Karena itu, penerapan hukum-hukum terhadap seluruh komponen masyarakat harus dengan asas persamaan, bukan perbedaan, yaitu membedakan antara yang muslim dan non-muslim. Allah berfirman dalam <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">surat</st1:place></st1:city> al-Maaidah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu berbakti karena Allah [dan] menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Maaidah: 8).</b> Negara Islam memperlakukan sama terhadap semua manusia dalam aspek hukum dan keputusannya. Hakim ketika mengatur urusan-urusan manusia dan memutuskan, seorang qadhi ketika memutuskan keputusan di antara manusia, maka masing-masing tidak boleh memandang status terdakwah, juga tidak boleh melihat dengan selain penglihatan kemanusiaan. Islam harus menetapkan sistem pemerintahan dengan kesatuan yang menyatukan bagian-bagian wilayah negara, sebagaimana keharusannya menanggung kebutuhan-kebutuhan setiap wilayah Negara Islam dengan memberi anggaran yang diambil dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Bait al-Mal</i> (kas negera), tanpa memperhatikan apakah anggaran yang berhasil dikumpulkan sedikit ataukah banyak, apakah kekayaan negara memenuhi kebutuhan ataukah tidak, sebagaimana juga keharusan mengumpulkan kekayaan negara dari semua wilayah secara sentral, menyeluruh, dan menyatu. Dengan demikian, semua negeri taklukan menjadi satu wilayah dalam satu negara dengan dimasukkannya dalam Pemerintahan Islam yang berjalan secara pasti melalui peleburan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Faktor terbesar yang berpengaruh membawa penduduk negeri-negeri taklukan memeluk Islam adalah pembauran yang dilakukan kaum muslimin sendiri sebagai pihak penakluk. Mereka dengan suka rela berbaur dengan penduduk setempat. Setelah menaklukkan, mereka tinggal di negeri taklukan itu, berbaur dengan penduduk setempat, lalu mengajari dan mendidik mereka dengan dan tentang tsaqafah Islam. Mereka tinggal dengan penduduk asli di rumah-rumah saling mengikat hubungan ketetanggaan sehingga pemukiman penduduk penakluk dan bangsa-bangsa taklukan kumpul menjadi satu. Mereka bekerja-sama dalam semua urusan kehidupan dan secara keseluruhan mereka semua menjadi penduduk satu negara yang semua penduduknya diikat dengan hukum-hukum yang satu. Seluruh penduduk tidak dipisahkan menjadi dua kelompok yang berbeda: kelompok penakluk dan kelompok yang ditaklukan atau kelompok pemenang dan kelompok yang dikalahkan. Mereka semua adalah rakyat Negara Islam yang masing-masing saling tolong-menolong dalam menyelesaikan semua persoalan kehidupan. Mereka dipandang sama. Urusan-urusan dan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka sama-sama mendapat pelayanan yang sama (adil). Mereka pun akhirnya melihat sifat-sifat luhur yang menjadikan mereka dicintai oleh para penguasa dan Islam. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> penguasa dan seluruh kaum muslimin [dibolehkan] menikah dengan Ahlu Kitab dan memakan sembelihan dan makanan mereka. Pembauran ini tentunya menjadi pendorong bagi mereka untuk memeluk Islam karena mereka melihat pengaruh Islam dalam diri para penguasa, sebagaimana mereka melihat cahayanya dalam penerapan semua sistem. Dengan demikian, bangsa-bangsa ini saling meleburkan diri dan akhirnya menjadi umat yang satu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun masuknya negeri taklukan ke dalam Islam adalah dengan bentuk yang umum. Penduduk tiap daerah memeluk Islam secara bergelombang, sampai sekelompok penduduk di daerah terpencil dari negeri taklukan memeluk Islam. Orang-orang masuk Islam secara berkelompok-kelompok, dan lambat-laun seluruh manusia menjadi kaum muslimin. Islam tidak terbatas menjadi agama para penakluk. Dengan masuknya penduduk suatu negeri dalam Islam, maka mereka melebur dengan bangsa penakluk, lalu mereka menjadi satu umat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perombakan total yang diciptakan Islam dalam diri para pemeluknya dilakukan dengan mengangkat kesamaan akal mereka, lalu di tengah mereka diadakan akidah Islam. Di atas kaidah pemikiran, semua pemikiran dibangun. Kebaikan dan keburukan pemikiran dianalogikan dengan standar kaidah ini. Mereka mengalami transformasi akidah dan peribadatan, dari keimanan yang sentimentil menuju keimanan yang rasional dan dari penyembahan berhala, api, trinitas, dan bentuk-bentuk penyembahan lainnya yang tidak rasional menuju penyembahan Allah dan apa-apa yang dibentuk oleh pemikiran yang mendalam dan pandangan yang luas. Islam menjadikan mereka membenarkan adanya kehidupan lain dan menggambarkannya dengan gambaran yang dijelaskan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dalam gambaran kehidupan itu dijelaskan tentang adanya nikmat (surga) dan siksaan (neraka). Akhirnya, mereka menggambar dan melihat kehidupan secara hakiki. Dengan demikian, kehidupan bagi mereka memiliki makna kendali dan ladang karena kedudukannya sebagai jalan bagi kehidupan lain yang lebih bahagia dan lebih abadi. Karena itu, mereka menerima dan menghadapi kehidupan dunia dengan sungguh-sungguh, tidak menyia-nyiakannya, dan menjadikannya sebagai sebab-sebab [perolehan nikat akhirat dan rida Allah], menikmati perhiasan dan rezeki Allah yang bagus-bagus yang dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya, dan menjadikan kehidupan memiliki standar-standar yang baik dan gambaran yang hakiki.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Setelah adanya standar kehidupan adalah manfaat dan manfaat ini dikendalikan untuk dimalkan. Ini adalah tujuan amal dan tujuannya adalah nilai amal itu. Maka, yang menjadi standar kehidupan adalah halal dan haram. Yang menjadi gambaran kehidupan adalah halal dan haram. Dan, yang menjadi kontrol dan arah amal adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Selanjutnya, tujuan pengontrolan amal dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya adalah ridha Allah. Nilai amal akhirnya menjadi tujuan dari maksud pelaksanaan amalan itu. Nilai amal sendiri bentuknya macam-macam. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> yang berupa ruhani jika bentuk amalnya adalah shalat, jihad atau yang sejenisnya. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> yang berupa materi jika amalnya berbentuk jual-beli, sewa-menyewa atau yang sejenisnya. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> yang berbentuk etika jika amalnya adalah amanat, rahmat atau yang sebentuk dengannya. Akibatnya, mereka membeda-bedakan antara nilai yang diarahkan ke perbuatan dan nilai amal yang dikerjakan dengan amal untuk nilai itu. Dengan demikian, Islam menciptakan gambaran kehidupan yang berbeda dengan gambaran yang mereka peroleh sebelumnya dan menjadikannya hakikat kehidupan yang memiliki gambaran yang hakiki dengan standar yang diletakkan oleh Allah. Standar itu berupa perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, yaitu halal dan haram.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Islam menjadikan kehidupan memiliki makna yang hakiki dalam pandangan mereka. Setelah memperoleh kebahagiaan dengan lapar yang dikenyangkan dan jasad yang diberi makan, maka kebahagiaan yang hakiki yang harus mereka peroleh adalah ridha Allah. Kebahagiaan adalah ketentraman abadi yang dimiliki manusia. Kebagiaan yang demikian tidak akan diperoleh dengan kelezatan-kelezatan dan syahwat-syahwat, tetapi hanya dengan memperoleh ridha Tuhan semesta alam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah keadaannya. Dalam mengarahkan pandangan bangsa-bangsa yang memeluk Islam untuk kehidupan dan untuk diamalkan, Islam memberi pengaruh kuat. Mereka diharuskan mengamalkan Islam dalam kehidupan. Islam mengubah tingkatan-tingkatan tatanan nilai, lalu meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain. Setelah kehidupan menjadi tingkatan tata nilai yang tertinggi bagi manusia dan mabda' adalah tingkatan yang paling sedikit (rendah), maka Islam membalik tingkatan-tingkatan ini, lalu menjadikan mabda' di tingkatan yang pertama (tertinggi) dan kehidupan di tingkatan yang paling sedikit (rendah). Dengan demikian, Islam mampu mengubah pemeluknya menjadi orang yang rela mendermakan hidupnya di jalan Islam karena tingkatan tata nilai Islam (mabda') lebih mahal atau lebih tinggi daripada kehidupan itu sendiri. Ini sangat berpengaruh dalam mendorong pemeluknya untuk lebih berani menanggung beban-beban berat dan kesulitan-kesulitan di jalan Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Dengan demikian, segala sesuatu dalam kehidupan diletakkan di tingkatan-tingkatan yang sesuai dengan hal-hal itu. Dampaknya, kehidupan menjadi luhur. Orang Islam bisa merasakan ketenangan yang abadi dalam kehidupan. Di seluruh alam hanya ada satu rumusan teladan (nilai) yang ideal, tetap, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">baku</st1:place></st1:city>, dan tidak berubah, yaitu keridhaan Allah. Ini menyebabkan keteladanan yang tertinggi di sisi manusia berubah. Setelah bangsa-bangsa memiliki nilai keteladanan yang tinggi dan bermacam-macam, mereka akhirnya hanya memiliki satu-satunya keteladanan yang tertinggi, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">baku</st1:place></st1:city>, dan kokoh. Akibat perubahan [nilai] keteladanan yang tertinggi yang dimiliki bangsa-bangsa dan umat-umat, maka makna segala sesuatu di mata mereka menjadi berubah dan pemahaman mereka tentang keutamaan-keutamaan sesuatu itu juga berubah. Keberanian, kesatriaan, membela kelompok atau suku, bangga terhadap harta dan jumlahnya, kemuliaan hingga ke batas yang berlebih-lebihan, loyal terhadap kabilah atau kaum, keras dalam permusuhan, menuntut balas, dan apa-apa yang sejenis dengannya adalah pokok-pokok keutamaan. Lalu Islam datang dan tidak menjadikan nilai-nilai itu sebagai pokok-pokok keutamaan dan tidak membiarkannya sebagaimana adanya. Akan tetapi, Islam mengubahnya menjadikan sifat-sifat yang menghiasi manusia dengan perintah-perintah Allah yang perintah-perintah itu dipenuhi semata-mata karena perintah-Nya, bukan kerena esensi keutamaan-keutamaan itu, juga bukan karena di dalamnya terkandung manfaat-manfaat, serta bukan karena sesuatu yang diseret oleh kebanggaan, juga bukan karena kebiasaan-kebiasaan, adat-adat, dan warisan-warisan yang harus dipelihara. Karena itu, wajib menundukkan manfaat-manfaat individu, kesukuan, kebangsaan, dan umat untuk perintah-perintah Islam semata.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah yang dikerjakan Islam. Islam melakukan transformasi akal dan jiwa bangsa-bangsa yang memeluk Islam. Setelah memeluk Islam, mereka mengubah pribadi dan konsep-konsep mereka pra-Islam tentang alam, manusia, dan kehidupan, serta standar-standar mereka tentang segala hal dalam kehidupan. Mereka menjadi paham bahwa kehidupan memiliki makna khusus, yaitu keluhuran dan kesempurnaan. Mereka menjadi manusia baru yang memiliki keteladanan tunggal (nilai ideal) yang tertinggi dan <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">baku</st1:place></st1:city>, yaitu ridha Allah. Memperoleh keteladanan tertinggi, yakni keridhaan Allah, bagi mereka adalah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kebahagiaan yang dirindukan. Dengan demikian, mereka menjadi makhluk lain yang berbeda dengan kemakhlukan mereka sebelumnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Dengan empat hal ini, semua bangsa yang tunduk pada Negara Islam melepaskan diri dari keadaannya yang semula. Pemikiran-pemikiran dan semua arah pandangannya menyatu dalam kehidupan sehingga menjadi satu. Penyelesaian problem-problem menyatu dengan penyelesaian yang satu. Maslahah-maslahahnya juga menyatu, lalu menjadi satu maslahah, yaitu maslahah Islam. Tujuan-tujuan mereka dalam kehidupan menyatu, lalu menjadi satu tujuan, yaitu meninggikan kalimat Allah. Sudah pasti, semua bangsa ini melebur ke dalam Islam, lalu mereka menjadi umat yang satu, yaitu umat Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERLEMAH NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Negara Islam berdiri di atas ideologi (mabda') Islam. Di dalam ideologi Islam terdapat kekuatannya. Dengannya semata, kekokohan Negara Islam menjadi kenyataan dan ketinggiannya dapat tercapai. Berarti, ideologi Islam adalah penopang utama wujudnya Negara Islam. Karena itu, Negara Islam berdiri dengan kuat karena kuatnya Islam. Negara Islam berhasil menaklukkan negeri-negeri di dunia yang sangat luas hanya dalam masa kurang dari seabad, padahal sarananya hanya kuda dan unta. Semua bangsa dan umat yang ditaklukkan Islam tunduk dalam waktu yang ringkas, padahal alat-alat dan sarana penyebarannya tidak meluas. Tidak ada alat selain lidah dan pena. Semuanya ini terwujud dengan sangat cepat tidak lain karena faktor Islam. Islam-lah yang menjadikan negara kuat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Musuh-musuh Islam mengetahui hal itu. Mereka sadar bahwa Negara Islam tidak dapat dilemahkan selama Islam kuat mengakar dalam jiwa para pemeluknya, dalam pemahaman, dan penerapannya. Dengan sadar, mereka berusaha menciptakan sarana-sarana yang akan memperlemah pemahaman kaum muslimin dan penerapan hukum-hukumnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sarana-sarana yang mereka gunakan jumlahnya banyak. Di antaranya yang berkaitan dengan nash-nash Islam, bahasa yang dipakai, dan yang berkaitan dengan penuntasan fakta-fakta kehidupan. Sasaran yang mereka tuju adalah hadits-hadits Nabi. Caranya dengan menyusupkan hadits-hadits palsu ke dalam hadits-hadits shahih yang asli. Hadits-hadits yang disusupkan tidak pernah dikatakan Nabi. Akan tetapi, mereka memalsunya dan menyusupkan makna-makna yang tidak islami dan pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan Islam ke dalam hadits-hadits shahih yang asli, sehingga kaum muslimin mengambil dan mengamalkannya, lalu mereka terjauhkan dari Islam. Mereka mendustakan Rasulullah saw. dengan cara memalsukan hadits-hadits di antara hadits-hadits yang asli dan menyebarkannya di tengah manusia. Hanya kaum muslimin yang memahami Islam dan kaum zindiq yang bebas dari tipudaya itu. Mereka berhasil menggagalkan komplotan mereka. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ulama dan perawi hadits bangkit. Mereka mengumpulkan hadits-hadits dan menyusun sejarah para perawinya dan sifat-sifat mereka, lalu menjelaskan mana hadits yang shahih, lemah, dan palsu, sehingga sebuah hadits pun bisa dipelihara keasliannya. Dalam operasi penyeleksiannya, periwayatan hadits dibatasi hanya sampai pada periode <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tabi'ina tabi'in</i> (generasi setelah tabi'in atau dua generasi sesudah sahabat) yang memperoleh hadits dari generasi tabi'in yang mendapatkannya dari sahabat. Hadits apapun yang diterima setelah generasi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tabi'ina tabi'in</i>, tidak diterima oleh para ulama penyeleksi hadits. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> perawinya juga diidentifikasi secara teliti dan tiap perawi diketahui dengan detil. Kemudian disusun dan dipaparkanlah tingkatan-tingkatan kitab-kitab hadits, sehingga seorang muslim jika mempelajari atau menelusuri sebuah hadits dimungkinkan akan mengetahui shahih tidaknya hadits dan lemah atau palsu tidaknya hadits. Dia dapat mengetahui ini dengan mengetahui sanad dan matan hadits. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Di luar semua itu (upaya memelihara kemurnian sumber-sumber hukum Islam), Negara Islam juga melakukan penjagaan dengan menghukum kaum zindiq dengan tangan besi. Sanksi paling berat yang mereka terima atas pemalsuan hadits adalah hukuman mati. Dengan demikian, komplotan yang hendak merusak Islam dan negaranya tidak memiliki pengaruh yang berarti. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kemudian sasaran perusakan berikutnya yang dilancarkan musuh-musuh Islam adalah bahasa Arab karena bahasa inilah yang dipakai Islam. Mereka berusaha memisahkan bahasa Arab dari Islam. Pada mulanya mereka tidak berhasil melakukannya karena kaum muslimin pada saat melakukan penaklukan negeri-negeri, mereka membawa Kitabullah, Sunnah Nabi, dan bahasa Arab. Mereka mengajari manusia bahasa Arab sebagaimana mengajari mereka Al-Qur'an dan hadits. Orang-orang pun berbondong-bondong masuk Islam. Mereka belajar bahasa Arab sampai mahir kemudian mematangkannya. Bahkan, di antara kaum 'ajam (orang-orang non-Arab) terdapat imam mujtahid, seperti Abu Hanifah, juga ada penyair-penyair yang andal dan brilian, seperti Basyar bin Bard, dan ada pula penulis yang sangat tajam, seperti Ibnu al-Muqaffa'. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Dalam menjaga kemurnian bahasa Arab, kaum muslimin sangat keras, sampai Imam Syafi'i tidak membolehkan penerjemahan Al-Qur'an dan melarang shalat dengan bahasa selain bahasa Arab. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ulama yang membolehkan penerjemahan Al-Qur'an, seperti Abu Hanifah, tidak menamakannya sebagai tarjamahan Al-Qur'an secara mutlak. Seperti demikianlah dukungan yang selalu diberikan pada bahasa Arab. Bahasa Arab diposisikan sebagai bahasa yang sangat penting karena kedudukannya merupakan bagian dari permata Islam dan syarat di antara syarat-syarat ijtihad. Pemahaman Islam yang diambil dari sumber-sumbernya dan pengambilan istinbat hukum tidak mungkin diperoleh kecuali dengan bahasa Arab. Hanya saja bantuan atau dukungan ini telah hilang setelah abad ke-6 hijriah ketika yang menguasai pemerintahan adalah orang yang tidak mengetahui nilai bahasa Arab. Penguasa itu menyia-nyiakan urusan bahasa Arab. Akibatnya, ijtihad menjadi terhenti dan tidak mungkin orang yang tidak mengetahui bahasa Arab mengambil istinbat hukum. Bahasa Arab menjadi terpisah dari Islam. Pemahaman Islam yang kacau mengacaukan negara, dan otomatis kekacauan ini juga mengacaukan penerapannya. Ini memiliki pengaruh yang besar dalam negara, yaitu melemahkan negara (Daulah Islam) dan pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa aktual. Akibatnya, problem-problem yang muncul tidak terpecahkan atau terpecahkan tetapi tidak benar, sehingga menumpuk di hadapan negara yang pada gilirannya menyebabkan negara terguncang dan akhirnya lenyap.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ini kaitannya dengan nash-nash Islam dan bahasa Arab. Adapun sarana-sarana yang dipakai dalam kaitannya upaya memperlemah tata laksana Islam dalam menyelesaikan fakta-fakta kehidupan, maka musuh-musuh Islam sejak<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>beberapa abad pertama berusaha menyelaraskan antara filsafat <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">India</st1:place></st1:country-region> dan Islam. Zuhud dalam masalah-masalah keduniaan dan pencarian akhirat ditafsiri dengan praktek hidup yang sengsara dan penyiksaan badan. Akibatnya, banyak orang Islam yang menjauhkan diri dari gemerlapan kehidupan dan menarik diri untuk tidak terjun ke dalam kenikmatan hidup yang melimpah. Itulah yang menjadikan mereka tidak bekerja di tandu Negara Islam dan dalam kancah kehidupan kaum muslimin. Negara banyak kehilangan kerja keras dari anak-anak umat yang sebenarnya mereka sangat mungkin menggunakannya dalam dakwah Islam. Kehilangan itu justru digantikan dengan penyiksaan badan mereka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kemudian muncul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">perang tsaqafah</i> (peradaban dan kebudayaan) yang dilancarkan Barat terhadap negara kaum muslimin. Barat membawa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">hadharah</i> yang bertentangan dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">hadharah Islam</i>. Barat memberi gambaran (khayalan) pada kaum muslimin bahwa hadharah yang dibawa berasal dari mereka (kaum muslimin), lalu mendatangkan pada mereka sistem-sistem yang bertentangan dengan sistem Islam. Barat juga memberi gambaran pada kaum muslimin bahwa sistem-sistem yang dibawanya sesuai dengan hukum-hukum Islam, lalu memberi mereka undang-undang yang bertentangan dengan hukum-hukum syara', kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa undang-undang itu tidak bertentangan dengan Islam. Demikian itu membawa pengaruh besar terhadap kaum muslimin, dan akibat lebih lanjut menyebabkan hadharah Barat menguasai dan mendominasi kaum muslimin. Kaum muslimin mulai memandang kehidupan dengan berlandaskan asas manfaat. Kemudian mereka mengambil sebagian sistem Barat untuk diterapkan dalam Daulah 'Utsmani, lalu menafsiri ulang tentang riba dan membuka bank-bank. Langkah-langkah ini mengantarkan mereka pada kesembronoan mengambil undang-undang Barat, dan akibatnya, mereka menelantarkan batasan-batasan hukum syara' dan sebagai gantinya mengambil undang-undang pidana Barat. Langkah ini merupakan bencana terbesar yang menimpa Negara Islam dan menjauhkannya dari penerapan hukum dengan asas Islam, meski negara telah menggunakan fatwa-fatwa yang membolehkan perbuatan-perbuatan ini. Jauhnya penerapan hukum Islam ini menyebabkan gelora iman dalam tubuh negara melemah, dan otomatis menjadikan negara berjalan di luar cahaya petunjuk, yang pada gilirannya negara melemah dan layu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ini kaitannya dengan sisi memperlemah pemahaman Islam. Sedangkan sisi penerapannya, ada beberapa faktor yang saling kait-mengait yang menjadikan penerapan Islam rusak. Di antara faktor-faktor itu adalah partai-partai politik. Kebanyakan partai-partai politik pasca-Khulafau al-Rasyidin memandang bahwa hanya pendapat partainyalah yang harus dilaksanakan. Partai-partai ini sering mengambil tindakan-tindakan represif (secara militer) sebagai jalan untuk mengantarkan tujuannya pada penguasaan pemerintahan yang selanjutnya dipakai untuk sarana penerapan pendapatnya. Hampir tidak ada partai yang memposisikan umat sebagai jalan untuk penerapan pendapatnya. Akibatnya, muncul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Partai Kelompok 'Abbasi</i> dan mereka menguasai Persi dan <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Iraq</st1:place></st1:country-region>, kemudian menjadikannya titik sentral gerakan. Mereka kemudian bergerak hingga menguasai negara dan menjadikan pemerintahan berada di tangan bani Hasyim. Kemudian muncul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Partai Kaum Fathimiyin</i>. Mereka berhasil menguasai Mesir dan mendirikan negara di <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">sana</st1:place></st1:city> untuk dijadikan titik sentral gerakan partai. Dari Mesir, mereka bergerak untuk menguasai Negara Islam agar pemerintahan berdiri di atas pondasi pemikiran-pemikiran <i style="mso-bidi-font-style: normal;">aliran Ismailiyah</i> (paham yang dianut bani Fathimiyyin) yang menentang syara'. Di awal perkembangannya, mereka berhasil melancarkan pukulan yang mampu menghentikan penaklukan-penaklukan dan menyebabkan negara disibukkan dengan urusan-urusan dalam negeri (kestabilan). Namun, pada perkembangan berikutnya (tahapan kedua), mereka mampu menciptakan pertarungan antara dua negara (Daulah 'Abbasi berpusat di <st1:place w:st="on">Bagdad</st1:place> dan Daulah Fathimiyah berpusat di Mesir) yang menjadikan kaum muslimin hidup dalam dua negara dalam waktu yang sama, padahal kaum muslimin tidak boleh memiliki lebih dari satu negara. Pergulatan sekte-sekte berpartai (juga berpasukan) ini akhirnya juga berpengaruh dalam memperlemah Negara Islam. Dampak berikutnya, penaklukan dan pengembangan dakwah menjadi terhenti. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun pihak yang menyebabkan partai-partai politik mengambil cara ini (tindakan-tindakan represif dan militeris) adalah para khalifah bani Amawi. Mereka dalam mendelegasikan jabatan kekhilafahan memakai cara pemberian<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>amanat (semacam pengangkatan putra mahkota). Seorang calon khalifah diberi amanat atau wasiat untuk melanjutkan kekhilafahan sebelumnya (biasanya khalifah sebelumnya masih ada hubungan nasab dengan calon khalifah),<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kemudian dia dibaiat. Cara ini cenderung tidak mengangan-angankan penantian baiat dan untuk mengantarkan pada pemerintahan kurang berpegangan pada baiat. Mu'awiyah mengamanatkan kekhilafahan pada putranya, Yazid, lalu sumpah baiat diberikan kepadanya. Kemudian setiap khalifah sesudahnya mengikuti jejaknya. Setiap khalifah mengamanatkan kekhalifahan kepada calon khalifah berikutnya, kemudian manusia membaiatnya. Hal ini menggiring kaum muslimin untuk membaiat orang yang telah diamanati kekhilafahan. Sangat sedikit atau jarang mereka membaiat orang lain (yang tidak diamanati oleh khalifah sebelumnya). Cara ini dipakai oleh partai-partai politik untuk memperoleh kekuatan sebagai jalan yang mengantarkan pada penguasaan pemerintahan. Pengangkatan khalifah dengan cara memberi amanat (menunjuk calon atau putra mahkota atau pengganti) semacam ini sebenarnya pernah dilakukan Khalifah Abubakar ketika mengamanatkan kekhilafahan kepada Umar. Karena adanya penerapan yang tidak sehat, maka hasil-hasilnya tidak baik sebagaimana dijelaskan di muka (seperti dalam kasus-kasus pengangkatan khalifah sesudah periode Khulafau al-Rasyidin). Abubakar meminta pendapat kaum muslimin tentang orang yang akan menjadi khalifah sesudahnya. Dari musyawarah para calon khalifah, akhirnya yang paling menonjol hanya terbatas pada Ali dan Umar, kemudian amanat diberikan kepada Umar. Maka, Umar dipilih menjadi khalifah, dan setelah Abubakar wafat, baiat secara otomatis diberikan kepadanya. Ini adalah persoalan syara'. Akan tetapi, para khalifah sesudah merusak penerapan cara ini. Amanat mahkota kekhilafahan yang seharusnya diberikan untuk umum, hanya mereka peruntukkan pada anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka sendiri. Kadang-kadang pengamanatan diberikan kepada lebih dari satu calon. Buruknya penerapan ini sudah tentu menyebabkan kaum muslimin kesulitan memberikan baiat kepada orang yang dikehendaki, dan itu menyebabkan Negara Islam melemah. Sebenarnya, cara ini tidak banyak memberi pengaruh negatif jika negara kuat. Namun, ketika negara dalam keadaan lemah, pengaruhnya mulai tampak.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Persoalan yang merajam keadaan dalam negeri Negara Islam tidak terbatas pada masalah baiat khalifah saja, tetapi melebar hingga ke para penguasa daerah atau pejabat-pejabat tinggi negara. Diamnya Daulah 'Abbasi terhadap perilaku politik Abdurrahman yang berhasil memasuki Andalus (karena itu dijuluki al-Daakhil) dan membiarkannya menguasai Andalus menyebabkan Abdurrahman memerintah Andalus secara penuh dan terpisah dari pusat Negara Islam (Bagdad). Abdurrahman memangkas sebagian wilayah Negara Islam dan mengaturnya dengan aturan tersendiri. Para penguasa sesudahnya yang menamakan diri dengan sebutan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Amirul Mukminin</i> juga mengatur pemerintahannya dengan aturan sendiri. Meski Andalus sebenarnya tidak terpisah dari tubuh Negara Islam dan kaum muslimin yang tinggal di Andalus juga tidak terpisah dari kaum muslimin lainnya yang tinggal di wilayah Daulah 'Abbasi dan mereka tetap menjadi bagian dari kesatuan umat Islam, akan tetapi mereka terpisah secara administratif (aturan pemerintahan). Fakta ini menyebabkan kelemahan terserap ke dalam tubuh daulah. Kelemahan itulah yang menjadikan kaum kafir mudah menguasai Andalus. Padahal Negara Islam (Bagdad) pada waktu itu berada di puncak keluhuran dan kekuatan. Bagdad tidak mampu menolak serangan musuh yang melemahkan kondisi Andalus.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ini kondisi yang terjadi di wilayah Barat (Daulah Andalus disebut wilayah Negara Islam bagian Barat). Adapun di wilayah Timur (pusat pemerintahan Negara Islam: Bagdad), pemerintah-pemerintah daerah (propinsi) diberikan kepada para gubernur secara umum. Tiap-tiap daerah diberi keleluasaan (otonomi) mengatur secara luas. Otonomi ini memberi kesempatan para penguasa daerah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>untuk menggerakkan perasaan-perasaan kepemimpinan yang membuat mereka berambisi. Mereka memiliki kekuasaan yang otonom dalam administrasi (mengatur pemerintah daerah), sementara khalifah merelakannya. Pengakuan atas legalitas kekuasaan khalifah cukup dilakukan di mimbar-mimbar, pengeluaran surat-surat keputusan yang diambil dari lembaga khilafah, pembuatan uang dengan namanya, dan penyetoran pajak. Wilayah-wilayah propinsi yang memiliki kekuasaan otonom menjadikannya seperti negara-negara federal, sebagaimana yang terjadi antara penguasa bani Saljuq dan Hamdani. Hal ini juga menyebabkan Negara Islam melemah. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Semua persoalan di atas menjadi sebab yang mengantarkan pada lemahnya Negara Islam. Kondisi ini terus berlangsung hingga Daulah 'Utsmani datang dan menguasai kekhilafahan. Mereka kemudian menyatukan hampir seluruh wilayah Negara Islam di bawah kekuasaan mereka, kemudian mengemban dakwah ke Eropa dan memulai penaklukan-penaklukan. Akan tetapi sayang, kekuasaannya tidak bersandar pada dasar kekuatan iman para khalifah pertama bani 'Utsman. Khalifah-khalifah sesudahnya justru hanya bersandar pada kekuatan militer. Pemerintahannya tidak bersandar pada asas pemahaman Islam yang benar dan penerapan yang sempurna. Oleh karena itu, penaklukan-penaklukan yang diraihnya tidak memperoleh hasil sebagaimana penaklukan-penaklukan yang pertama. Di samping itu, dalam tubuh umat tidak ada kekuatan yang mendasar. Karena itu, kondisi yang mendominasi ini juga ikut berperan memperlemah daulah, kemudian memudar, dan akhirnya Negara Islam hilang. Lenyapnya Negara Islam dari permukaan bumi tidak lain karena pengaruh faktor-faktor di atas, di samping karena macam-macam tipudaya yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Faktor-faktor yang memperlemah daulah yang akhirnya menyebabkan lenyapnya Negara Islam secara ringkas dapat dikelompokkan menjadi dua faktor: (i) lemahnya pemahaman Islam dan (ii) buruknya penerapan Islam. Karena itu, yang dapat mengembalikan Negara Islam adalah pemahaman Islam yang benar, dan yang dapat menjaga kekuatan negara adalah kelangsungan negara yang terus-menerus memahami Islam yang benar, memperbaiki penerapannya dalam negeri, dan mengemban dakwahnya ke luar wilayah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">LEMAHNYA NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Lemahnya pemikiran tentang Negara Islam muncul pertama kali sejak abad <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">lima</st1:place></st1:city> hijriah, yaitu ketika sebagian ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Itu adalah peringatan yang memperlemah negara. Padahal setelah itu masih banyak dijumpai para mujtahid yang mumpuni. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Lemahnya pemikiran menciptakan kondisi yang kritis. Keadaan itu mempengaruhi keberadaan negara (Daulah Islam), sehingga perpecahan menggerogoti tubuhnya dan kelemahan mendominasi wilayahnya. Kondisi ini terus berlangsung hingga pecah Perang Salib. Pada waktu itu negara dalam kondisi tidak berdaya menghadapi pasukan Salib. Kedudukan negara goyah dan dalam kegoyahannya, negara terlibat dalam serangkaian Perang Salib yang terjadi secara berturut-turut. Kira-kira dua abad lamanya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kemenangan pertama diraih pasukan Sekutu Salib. Mereka berhasil menguasai sebagian wilayah Negara Islam. Namun, dalam peperangan berikutnya, kaum muslimin berhasil membebaskan wilayah Negara Islam yang dikuasai mereka. Akan tetapi, semenjak pemerintahan Islam berpindah ke tangan Mamalik, bahasa Arab, pemikiran, dan pembentukan undang-undang mulai disia-siakan, dan selanjutnya pintu ijtihad ditutup yang akhirnya membawa efek lemahnya pemahaman terhadap Islam. Para penguasa ini mewajibkan para ulama bertaklid, dan itu berarti kelemahan semakin marah di tubuh daulah. Kemudian muncul serangan pasukan Tartar yang semakin memerosokkan dan memperlemah daulah. Keadaan ini hanya terjadi di pusat pemerintahan dan tidak sampai mempengaruhi kondisi luar (pemerintah daerah atau negeri-negeri). Kedudukan negeri-negeri (Pemerintah-pemerintah daerah di lingkungan wilayah daulah yang memiliki otonomi penuh. Negeri-negeri itu sebenarnya kedudukannya sebagai daerah propinsi. Karena memiliki otonomi penuh, maka menyerupai negara yang berdiri sendiri sehingga disebut negeri-negeri) tidak banyak terpengaruh oleh krisis yang melanda pusat pemerintahan. Keadaan inilah yang menjadikan Negara Islam masih memiliki harga diri yang kuat, kemampuan, masih ditakuti dunia luar, dan masih menguasai lebih dari separuh dunia. Kemudian pada abad 9 H atau 15 M Daulah 'Utsmani berhasil menyelamatkan pemerintahan dunia Islam. Di abad ke-10 H atau 16 M kekuasaan baru ini cukup berhasil menggabungkan negeri Arab ke dalam wilayahnya, lalu kekuasaannya meluas dan melebar banyak. Pemerintahannya didukung dengan kekuasaan yang kuat, pengaturan pasukan yang sistematis dan disiplin, dan pemerintahan yang megah. Dalam perkembangan berikutnya, Daulah 'Utsmani bergerak keluar dan sibuk dengan penaklukan-penaklukan, sementara bahasa Arab tersia-siakan. Padahal bahasa Arab merupakan kebutuhan dasar untuk memahami Islam dan menjadi salah satu syarat ijtihad. Sungguh sayang, Daulah 'Utsmani yang perkasa tidak berpayah-payah mengurusi Islam dalam aspek pemikiran dan perumusan hukum atau undang-undang. Akibatnya, tingkat pemikiran dan pembentukan undang-undang merosot tajam. Secara zahir, negara memang tampak kuat, tetapi esensinya lemah. Kelemahan itu dikarenakan lemahnya pemikiran dan pembentukan undang-undang. Pada waktu itu kelemahannya belum terdeteksi oleh negara karena sedang berada di puncak kemuliaan, keagungan, dan kekuatan militer. Pemikiran, perundang-undangan, dan hadharah yang dimiliki Negara Islam dibandingkan dengan yang dimiliki Eropa, lalu mereka menemukan bahwa apa yang dimiliki daulah lebih baik daripada yang dimiliki Eropa. Mereka senang dengan ini dan secara tidak sadar rela dengan kelemahan ini. Perbandingan semacam itu jelas tidak proporsional karena Eropa ketika itu masih terpuruk dalam kegelapan kebodohan, kepekatan kekacauan dan kegoncangan, tertatih-tatih dalam upaya-upaya kebangkitan, dan gagal dalam setiap perbaikan yang dilakukan. Karena itu, membandingkan keadaan Daulah 'Utsmani dengan keadaan Eropa yang dilihatnya seperti ini, sudah barang tentu Daulah 'Utsmani akan memposisikan dirinya berada di atas kondisi yang baik, sistem yang baik, memiliki hadharah yang lebih tinggi, sementara di sisi lain daulah tidak mampu melihat kondisi dalam yang sebenarnya sedang mengalami kegoncangan yang sangat keras, tidak mampu menyaksikan kebekuan pemikiran, kebekuan perundang-undangan, dan memudarnya kesatuan umat. Kemenangan daulah atas Eropa dan keberhasilannya menguasai Balkan dan sebagian tenggara Balkan menyilaukan pandangannya sehingga tidak mampu menyaksikan kelemahan dalam negerinya. Kemenangan-kemenangan itu membawa pengaruh ketakutan seluruh negara Eropa terhadap Daulah 'Utsmani yang digambarkannya sebagai Negara Islam, dan akibatnya di benak mereka terbentuk persepsi bahwa pasukan Islam tidak bisa dikalahkan. Mereka yakin bahwa tidak satupun pasukan yang mampu menghadapi kaum muslimin. Persepsi Eropa yang semacam ini juga menutup pandangan daulah untuk bisa melihat kelemahan dalam negerinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kemudian muncul masalah ketimuran. Ketika itu maknanya diartikan ketakutan Eropa terhadap serangan pasukan besar 'Utsmani yang terus merayap di bawah kendali Muhammad al-Fatih di abad sembilan hijriah (15 M), juga para sultan sesudahnya. Ekspansi besar-besaran terus berlangsung hingga akhir abad 11 H ketika pemerintahan dipegang Sulaiman al-Qanuniy. Dia berhasil memusatkan kekuatan hingga pertengahan abad 12 H atau 18 M. Pada periode ini, kekuatan ekspansi yang berjalan terus dalam tubuh daulah menjadi faktor dominan dalam memberikan kekuatan daulah. Lalu muncullah kekuatan akidah di tengah kaum muslimin. Pemahaman-pemahaman yang jelas tentang kehidupan meski belum mengkristal juga sudah tampak dalam benak mereka. Sistem Islam tentang kehidupan meski penerapannya buruk juga kelihatan di permukaan. Semua itu menopang eksistensi daulah dan menjadikannya masih mampu bertahan dan kuat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Apalagi keadaan ini masih juga dibantu oleh kondisi pemikiran dan perundang-undangan Eropa yang kacau. Keadaan-keadaan semacam ini sebenarnya sangat memungkinkan bagi daulah untuk mengubah pemahaman Islam dengan pemahaman yang lebih baik, meningkatkan perhatiannya terhadap bahasa Arab, menyemarakkan ijtihad, dan memperhatikan aspek-aspek pemikiran dan perundang-undangan hingga upaya itu berhasil memusatkan daulah dalam jaringan pemusatan yang kokoh, menyempurnakan penguasaannya terhadap dunia, melanjutkan penaklukan-penaklukan Islam terhadap<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>negara-negara yang masih belum tunduk pada daulah, membawa Islam kepada seluruh manusia, dan dengan demikian, daulah menjadi memusat, dunia dipolakan dengan hadharah Islam, dan seluruh anak Adam terselamatkan dari kerusakan dan kejahatan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Akan tetapi, sayang, kemungkinan-kemungkinan positif itu tidak dilakukan dan akhirnya tidak terjadi. Negara Islam tidak menyemarakkan bahasa Arab selain memposisikannya dalam bidang-bidang pengajaran dan keilmiahan, meski pada kenyataannya tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam memperkuat posisi bahasa, juga tidak mampu menggedor pemikiran. Kenapa? Karena posisi yang diberikan tidak diproyeksikan untuk menghidupkan bahasa Arab, juga tidak menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa negara sebagaimana keharusan dalam Negara Islam. Di samping itu, kedudukan yang diberikannya juga tidak untuk pengembangan pemikiran dan fiqih. Maka tidak heran jika gerakan yang lemah dan salah ini tidak memberi pengaruh apa-apa dalam memperkuat negara. Keadaan ini dibiarkan terus berjalan di jalannya yang bengkok.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pada pertengahan abad ke-12 H (18 M) keadaannya berubah. Kelemahan dalam negeri daulah mulai muncul ke permukaan. Daulah berdiri di atas sisa-sisa sistem Islam yang penerapannya telah dirusak, dibangun di atas pemikiran-pemikiran yang justru menggoyahkan Islam dan kedalamannya. Hukum-hukumnya mengambang dan lebih banyak di luar sistem daripada dalam sistem Islam. Ini diakibatkan oleh pemahaman yang salah tentang pemikiran Islam, keburukan penerapan sistem Islam, dan tidak adanya ijtihad yang otomatis para mujtahid pun tidak ada.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pada abad 13 H atau 19 M neraca sejarah antara Negara Islam dan negara-negara non-Islam mulai berayun-ayun, lalu neraca dunia Islam mulai menyusut, sementara timbangan negara-negara Eropa sedikit-demi sedikit mulai memberat dan menguat. Di Eropa mulai muncul kebangkitan-kebangkitan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dan hasil-hasilnya mulai tampak. Sementara di tengah kaum muslimin, hasil-hasil kebekuan pemikiran dan buruknya penerapan Islam juga mulai mencuat keluar. Ini terjadi karena pada abad 19 M di Eropa muncul gerakan revolusi pemikiran yang dipelopori oleh para filuf, pujangga, dan pemikir. Mereka bekerja keras dan mencurahkan seluruh kemampuan sehingga revolusi meledak di seluruh daratan Eropa. Revolusi mampu mengubah secara menyeluruh pemikiran Eropa sehingga menghidupkan bangsa-bangsa mereka. Kemudian muncullah gerakan-gerakan yang memiliki pengaruh kuat dalam menelorkan pemikiran-pemikiran baru tentang pandangan hidup. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Di tengah revolusi, sistem-sistem politik, perundang-undangan, dan semua sistem kehidupan diluruskan. Ini adalah peristiwa yang sangat penting. Bayangan-bayangan kerajaan-kerajaan lalim di Eropa lambat laun hilang, kemudian posisinya diduduki oleh sistem-sistem pemerintahan baru yang dibangun di atas prinsip pemerintahan perwakilan dan kedaulatan rakyat. Pengaruhnya sangat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>besar dalam mengarahkan kebangkitan Eropa. Pada abad ini di Eropa juga terjadi revolusi industri yang membawa pengaruh sangat dominan. Realitas pengaruhnya tampak dalam kemunculan ciptaan-ciptaan baru yang banyak dan beragam. Semuanya mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam memperkuat Eropa dan memajukan pemikiran dan kekayaan materinya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kekuatan materi dan kemajuan ilmu ini mengakibatkan neraca dunia Eropa terhadap dunia Islam tampak lebih berat, lalu mengubah pemahaman tentang masalah ketimuran. Kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya Islam tidak sampai menyerang Eropa karena ancaman-ancaman itu justru menjadi kejumudan yang menggerogoti Daulah 'Utsmani atau malah memecah-belahnya menjadi beberapa negeri, yaitu ketika negeri-negeri itu (propinsi-propinsi yang memiliki otonomi) saling bertikai karena perbedaan-perbedaan kepentingan. Revolusi pemahaman masalah ketimuran dan beberapa kondisi baru yang muncul di Eropa akibat peningkatan pemikiran, kemajuan ilmu, revolusi industri, dan aspek-aspek lain mengenai kelemahan dan perpecahan yang menghantam Daulah 'Utsmani mengantarkannya pada revolusi politik di Negara Islam dan negara-negara kafir. Perkembangan berikutnya, neraca orang-orang Eropa semakin menguat, sementara neraca kaum muslimin semakin melemah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Penyebab revolusi politik di Eropa adalah ulah para pemikir yang bercita-cita untuk mencapai pembentukan tatanan kehidupan. Upaya mereka menggiring penajaman pandangan tertentu tentang kehidupan, kepercayaan mereka terhadap ideologi tertentu, dan pembentukan sistem atas dasar ideologi itu merupakan faktor yang membalik pemahaman mereka tentang sesuatu dan strata nilai-nilai yang mereka anut, yang dampak berikutnya mengantarkan pada revolusi umum tentang kehidupan, dan sebagiannya membantu terwujudnya revolusi industri yang besar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ini berbeda dengan kondisi di dunia Islam atau Daulah 'Utsmani. Daulah tidak memandang dengan benar untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan atau hukum-hukumnya, tidak berpikir mendalam tentang ideologi mabda'), tidak menggerakkan pemikiran dan penyelenggaraan ijtihad, tidak memecahkan problem-problemnya menurut hukum-hukum yang bersumber dari akidahnya, dan tidak menerima ilmu dan industri. Langkah-langkah perbaikan ini tidak dilakukan daulah yang pada gilirannya membuat daulah dihantam kebingungan dan kegoncangan sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa. Karena kebingungan ini, aktifitasnya berhenti dalam keadaan membeku dan akhirnya Daulah 'Utsmani meninggalkan ilmu dan industri. Akibatnya, daulah tertinggal oleh negara-negara lain (Eropa) dalam kemajuan materi dan ilmu. Memang ada sisi positif yang menggembirakan. Sisi positif itu terletak pada kenyataan bahwa Daulah 'Utsmani adalah Negara Islam dan bangsa-bangsa yang memerintahnya adalah bangsa-bangsa muslim. Islam masih menjadi aqidah negara dan sistemnya. Pemikiran-pemikiran Islam adalah pemikiran negara. Sisi-sisi pandangan kehidupannya adalah visinya. Bertolak dari ini, seharusnya negara memandang pemikiran-pemikiran baru yang berkembang di Eropa, membandingkannya dengan kaidah pemikirannya, mengamati problem-problem baru dari sudut pandang Islam, lalu memberi ketetapan hukumnya tentang pemikiran-pemikiran dan problem-problem tersebut dengan melalui ijtihad yang benar menurut pandangan Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Akan tetapi amat sayang, negara tidak melakukannya. Demikian itu karena pemikiran-pemikiran keislaman yang dimilikinya tidak jelas, negara kehilangan pemahaman-pemahaman yang definitif, dan akidah Islam tidak menjadi kaidah pemikiran yang di atasnya dibangun semua pemikiran. Akidahnya hanyalah akidah taklid. Asas yang menjadi pijakan negara (Daulah 'Utsmani) adalah akidah dan pemikiran-pemikiran yang tidak jelas. Sistem yang dipakai membeku karena tidak adanya ijtihad. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hadharah</i>nya yang merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan tidak mengkristal dan tidak berkaitan dengan aktifitas-aktifitas negara. Sedangkan penyebabnya adalah kemunduran pemikiran dan tidak adanya kebangkitan. Mereka (para penguasa kekhilafahan Daulah 'Ustamani dan kebanyakan masyarakat muslim) hanya bisa berdiri tercengang dan bingung di hadapan apa-apa yang mereka saksikan di Eropa, yaitu tentang revolusi pemikiran dan industri. Mereka belum mampu memutuskan untuk mengambil atau meninggalkannya. Mereka juga tidak mampu membedakan atau memilah-milah antara apa yang boleh yang tidak boleh diambil dari filsafat yang menentukan arah pandangan kehidupan dan hadharah yang merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan. Karena itu, mereka beku dan tidak mampu bergerak. Kebekuan ini menjadi sebab terhentinya roda sejarah kejayaan mereka, padahal di waktu yang sama roda negara-negara Eropa sedang berputar. Itu semua tidak lain dikarenakan tidak adanya pemahaman mereka terhadap Islam secara benar, tidak tahunya mereka tentang pertentangan antara pemikiran-pemikiran Eropa dan pemikiran-pemikiran mereka, dan tidak adanya kemampuan memilah-milah antara ilmu, industri, dan penemuan-penemuan yang dianjurkan Islam untuk mengambilnya dengan filsafat, hadharah, dan pemikiran yang Islam melarangnya untuk diambil.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Memang benar, pandangan Islam dibutakan oleh Pemerintahan 'Utsmani. Mereka tidak mampu memahami Islam dengan pemahaman yang benar. Kebutaan inilah yang menjadikan umat dan negara hidup menurut hasil kesepakatan, tanpa memperhatikan sistem yang dimilikinya. Padahal dalam waktu yang sama, musuh-musuh negara berpegang teguh pada sistem yang jelas dan berjalan di atasnya. Dengan demikian, Eropa memiliki ideologi (mabda') yang menjadi akidah dan filsafatnya (diterapkan dalam kehidupan). Sementara umat Islam memiliki ideologi yang benar yang hanya hidup dalam khayalan ideologi itu sendiri yang hidup di belakang abad-abad yang jauh. Negara hidup dalam pemerintahan yang buruk dalam penerapan mabda' yang buruk. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Saya tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan sunnahku."</i> Padahal negaranya adalah Negara Islam, umatnya adalah umat Islam, dan khazananh intelektual dan ilmu-ilmu fiqihnya berada di tangan umat. Hanya karena negara tidak memahami makna hadits ini yang menuntut kembali pada Islam, yaitu kembali pada pokok-pokoknya yang berada di atas dasar akidah dan sistem Islam, maka negara menjadi lemah dan hanyut dalam gelombang revolusi Eropa. Padahal tidak ada umat yang memiliki warisan pemikiran dan tsaafah yang nilainya tidak ada bandingnya selain umat Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Memang benar, karena hal-hal itu, maka negara menjadi tidak berguna. Mengapa? Karena ketika ijtihad dan pertumbuhan pemikiran berhenti, maka pemahaman-pemahaman keislaman di kalangan kaum muslimin melemah. Mereka meninggalkan pengetahuan-pengetahuan keislaman dan buku-buku dan khazanah intelektual dibiarkan membeku terpelihara dalam gudang-gudangnya. Tidak ada lagi ulama yang siap berpikir kecuali amat sedikit. Semangat dan cinta pengkajian dan penyelidikan tentang hakikat-hakikat sangat sedikit. Ilmu-ilmu pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu yang tidak dituntut untuk diamalkan dalam negara dan kancah kehidupan. Negara tidak menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang menuntut ilmu dan tsaqafah hanya menjadikannya sebagai pengayaan akal. Mereka berpendapat bahwa mencari ilmu untuk ilmu atau mencari ilmu untuk memperoleh rezeki. Sangat sedikit dari mereka yang mencari ilmu untuk kemanfaatan umat dan negara. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Keadaan itu juga menciptakan ketidak-kesiapan gerakan intelektual, tsaqafah atau perundang-undangan menghadapi problem kehidupan. Akibatnya, pemahaman keislaman menjadi goncang. Kaum muslimin memahami Islam dengan porsi pemahaman ruhaninya lebih banyak daripada pemahaman pemikiran, politik, dan perundang-undangan. Karena, pemikirannya yang mendasar dan cara pelaksanaannya sudah buta. Mereka menjadi buta dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka memahami Islam sebatas sebagai agama ruhani. Umat jika membandingkan antara Islam dan agama-agama lain, fokus perbandingannya sebatas masalah keistimewaan aspek-aspek keruhanian keagamaan semata. Pandangan ini menggantikan pandangan mereka semula yang memandang Islam sebagai akidah dan sistem untuk seluruh persoalan kehidupan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Oleh karena itu, tidak heran jika umat Islam di bawah kendali Daulah 'Utsmani mengalami stagnasi, beku, kebingungan, dan goncang ketika mengahadapi gerakan revolusioner yang terjadi di Eropa. Umat juga masih tetap terbelakang dan tidak tergugah sedikitpun oleh kemajuan ekonomi yang membanjiri Eropa, tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan yang terjadi di Eropa, dan tidak tergelitik dengan gerakan industri yang dipelopori Eropa. Memang ada pengaruh sedikit dan sangat parsial. Itupun masih diliputi kebimbangan dan kekacauan sehingga tidak melahirkan faidah apa-apa. Hal itu tidak memungkinkan umat Islam memperoleh kemajuan materi, bahkan tidak memungkinkan mereka menghentikan roda kebekuan. Umat justru semakin terpuruk dalam kemunduran dan kelemahan. Faktor penyebabnya juga kembali pada kondisi mereka yang tidak mampu membedakan antara ilmu dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tsaqafah</i>, antara <i style="mso-bidi-font-style: normal;">hadharah</i> (kebudayaan) dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">madaniah</i> (peradaban). Mereka akhirnya tetap berdiri dalam kebingungan dan tidak bisa mengambil keputusan apakah mengambil atau meninggalkannya. Banyak di antara mereka yang melihat bahwa semua (ilmu, tsaqafah, industri, dan penemuan Eropa) bertentangan dengan Islam. Karena itu, mereka menyatakan haram mengambilnya. Bahkan, ketika percetakan (mesin-mesin cetak) menjadi fenomena baru dan daulah bermaksud mencetak Al-Qur'an, para ulama fiqih malah mengharamkan pencetakan Al-Qur'an. Akibatnya, mereka memberi fatwa yang mengharamkan setiap yang baru dan mengkafirkan setiap orang yang belajar ilmu-ilmu eksakta. Setiap pemikir dituduh zindik dan atheis. Namun, pada sisi lain ada sekelompok kecil umat yang melihat keharusan mengambil segala hal yang dari Barat, baik menyangkut ilmu, tsaqafah, hadharah maupun madaniah. Mereka ini adalah orang-orang yang belajar di Eropa atau di sekolah-sekolah misionaris yang telah menyusup ke daulah. Pada mulanya mereka tidak memiliki pengaruh. Mayoritas bersikap moderat dan berusaha menyesuaikan Islam dengan tsaqafah, ilmu-ilmu, hadharah, dan madaniah yang dibawa Barat. Di masa-masa akhir pemerintahan Daulah 'Utsmani, ada satu pemikiran yang mempelopori gerakan bahwa Barat telah mengambil hadharah dari Islam dan karena itu, Islam tidak mencegah gerakan yang mengambil apa-apa yang sesuai dengan Islam dan mengamalkan apa-apa yang tidak bertentangan dengannya. Barat rupanya berhasil menyebarkan pemikiran ini hingga mendominasi masyarakat Islam dan membawanya ke tengah masyarakat. Apalagi para pelajar dan di antara mereka yang terpengaruh banyak dari kalangan ulama fiqih, ilmuwan muslim, dan orang-orang yang menamakan diri sebagai ulama kontemporer. Mereka disebut (juga menamakan diri) sebagai kaum reformer. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Menilik pertentangan hakiki antara hadharah Barat dan hadharah Islam, dan karena adanya perbedaan yang jelas antara tsaqafah Barat dan kandungan makna yang berkaitan dengan visi kehidupan dengan tsaqafah Islam dan kandungan makna yang berkaitan dengan jalan kehidupan, maka tidak mungkin menyeleraskan atau mengkompromikan antara apa yang terdapat dalam Islam dan apa yang terdapat dalam pikiran-pikiran Barat. Membiarkan kompromi dua hal yang bertentangan akan mengantarkan umat jauh dari Islam dan mendekatkan mereka pada pemikiran-pemikiran Barat dengan bentuk atau pola yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami pemikiran-pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari Islam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Hal itu memiliki dampak negatif yang sangat besar terhadap pengambilan sikap kenegaraan daulah dan perilaku umat. Negara (Daulah 'Utsmani) menjadi menyia-nyiakan berbagai penemuan, ilmu-ilmu, dan industri-industri. Pemahaman umat tentang Islam semakin buruk. Kondisi ini pada gilirannya akan mengubah umat menjadi kumpulan manusia yang memiliki pemikiran yang saling bertentangan dan menjadikan negara tidak mampu memastikan pilihan terhadap suatu pemikiran yang pasti dan tertentu. Umat menjadi berpaling dan tidak mau mengambil sarana-sarana kemajuan materi yang berbentuk ilmu-ilmu, penemuan-penemuan, dan industri-industri. Akibatnya, negara benar-benar menjadi lemah hingga tidak mampu berdiri dan menjaga dirinya. Kelemahannya menimbulkan keberanian musuh-musuh Islam untuk memotong-motong Negara Islam menjadi potongan-potongan negara kecil, sementara negara tidak kuasa menolak dan justru menerimanya dengan pasrah. Kelemahannya juga menimbulkan keberanian para misionaris untuk melancarkan perang terhadap Islam dengan nama ilmu. Mereka menyusupkan misinya ke dalam tubuh umat sehingga berhasil memecah belah barisan mereka dan membakar api fitnah dalam Negara Islam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Gerakan-gerakan yang beraneka ragam ini akhirnya berhasil merobohkan daulah dan disusul dengan kemunculan paham kesukuan dan kebangsaan ke tubuh seluruh bagian wilayah daulah, baik di Balkan, Turki, Negara Arab, Armenia, maupun Kurdistan. Dan, puncaknya pada tahun 1914 M daulah berada di bibir jurang yang dalam, kemudian terperosok ke dalam Perang Dunia 1 dan keluar darinya sebagai pihak yang kalah, dan akhirnya daulah diadili sebagai negara pesakitan. Dengan demikian, maka Daulah Islam hilang dari permukaan dunia dan Barat berhasil mewujudkan impiannya yang mengusik mereka selama berabad-abad. Barat berhasil menghakimi Negara Islam yang notabene untuk menghancurkan Islam. Dengan lenyapnya Negara atau Daulah Islam, maka pemerintahan di seluruh Negara Islam tidak menjadi negara Islam. Kaum muslimin menjadi masyarakat yang hidup di bawah bendera yang bukan Islam. Urusan mereka menjadi tercabik-cabik. Keadaan mereka memburuk, dan akhirnya hidup dalam sistem kufur dan menerapkan hukum-hukum kufur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">PERANG MISIONARIS</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Eropa memerangi dunia Islam dengan perang misionaris yang diatasnamakan ilmu. Untuk kesuksesan proyek ini mereka menyiapkan anggaran yang sangat besar. Dengan kata lain, mereka melancarkan perang kolonialisme melalui jalan misionaris dengan diatasnamakan ilmu dan kemanusiaan. Strategi ini dimaksudkan untuk mengokohkan jaringan pusat-pusat spionase politik dan penjajahan tsaqafah yang sudah mulai memusat di negeri-negeri daulah (propinsi yang memiliki otonomi kekuasaan). Operasi ini terus dilancarkan hingga pasukan pengintai kolonial Barat berhasil menduduki posisi kuat di garda depan. Dengan demikian, medan menjadi lapang bagi penjajah, pintu dunia Islam menjadi terbuka untuk serangan Barat, dan perguruan-perguruan misionaris tersebar luas di Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sebagian besar perguruan tinggi milik Inggris, Perancis, dan Amerika. Pengaruh Perancis dan Inggris menyusup melalui pintu ini. Seiring dengan perjalanan waktu, sejumlah perguruan tinggi menjadi inspirator dan penggerak massa untuk gerakan-gerakan kesukuan. Perguruan-perguruan ini menjadi penentu kebijakan yang menggariskan arah tujuan hidup para pelajar muslim, atau menggiring gerakan kesukuan Arab dan Turki pada dua tujuan yang fundamental, yaitu: (i) memisahkan Arab dari Daulah 'Utsmani yang Islam sebagai upaya membunuh Negara Islam dengan menyebut Daulah 'Utsmani dengan nama Turki yang tujuannya untuk membangkitkan fanatisme kesukuan, (ii) menjauhkan kaum muslimin dari ikatan yang hakiki, yaitu ikatam Islam. Dari dua tujuan ini, tujuan pertama telah dihentikan, sementara tujuan yang kedua tetap dilanjutkan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Oleh karena itu, pembentukan visi ini akan terus diarahkan pada fanatisme kesukuan, baik di Turki, Arab, Persi, maupun daerah-daerah Islam lainnya. Fanatisme inilah yang memecah belah kesatuan umat dan menjadikan mereka buta terhadap ideologi Islam. Sejumlah perguruan memerankan aneka macam peran dan pengaruhnya menyentuh dunia Islam. Di antara dampak-dampaknya bisa kita lihat pada kelemahan dan kemunduran umat. Karena misionaris merupakan batu pertama yang diletakkan oleh kolonialis untuk menutup celah yang terdapat di antara kita dan kebangkitan dan untuk mengubah hubungan dan keadaan antara kita dan mabda' kita, yaitu Islam. Adapun faktor yang memotivasi orang-orang Eropa membentuk perguruan-perguruan misionaris di dunia Islam adalah pengalaman mereka<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>di Perang Salib. Pengalaman-pengalaman itu memberi empati mereka bahwa kaum muslimin sangat keras dan tangguh di medan perang. Barat ketika berhadapan dengan kaum muslimin di medan peperangan berpedoman pada dua hal. Untuk mewujudkan kepentingan mereka yang paling besar, yaitu pelenyapan Islam dan kaum muslimin secara total, maka Barat menggantungkan pada dua hal itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pertama, Barat menitikberatkan sandaran operasinya pada orang Kristen yang banyak tinggal di dunia Islam. Di Negara Islam jumlah pemeluk Nasrani memang banyak, khususnya di Syam. Orang-orang Kristen di sini kebanyakan memegang teguh agamanya. Karena itu, tidak heran jika Barat mengatagorikan mereka sebagai saudara seagama. Bahkan, Barat menduga bahwa mereka akan bisa diajak untuk menipudaya kaum muslimin dan menjalin konspirasi dengan mereka untuk dijadikan mata-mata Barat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>terhadap kaum muslimin. Dengan alasan ini, maka mereka mudah diprovokasi untuk mengobarkan perang dengan alasan keagamaan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kedua, Barat mengandalkan jumlah populasi mereka yang banyak dan besarnya kekuatan mereka, di mana di waktu yang sama kaum muslimin terpecah-belah dan terbelakang. Kelemahan yang mulai menggerogoti kaum muslimin membuat Barat menduga bahwa jika mereka menghantam kaum muslimin dengan satu kali pukulan saja, niscaya mereka dapat menundukkan umat Islam selamanya dan akhirnya memudahkan mereka untuk melenyapkan umat dan agama mereka. Akan tetapi sayang, optimis Barat menemui kegagalan dan dugaannya tidak benar. Berapa banyak peristiwa besar yang menggoncang umat di tengah kancah peperangan, kaum Nasrani justru berdiri di samping mereka. Mereka tidak terpengaruh dengan slogan-slogan. Mereka justru berperang saling bahu-membahu dengan kaum muslimin untuk menghadapi musuh. Kenapa? Karena mereka hidup di Negara Islam dan di wilayah yang diterapkan sistem Islam kepada mereka. Mereka punya hak sebagaimana yang dimiliki kaum muslimin dan punya tanggung jawab sebagaimana yang dipikul kaum muslimin. Umat Islam memakan makanan kaum Nasrani. Pria muslim menikahi wanita Nasrani dan menjadi kerabat keluarganya. Mereka juga hidup bersama-sama di masyarakat daulah karena Islam mencakup dan menanggung semua hak mereka. Seorang Nasrani juga melakukan aktifitas yang perpihak pada para khalifah dan penguasa. Dia harus melakukan aktifitas dalam Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ibnu Hazim mengatakan, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Di antara kewajiban menjaga ahli dzimmah kita (kafir dzimmi) jika para agresor menyerang negara kita dan mereka mengarahkan serangan pada tetangga-tetangga kita (kafir dzimmi), maka hendaknya kita mati membela mereka. Dan setiap pelanggaran dalam hal itu, termasuk penyia-nyiaan hak-hak ahlu dzimmah."</i> Al-Qurafiy berkata, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Sesungguhnya di antara kewajiban tiap muslim terhadap kafir dzimmi adalah berbuat lembut pada kaum lemah mereka, menutup kebutuhan kefakiran mereka, memberi makan orang yang kelaparan dari kaum mereka, memberi pakaian kepada yang tidak memiliki pakaian di antara mereka, mengajak mereka bicara dengan kata-kata yang lembut, menanggung penderitaan tetangga dari mereka semampunya, bersikap lembut pada mereka, tidak menakut-nakuti juga tidak mengagungkan, ikhlas memberi nasihat mereka dalam semua urusan, menolak orang yang hendak menyerang dan menganggu mereka, dan menjaga harta, keluarga, kehormatan, dan seluruh hak dan kepentingan mereka. Hendaknya tiap muslim bekerja sama dengan mereka dalam setiap perbuatan yang baik dengan akhlak yang mulia pula."</i> Semua ini menjadikan kaum Nasrani secara alami bahu-membahu dengan kaum muslimin untuk mempertahankan negara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Keterkejutan Barat semakin besar ketika melihat target (hal) kedua tidak mewujudkan angan-angan mereka. Barat telah menguasai Syam dan menyerang kaum muslimin dengan sangat biadab dan memperlakukan mereka dengan sangat mengerikan. Penduduk Syam yang Kristen juga diusir bersama-sama<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kaum muslimin dari rumah-rumah mereka. Karena itu, mereka berjalan bersama kaum muslimin di semua medan peperangan. Hal ini masih terus berlangsung hingga sekarang sebagaimana yang terjadi di Palestina. Barat menduga bahwa masalah kedua ini masih berjalan baik dan berpihak pada mereka. Barat juga menduga bahwa sudah tidak ada penopang yang menyangga kaum muslimin. Akan tetapi sayang, kaum muslimin masih tetap tuli atas peristiwa yang menimpa pengusiran<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>mereka dari negeri mereka, meski mereka sudah menetap di sana selama kurang lebih dua abad. Di Syam mereka sempat mendirikan keemiratan. Kaum muslimin pada akhirnya mampu mengalahkan kaum Salib dan mengusir mereka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Barat mengkaji rahasia semua persoalan ini dan akhirnya menemukannya di dalam Islam. Barat melihat bahwa akidah Islam mampu menumbuhkan kekuatan yang sangat besar dalam diri kaum muslimin. Hukum-hukumnya yang berkaitan dengan warga non-muslim menjamin hak-hak mereka. Hukum-hukum ini akhirnya mampu menjalin kerja-sama yang kuat di antara warga Negara Islam (muslim dan non-muslim). Karena itu, kafir penjajah (Barat) berpikir keras untuk menemukan jalan atau cara menghancurkan dunia Islam. Dan, mereka menemukannya bahwa cara yang terbaik adalah melalui <i style="mso-bidi-font-style: normal;">perang tsaqafah</i>. Perang ini dijalankan melalui program misionaris. Langkah awalnya menarik para pemeluk Kristen agar bekerja-sama dengan Barat. Langkah berikutnya mengobarkan keraguan kaum muslimin terhadap agama mereka serta menggoncangkan akidah mereka. Dengan demikian, mereka menemukan jalan untuk memecah belah antara warga muslim dan non-muslim di tengah rakyat daulah. Cara ini sangat efektif untuk melemahkan kekuatan kaum muslimin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Mega proyek ini diwujudkan dengan langkah-langkah konkret. Di akhir abad 16 M mereka (Barat dengan para misionarisnya) mendirikan markas besar di Malta untuk gerakan misionaris. Markas itu dijadikan basis serangan misionais terhadap dunia Islam. Dari Malta kekuatan-kekuatan misionaris dikirimkan. Setelah menetap cukup lama di Malta dan mulai merasa membutuhkan pelebaran gerakan, mereka berpindah ke Syam tahun 1620 M. Mereka berusaha mewujudkan gerakan-gerakan misionaris. Gerakan mereka pada mulanya masih sangat terbatas dan belum menjelajah ke seluruh dunia sampai akhirnya mampu mendirikan sekolah-sekolah kecil dan menyebarkan sebagian buku keagamaan. Mereka bersikap simpatik dengan membantu memecahkan kesulitan-kesulitan masyarakat (warga Negara Islam) akibat penindasan, pengusiran, dan peperangan. Para misionaris ini tinggal di sana hingga tahun 1773 M ketika perguruan-perguruan misionaris kaum yesuit dihapus dan ketika lembaga-lembaga mereka ditutup kecuali beberapa perguruan misionaris yang lemah, seperti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Perguruan Misionaris 'Azariyyin</i> (Israil). Meski perguruan-perguruan ini masih berdiri, pengaruh dan misi para misionaris terputus dan kedudukan mereka tidak eksis kecuali di Malta hingga tahun 1820, yaitu ketika mereka berhasil mendirikan pusat gerakan misionaris yang pertama di Beirut. Setelah mulai bergerak di Beirut, mereka menemukan banyak kesulitan. Akan tetapi, mereka tetap konsis dan terus melanjutkan gerakan meski dihadapkan kesulitan-kesulitan. Perhatian mereka yang utama masih terfokus pada misi keagamaan dan tsaqafah keagamaan. Sementara perhatian terhadap masalah pendidikan masih lemah. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pada tahun 1834 M para delegasi misionaris sudah tersebar luas di seluruh Syam. Di Desa 'Antsurah, Libanon, dibuka satu fakultas. Kemudian dari <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Malta</st1:place></st1:country-region> dikirimkan delegasi-delegasi Amerika ke <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Beirut</st1:place></st1:city> untuk mencetak buku-buku sekaligus menyebarkannya. Seorang misionaris Amerika yang sangat terkenal, Ili Smith menggerakkan misi ini dengan gerakan yang sangat fenomenal. Di Malta, kesibukan misionarisnya ditaati. Dia menguasai persoalan penerbitan buletin-buletin. Pada tahun 1827 M Smith datang ke Beirut. Akan tetapi, dia tidak tinggal lama. Ketakutan dan kecemasan yang menguasai perasaannya, di samping karena tidak mampu bersabar, membuatnya kembali ke Malta. Kemudian pada tahun 1834 M dia kembali lagi Beirut dan bersama istrinya membuka sekolah untuk wanita. Di depannya medan garapan semakin meluas. Karena itu, dia bertekad memusatkan hidupnya untuk bekerja di Beirut dengan visi gerakan khusus, dan di Syam dengan visi gerakan umum. Dengan demikian, seluruh aktifitas ini saling membantu dalam membangkitkan gerakan misionaris. Ibrahim Pasha yang menerapkan program-program pendidikan pertama (dasar) di Siria yang diilhami dari program pendidikan yang ada di Mesir yang diambil dari program pendidikan dasar di Peracis justru menjadi kesempatan emas bagi para misonaris. Mereka segera memanfaatkannya dan ikut andil dalam gerakan pendidikan dengan dilandaskan pada visi misionaris, kemudian gerakan itu mencakup gerakan percetakan. Dengan demikian, gerakan misionaris kembali tumbuh dan bergabung dalam gerakan pendidikan secara transparan. Dengan gerakan ini, mereka mampu membakar hati rakyat Negara Islam (muslim maupun non-muslim) dengan nama kebebasan beragama. Di antara kaum muslimin, Nasrani, dan Druze diadakan aktifitas keagamaan yang berkaitan dengan akidah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ketika Ibrahim Pasha meninggalkan Syam pada tahun 1840 M, kegelisahan, kecemasan, dan kegoncangan menyebar di Syam. Orang-orang terbelah mengikuti perasaan mereka masing-masing. Sementara para delegasi asing apalagi para delegasi dari kaum misionaris justru mengambil kesempatan ini untuk memperlemah pengaruh Daulah 'Utsmani di Syam. Untuk itu mereka mengobarkan api fitnah. Belum berjalan satu tahun dan belum genap tahun 1841 M, kegoncangan yang dikhawatirkan itu akhirnya meletus menjadi huru-hara berdarah di pegunungan Libanon yang membenturkan kelompok Kristen dan kaum Druze. Huru-hara ini memaksa Daulah 'Utsmani tentunya dengan pengaruh tekanan negara-negara asing membuat aturan baru untuk Libanon. Aturan itu membagi Libanon menjadi dua bagian: (i) bagian pertama adalah kelompok masyarakat yang dipimpin orang Nasrani, dan (ii) bagian kedua adalah kelompok masyarakat yang dipimpin kaum Druze. Kemudian daulah menentukan hakim untuk masing-masing kelompok. Kebijakan ini dimaksudkan daulah untuk melindungi ancaman perpecahan di antara dua kelompok itu. Akan tetapi sungguh sayang, aturan ini tidak berhasil karena memang isinya tidak alami. Sementara Perancis dan Inggris sibuk menyusupkan pengaruhnya ke dalam pertikaian ini. Keduanya terus membakar api fitnah setiap kali para penguasa daulah berusaha memadamkan persoalan. Inggris dan Perancis akhirnya berhasil mengambil peran penengah di tengah perpecahan di antara kelompok-kelompok yang bertikai dengan tujuan ikut campur menangani persoalan-persoalan Libanon.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perancis berpihak kepada kelompok Mawaranah (sebuah sekte dalam Kristen Katolik), sementara Inggris berpihak pada Druze. Intervensi dari dua negara asing bertujuan menciptakan goncangan-goncangan baru dengan bentuk yang sangat mengerikan, dan itu terjadi pada tahun 1845 M. Untuk mencapai targetnya, mereka meneror biara-biara dan gereja-gereja dengan memakai cara-cara yang sangat biadab, seperti merampok, merampas, menculik, menghadang, dan membunuh. Teror-teror ini pula yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>memaksa Pemerintahan 'Utsmani mengirimkan para pengawas bagian luar ke Libanon. Petugas ini berusaha memperbaiki persoalan-persoalan dengan kebijakan-kebijakan yang netral. Akan tetapi, dia tidak mampu melakukan hal yang penting, meski berhasil memadamkan keadaan. Sementara pihak misionaris, justru berhasil meningkatkan gerakannya. Hingga pada tahun 1857 M muncul ide revolusioner dan agresi militer terhadap kelompok Mawaranah. Kaum agamawan Mawaranah membalas agresi ini dengan menggerakkan para petani untuk melakukan gerakan separatis dan menghantam para agresor di Libanon Utara. Balasan agresi mereka sangat bengis dan berhasil mengobarkan api revolusi di sana, kemudian gerakan itu melebar ke Selatan, sehingga seluruh para petani Nasrani ikut mengobarkan revolusi menentang kaum separatis Druze. Sementara Inggris dan Perancis, masing-masing sibuk memperkuat dukungan terhadap kelompoknya. Inggris mendukung Druze dan Perancis mendukung kelompok Kristen. Dengan demikian, fitnah meluas merata hingga meliputi seluruh Libanon. Kaum Druze membunuh semua warga Kristen, tanpa membedakan antara yang tokoh agama dan yang bukan. Banyak warga Kristen yang terbunuh dan ribuan dari mereka yang melarikan diri dari perlakuan keras karena tekanan berbagai konflik dan goncangan. Kemudian goncangan ini merambat ke seluruh Syam. Di Damaskus terkena hembusan gelombang kemarahan ini sehingga berhasil memunculkan pertikaian antara kaum muslimin dan Nasrani. Di bulan Juli tahun 1860 M gelombang panas ini mendorong kaum muslimin menghantam perkampungan Nasrani dan melakukan penjagalan besar-besaran. Penjagalan itu mengakibatkan keruntuhan, kehancuran, dan kegoncangan sehingga memaksa daulah menghentikan fitnah dengan kekuatan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Meski goncangan-goncangan ini padam dan hampir-hampir berakhir, negara-negara Barat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>justru melihat bahwa ini merupakan kesempatan yang terbuka bagi mereka untuk melakukan intervensi langsung ke dalam negeri Syam. Dengan peristiwa berdarah itu, Barat punya alasan untuk mengirimkan kapal-kapal perangnya ke hampir seluruh pesisir Syam. Di bulan Agustus di tahun yang sama, Perancis mengirimkan angkatan daratnya dan mendarat di Beirut. Mereka berdalih untuk memadamkan pemberontakan. Seperti demikianlah fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Sesungguhnya kerusuhan di Siria yang diciptakan Barat sengaja untuk memojokkan Daulah 'Utsmani. Kerusuhan ini dimaksudkan untuk membuat pintu masuk bagi Barat. Dan, akhirnya Barat benar-benar berhasil masuk dan memaksa daulah supaya tunduk pada kemauan politik mereka dengan cara membuat aturan khusus untuk Siria. Aturan khusus itu mengatur pembagian Siria yang dibelah menjadi dua, memberi keistimewaan-keistimewaan khusus pada Libanon, memisahkan Libanon dari seluruh bagian wilayah Syam, memberinya kebebasan dan otonomi penuh, membiarkannya menikmati kehidupan dengan aturan lokal yang mandiri, dan pemerintahan dipimpin oleh seorang penguasa beragama Nasrani dengan dibantu oleh dewan administratur dalam pengendalian penduduk. Semenjak itu, negara-negara asing berhak mengatur urusan Libanon dan selanjutnya menjadikannya markas gerakan mereka. Libanon menjadi pangkal jembatan yang menghubungkan negara-negara asing (Barat) untuk melemparkan jujus-jurusnya ke jantung Daulah 'Utsmani yang Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Di tengah-tengah serangkaian kejadian ini, kaum misionaris menciptakan fenomena baru yang sebelumnya tidak ada. Mereka tidak puas hanya dengan gerakan melalui sekolah-sekolah dan aksi-aksi misionaris, penerbitan, dan berbagai praktek klinik. Mereka mulai menyiapkan langkah lebih maju dengan mendirikan kelompok-kelompok studi. Pada tahun 1842 M dibentuklah satu lembaga yang bertugas mendirikan kelompok kajian ilmiah di bawah delegasi Amerika. Kelompok ini bekerja sesuai dengan program-program para delegasi tersebut. Langkah-langkah lembaga ini tidak lepas dari alur yang dibuatnya. Selama lima tahun hingga pada tahun 1847 lembaga ini memantapkan posisinya dengan mendirikan kelompok studi yang diberi nama <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jam'iyyatu al-Funuun wa al-'Uluum</i> (kelompok studi sastra dan macam-macam ilmu). Anggotanya adalah Nashif al-Yazji dan Buthras al-Bustaniy. Keduanya dari Nasrani Libanon yang direkrut dengan alasan sifat kenasranian Arab. Anggota lain adalah Ili Smith dan Cornelis Van Dick dari Amerika, serta Kolonel Churchill dari Inggris. Pada mulanya tujuan dari kelompok studi ini masih samar. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya tujuan lembaga studi ini sedikit demi sedikit mulai tampak, yaitu dengan adanya gerakan penyebaran ilmu-ilmu di antara tokoh-tokoh masyarakat sebagaimana juga penyebaran ilmu-ilmu di sekolah-sekolah untuk kalangan masyarakat bawah (kecil). Baik yang masuk katagori para pembesar maupun kalangan umum, semuanya dibawa untuk dididik dengan tsaqafah Barat dan diarahkan dengan pengarahan khusus yang sesuai dengan garis-garis besar haluan misionaris. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Meski para penggerak kelompok studi ini bekerja keras dan mengerahkan kemampuan juang pemaksaan yang berlebih-lebihan, selama kurang lebih dua tahun, mereka belum mampu merekrut anggota kelompok kecuali hanya 50 anggota pekerja yang berasal dari seluruh Syam. Mereka semua orang Nasrani dan sebagian besar dari penduduk Beirut. Dari kaum muslimin atau kaum Druze atau masyarakat umum, tidak satupun yang masuk kelompok studi ini. Mereka sudah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memperluas dan mengaktifkan kelompok ini, akan tetapi tidak membuahkan hasil, dan setelah lima tahun berjalan dari pendiriannya, kelompok studi ini mati tanpa meninggalkan apa-apa selain satu pengaruh, yaitu keinginan kuat kaum misionaris untuk tetap mendirikan kelompok-kelompok studi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Karena itu, pada tahun 1850 M didirikanlah kelompok studi lain yang dinamakan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Jam'iyyatu al-Syarqiyyah</i> (kelompok studi ketimuran) yang didirikan oleh kaum yesuit di bawah pimpinan seorang bapak yesuit berkebangsaan Perancis, Henri Dubronier. Semua anggotanya dari kaum Nasrani. Pijakan jalannya mengikuti langkah dan metode kelompok pertama, yaitu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jam'iyyatu al-'Uluum wa al-Funuun</i>. Akan tetapi, kelompok ini pun akhirnya tidak mampu hidup lama dan tidak lama menyusul kematian kelompok studi yang pertama. Kemudian didirikan beberapa kelompok studi yang kesemuanya juga akhirnya tenggelam. Namun, pada tahun 1857 M dibentuklah kelompok studi baru dengan uslub yang baru pula. Dalam kelompok ini tidak satupun warga asing yang menjadi anggotanya. Seluruh pendirinya diambil dari bangsa Arab. Dengan demikian dimungkinkan membuka koridor yang akan menyelaraskan dan menyatukan anggota-anggotanya antara yang berasal dari kelompok muslim dan kelompok Druze. Mereka semua direkrut dan diberi platform Arab. Kelompok studi itu diberi nama <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Jam'iyyatu al-'Ilmiyyah al-Suuriyyah</i> (kelompok studi ilmiah Siria). Dengan kelebihan aktifitasnya, penampakannya dengan platform Arab, dan tidak adanya anggotanya dari orang Barat, maka kelompok ini mampu mempengaruhi warga Siria, sehingga banyak penduduk yang bergabung kepadanya. Jumlahnya sampai mencapai 150 jiwa. Di antara anggota pengurusnya yang lebih menonjolkan ke-Arab-an adalah Muhammad Arselan dari kaum Druze dan Husin Behm dari kaum muslimin. Demikian juga kelompok Nasrani Arab ikut bergabung dengan kelompok studi ini, di antara mereka yang terkenal adalah Ibrahim al-Yazji dan Ibnu Buthras al-Bustaniy. Kelompok studi ini mampu bertahan hidup lebih lama daripada kelompok-kelompok studi lainnya. Di antara program-programnya adalah menyelaraskan dan menyeimbangkan kelompok-kelompok tersebut dan membangkitkan rasa nasionalisme Arab dalam jiwa mereka. Akan tetapi, tujuan sebenarnya yang terselubung adalah penjajahan misionaris dengan atas nama ilmu terhadap Negara Islam. Tujuan itu tampak jelas dengan adanya pengiriman tsaqafah dan hadharah Barat ke dunia Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kemudian pada tahun 1875 di <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Beirut</st1:place></st1:city> dibentuk kelompok studi yang sangat ekslusif (rahasia). Kelompok ini memfokuskan pada gerakan pemikiran politik, lalu menghembuskan ide nasionalis Arab. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> pendirinya adalah <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">lima</st1:place></st1:city> pemuda yang pernah digodok dan memperoleh ilmu di kuliah (fakultas) Protestan di Beirut. Mereka semua orang Nasrani yang menguasai visi-visi misionaris yang mengakar dalam jiwa mereka. Kemudian para pemuda ini mendirikan kelompok studi. Setelah berjalan beberapa waktu, mereka mampu menghimpun beberapa simpatisan. Pendapat-pendapat dan selebaran-selebaran yang dilontarkannya untuk membentuk opini yang mengarah pada kebangkitan nasionalis Arab dan kemerdekaan politik Arab, khususnya di Siria dan Libanon. Meski tujuan gerakan ini terlihat jelas dalam kiprahnya, program-program dan berita-beritanya masih dituangkan dalam keinginan-keinginan yang tersembunyi dan cita-cita yang terselubung dan terpendam dalam jiwa. Kelompok atau organisasi (jam'iyah) ini mengajak pada paham kebangsaan, ke-Arab-an, dan kenon-Araban ('Arubah) serta membangkitkan permusuhan terhadap Daulah 'Utsmaniah yang mereka (jam'iyah) namakan Negara Turki. Di samping itu, mereka juga berusaha memisahkan agama dari negara dan menjadikan kebangsaan Arab sebagai asas ideologi. Selain memakaikan baju <i style="mso-bidi-font-style: normal;">'arubah</i> (kebangsaan non-Arab), mereka juga banyak berpedoman pada selebaran-selebaran yang mencurigai Turki menurut dugaan mereka bahwa Turki telah merampas kekhilafahan Islam dari tangan Arab, Turki juga dituduh telah melanggar syariah Islam yang indah dan melanggar batas agama. Tuduhan-tuduhan itu membuktikan tujuan mereka yang dapat diketahui dengan jelas pada sasaran gerakan mereka, yaitu membangkitkan gerakan melawan Daulah Islam, meragukan manusia dalam beragama, dan menegakkan gerakan-gerakan politik yang berdiri di atas landasan selain Islam. Bukti yang meyakinkan kebenaran tesis ini adalah hasil penyelidikan sejarah atas gerakan-gerakan yang menyatakan bahwa Barat telah membentuk kelompok-kelompok studi ini. Mereka mengawasi, membimbing, menaruh perhatian, dan menuliskan ketetapan-ketetapan tentangnya. Konsulat Inggris di Beirut pada tanggal 28 Juli 1880 M menulis telegran yang dikirimkan ke pemerintahannya. Teks telegramnya dalah sebagai berikut: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Selebaran-selebaran revolusiner telah bermunculan ..."</i> Telegram ini merupakan respon atas pengaruh aktifitas kelompok tersebut yang menyebarkan selebaran-selebarannya di jalan-jalan dan menempelkannya di tembok-tembok di Beirut. Telegram ini membangkitkan munculnya pamflet-pamflet yang dikeluarkan dari konsul-konsul Inggris di Beirut dan Damaskus. Pamflet-pamflet ini sesuai dengan teks selebaran-selebaran yang disebarkan oleh organisasi (kelompok studi). Isi pamflet-pamflet ini sama dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh gerakan yang dilahirkan di Kuliah Protestan dan beroperasi di Syam. Kiprahnya yang paling menonjol di Syam meski di pelosok-pelosok negara Arab lainnya juga ditemukan. Bukti-bukti lain yang menunjukkan tragedi ini di antaranya aktifitas politik Duta Inggris di Najd. Pada tahun 1882 M Dia menulis surat kepada pemerintahannya tentang gerakan kebangsaan Arab. Dalam surat itu disebutkan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Informasinya telah sampai kepada saya bahwa sebagian ide (nasionalisme) telah sampai di Makkah. Ide itu telah mengambil peran untuk menggerakkan paham kebebasan. Setelah menangkap melalui isyarat-isyarat, tampak jelas bagi saya bahwa di sana juga ada batasan-batasan wilayah yang sudah tersusun. Batasan-batasan itu dilontarkan untuk menyatukan Najd dengan wilayah yang terletak di antara dua sungai, yaitu Selatan Iraq. Gerakan itu juga hendak mengangkat Manshur Pasha menjadi penguasa atas wilayah itu, juga hendak menyatukan 'Asir dengan Yaman dan mengangkat Ali bin Abid menjadi penguasa atas wilayah itu."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perhatian terhadap masalah ini tidak hanya dilakukan Inggris, bahkan Perancis juga melakukan. Perhatiannya sampai melampaui batas yang cukup jauh. Pada tahun 1882 M salah seorang politisi Perancis yang tinggal di Beirut menulis surat kepada pemerintahannya. Surat ini cukup memberi bukti atas adanya perhatian Perancis terhadap persoalan ini. Surat itu menyatakan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Ruh kemerdekaan (pelepasan dari kesatuan Daulah 'Utsmani) sudah tersebar meluas. Saya melihat para pemuda muslim di tengah-tengah domisili saya di Beirut sungguh-sungguh menginginkan terbentuknya organisasi-organisasi yang bekerja untuk mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, dan kebangkitan di negeri-negeri (daerah-daerah propinsi yang masuk wilayah Daulah 'Utsmani). Itulah di antara hal-hal yang mengalihkan perhatian pada gerakan ini. Gerakan ini menuntut kebebasan yang berasal dari pengaruh organisasi [kebangsaan]. Organisasi ini menuntut diterimanya orang-orang Kristen untuk menjadi anggota-anggotanya dan diajak untuk saling bekerj-sama mewujudkan gerakan kebangsaan."</i> Salah seorang Perancis dari Bagdad menulis surat: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Di setiap tempat dan dalam konteks yang sama, ada fenomena baru yang selalu menjumpai saya. Fenomena baru itu adalah rasa benci pada Turki yang sudah menjadi gejala umum. Adapun gagasan melakukan kegiatan bersama yang terencana untuk melemparkan api kebencian ini sudah berada di tahapan pembentukan. Di ufuk yang jauh, impian gerakan kebangsaan Arab yang telah lahir menjadi gerakan baru sudah tampak. Bangsa yang dikalahkan ini akan terus menegakkan urusannya (tuntutan kebangsaan) hingga sekarang ini dengan tuntutan-tuntutan yang telah mendekat dan memusat di dunia Islam, dan dengan tujuan untuk mengarahkan pengembalian dunia ini."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Operasi perang misionaris dengan atas nama agama dan ilmu tidak hanya menjadi perhatian Amerika, Inggris, dan Perancis, tetapi sudah menjadi agenda sebagian besar negara non-Islam, di antaranya Kekaisaran Rusia. Rusia mengirimkan agen-agen misionaris sebagaimana juga yang dilakukan Jerman yang telah memenuhi Syam dengan biarawati-biarawatinya. Mereka saling bekerja sama dengan agen-agen misionaris lainnya. Meski terdapat perbedaan arah pandangan politik di antara agen-agen misionaris dan para delegasi Barat kaitannya dengan jalan politik dalam konteks kepentingan masing-masing negara, mereka masih tetap bersepakat dalam tujuan yang sama, yaitu: menyebarkan misi agama Kristen (kristenisasi), mengekspor tsaqafah Barat di Dunia Timur, meragukan kaum muslimin dalam beragama, membawa mereka pada penderitaan yang semakin parah, merendahkan sejarah mereka, dan memuliakan Barat dan hadharah mereka. Semua itu dilakukan bersamaan dengan kebencian yang teramat sangat terhadap Islam dan kaum muslimin, menghinakan mereka, dan mengatagorikan mereka sebagai kaum barbar mutakhir. Gerakan ini sudah menjadi opini setiap orang Eropa, dan mereka telah mencapai hasil-hasilnya. Itulah yang menjadi sebab pemusatan kekufuran dan penjajahan di negara-negara Islam sebagaimana yang kita lihat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">PERANG SALIB</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Salah seorang ilmuwan Perancis, Comte Henri Dakastier dalam bukunya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Islam</i>, mengatakan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan kaum muslimin seandainya mengetahui kisah-kisah abad pertengahan dan memahami apa yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian orang-orang Kristen? Sesungguhnya seluruh nyanyian kami hingga yang tampak sebelum abad ke-12 M bersumber dari pikiran yang satu. Pikiran itulah yang menjadi sebab timbulnya Perang Salib. Seluruh nyanyian dibalut dengan kebusukan dendam terhadap kaum muslimin dan membodohkan agama mereka. Dari syair-syair lagu itu, diciptakan dogma aib kisah-kisah dalam akal yang menentang agama (Islam) dan mengokohkan kekeliruan pemahaman. Sebagiannya hingga hari ini masih kokoh. Setiap penggubah lagu menyiapkan lirik yang mengubah kaum muslimin menjadi musyrik, tidak beriman, dan penyembah berhala yang murtad."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah gambaran yang ditempelkan para tokoh agama Nasrani di Eropa pada kaum muslimin sebagaimana juga gambaran yang dilekatkan pada agama mereka. Di abad-abad pertengahan, mereka menggambarkannya dengan sifat-sifat yang keji. Sifat-sifat inilah yang digunakan mereka untuk mengobarkan dendam dan kemurkaan dalam memusuhi kaum muslimin. Di antara kobaran fitnah yang diciptakan dunia Nasrani adalah Perang Salib. Beberapa abad setelah berakhir Perang Salib, kaum muslimin di abad 15 M bangkit dan menyerang Barat sampai Daulah Islam berhasil menaklukkan Konstantinupel, kemudian di abad 16 disusul berbagai penaklukan yang merambah Eropa Selatan dan Timur dengan membawa Islam ke negera-negara itu. Berjuta-juta bangsa <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Albania</st1:place></st1:country-region>, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Yogoslavia</st1:city>, <st1:country-region w:st="on">Bulgaria</st1:country-region></st1:place>, dan bangsa lainnya berbondong-bondong memeluk Islam. Penaklukan melahirkan Perang Salib <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">gaya</st1:place></st1:city> baru dan memunculkan masalah ketimuran. Studi ketimuran dan Perang Salib gaya baru ini menurut versi Eropa diarahkan untuk mengusir pasukan Islam dan menyetop laju penaklukan Daulah Islam serta menolak bahaya kaum muslimin. Permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin telah mengakar dalam jiwa mereka. Permusuhan itulah yang membawa seluruh kaum Nasrani di Eropa bangkit dan mengirimkan misionaris-misionaris di Negara Islam, dengan nama sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, kelompok-kelompok studi, dan club-club. Untuk mewujudkan mega proyek ini, mereka mengerahkan dana raksasa yang sangat melimpah dan usaha keras. Mereka sepakat dan kompak mematuhi garis-garis haluan ini, meski di antara mereka terdapat perbedaan kepentingan dan politik. Semua negara dan bangsa Barat bersatu untuk mewujudkan proyek ini dan menjadikannya sebagai bagian tugas para konsul dan duta mereka, di samping menugaskan para delegasi khusus dan misionaris. Permusuhan salib ini terpendam dalam seluruh jiwa Barat, apalagi Eropa, khususnya Inggris. Permusuhan yang mengakar dan dendam yang sangat hina inilah yang menciptakan garis-garis besar haluan jahannam untuk melenyapkan Islam dan kaum muslimin. Permusuhan itu pula yang menyebabkan kehinaan kita di negeri kita sendiri dengan kehinaan yang memalukan. Ketika Lord Allenby berhasil menaklukkan Quds pada tahun 1917 M dan memasukinya, dia berkata sinis: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Sekarang Perang Salib telah berakhir."</i> Ini tidak lain merupakan ungkapan jujur yang terlontar dari perasaan jiwanya yang terpendam, kemarahannya yang membara, dan dendam yang mengakar dalam jiwanya. Ungkapan itu juga merupakan bentuk gambaran jiwa setiap orang Eropa yang terjun ke lautan perang baik dengan perang tsaqafah maupun militer untuk memusuhi kaum muslimin. Mahabenar Allah Yang telah memfirmankan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Mereka menyukai apa yang menyusahkanmu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Ali 'Imraan: 118).</b> Apa yang tampak dari ungkapan Lord Allenby tidak lain kemurkaan yang memuncak, dan apa yang disembunyikan oleh Negara Inggris adalah jauh lebih besar dari kemurkaan itu. Dan itu tidak meragukan. Demikian juga yang terdapat dalam jiwa semua orang Eropa. Kebencian yang teramat sangat ini telah meluas semenjak Perang Salib dan masih berjalan hingga sekarang. Penindasan, penghinaan, penjajahan, dan pembelengguan yang kita temukan sampai menyentuh ke sektor politik adalah jelmaan kebencian terhadap kaum muslimin dengan bentuk yang khas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Prof. Leopold Phais dalam bukunya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Islam 'ala Muftariqin</i>, berkata: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Kebangkitan atau menghidupkan ilmu-ilmu dan sastra-sastra Eropa dengan pengambilan luas dari sumber-sumber Islam dan khususnya Arab dapat mengokohkan sebagian besar hubungan meteri antara Timur dan Barat. Eropa mengambil manfaat lebih banyak daripada yang diambil Dunia Islam, akan tetapi Eropa tidak mengetahui keindahan itu. Demikian itu bukan karena Eropa mengurangi kebenciannya terhadap Islam, bahkan kebalikannya. Kemurkaan telah tersebar luas seiring dengan kemajuan zaman, kemudian kebencian berubah menjadi kebiasaan. Kebencian ini akhirnya menggenangi perasaan kebangsaan setiap kali disebutkan kata Islam. Kebencian itu juga telah merasuk ke dalam pepatah-pepatah yang berlaku di tengah kehidupan mereka sehingga meresap ke dalam hati setiap orang Eropa, baik laki-laki maupun wanita. Lebih jauh dari semua ini, kebencian menjadi kehidupan setelah terjadi semua putaran penggantian tsaqafah. Kemudian datang masa perbaikan hubungan keagamaan ketika Eropa terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan setiap kelompok berdiri bersenjata dengan senjatanya masing-masing dalam menghadapi kelompok yang lain. Akan tetapi, permusuhan terhadap Islam telah merata ke seluruh kelompok. Setelah itu datang masa yang menjadikan perasaan (sentimen) keagamaan mereda, akan tetapi permusuhan terhadap Islam masih terus berlanjut. Di antara bukti nyata dari tesis ini adalah pikiran yang dilontarkan oleh seorang filsuf sekaligus penyair Perancis abad ke-18, Voltaire. Dia adalah orang Kristen yang paling sengit memusuhi ajaran kristiani dan gereja. Namun, di waktu yang sama, dia jauh lebih membenci terhadap Islam dan Rasul Islam. Setelah beberapa perjanjian, datang zaman yang menjadikan para ilmuwan Barat mempelajari tsaqafah-tsaqafah asing (non-Barat) dan menghadapinya dengan simpati. Akan tetapi, terhadap tsaqafah-tsaqafah yang berkaitan dengan Islam, maka stereotif dan kebiasaan (taklid) menghina menyusup ke dalam problem samar kelompok yang tidak rasional untuk diarahkan pada bahasan-bahasan ilmiah mereka. Gap yang digali oleh sejarah antara Eropa dan dunia Islam, di atasnya dibiarkan tanpa dipautkan dengan jembatan, kemudian penghinaan terhadap Islam telah menjadi bagian yang mendasar dalam pemikiran Eropa."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Atas dasar ini, organisasi-organisasi misionaris, sebagaimana yang telah kami sebutkan, didirikan. Organisasi-organisasi ini diarahkan pada proyek-proyek kristenisasi, untuk menciptakan keraguan kaum muslimin dalam beragama, merendahkan Islam dalam jiwa mereka, membawanya sebagai beban kelemahan mereka, dan menyodok aspek-aspek politik Islam. Oleh karena itu, akibat-akibat yang dihasilkannya sangat keji, baik di sektor politik ataupun keraguan yang diciptakannya, sehingga mengantarkan pada akibat yang lebih parah daripada apa yang mereka timpakan. Gerakan misionaris ini dibentuk atas dasar tujuan penghapusan Islam dengan tikaman dari dalam dan mengobarkan problem-problem dan kesamaran-kesamaran di sekitar Islam dan hukum-hukumnya dengan tujuan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah dan menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka. Di belakang gerakan-gerakan misionaris terdapat gerakan-gerakan orientalis dan kaum orientalis yang melemparkan nilai filosofis tujuan mereka dan menjadikan jiwa bengkok.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seluruh upaya di Eropa disatukan dalam rangkaian Perang Salib. Pertama-tama dituangkan melalui jalur tsaqafah dengan cara meracuni akal dengan sesuatu yang memburukkan hukum-hukum Islam dan keteladanannya yang tinggi, dan dengan racun keterasingan yang mencekoki akal putra-putra kaum muslimin dengan statemen-statemen Barat tentang Islam dan sejarah kaum muslimin yang diatasnamakan kajian ilmiah dan kesucian ilmu. Tidak lain ini adalah racun tsaqafah yang merupakan senjata Perang Salib yang paling membahayakan. Sebagaimana juga para penyeru misionaris yang bekerja dengan racun ini yang diatasnamakan ilmu dan kemanusiaan, maka demikian pula para orientalis yang bekerja dengan atas nama kajian ketimuran. Prof. Leopold Phais berkata, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Pada kenyataannya, kaum orientalis di awal-awal masa moderen adalah kaum misionaris yang bekerja untuk mengkristenkan Negara Islam. Gambaran yang menakutkan yang mereka buat dari ajaran-ajaran Islam dan sejarahnya diatur dan disusun atas suatu konsep yang mengandung pengaruh penempatan posisi orang-orang Eropa ditengah kaum berhala (maksudnya, kaum muslimin). Bersamaan kesimpang-siuran akal ini masih terus berlangsung, ilmu-ilmu orientalis justru telah terbebas dari pengaruh misionaris, sementara ilmu-ilmu orientalis masih tetap tidak memiliki alasan yang positif. Alasannya justru lahir dari semangat keagamaan yang bodoh yang memperburuk arahnya. Adapun semangat keagamaan yang membawa kaum orientalis memusuhi Islam telah menjadi watak yang diwariskan, khususnya tabiat yang berpijak pada pengaruh-pengaruh yang diciptakan oleh Perang Salib."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Permusuhan yang diwariskan selalu menyalakan api dendam dalam jiwa orang-orang Barat terhadap kaum muslimin. Barat menggambarkan Islam hingga menyangkut negara dan umatnya, termasuk selain umat Islam, bahwa Islam adalah hantu kemanusiaan atau pendurhaka yang menakutkan yang akan melenyapkan kemajuan kemanusiaan. Dengan gambaran itu, mereka berusaha menutupi ketakutan mereka yang sebenarnya. Karena jika gambaran yang telah menancap dalam jiwa itu hilang, maka hegemoni kafir penjajah akan lenyap dari dunia Islam dan Negara Islam akan kembali mengemban dakwahnya ke seluruh dunia dan demikian itu pasti akan kembali dengan izin Allah. Kembalinya Negara Islam ada dalam kebaikan kemanusiaan dan kebaikan jiwa Barat. Sementara gerakan kaum misionaris dan selain mereka akan hilang dan mendatangkan kerugiaan pada diri mereka. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalang-halangi [orang] dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi kesesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Anfaal: 36).</b> Permusuhan yang terwariskan (abadi) itu memperkuat setiap gerakan yang menentang Islam dan kaum muslimin. Anda pasti menemukan Barat selalu mengkaji paham Majusi, Hindu, dan komunisme, dan Anda tidak menemukan dalam bahasannya yang mengandung unsur fanatis atau kebencian. Akan tetapi, di waktu dan kasus yang sama, ketika Barat membahas Islam, tentu Anda menemukan tanda-tanda kemurkaan, dendam, marah, dan kebencian di dalam bahasannya. Dalam kondisi demikian, kaum muslimin diserang Barat dengan serangan yang sangat keji. Kafir penjajah mengalahkan mereka. Akan tetapi, para gerejawan Barat di belakang mereka adalah penjajah selalu menampakkan kontra aktifitas yang menentang Islam. Mereka tidak mengendurkan tikaman terhadap Islam dan kaum muslimin, selalu mencaci-maki Muhammad dan para sahabatnya, dan melekatkan aib pada sejarah Islam dan kaum muslimin. Semua itu merupakan siksaan dari mereka terhadap kaum muslimin dan untuk mengokohkan laju penjajahan dan kaum penjajah.<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">PENGARUH PERANG MISIONARIS</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perang misionaris adalah perang pembuka yang meratakan jalan bagi penjajahan Eropa. Tujuannya untuk menaklukkan dunia Islam melalui penaklukan politik setelah penaklukkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tsaqafah.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Setelah kaum muslimin mengemban <i style="mso-bidi-font-style: normal;">qiyadah fikriah Islamiah</i> (kepemimpinan pemikiran Islam) yang menguasai Barat ketika berhasil menaklukkan Istambul dan negara-negara Balkan serta memasukkan Islam ke daratan Eropa, maka <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Daulah Islam</i> berbalik menjadi sasaran serangan Barat. Barat mulai mengemban <i style="mso-bidi-font-style: normal;">qiyadah fikriahnya</i> ke Negara Islam dan menjadikannya panggung kebudayaan dan pemahaman kehidupan bagi umat Islam, menebarkannya dengan macam-macam sarana di bawah nama ilmu, kemanusiaan, dan misionaris keagamaan. Barat tidak cukup dengan membawa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">hadharah</i> dan pemahaman-pemahamannya, tetapi juga menikam (memfitnah) hadharah dan pemahaman Islam ketika membenturkan misinya melawan Islam. Serangan Barat ini membawa pengaruh, bahkan menguasai kelompok bertsaqafah, para politisi, bahkan juga para pengemban tsaqafah dan masyarakat Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Terhadap kelompok bertsaqafah, Penjajah Barat memasuki sekolah-sekolah misionaris sebelum menduduki dan memasuki semua sekolah. Cara yang ditempuh dengan menciptakan metode-metode pengajaran dan tsaqafah atas dasar falsafah, hadharah, dan pemahaman khas kehidupan Barat. Proses ini terus berlangsung hingga menjadikan kepribadian Barat sebagai asas kehidupan Islam yang pada gilirannya akan mencabut tsaqafah Islam yang selama ini kita pakai. Barat juga menjadikan sejarah, ruh kebangkitan, dan lingkungannya sebagai sumber pokok nilai yang mengisi akal kita. Tidak cukup dengan itu saja, bahkan Barat juga memasukkan ruh ini ke dalam berbagai metode yang terperinci hingga tidak satupun tsaqafah Islam yang keluar dari bagian-bagian landasan pemikiran umum yang itu merupakan falfasah dan hadharahnya. Proses ini merata ke semua aspek tsaqafah Islam hingga merasuk ke dalam pelajaran agama dan sejarah Islam. Metode keduanya dibangun atas dasar Barat dan menurut pemahaman-pemahaman Barat. Agama Islam dipelajari di sekolah-sekolah Islam sebatas pada materi ruhani-etika saja sebagaimana pemahaman Barat tentang agama mereka. Agama dipelajari hanya pada satu aspek saja dan jauh dari kehidupan dan hakikat pemahaman tentang hidup. Kehidupan Rasul diajarkan pada anak-anak kita yang mata rantainya terputus dari kenabian dan risalah, bahkan didudukkan sebagaimana mempelajari kehidupan Napoleon atau Bismarks. Pemikiran atau perasaan apapun tidak ada pengaruhnya sedikit pun dalam jiwa mereka. Materi-materi ibadah dan akhlak yang sebenarnya sudah tercakup dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">minhaj agama</i> diberikan hanya dari sisi kemanfaatan. Dengan demikian, pengajaran agama Islam juga menjadi sejalan sesuai dengan pemahaman-pemahaman Barat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sejarah Islam diajarkan hanya dengan menonjolkan sisi-sisi aibnya yang dibuat-buat. Dan, ini membuktikan buruknya tujuan dan pemahaman Barat. Hasil analisa rekayasa itu diletakkan dalam bingkai hitam di bawah nama kesucian sejarah dan bahasan ilmiah, kemudian ditambah dengan lumpur basah yang tumbuh dari para budayawan (bertsaqafah) muslim yang mempelajari sejarah dan menyusunnya atas dasar uslub dan manhaj misionaris. Seluruh rencana diletakkan atas dasar falsafah Barat dan disesuaikan dengan manhaj Barat. Dengan demikian, orang-orang yang bertsaqafah kebanyakan menjadi anak-anak dan murid-murid tsaqafah Barat. Mereka merasakan lezatnya tsaqafah ini dan selalu merindukannya serta mengarahkan kehidupan mereka sesuai dengan manhaj Barat, sehingga mayoritas mereka mengingkari tsaqafah Islam jika bertentangan dengan tsaqafah Barat. Mereka menjadi sekelompok orang yang bertsaqafah Barat dan menerapkan segala kebijaksanaan searah dengan pandangan Barat. Mereka memurnikannya untuk tsaqafah Barat dengan kemurnian yang sempurna yang membawa mereka pada penyucian unsur asing dan mengemban hadharahnya. Banyak dari mereka (kaum muslimin) yang terbentuk dengan pola Barat. Akhirnya, mereka menjadi orang yang membenci Islam dan tsaqafah Islam sebagaimana Barat membencinya. Mereka membawa permusuhan keji terhadap Islam dan tsaqafahnya sebagaimana yang dibawa Barat. Mereka menjadi pemeluk Islam yang meyakini Islam dan tsaqafahnya sebagai penyebab kemunduran kaum muslimin sebagaimana yang diwahyukan Barat kepada mereka supaya berkeyakinan demikian. Dengan demikian, misi para misionaris sukses. Kesuksesan mampu memutus kesetaraan ketika sekelompok kaum muslimin bertsaqafah bergabung dengan Barat dan masuk dalam barisan-barisannya yang memerangi Islam dan tsaqafahnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sekarang ini orang-orang bertsaqafah di Eropa dan sekolah-sekolah asing telah melompat jauh hingga berhasil menembus barisan para pengemban tsaqafah Islam. Penjajah Barat yang menyerang mereka dengan menikam Islam telah menakutkan mereka. Mereka mencoba menangkis tikaman ini di tengah kondisi sudah memakai pada setiap apa yang berhubunan dengan tangan mereka, baik penolakan ini benar ataukah rusak, baik yang ditikam oleh asing adalah Islam yang dibanggakan ataukah yang didustakan atasnya. Dalam penolakan ini, mereka rela menjadikan Islam dalam keadaan membingungkan atau menakwili nash-nashnya sesuai dengan pemahaman-pemahaman Barat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>penolakan orang-orang muslim yang bertsaqafah. Mereka menolak serangan-serangan Barat dengan penolakan yang menghebohkan. Penolakan ini justru akan lebih banyak membantu serangan misionaris daripada yang menolaknya. Yang lebih tragis dan menambah kehancuran Islam adalah hadharah Barat yang jelas-jelas bertentangan dengan hadharah Islam justru dijadikan bagian dari pemahaman-pemahaman mereka. Kebanyakan mereka mengatakan bahwa Barat mengambil hadharah dari Islam dan kaum muslimin. Karena itu, mereka menakwili hukum-hukum Islam sesuai dengan hadharah ini bersamaan masih adanya pertentangan secara mutlak antara Islam dan hadharah Barat. Dengan demikian, mereka menerima hadharah Barat dengan penerimaan yang sempurna dan penuh kerelaan ketika memperlihatkan bahwa akidah dan hadharah mereka sesuai dengan hadharah Barat. Artinya, mereka menerima hadharah Barat dan membebaskannya dari hadharah mereka yang islami. Inilah yang menjadi sasaran penjajahan Barat ketika berhasil memusatkan menjadi satu antara misi para misionaris dan penjajahan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Dengan adanya orang-orang yang bertsaqafah asing dan pemahaman yang jelek terhadap tsaqafah Islam, maka di samping kaum muslimin ditemukan pemahaman-pemahaman Barat tentang kehidupan, seperti dalam rumah-rumah mereka yang dipraktekkan hadharah Barat yang materialistik. Akibatnya, kehidupan dalam masyarakat menjadi tunduk pada hadharah dan pemahaman Barat. Kaum muslimin pada umumnya tidak mengetahui bahwa sistem demokrasi dalam pemerintahan dan sistem kapitalisme dalam ekonomi kedua-duanya dari sistem aturan kufur. Mereka tidak terpengaruh jika di antara mereka diputuskan suatu keputusan yang didasarkan pada selain yang diturunkan Allah. Mereka tidak tahu bahwa Allah telah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Barangsiapa yang tidak memutuskan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Maaidah: 44).</b> Semua itu disebabkan oleh hadharah Barat yang dibangun di atas dasar pemisahan agama dari negara. Hadharah ini telah menguasai masyarakat mereka. Pemahaman-pemahaman Barat yang materialis juga menguasai angkasa mereka. Mereka terkadang merasa perlu melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan menjaga shalat jika meyakini Allah meski dalam mengatur urusan dunia, mereka menyesuaikan dengan pandangan dan keinginan mereka semata karena mereka terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman Barat yang mengatakan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Apa yang untuk kaisar berikan kepada kaisar dan apa yang untuk Allah adalah untuk Allah."</i> Mereka tidak terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman Islam yang menjadikan kaisar dan apa-apa yang menjadi miliki kaisar adalah hanya milik Allah, menjadikan shalat, jual-beli, pengupahan, pemindahan hutang, pemerintahan, dan pendidikan semuanya berjalan sesuai dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Benar, mereka tidak terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman ini meski mereka membaca firman Allah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Maaidah: 49)</b> dan ayat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Baqarah: 282)</b> dan ayat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang dilakukannya itu dan Kamu masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Nisaa': 115)</b> dan ayat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin pergi semuanya [ke medan perang]. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika telah kembali supaya mereka dapat menjaga diri"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Taubah: 122).</b> Benar, mereka tidak terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman ini dalam ayat-ayat Al-Qur'an meski mereka membacanya karena mereka tidak membacanya sebagai ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana kewajiban seorang muslim membaca ayat sebagai kehidupan yang mengalir (berdenyut) untuk dipraktekkan dalam kancah kehidupan. Mereka hanya membacanya dalam kondisi pemahaman-pemahaman Barat yang telah menguasai mereka, maka mereka hanya terpengaruh dengan ruh ayat-ayat ini dan meletakkan penghalang di antara benak dengan pemahaman dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">madlul</i> (makna yang ditunjukkan) ayat. Semua itu karena hadharah Barat bertindak sesuka hati pada mereka dan pemahaman-pemahaman Barat menguasai mereka. Ini kaitannya dengan masyarakat bangsa dan kaum bertsaqafah dengan tsaqafah Islam dan asing.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun serangan Barat kaitannya dengan para politisi, bencana yang ditimbulkannya lebih umum dan musibahnya lebih besar. Pada awalnya para politisi dikumpulkan dan dibujuk oleh penjajah untuk menentang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Daulah 'Utsmaniah</i>. Kemudian komitmen mereka diuji dan setelah itu diberi janji-janji muluk yang dijanjikan setan pada mereka tidak lain adalah penipuan. Semenjak itu, para tokoh ini berjalan di "kendaraan-kendaraan" orang asing dan mengikuti garis yang dirumuskan khusus untuk mereka. Di hari-hari akhir Daulah 'Utsmani, mereka mengekor asing (Barat) dan membantunya mengalahkan diri mereka. Ini adalah persoalan yang sebenarnya tidak dibolehkan Islam. Akan tetapi, mereka mengerjakannya dan menjadikannya pola perilaku yang dibanggakan, namun dalam tiap kesempatan mereka menyebut-nyebutnya sebagai ancaman. Aneh!<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Bahkan, setiap tahun mereka memeringatinya sebagai perayaan kemerdekaan. Terhadap pihak penguasa yang berjuang untuk memperbaiki daulah, mereka justru memeranginya, bahkan berjalan seiring dengan musuh yang kafir (Barat) dalam menentang daulah hingga mengantarkan pada akibat yang sangat tragis, yaitu keberhasilan kafir Barat menjajah negara kaum muslimin. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Tidak berapa lama berselang, para petualang politisi ini meminta bantuan pada kafir penjajah dengan alasan kebangsaan sebagai kompensasi bantuan mereka sebelumnya. Keputusan-keputusan ini mempengaruhi mereka hingga mengantarkan pada hilangnya limid akhir kepribadian mereka yang islami. Pemikiran mereka diracuni dengan ide-ide politik dan filsafat yang dapat merusak visi pandangan mereka tentang kehidupan dan jihad. Akibat selanjutnya akan merusak iklim Islam dan mengacaukan pemikiran-pemikiran yang gejalanya merata dalam berbagai sisi kehidupan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Jihad yang merupakan ruh politik luar negeri Negara Islam diganti dengan perundingan. Bahkan, mereka juga mempercayai kaidah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ambil dan carilah</i> yang dikatagorikan sebagai bentuk penjajahan yang paling menguntungkan penjajah daripada pasukan besar. Kafir penjajah dijadikan kiblat pandangan mereka dan tempat meminta bantuan. Mereka pasrah dan menyerah kepada kafir penjajah tanpa menyadari bahwa setiap permintaan tolong kepadanya dihitung dosa besar dan politik bunuh diri. Mereka puas bekerja hanya untuk wilayah yang sempit dan menjadikannya lapangan kiprah politik. Belum juga jelas bagi mereka bahwa wilayah inilah yang menjadikan aktifitas politik memberi hasil yang mustahil karena tidak adanya kemungkinan memantapkan kedudukan wilayah meski itu adalah negara wilayah (distrik atau bagian) dibangkitkan dengan beban-beban politik dan non-politik yang dituntut oleh kehidupan yang sehat (baik).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><st1:place w:st="on"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Para</span></st1:place><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> politisi ini tidak cukup dengan hasil usaha-usaha ini. Bahkan, pusat perhatian mereka yang individualis dijadikan sasaran perwujudan kepentingan mereka yang individualis, sementara pusat perhatian mereka yang umum diperuntukkan negara-negara asing. Dengan demikian, mereka kehilangan pusat perhatian yang alami yaitu mabda' mereka yang islami. Dengan kehilangan pusat perhatian yang alami ini, maka mereka kehilangan kemungkinan memperoleh kesuksesan usaha, meski mereka telah berjuang ikhlas dan mencurahkan segala kemampuan juang. Karena itu, semua gerakan politik menjadi gerakan yang mandul dan semua kesadaran umat berubah ke arah gerakan huru-hara (kacau dan bingung) yang saling bertentangan. Gerakan ini menyerupai gerakan brutal yang berakhir dengan padam, putus asa, dan menyerah. Demikian itu dikarenakan komando gerakan politik mereka menjadikan mereka kehilangan pusat perhatian yang alami. Maka, umat yang kehilangan pusat perhatian yang alami ini menjadi sesuatu yang alami. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah fakta dari pemikiran para politisi yang diracuni dengan pikiran-pikiran yang salah sebagaimana juga diracuni dengan dasar-dasar asing. Fakta itu muncul bersamaan di Negara Islam tumbuh gerakan-gerakan dengan nama kebangsaan, sosialis, nasionalis, marxisme, agama ruhani, akhlak, pendidikan, dan pengarahan. Gerakan-gerakan ini berkembang menjadi kekacauan yang berpijak pada kesesatan dan problem baru dalam masyarakat yang bersandar pada problem-problem lain yang jatuh di bawah bebannya. Hasilnya adalah kegagalan dan kebingungan yang berputar-putar di seputar gerakan karena kiprahnya berjalan sesuai dengan pemahaman-pemahaman hadharah Barat, terpengaruh dengan perang misionaris, dan umat mengarah pada pemahaman-pemahaman kehidupan Barat dengan bingkainya. Tambahan lagi hal itu menahan gelora perasaan umat yang bernyala-nyala dan memenjarakannya dalam sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan kebaikan, di samping akan lebih mengosentrasikan kedudukan dan kekokohan penjajahan. Seperti demikianlah kesuksesan perang misionaris dengan keberhasilan yang tidak ada bandingnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">PERANG POLITIK DUNIA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Penyebab utama memerangi Andalus kembali pada kebencian dan dendam Barat yang telah mengakar dalam jiwa semenjak berlangsungnya Perang Salib. Kegagalan yang begitu cepat dalam mempertahankan kemenangannya di Perang Salib, bahkan mereka terlempar dari dunia Islam dengan pengusiran yang nista menjadikan Barat dendam. Kekalahan itu terus-menerus membakar jiwa mereka dan hati mereka dipenuhi dendam, kemurkaan, dan kebencian terhadap kaum muslimin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Barat merasa mustahil atau kesulitan untuk mengulangi serangannya terhadap Dunia Timur (Kekhilafahan Islam Timur). Kekuatan Timur yang penduduknya berbeda-beda cukup mampu menahan dan memukul balik serangan Barat. Karena itu, Barat melihat bahwa pembalasan dendam lebih mudah diarahkan ke Andalus (kekhalifahan Islam wilayah Barat). Barat mulai mengarahkan misinya ke Andalus dan akhirnya berhasil menghancurkan Andalus dengan serangan yang sangat keji dan brutal. Dalam penyelenggaraan eksekusi terhadap Andalus, Barat menggunakan mahkamah-mahkamah penyelidikan, alat-alat pemenggal kepala (pisau guillotine), dan rumah-rumah pembakaran yang kekejaman dan kebrutalannya melebihi kebuasan binatang buas. Ketika kaum muslimin tampak lemah untuk bisa menolong Andalus, padahal mereka sebenarnya memungkinkan mampu memberi pertolongan pada Andalus, maka Barat terus-menerus melakukan penyiksaan pada penduduk muslim Andalus. Kaum muslimin justru mundur dan membiarkan Andalus menjadi santapan lezat Barat. Dengan demikian, Barat semakin berambisi memikirkan langkah lain untuk melakukan penyiksaan. Seandainya tidak ada kekuatan kaum muslimin, apalagi dengan adanya Daulah 'Utsmaniah, niscaya serangan Barat terhadap Negara Islam akan dilancarkan secara terus-menerus. Akan tetapi, kekuatan kaum muslimin, serangan, dan penaklukan 'Utsmaniah terhadap Eropa menjadi problem yang paling menakutkan Barat. Trauma ini membawa Barat untuk memperlambat serangannya terhadap kaum muslimin sehingga dalam Perang Salib kedua mereka tidak mengadakan serangan. Itulah yang menyebabkan serangan Barat terhadap Negara Islam ditangguhkan hingga setelah pertengahan abad 18 M. Pada waktu itu Barat menjadikan keadaan tenang di seluruh seputar dunia Islam. Maka, pengembangan dakwah Islam menjadi sepi dan dilepas. Gelora Islam dalam jiwa menjadi menurun dan padam. Penciptaan kondisi tenang ini dilakukan Barat dengan menghilangkan rasa takut dari jiwa musuh-musuh mereka. Ketika itu, perang tsaqafah dan misionaris mulai dilancarkan. Gejala-gejalanya tumbuh dalam dunia Islam. Perang itu disertai dengan berbagai perang politik yang tujuannya untuk memecah-belah Negara Islam menjadi beberapa bagian, mencabik-cabik dunia Islam, dan kemudian mengikisnya. Kerja keras mereka akhirnya berhasil dengan sangat gemilang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pada <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Perjanjian Caterina</i> (1796-1762 M), Rusia memerangi Daulah 'Utsmani dan berhasil mengalahkannya, memotong-motong sebagian wilayahnya, mengambil Kota Azov dan Semenanjung Krym, menguasai seluruh Lembah Utara Laut Hitam, dan mendirikan Kota Sevastopol sebagai pertahanan Semenanjung Krym dan membangun pelabuhan dagang Odessa di Laut Hitam. Dengan demikian, Rusia menjadi pemain penting dalam percaturan Politik Luar Negeri Daulah 'Utsmani dan pemegang kendali Emperium Romania (Romawi). Rusia menyatakan bahwa dirinya penjaga ajaran Masihiah di Daulah 'Utsmani. Kemudian pada tahun 1884 M Turkistan memisahkan diri dari Turki dan akhirnya Rusia sepenuhnya berhasil menguasai seluruhnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Agresi ini tidak hanya dilakukan Rusia saja, bahkan meluas hingga melibatkan hampir semua negara Barat. Di awal bulan Juli 1798 M., Napoleon menghantam Mesir dan berhasil menguasainya. Di bulan Pebruari tahun 1799 M., Napoleon menyerang selatan Syam dan berhasil menguasai Jalur Ghaza, Ramlah, Yapa, dan membangun benteng 'Uka. Namun, akhirnya ekspedisi militer ini tidak sukses, lalu Napoleon kembali ke Mesir kemudian pulang ke Perancis. Pada tahun 1801 M ekspedisi ini dinyatakan. Meski tidak berhasil, tetap membawa pengaruh sangat kuat dalam mengondisikan Daulah 'Utsmaniah, meninggalkan goncangan yang sangat kuat, dan akhirnya seluruh negara berturut-turut ikut menyerang dunia Islam dan menguasai beberapa wilayahnya. Perancis berhasil menduduki Aljazair dan Tunis pada tahun 1881 M kemudian mencaplok Murakisy tahun 1912 M. Italia juga berhasil menduduki Tharabulus tahun 1911 M. Dengan demikian, mereka sepenuhnya telah menguasai atau memisahkan Afrika Utara [dari pusat daulah] dan melepaskannya dari pemerintahan Islam dan menjadikannya tunduk pada pemerintahan kufur sebagai daerah jajahan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Serangan Barat (bangsa-bangsa Eropa) tidak cukup sampai di sini saja, bahkan penjajahannya lebih disempurnakan dengan mencaplok wilayah-wilayah daulah yang masih belum terjajah. Inggris menjajah 'Adn tahun 1839 dan melebarkan pengawasannya di lembah-lembah yang luas di perbatasan Yaman Selatan hingga Timur Jazirah dan sebelumnya Inggris telah menguasai India dalam beberapa periode. Penjajahannya berhasil mencabut kepemimpinan kaum muslimin dari India dan mendudukinya dengan cara yang khas. Sebelum Inggris masuk, kaum muslimin yang memegang kekuasaan di India, lalu Inggris mencabutnya dan menjadikan mereka berperan di sektor-sektor yang lemah yang lambat-laun akan melemahkan posisi mereka secara umum. Kemudian pada tahun 1882 Inggris mencaplok Mesir dan pada tahun 1898 menguasai Sudan. Demikian juga Belanda berhasil menjajah pulau-pulau India Timur. Afganistan dikepung di bawah tekanan Inggris dan Rusia sebagaimana Iran. Gelombang serangan bangsa-bangsa Barat di seluruh wilayah dunia Islam semakin meningkat sampai semuanya merasa jatuh di bawah kendali Barat dan merasa bahwa serangan Salib selalu diperbaruhi dengan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>menjaga kemenangan demi kemenangan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Akhirnya, kaum muslimin menjadi sibuk dan bergantung pada pekerjaan-pekerjaan yang menghentikan gelombang pasukan besar Barat atau untuk meringankan beban tekanannya. Maka, timbullah gerakan-gerakan perlawanan terhadap Barat di wilayah-wilayah Islam. Di Aljazair pemberontakan meletus. Kaum muslimin di India mengamuk. Para pengikut sekte Mahdi di Sudan bangkit dan pemberontakan Sanusiah berkobar. Semua itu menunjukkan potensi kekuatan terpendam dalam tubuh dunia Islam meski dari luar tampak diam dan lemah. Hanya saja gerakan-gerakan atau usaha-usaha ini akhirnya padam dan tidak berhasil menyelamatkan dunia Islam. Gerakan-gerakan keislaman itu tidak berhasil menghentikan pendudukan dan serangan Barat, bahkan Barat masih melanjutkan serangannya dengan dua kekuatan utama: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">politik dan tsaqafah.</i> Barat tidak hanya memecah-belah wilayah dunia Islam menjadi beberapa bagian, tetapi juga menikam dari dalam Daulah 'Utsmani yang notabene Daulah Islam. Barat membangkitkan gerakan-gerakan kebangsaan di dalam tubuh Daulah 'Utsmani. Isu negara-negara bangsa asing dijadikan alat penggerak oleh Barat untuk membangkitkan bangsa-bangsa Balkan. Semenjak tahun 1804 M mereka didorong<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>untuk mengadakan pemberontakan dan pemberontakan ini terus melebar hingga akhirnya berhenti pada tahun 1878 dengan kemerdekaan bangsa-bangsa Balkan. Mereka juga menggerakkan negara-negara Yunani melakukan revolusi. Api revolusi itu dinyalakan sejak tahun 1821 hingga akhirnya berhenti dengan sebab masuknya asing yang memerdekakan Yunani dari Turki pada tahun 1830 M. Semua negara Balkan mengikutinya hingga naungan Daulah 'Utsmani dengan sifat Daulah Islam terkelupas dari negara Balkan, Kreta, Qabrus, dan sebagian besar pulau di Laut Tengah. Bangsa-bangsa Barat dalam melakukan aksinya menggunakan berbagai macam kekejian. Kaum muslimin di Balkan dan kepulauan Laut Tengah diteror dan dihantam secara keji. Sebagian besar kaum muslimin diusir dari rumah-rumah mereka. Mereka lari dengan membawa agama mereka dari kekejaman kafir dan berlindung ke negara Arab yang disifati sebagai Negara Islam dan bagian dari Daulah Islam. Aljarkis, Albusnaq, Asysyasyan, dan yang lainnya tidak lain adalah putra-putra pahlawan kaum muslimin yang tidak rela untuk tunduk pada pemerintahan kufur. Mereka lari dengan membawa agama Islam ke perkampungan-perkampungan Islam dan pepmerintahan Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Apakah Barat berhenti sampai di sini saja? Tidak! Bahkan, dengan berbagai sarana yang samar, Barat membangkitkan gerakan-gerakan pemisahan dan pemecahbelahan umat Islam dan kesatuan daulah dengan meniupkan perbedaan antara Turki dan Arab. Mereka digerakkan untuk mengadakan gerakan-gerakan kebangsaan. Barat terus-menerus menggerakkan, bahkan membantu mereka untuk mendirikan partai-partai politik kebangsaan Turki dan Arab, seperti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Partai Turki Muda, Partai Persatuan dan Kemajuan, Partai Kemerdekaan Arab, Partai Keamanan</i>, dan partai-partai lainnya. Partai-partai inilah yang menyebabkan kondisi dalam negeri Negara Islam mengalami goncangan dan kelabilan. Goncangan di balik berbagai tragedi dalam negeri oleh Barat diikuti dengan berbagai serangan dari luar sampai Perang Dunia I meledak yang memberi kesempatan terbuka bagi Barat untuk menyerang langsung dunia Islam. Pada kesempatan ini Barat berhasil menguasai sisa-sisa wilayah Daulah Islam, menghabisi, dan menenggelamkannya dari permukaan dunia. Daulah 'Utsmani terseret dalam Perang Dunia I yang berakhir dengan kemenangan sekutu dan kehancuran Negara Islam. Pasca-perang, Barat membagi-bagi seluruh dunia Islam menjadi harta rampasan mereka. Tidak ada Negara Islam yang tersisa kecuali Turki yang telah menjadi negara kecil dengan sebutan Negara Turki. Setelah perang berakhir pada tahun 1918 M., Turki hidup di bawah belas kasihan Barat hingga tahun 1921 M., yaitu ketika Turki mampu memerdekakan diri [dari penjajahan Barat] setelah memberi jaminan terlebih dulu pada sekutu dengan penghapusan Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">MELENYAPKAN NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perang Dunia I berakhir ditandai dengan gencatan senjata antara dua pihak yang bertempur. Pasca-perang, Sekutu memperoleh kemenangan yang gemilang. Sementara Daulah 'Utsmani hancur berkeping-keping menjadi negara-negara bangsa yang kecil-kecil. Sekutu berhasil menguasai seluruh Negara Arab. Mesir, Siria, Palestina, Timur Yordan, dan <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Iraq</st1:place></st1:country-region> dipaksa melepaskan diri dari kesatuan Negara Islam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Di tangan penguasa 'Utsmani tidak ada yang tersisa selain Negara Turki. Turki sendiri sudah disusupi Sekutu. Angkatan Laut Inggris menguasai pelayaran. Pasukannya menduduki sebagian ibukota, semua pelayaran Selat Dardanil, dan medan-medan pertempuran yang penting di semua wilayah Turki. Pasukan Perancis menduduki sebagian Istambul dan memenuhi jalan-jalan Sinegal. Tentara Itali menganeksi <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Beira</st1:place></st1:city> dan jalur rel kereta api. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> perwira sekutu mengatur tata tertip kepolisian, penjagaan tanah air, dan pelabuhan. Mereka juga melucuti senjata para perwira Turki dan mensipilkan sebagian besar mereka. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jam'iyyatu al-Ittihaadi wa al-Taraqiy</i> (Komite persatuan dan kemajuan) menyusut. Jamal Pasya dan Anwar Pasya lari keluar negeri. Sisa-sisa anggota <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jam'iyyah</i> menyembunyikan diri.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Pemerintahan yang kurus (sakit) ini akhirnya dibentuk kembali dengan kepemimpinan Taufiq Pasya agar menjalankan instruksi-instruksi musuh yang berkuasa. Ketika itu Khalifah Negara Islam adalah Wahiduddin. Dia melihat bahwa dirinya berada di depan masalah ini dan harus bertanggung jawab. Karena itu, dia bertekad akan menyelamatkan kedudukannya dengan cara yang sangat bijak. Langkah pertama yang ditempuhnya membubarkan parlemen dan menyerahkan jabatan perdana mentri kepada sahabat karibnya yang paling jujur, Farid. Dia mendukung pandangannya yang perilaku politiknya ramah terhadap Sekutu dan tidak mengambil sikap oposan supaya tidak menyebabkan hancurnya negara. Apalagi peperangan telah berhenti. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Khalifah akhirnya benar-benar melaksanakan kebijaksanaannya ini. Kondisinya pun masih tetap seperti semula karena Sekutu masih terus mengontrol, sementara Turki terlena dalam kebekuan hingga pertengahan tahun 1919 M. Di ujung tahun ini keadaan mulai berubah dan berganti. Kelemahan menggerogoti kedudukan Sekutu. Itali, Perancis, dan Inggris mengalami kelesuan yang sangat parah karena pertikaian masalah ras. Konflik internal sangat tajam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>hingga nyaris mencerai-beraikan barisan kesatuan mereka. Di antara negara-negara Sekutu sendiri pun telah dirayapi pertikaian. Indikasinya terlihat di Istambul di tengah para aktor politik Sekutu yang memperebutkan harta rampasan perang. Tiap-tiap anggota negara-negara Sekutu berambisi untuk memperoleh bagian yang paling besar dari markas-markas militer dan keistimewaan-keistimewaan ekonomi yang dikuasainya. Kondisi ini sebenarnya sangat memungkinkan bagi Turki mencoba membidikkan anak panahnya yang terakhir sehingga diharapkan dapat menyelamatkan kedudukan daulah. Tindakan ini seharusnya diambil Turki setelah melihat Sekutu dalam keadaan lemah dan saling bertikai sampai-sampai di antara sesama mereka saling<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>berebut membakar Turki agar melawan negara-negara tertentu dan membantu mengalahkan negara-negara tertentu lainnya dari kelompok yang sama, yaitu Sekutu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pasca-perang, di tengah konflik internal Sekutu, konferensi perdamaian belum ditetapkan. Syarat-syarat perdamaian juga belum dirumuskan. Sementara di ufuk, kilauan kecermelangan angan-angan mulai tampak. Di tengah kehidupan manusia, keyakinan akan kemungkinan menyusun gerakan perlawanan mulai membentuk. Akan tetapi, Inggris lebih dulu menangkap tanda-tanda ini. Dengan cepat, Inggris mempekerjakan Mushthafa Kamal. Dia harus berjalan sesuai dengan garis politik Inggris, melaksanakan kebijakan globalnya, dan mewujudkan misi utamanya yang hendak menghabisi Negara Khilafah. Maka, di Istambul dibentuk kelompok-kelompok rahasia yang jumlahnya lebih dari 10 buah. Tujuannya mencuri senjata dari gudang-gudang negara (Daulah 'Utsmani) yang pengawasannya sudah dibeli supaya tunduk pada musuh. Di samping itu, Inggris juga mengirimkan sistem aturannya yang samar dan menyusupkannya ke<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dalam daulah. Sebagian pejabat resmi justru membantu penyusupan ini. Untuk lebih memperlancar keberhasilan misi politik Inggris, maka 'Ashamta diangkat menjadi wakil mentri peperangan, Fauzi menjadi kepala kesatuan militer, Fathiy menjadi mentri dalam negeri, dan Rauf menjadi mentri kelautan. Mereka semua membantu gerakan-gerakan bawah tanah. Maka tidak heran jika kelompok-kelompok ini berdiri dalam jumlah yang banyak. Tujuannya yang paling penting adalah menjalankan permusuhan rahasia terhadap musuh. Lalu muncul kelompok <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Ittihad wa al-Taraqiy.</i> Sebagian kelompok militer yang sistematis bergabung dengan gerakan-gerakan ini. Kemudian gerakan-gerakan berkumpul dalam satu wadah di bawah pimpinan Mushthafa Kamal. Dia memainkan peran penting dalam memberikan perlawanan terhadap Sekutu (selain Inggris karena Mushthafa bekerja untuknya) dan mengusir mereka dari daulah. Dalam waktu yang sama, Mushthafa Kamal juga memusuhi pasukan khalifah ketika menentang aksi politis dan militernya yang memusuhi Sekutu. Dalam operasi ini, Mushthafa Kamal memperoleh hasil yang besar. Kemudian dia melihat bahwa pemerintah pusat dan kekuasaan di Istambul jatuh di bawah kontrol Sekutu. Karena itu, sebagai gantinya dia harus menjalankan pemerintahan kebangsaan di Anatoli.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Dalam melaksanakan aksinya, Mushthafa Kamal mengawali revolusinya dengan memberi baju kebangsaan dan mengakhirinya dengan melenyapkan kekhilafahan dan memisahkan Turki dari bagian-bagian wilayah Daulah 'Utsmani. Bukti di lapangan menunjukkan revolusi Mushthafa Kamal untuk kepentingan Inggris. Inggrislah yang menyiapkan segala hal untuk kesuksesan revolusi ini. Inggris mengirim Mushthafa Kamal agar mengadakan revolusi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Mushthafa Kamal mengadakan muktamar kebangsaan di Swis dan berhasil mengeluarkan berbagai keputusan, di antaranya tentang sarana dan pola strategi (wasilah dan uslub) yang memiliki tanggung jawab politik dalam mengamankan kemerdekaan Turki. Muktamar juga berhasil mengambil berbagai keputusan. Satu di antaranya memilih Komite Pelaksana dan Mushthafa Kamal ditunjuk sebagai pemimpin komite. Tidak berapa lama muktamar mengirimkan mosi peringatan kepada penguasa. Isi mosi menuntut Perdana Mentri Farid diturunkan dari jabatannya dan melangsungkan pemilihan parlemen baru yang bebas. Di bawah tekanan muktamar, sultan dipaksa tunduk untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya sampai akhirnya sultan menurunkan perdana mentri dan mengangkat 'Ali Ridha menggantikan kedudukan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Farid. Sultan juga memerintahkan perdana mentri baru (Ali Ridha) untuk mengadakan pemilihan anggota parlemen baru yang sebagian besar tunduk pada para peserta muktamar. Mereka sukses menyusun parlemen baru.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Akibat dari kesuksesan ini berhasil memboyong muktamar dan para anggotanya ke Angkara. Semenjak itu, Angkara menjadi pusat kegiatan politik. Anggota muktamar mengadakan perkumpulan di Angkara. Agendanya mengusulkan parlemen agar berkumpul di Istambul dan setelah itu membubarkan muktamar yang anggotanya telah resmi menjadi anggota parlemen. Akan tetapi, Mushthafa menentang dua pikiran ini dan mengatakan, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Muktamar harus dilanjutkan hingga keberpihakan parlemen pada keadilan menjadi jelas dan politiknya juga jelas. Mengenai kepindahan parlemen ke ibukota tidak lain merupakan tindakan dungu yang gila. Kalian seandainya melakukannya, niscaya kalian menjadi manusia di bawah belas kasihan musuh yang asing. Inggris akan selalu mengontrol daulah dan kekuasaan akan memasuki urusan kalian dan mungkin akan menahan kalian. Kalau begitu parlemen harus tetap diadakan di sini! Di Angkara! Agar kemandiriannya tetap terjaga."</i> Dengan total, Mushthafa Kamal terus-menerus memaksakan idenya, akan tetapi tidak berhasil mengangkat anggota dewan yang akan mengadakan sidang parlemen di Angkara. Anggota dewan justru pergi ke ibukota (Istambul) dan mengatakan pada khalifah tentang dukungan mereka terhadapnya. Kemudian mereka bekerja menekuni tugas mereka masing-masing. Demikian itu terjadi di bulan Januari tahun 1920 M.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Akan tetapi, sultan justru berusaha memenuhi kehendaknya agar anggota dewan melaksanakannya, namun mereka menolak dan menampakkan kekukuhan memegang hak-hak negara. Ketika tekanan sultan terhadap mereka mengeras, mereka malah menyebarkan opini umum tentang deklarasi kebangsaan yang telah ditetapkan muktamar, di Swis. Deklarasi ini mencakup syarat-syarat penerimaan perdamaian berdasarkan asas deklarasi. Dan, yang paling penting, agenda menjadikan Turki merdeka masuk dalam ketetapan Deklarasi Swis. Tentu keputusan ini menyenangkan Sekutu, apalagi Inggris. Karena keputusan inilah yang sebenarnya mereka upayakan, di samping upaya lain dengan menggiring penduduk daulah mengeluarkan keputusan yang sama. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Menilik dari indikasi-indikasi ini, dapat diketahui bahwa semua negeri yang diperintah Daulah 'Utsmani yang notabene Negara Islam pasca-Perang Dunia I membuat konsensus kebangsaan yang mengandung satu komitmen saja, yaitu memerdekakan diri sebagai negara merdeka yang berdiri sendiri dan terpisah dari Daulah 'Utsmani. Konsensus ini persis dengan yang dikehendaki Sekutu. Iraq membuat deklarasi kebangsaan. Agendanya mewujudkan Negara Iraq merdeka. Siria membuat piagam kebangsaan. Targetnya memerdekakan Siria menjadi Negara Siria yang berdiri sendiri. Begitu juga Palestina, Mesir, dan negeri-negeri Islam lainnya. Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan Sekutu, apalagi Inggris. Lebih-lebih dengan adanya deklarasi kebangsaan Turki. Gerakan-gerakan kebangsaan itu sesuai dengan apa yang dikehendaki mereka (Sekutu dan Ingris). Kebijakan global mereka adalah memecah-belah Daulah 'Utsmani dan membagi-baginya menjadi beberapa negara hingga tidak kembali menjadi satu negara yang kuat yang menjalankan pemerintahan negara kaum muslimin. Seandainya tidak ada deklarasi dan perjanjian ini yang disukseskan oleh Sekutu dengan ketetapannya dalam semua wilayah daulah, niscaya persoalannya akan menjadi lain. Demikian itu karena Daulah 'Utsmani adalah negara satu dan semua wilayahnya dihitung menjadi bagian darinya. Semuanya berjalan di atas sistem yang satu, bukan federal. Dalam Negara Islam tidak ada perbedaan antara Hijaz dan Turki. Juga tidak ada perbedaan antara panji-panji Quds dan Iskandarunah. Karena semuanya satu negara. Dalam kasus persekutuan antara Turki-Jerman, menyerang Turki samahalnya menyerang Jerman. Persamaannya sebanding karena keduanya bersekutu dalam peperangan. Syarat-syarat perdamaian yang ditetapkan pada salah satu di antara keduanya (Ottoman dan Jerman) juga berlaku pada yang lain. Jika penduduk Jerman tidak menyia-nyiakan atau menceraiberaikan negaranya meski hanya sejengkal tanahnya juga tidak memutus hubungan, maka demikian juga keadaan yang seharusnya ada di Daulah 'Utsmani tidak boleh memutus hubungan. Sekutu mengetahui hal itu dan mereka telah mempertimbangkan dengan seribu pertimbangan. Namun, orang-orang 'Utsmani sendiri menuntut daulah mereka menjadi beberapa negara bagian yang berdiri sendiri.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Bangsa Arab maupun Turki sama-sama menghendaki demikian. Maka, adakah yang paling cepat disambut dan didorong oleh Sekutu melebihi fakta demikian ini, apalagi tuntutan pelepasan negeri-negeri juga muncul dari pusat daulah (Turki) sendiri. Lebih-lebih Turki yang memegang peran paling banyak dalam menjalankan pemerintahan daulah juga berusaha menjadikan Negara Turki Merdeka.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Karena itu, Sekutu menyimpulkan komite perjanjian kebangsaan Turki adalah kemenangan terakhir bagi mereka. Dengan alasan adanya pengaruh penyebaran<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>perjanjian kebangsaan, maka Sekutu membiarkan Turki bebas melakukan perlawanan. Dari setiap tempat, mereka menyeret Turki. Sementara kekuatan Inggris dan Perancis menyeret dari dalam dan memompa semangat kebangsaan Turki sehingga menjadi semakin kuat. Di dalam negeri timbul gerakan perlawanan yang menentang musuh (Sekutu) di mana gerakan itu berbalik menjadi revolusi menentang sultan. Itulah yang memaksa sultan menyiapkan pasukan dan mengirimkannya dengan serangan dan perlawanan yang kuat. Semua orang bergabung dengan sultan kecuali Angkara yang memang menjadi pusat revolusi. Angkara sendiri hampir-hampir jatuh. Semua desa yang mengepungnya bergabung menjadi satu di bawah bendera sultan dan berpihak pada pasukan khalifah. Mushthafa Kamal dan para pengikutnya di Angkara berada dalam kondisi yang sangat kritis dan terpuruk. Meski demikian, Mushthafa Kamal tetap melakukan perlawanan. Dia membakar api semangat baru dalam sentuhan nasionalis Turki. Upaya Mushthafa Kamal berhasil. Tekad dan semangat nasionalis mereka berkobar kembali. Di berbagai wilayah dan desa-desa Turki tersebar berita tentang keberhasilan Inggris menduduki ibukota, banyak kaum nasionalis yang ditawan, rumah-rumah parlemen ditutup dengan paksa, sementara bantuan atau dukungan sultan dan pemerintahannya terhadap mereka macet. Keadaan menjadi berubah. Orang-orang berpaling dari sultan. Opini umum digiring untuk mendukung kaum nasionalis di Angkara. Kaum pria dan wanita berbondong-bondong mendatangi Angkara untuk berjuang mempertahankan Turki. Banyak pasukan khalifah yang lari dan bergabung dengan pasukan Mushthafa Kamal yang telah menjadi pusat pandangan Turki dan figur yang mengikat cita-cita kebangsaan Turki. Kelompoknya menjadi kuat. Kebanyakan negara dan wilayah-wilayah daulah di dalam genggamannya. Melihat kondisi yang menguntungkan pihaknya, Mushthafa Kamal mengeluarkan selebaran-selebaran yang mengajak untuk memilih Komite Kebangsaan yang kedudukannya di Angkara. Pemilihan berhasil dilaksanakan dan anggota-anggota dewan yang baru juga berhasil dikumpulkan. Mereka (para anggota dewan) mendeklarasikan diri sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-Jam'iyyah al-Wathaniyyah al-Kubraa</i> (komite kebangsaan besar). Bahkan, mereka juga menyatakan bahwa mereka adalah pemerintahan yang sah, kemudian memilih Mushthafa Kamal menjadi pemimpin komite.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Angkara menjadi pusat pemerintahan kebangsaan. Semua unsur kebangsaan Turki bergabung dan memusat di Angkara. Mushthafa Kamal berdiri tegak. Dengan halus, dia melanjutkan operasinya, melumatkan sisa-sisa pasukan khalifah, dan menghentikan perang saudara. Kemudian dia mencurahkan perhatian untuk memerangi dan mengacaukan Yunani dalam pertempuran-pertempuran berdarah. Pada mulanya kemenangan berpihak pada Sekutu. Kemudian persoalan-persoalan berubah dan neraca Mushthafa Kamal lebih berat. Bulan Agustus 1921 sampai masa yang menguntungkan, Mushthafa Kamal berhasil berdiri tegak. Dengan sekali hantaman kilat, dia mampu mengakhiri pertempuran dengan kemenangannya terhadap Yunani yang telah menduduki Izmir dan sebagian pantai Turki. Di awal-awal September 1921<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Mushthafa Kamal mengirim delegasi ke 'Ashamta untuk menemui Harnajitun guna mengadakan kesepakatan pemecahbelahan wilayah khilafah. Di sana Sekutu sepakat untuk mengusir Yunani dari Turis, Konstantinupel, dan Turki dan menawannya. Dari urutan langkah-langkah Mushthafa Kamal dapat dilihat bahwa kesepakatan Sekutu merupakan bentuk sambutan menerima Mushthafa Kamal untuk segera menghabisi pemerintahan Islam. Karena itu, tidak aneh jika Anda menemukan indikasinya, yaitu ketika komite kebangsaan mendebatnya tentang masalah Turki setelah kemenangan-kemenangan yang dijaganya, Mushthafa Kamal justru berpidato dengan mengatakan, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Saya bukanlah seorang mukmin yang terikat dengan liga (pengikut kelompok) negara-negara Islam, tidak juga hingga dengan kelompok bangsa-bangsa 'Utsmani. Masing-masing orang dari kita mempercayai pendapat yang dilihatnya. Pemerintah harus meyakini (memegang teguh) politik yang kokoh yang disusun dan dibangun di atas sejumlah nilai esensiil yang memiliki tujuan satu dan tunggal. Politik itu untuk menjaga kehidupan kebangsaan. Wilayah independennya masuk dalam bingkai batas-batasnya yang bersifat geografis. Maka, tidak ada sentimen rasa (iman) dan tidak pula angan-angan (kekhilafahan) yang harus berpengaruh dalam politik kita. Kita harus menjauhkan mimpi dan khayalan. Di masa lalu hal itu telah membebani kita dengan ongkos yang mahal."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah yang dikehendaki Mushthafa Kamal (Inggris dan Sekutu). Dia mengumumkan bahwa dirinya menghendaki kemerdekaan Turki dengan sifat kebangsaan Turki, bukan umat Islam. Sebagian anggota dewan dan para politisi menuntut kepadanya untuk menjelaskan pendapatnya tentang hal-hal yang menjadi kewajibannya membentuk pemerintahan baru di Turki. Tentu tidak masuk akal jika Turki memiliki dua pemerintahan sebagaimana yang ditetapkan ketika itu, yaitu pemerintahan yang ditentukan batas waktunya dan memiliki kekuasaan yang kedudukannya di Angkara dan pemerintahan resmi di ibukota (Istambul) yang dikepalai oleh sultan dan para mentrinya. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> politisi mendesak terus meminta penjelasan pendapat Mushthafa Kamal tentang kebijakan ini, namun dia tidak menjawabnya dan menyembunyikan niatnya. Akibatnya, opini umum berkobar dan menyudutkan Khalifah Wahiduddin sebab dia membantu Inggris dan Yunani hingga kemarahan bangsa berkobar dan menyerang khalifah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Di tengah-tengah iklim politik yang memanas dan rasa dendam pada sultan, kelompok Komite Kebangsaan menjelaskan garis kebijakannya tentang persoalan sultan dan pemerintahan. Mushthafa Kamal tahu bahwa dirinya mampu mengangkat (memuaskan) anggota dewan dengan melepaskan Wahiduddin dan menghapus kesultanan. Akan tetapi, dia tidak berani berlaku gegabah dengan menyerang khilafah. Sebab hal itu dengan sendirinya akan menyentuh perasaan keislaman seluruh bangsa. Karena itu, dia tidak menghapus khilafah dan tidak menentangnya. Hanya saja dia mengusulkan adanya aturan yang memisahkan antara kekuasaan dan khilafah, lalu dia menghapus kesultanan dan mencabut Wahiduddin dari kekuasaan (bukan lembaga khilafah). Apa yang didengar anggota dewan mengenai usulan ini membuat mereka diam memberengut. Mereka mulai menyadari bahaya usulan ini yang dibebankan oleh Mushthafa Kamal kepada mereka agar menetapkannya. Mereka bermaksud mendiskusikan dan menyanggah usulan. Namun, Mushthafa Kamal takut akan akibat diskusi ini. Maka, dia mendesak dewan agar mengambil ide yang diusulkannya. Untuk mengegolkan usulannya, Mushthafa Kamal memperkuatnya dengan 80 anggota dewan dari para pendukung setianya. Akan tetapi, majelis tetap menolaknya dan menyerahkan atau memandatkan usulan itu kepada Komite Perundang-undangan agar membahasnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ketika Komite mengadakan rapat di hari berikutnya, Mushthafa Kamal juga menghadiri majelis yang menjadi tempat berkumpul anggota Komite. Dia duduk sambil mengawasi aksi-aksi para anggota Komite. Akhirnya, perdebatan tentang usulan Mushthafa Kamal tidak bisa dihindari, bahkan terus berlangsung hingga beberapa waktu. Sejumlah anggota majelis dari kalangan para ulama dan pembela kebenaran menentang usulan ini. Mereka memberi argumen-argumen kuat dengan didasarkan pada nash-nash syar'i. Menurut mereka, usulan Mushthafa Kamal bertentangan dengan syara' karena di dalam Islam tidak ditemukan kekuasaan agama, kekuasaan lainnya, dan kekuasaan dunia. Kesultanan dan khilafah adalah sesuatu yang satu. Di <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">sana</st1:place></st1:city> tidak ditemukan sesuatu yang dinamakan agama dan lainnya dinamakan daulah. Bahkan, dalam sistem ini, ada sistem Islam dan daulah dikatagorikan bagian dari sistem ini. Daulahlah yang menjalankan sistem ini. Karena itu, Komite Perundang-undangan tidak menemukan alasan apapun yang membenarkan pemisahan ini, bahkan tidak menemukan kebenaran bahasan. Nash-nash Islam sangat jelas menerangkan persoalan ini. Karena itu, Komite menolak usulan ini. Akan tetapi, Mushthafa Kamal berpikiran lain. Dia sudah bertekad akan memisahkan agama dari negara (Daulah Islam). Caranya dengan memisahkan kesultanan dari khilafah. Ini merupakan langkah awalnya untuk menghapus khilafah, di samping sebagai pelaksana peran yang telah disiapkan oleh Inggris untuk menghabisi Daulah Khilafah dan sebagai bentuk pemenuhan tuntutan Sekutu kepadanya hingga mereka berhasil mengakhiri riwayat Daulah Islam melalui tangan rakyatnya sendiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Melihat perdebatan-perdebatan Komite dan arah pembicaraannya yang menggores syaraf-syarafnya, maka Mushthafa Kamal spontan meloncat berdiri. Dia kemudian melangkah ke depan lalu mengambil tempat. Dia duduk dalam keadaan sangat marah, lalu memutus perdebatan Komite dengan berteriak keras: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Hai Tuan-tuan! Kesultanan 'Utsmani telah merampas kepemimpinan bangsa dan kekuatan yang diyakini bangsa yang hendak menuntut kembali dari sultan. Kesultanan merampasnya dengan kekuatan. Kesultanan harus dipisahkan dari khilafah dan dibatalkan! Baik kalian setuju atau tidak, hal itu pasti akan terjadi! Setiap persoalan yang terdapat dalam urusan ini pasti akan menjatuhkan sebagian kepala kalian dalam lipatan itu."</i> Dia berkata dengan bahasa seorang diktator. Dia memecah perkumpulan Komite, kemudian seketika itu Komite Kebangsaan dipanggil agar membahas usulannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ditilik dari arah diskusinya, tampak jelas bagi Mushthafa Kamal bahwa arah opini Komite yang menonjol condong pada pembatalan usulannya. Tanda-tanda ini mendorong para pendukungnya berkumpul di seputarnya dan meminta dewan memberikan pendapat tentang usulan Mushthafa Kamal dengan cara mengangkat tangan. Akan tetapi, anggota dewan tidak setuju dan memprotes cara ini seraya berkata, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Jika harus memberi pendapat, maka harus diserukan dengan nama."</i> Namun, Mushthafa Kamal menolaknya. Dengan suara mengancam, dia berteriak keras, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Aku setuju dengan majelis yang menerima usulan dengan kesepakatan pendapat. Pengambilan suara cukup dengan mengangkat tangan."</i> Usulan pun dilontarkan untuk meminta suara dan tidak ada yang mengangkat kecuali sedikit tangan. Akan tetapi, anehnya, hasil akhir tetap memutuskan bahwa majelis telah mengesahkan usulan Mushthafa Kamal dengan suara bulat. Anggota dewan bingung. Mereka<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tidak bisa menerima dagelan ini.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sebagian mereka meloncat ke atas tempat duduk dengan berteriak lantang, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Keputusan ini tidak sah dan kami tidak setuju!"</i> <st1:place w:st="on">Para</st1:place> pendukung al-Ghaziy (Mushthafa Kamal) ganti berteriak mendiamkan mereka. Maka suasana sidang menjadi kacau. Mereka saling mengecam dan menuduh. Sementara pemimpin dewan mengumumkan sekali lagi "hasil akhir sidang" dengan menyatakan bahwa Komite Kebangsaan Besar Turki (al-Jam'iyyatu al-Wathaniyyah al-Kubraa) memutuskan dengan "suara bulat" bahwa kesultanan dihapus (dipisahkan dari lembaga khilafah). Kemudian pecahlah majelis. Mushthafa segera meninggalkan ruangan yang diiringi para pengikutnya. Ketika Khalifah Wahiduddin mengetahui hal itu, dia lari dengan ketakutan. Pengaruh "keputusan dewan" yang diumumkan membuatnya lari. Dan, kekosongan kekhilafahan ini harus segera diisi. Maka, saudaranya, Abdul Majid dipanggil dan didaulat menjadi khalifah kaum muslimin yang kosong dari semua kekuasaan [karena keputusan dewan]. Dengan sebab itu, dia menjadi khalifah tanpa kekuasaan. Daulah terus-menerus tanpa penguasa yang syar'i.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Jika kesultanan atau kekuasaan dipisahkan dari khilafah, maka siapakah yang menerapkan hukum dan menjalankan pemeritahan? Mushthafa Kamal sangat berambisi untuk memisahkan kesultanan dari khilafah. Dia sudah merencanakannya lebih dulu sebelum menentukan bentuk pemerintahan yang akan menggantikan kekhilafahan. Kekhilafahan akan diubah menjadi Pemerintahan Turki. Karena itu, dia menentukan bentuk pemerintahan baru setelah menghapus (memisahkan) kesultanan. Apakah Mushthafa Kamal akan menyusun parlemen ketika masih menjadi kepala pemerintahan bidang perundang-undangan, sementara khalifah masih "memiliki" kekuasaan (pengaruh, bukan wewenang formal) karena penghapusan [kekuasaan] dianggapnya tidak memiliki pengaruh (tidak sah)? Khalifah tidak menerima Mushthafa Kamal yang hendak menyusun parlemen. Namun, Mushthafa Kamal menyembunyikan apa yang menjadi tekadnya. Kemudian dia melanjutkan operasinya dengan dukungan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya, dan menjalankan pemerintahan melalui jalur kebangsaan. Dia membentuk partai yang dinamakan Partai Kebangsaan. Tujuannya adalah untuk mengambil opini umum menjadi milikya. Meski langkah-langkahnya sudah sedemikian jauh, Mushthafa Kamal tidak bisa memungkiri bahwa suara mayoritas di Komite adalah lawannya setelah dia mengumumkan dengan paksa pemisahan kesultanan dari khilafah. Karena itu, dia perlu mengambil inisiatif untuk diumumkan tentang bentuk pemerintahan yang ditetapkannya, yaitu Pemerintahan Republik Turki dan memproklamirkan dirinya sebagai presidennya. Kemudian Mushthafa Kamal bekerja keras untuk menjerumuskan Komite dalam berbagai kemelut berdarah sehingga dia punya alasan untuk meminta pembatalan parlemen (parlemen lama) yang menjalankan pemerintahan dan mengajukan pembatalannya pada Komite Kebangsaan. Komite tidak menemukan orang yang pas untuk menguasai parlemen. Setelah kemelut memuncak, dia usul pada komite agar Mushthafa Kamal menguasai parlemen. Komite pun menerimanya karena keadaannya memang sangat genting dan Mushthafa Kamal dipercaya untuk mengatasinya. Komite meminta Mushthafa Kamal menguasai (memerintah) parlemen dan menyelesaikan krisis. Pada mulanya, dia menampakkan kesulitan, kemudian menjawab permintaan, lalu naik ke pelaminan dan berkata kepada anggota dewan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Kalian telah mengirimkan utusan untuk memintaku agar menyelamatkan keadaan dalam benaman krisis yang susul-menyusul. Akan tetapi, krisis ini akibat perbuatan kalian. Tidaklah tempat pertumbuhan krisis ini adalah persoalan yang lewat saja (sepele), tetapi telah meninggalkan garis kebijakan yang mendasar dalam sistem pemerintahan kita. Maka dari itu, Komite Kebangsaan menjalankan fungsi kekuasaan merumuskan hukum dan undang-undang serta kekuasaan pelaksana dalam satu waktu. Setiap dewan dari kalian harus bersekutu dalam mengeluarkan setiap keputusan dengan mentriku dan menyusupkan jari-jarinya dalam tiap birokrasi pemerintahan. Setiap keputusan milik mentri. Hai Tuan-tuan, tidaklah seorang mentri (pejabat tinggi dalam pemerintahan khilafah) mampu memikul tanggung jawab dan menerima kedudukan dalam kondisi seperti ini? Kalian harus menyadari bahwa pemerintahan yang berdiri di atas asas ini adalah pemerintahan yang mustahil mampu mewujudkannya. Jika dijumpai pemerintahan seperti itu, maka itu bukanlah pemerintahan, bahkan merupakan kekacauan. Kita wajib mengubah kebijakan ini. Karena itu, aku memutuskan Turki menjadi Republik yang memiliki seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum."</i> Setelah menyelesaikan pidatonya, dia mengumumkan rumusan yang dijanjikan sebelumnya, yaitu mengubah Negara Islam menjadi Republik Turki dan Mushthafa Kamal dipilih menjadi presiden Turki pertama. Dengan demikian, dia mengangkat dirinya menjadi penguasa hukum undang-undang negara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Akan tetapi, persoalannya tidak segampang sebagaimana yang dikehendaki Mushthafa Kamal. Bangsa Turki adalah bangsa muslim. Apa yang dilakukan Mushthafa Kamal adalah bentuk penentangan terhadap Islam. Negara didominasi pemikiran yang menyatakan bahwa Mushthafa Kamal bertekad menghabisi Islam. Pemikiran ini diperkuat dengan perilaku-perilaku Mushthafa Kamal sendiri yang jelas-jelas mengingkari dan melanggar Islam di sepanjang hidupnya, khususnya dalam menentang semua hukum syara'. Dia juga sering menampakkan pelecehan atau merendahkan setiap keputusan suci atau hukum yang berlaku di tengah kehidupan kaum muslimin. Mayoritas umat yakin bahwa Pemerintahan Angkara yang bertanah keras adalah pemerintahan kufur yang bertanah tandus. Masyarakat akhirnya bergabung di seputar Khalifah Abdul Majid dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaan kepadanya dan menjadikannya penguasa yang akan menghukum kaum murtad. Mushthafa Kamal mengetahui bahaya yang mulai membesar. Dia juga melihat bahwa mayoritas rakyat membencinya dan mempersepsikannya sebagai seorang zindiq, kafir, dan ateis. Mushthafa Kamal berpikir keras tentang persoalan ini. Akhirnya, dia memantapkan langkahnya dengan meningkatkan aktifitas propaganda menentang khalifah dan khilafah. Di setiap tempat dan kesempatan, dia membakar gelora semangat Komite Kebangsaan hingga Undang-undang Pemberantasan (subversif) semakin dipertajam dengan menyatakan bahwa setiap penentang Republik dan setiap dukungan terhadap sultan dicap sebagai pengkhianat yang diancam hukuman mati. Kemudian dalam setiap mejelis pertemuan, apalagi dalam Komite Kebangsaan (Dewan Nasional), Mushthafa Kamal membahas, memperbincangkan, dan mengumumkan bahaya khilafah.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Lebih jauh, Mushthafa Kamal menyiapkan iklim yang mendorong penghapusan khilafah. Sebagian anggota dewan membicarakan manfaat khilafah bagi Turki dari sisi diplomasi. Akan tetapi, Mushthafa Kamal menentang mereka dan berkata pada Komite Nasional: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Tidakkah sebab khilafah, Islam, dan tokoh-tokoh agama, khalifah memerangi orang-orang desa Turki dan mereka mati selama <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">lima</st1:place></st1:city> abad? Sekarang ini Turki baru melihat kepentingannya dan tidak menghiraukan India dan Arab, serta melaksanakan pemerintahan sendiri dan bebas dari penguasaan kaum muslimin."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah langkah-langkah Mushthafa Kamal. Dia menjalankan aksinya dalam propaganda-propaganda menentang khilafah dengan menjelaskan bahaya-bahayanya bagi Turki, sebagaimana menjelaskan bahaya-bahaya khalifah terhadap dirinya. Dia menggambarkan khalifah dan para pendukungnya dengan gambaran yang tidak jujur dan menampakkan gambar mereka dengan penampakan yang dibuat-buat Inggris. Tidak cukup dengan itu saja. Bahkan, dia juga menciptakan gelombang ketakutan yang menentang orang-orang yang mendukung khilafah. Seorang anggota dewan meneriakkan keberpihakannya pada khilafah dengan keras. Dia dengan tegas<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>menunjukkan pembelaannya pada agama. Melihat penentangan ini, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Mushthafa Kamal kecuali menugaskan seseorang secara rahasia untuk membunuh anggota dewan itu di malam hari. Dengan segera,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>petugas rahasia dari geng Mushthafa Kamal membunuh anggota dewan tersebut di tengah perjalanan pulang ke rumahnya dari pertemuan Komite Nasional. Seorang anggota dewan lain menyampaikan orasi Islam, lalu Mushthafa Kamal mendatanginya dan mengancamnya dengan hukuman gantung jika dia masih membuka mulutnya sekali lagi. Seperti demikianlah cara-cara yang dilakukan Mushthafa Kamal. Dia menebarkan ketakutan si sepanjang daulah. Dia juga menugaskan seorang hakim Istambul untuk melakukan kewajiban menghapus panji-panji kebesaran yang mengitari arak-arakan khalifah di tengah-tengah melaksanakan shalat Jumat. Akibatnya, derajat khalifah turun hingga ke batas yang paling rendah. Mushthafa Kamal juga mengingatkan dengan keras kepada para pengikut khalifah supaya melepaskan diri darinya. Peringatannya wajib dilaksanakan. Memperhatikan perkembangan ini, sebagian golongan moderat dari para pendukung Mushthafa Kamal yang masih memiliki semangat Islam mengkhawatirkan terhapusnya khilafah. Maka, mereka meminta Mushthafa Kamal untuk mendudukkan dirinya menjadi khalifah kaum muslimin. Namun, Mushthafa Kamal tidak menerimanya. Kemudian dua orang utusan yang masing-masing dari Mesir dan <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">India</st1:place></st1:country-region> mendatangi Mushthafa Kamal. Keduanya juga meminta Mushthafa Kamal mengangkat dirinya menjadi khalifah. Harapan ini berulang-ulang disampaikan, tetapi Mushthafa Kamal menolaknya, bahkan dia telah menyiapkan pukulan yang mematikan dengan mengumumkan penghapusan khilafah. Di udara, di tengah kehidupan bangsa, di tengah pasukan, dan di tengah Komite Naional, dia membangkitkan kemarahan dan kemurkaan terhadap pihak-pihak asing, musuh, dan sekutu khalifah. Upaya membangkitkan kemarahan terhadap asing ini merupakan tipuan untuk memanipulasi tujuan yang di antaranya menghubungkan dugaan negatif terhadap khalifah yang dipersepsikan sebagai sekutu asing sehingga pengaitan rekayasa ini akan membangkitkan kemarahan rakyat pada khalifah. Mushthafa Kamal juga mencemarkan udara dengan isu-isu yang mampu membangkitkan perlawanan terhadap khalifah. Ketika iklim yang sudah panas ini menguasai daulah, maka Mushthafa Kamal maju selangkah lebih berani. Pada tanggal 3 Maret 1924 M Mushthafa mengadakan sidang Komite Nasional dengan rumusan yang sudah ditetapkan, yaitu memutuskan penghapusan khilafah, membuang khalifah, dan memisahkan agama dari negara. Di antara pidato yang disampaikan pada anggota dewan ketika menetapkan rumusan ini adalah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dengan harga apa yang harus dibayar untuk menjaga Republik yang terancam ini dan menjadikannya berdiri kokoh di atas prinsip ilmiah yang kuat? Jawabnya khalifah dan semua keturunan keluarga 'Utsman harus pergi [dari Turki], pengadilan agama yang kuno dan undang-undangnya harus diganti dengan pengadilan dan undang-undang moderen, sekolah-sekolah kaum agamawan harus disterilkan tempatnya untuk dijadikan tempat sekolah-sekolah pemerintahan yang non-agama."</i> Kemudian dia menyerang agama dan orang-orang yang dinamakan kaum agamawan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Dengan kekuatan diktator, Mushthafa Kamal menetapkan rumusan ini melalui Komite Nasional. Keputusan ditetapkan tanpa melalui diskusi. Kemudian dia mengirim instruksi kepada hakim Istambul agar memutuskan hukuman buang bagi Khalifah Abdul Majid. Khalifah harus meninggalkan Turki sebelum fajar sehari setelah dikeluarkan keputusan ini. Hakim, sejumlah polisi yang menyertainya, dan militer berangkat ke istana khalifah di tengah malam dan mereka memaksanya mengendarai mobil lalu menuntunnya keluar perbatasan Turki. Mereka sama sekali tidak memberikan toleransi dan belas-kasihan kepadanya sedikit pun secuali hanya diperbolehkan membawa sekoper yang berisi beberapa lembar pakaian dan sedikit uang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Seperti demikianlah hantaman Mushthafa Kamal terhadap Negara Islam dan sistem Islam. Dia kemudian mendirikan negara kapitalis dan sistem kapitalis. Dengan demikian, dia telah menghabisi Negara Islam dan mewujudkan mimpi kaum kafir yang dia bersendagurau dengan mereka semenjak Perang Salib. Ingatlah, dialah yang menghancurkan Negara Islam!<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">PENGUBAHAN DENGAN </span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">TANPA MENDIRIKAN NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perang Dunia I berakhir dan Sekutu berhasil menguasai hampir semua wilayah Negara Islam. Cita-cita mereka adalah menghabisi daulah secara tuntas dan memecah belahnya menjadi beberapa negara kecil sehingga tidak mampu lagi berdiri sebagai Negara Islam. Untuk menghabisinya secara total, mereka harus memecah-belahnya lebih dulu tanpa memberi kesempatan untuk mendirikan Negara Islam di belahan bumi Islam manapun. Mereka telah meletakkan garis kebijakan global dan menggunakan berbagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">uslub</i> yang menjamin tidak adanya kemungkinan kembalinya Negara Islam hidup kembali. Mereka terus-menerus melakukannya untuk tujuan ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Semenjak kafir penjajah menduduki wilayah negara kaum muslimin, mereka memantapkan kekuasaan dengan mengokohkan hukum di atas landasan rumusan mereka. Pada tahun 1918 mereka berhasil menduduki negeri yang telah lama di bawah hukum Negara Islam dan di atasnya ditegakkan hukum-hukum militer hingga tahun 1922. Lalu mereka memusatkan pemerintahannya dengan nama Pemerintahan Dominion pada sebagian negara dan dengan nama kemerdekaan yang diperoleh sendiri pada sebagian negara yang lain hingga datang tahun 1924 M. Pada tahun itu musuh, apalagi Inggris telah mempersiapkan berbagai sarana perlawanan terhadap semua yang diduga akan menjadi kekuatan untuk mengembalikan Negara Islam. Pada tahun itu Mushthafa Kamal menghapus khilafah dari Daulah 'Utsmani dengan pengaruh kafir penjajah dan menjadikan Turki Negara Republik Demokrat. Mushthafa Kamal membelah khilafah hingga menumpas habis angan-angan terakhir yang menghendaki pengembalian Negara Islam. Di tengah tahun itu, Husin bin Ali keluar dari Hijaz dan ditawan di Qabrus karena sangat menginginkan pengembalian khilafah. Pada tahun itu pula, melalui antek-anteknya,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Inggris menyusup ke dalam muktamar khilafah yang diadakan di Kairo. Mereka berusaha memecah-belah dan menghancurkannya. Pada tahun itu pula Inggris bekerja keras untuk menghapus <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jam'iyyah Khilafah</i> (komite yang memperjuangkan khilafah) di India, membatalkan usaha-usahanya, dan mengubah serta mengalihkan aliran-alirannya ke paham nasionalis dan kebangsaan. Pada tahun itu pula di Mesir diterbitkan sejumlah karangan dari sejumlah ulama Al-Azhar dengan pengaruh kafir penjajah yang isinya mengajak umat untuk memisahkan agama dari negara, dan mendakwakan bahwa di dalam Islam tidak ada dasar-dasar pemerintahan serta menggambarkan Islam sebagai agama kependetaan. Dalam Islam, sedikitpun tidak ditemukan konsep tentang pemerintahan dan negara. Pada tahun itu pula dan tahun-tahun berikutnya, di negeri-negeri Arab terjadi perdebatan-perdebatan seputar dua tema, yaitu (i) apakah Universitas Arab lebih patut dan lebih banyak memberi kemungkinan ataukah Universitas Islam. Berbagai <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">surat</st1:place></st1:city> kabar dan majalah sibuk memperbincangkan tema-tema itu, padahal kedua-duanya, apakah Universitas Arab ataukah Universitas Islam sama-sama tidak sesuai (tidak baik) dengan Islam. Esensi gerakanya hanya berusaha mengadakan perubahan tanpa mendirikan Negara Islam. Akan tetapi, bagi kafir penjajah, perdebatan ini mengandung kepentingannya lain, yaitu untuk mengalihkan opini umat dari Negara Islam. Dengan diskusi-diskusi ini, mereka mampu menjauhkan umat dari opini tentang khilafah dan Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sebelum menjajah, kafir penjajah sudah menyiarkan idiom-idiom nasionalis Turki ke tengah kawula muda Turki. Dalam agitasi itu dipropagandakan bahwa Turki memikul beban berat bangsa-bangsa yang bukan Turki, Turki sekarang harus membebaskan diri dari bangsa-bangsa yang bukan Turki, dan Turki harus menyusun partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan nasionalis Turki dan membebaskan Turki dari negeri yang bukan Turki. Begitu juga di kalangan para pemuda Arab, slogan-slogan tentang Nasionalis Arab juga disebarluaskan oleh kafir penjajah, seperti: Turki adalah negara penjajah! Sekaranglah saatnya bagi bangsa Arab untuk membebaskan diri dari penjajahan Turki! Kemudian dengan slogan-slogan itu mereka membentuk partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan persatuan Arab dan membebaskan Arab. Penjajahan tidak akan datang sampai kafir penjajah berhasil menyebarkan slogan-slogan nasionalis dan menjadikannya semangat perjuangan yang menempati posisi yang sebelumnya ditempati Islam. Turki dimerdekakan atas dasar kebangsaan dan nasionalis. Bangsa Arab juga bekerja untuk pemerintahan yang berdiri di atas dasar kebangsaan dan nasionalis. Kata-kata nasionalis dan kebangsaan menyebar dan memenuhi iklim dunia Islam. Kata-kata itu akhirnya menjadi tumpuan kebanggaan dan label kemuliaan. Upaya penjajah tidak cukup dengan ini saja, bahkan mereka juga menyebarkan pemahaman-pemahaman yang salah tentang pemerintahan dalam Islam, tentang Islam sendiri, dan gambaran khilafah yang dinyatakan sebagai jabatan kepausan dan bentuk pengejawantahan pemerintahan agama yang bersifat kependetaan (teokrasi). Sehingga, kaum muslimin sendiri akhirnya merasa malu menyebut kata khalifah dan orang yang menuntut kekhilafahan. Di tengah kaum muslimin juga sering dijumpai pemahaman umum yang menyatakan bahwa persoalan tuntutan khilafah adalah tuntutan kuno, terbelakang, dan jumud, yang tidak mungkin keluar dari orang yang berbudaya dan tidak mungkin pula dikatakan oleh pemikir.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Di tengah iklim kebangsaan dan nasionalis ini, Negara Islam dibagi-bagi menjadi beberapa negara dan menjadikan penduduk setiap negara berpusat dan berkelompok di negara di mana mereka tinggal. Daulah 'Utsmani dibagi menjadi beberapa negara yang di antaranya Turki, Mesir, Iraq, Siria, Libanon, Palestina, Timur Yordan, Hijaz, Najd, dan Yaman. Para aktifis politik yang menjadi antek-antek kafir penjajah mengadakan berbagai muktamar dan konggres di setiap negara di mana mereka tinggal. Mereka semua menuntut kemederkaan dari Turki (Daulah 'Utsmani). Tuntutan kemerdekaan di masing-masing negeri yang digariskan dalam muktamar ditetapkan menjadi negara yang berdiri sendiri dan terpisah dari negeri-negeri Islam lainnya. Maka, atas dasar ini berdirilah Negara Turki, Iraq, Mesir, Siria, dan seterusnya. Kemudian di Turki didirikan gerakan nasionalis kebangsaan Yahudi yang beberapa waktu kemudian berubah menjadi perjuangan kemerdekaan atas nama negara bangsa. Proyek ini diagendakan menjadi ujung jembatan bagi kepentingan kafir dan untuk menciptakan ganjalan yang menyibukkan kaum muslimin yang akhirnya menjadikan mereka lupa terhadap kafir penjajah, yaitu negara-negara Barat, seperti Inggris, Amerika, dan Perancis. Di samping itu, untuk menjadikan Israil sebagai salah satu penghalang yang akan memecahbelah negara-negara kaum muslimin sehingga mereka tidak mampu mengembalikan Negara Islam. Dengan demikian, posisi geografis dan iklim umum memusat menjadi satu titik perubahan tanpa ada pembebasan kaum muslimin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Mushthafa Kamal menegakkan pemerintahan dengan sistem kapitalis dalam perekonomian, sistem demokrasi dalam pemerintahan, dan undang-undang Barat dalam aturan birokrasi dan pengadilan. Dia juga menetapkan kebudayaan dan pemahaman-pemahamannya tentang kehidupan [sesuai dengan Barat]. Dia berusaha memusatkan arah pandangan kehidupannya hingga jalan hidupnya menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Mereka dituntut hidup di atas jalan itu. Kerja Mushthafa Kamal memperoleh kesuksesan hingga pada batas yang jauh. Dia menjadikan Mesir kesultanan kemudian menerapkan sistem kerajaan parlementer di dalamnya. Di Iraq dia juga menerapkan sistem kerajaan parlemen. Di Libanon dan Siria diberlakukan sistem republik. Di Timur Yordan ditegakkan sistem keemiratan dan di Palestina ditetapkan sistem pemerintah dominion yang berakhir dengan tegaknya sistem demokrasi parlemen yang mengikat antara Yahudi di bawah nama negara sendiri, dan menggabungkan sisa wilayahnya pada Timur Yordan dan menjadikannya kerajaan parlemen. Di Hijaz dan Yaman ditegakkan kerajaan lalim. Di Turki didirikan republik kepemimpinan. Di Afganistan ditegakkan kerajaan dinasti (pewarisan). Dia juga mendorong Iran memegang teguh sistem kekaisaran dan membiarkan India menjadi daerah jajahan, kemudian membaginya menjadi dua negara. Dengan strategi ini, kafir penjajah menjadikan sistemnya diterapkan oleh Mushthafa Kamal dalam negara kaum muslimin, dan dengan penerapannya akan melemahkan pikiran dan jiwa umat untuk mengembalikan pemerintahan Islam. Upaya Mushthafa Kamal tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan jiwa penduduk negara dikondisikan dalam suasana memiliki dan keharusan mempertahakan sistem yang ditegakkannya. Karena, penduduk tiap negeri dari negeri-negeri Daulah Islam mengatagorikan negeri mereka saja yang dihitung sebagai negara yang berdiri sendiri. Akibatnya, mereka (umat Islam) memahami keharusan memerdekakan negerinya dari negeri-negeri Islam lainnya. Maka tidak heran jika orang Iraq di Turki dianggap sebagai orang asing. Orang Siria di Mesir juga dihitung sebagai orang asing. Seperti demikianlah cara-cara para penguasa tiap negeri dalam menjaga pemahaman sistem kapitalis demokrasi. Penjagaan mereka terhadap sistem ini yang lebih banyak daripada penjagaan penduduknya. Mereka menjadi pegawai-pegawai dengan tugas memelihara sistem dan undang-undang yang dibentuk penjajah dan diberlakukan pada mereka. Setiap upaya mengubah sistem yang berlaku oleh mereka dikatagorikan sebagai gerakan yang inkonstitusional. Gerakan ini<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>akan dikenai sanksi oleh undang-undang penjajah yang diberlakukan pada mereka. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Mushthafa Kamal (atau kafir penjajah) menerapkan undang-undang Barat di negara kaum muslimin secara langsung setelah berusaha menerapkannya dengan melalui antek-anteknya. Semenjak paruh pertama abad 19 penjajah sudah berusaha memasukkan undang-undang Barat ke Negara Islam. Di Mesir diciptakan penjajahan yang mendorong memasukkan undang-undang sipil Perancis untuk menggantikan kedudukan hukum-hukum syara' dan upaya ini berhasil. Mesir semenjak tahun 1883 M mulai menerapkan undang-undang Perancis, juga menerjemahkan undang-undang Perancis lama dan menerapkannya sebagai undang-undang resmi negara. Maka, undang-undang Perancis menjadi undang-undang resmi negara yang menggantikan kedudukan undang-undang syara'. Undang-undang ini diterapkan di pengadilan-pengadilan Mesir. Di Daulah 'Utsmani semenjak tahun 1856<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dimulai gerakan untuk menjadikan undang-undang Barat sebagai undang-undang Turki. Pada mulanya gerakan ini tidak berjalan dengan mudah sebagaimana di Mesir karena masih adanya khilafah Islam dalam Daulah 'Utsmani. Akan tetapi, kaum kafir terus-menerus mendesak, mengkader, dan mendudukkan antek-antek mereka pada kedudukan mereka yang akhirnya antek-antek itu menerima masuknya undang-undang perpajakan, undang-undang hak, dan undang-undang perdagangan. Tekniknya<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dengan menjadikan fatwa-fatwa mereka yang dinyatakan sebagai fatwa yang tidak bertentangan dengan Islam. Kemudian kaum kafir memasukkan ide pembuatan undang-undang, menyusun majalah dari hukum-hukum syara' sebagai undang-undang, membagi mahkamah menjadi dua bagian yang dikatagorikan sebagai syara' yang dijalankan dengan hukum-hukum syara' atas dua bentuk undang-undang, dan sistem yang menerapkan hukum menurut undang-undang Barat yang oleh para ulama difatwakan sebagai undang-undang yang tidak bertentangan dengan Islam, juga sesuai dengan undang-undang syara' yang dipolakan mengekor pada undang-undang Barat. Ini persoalan intervensi kafir penjajah kaitannya dengan undang-undang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun kaitannya dengan Undang-undang Dasar, gerakan tentunya lebih difokuskan pada penciptaan UUD negara yang pembuatannya diambil dari UUD Perancis. Proses pembuatannya bersamaan dengan gerakan pengambilan undang-undang. Pada tahun 1878<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>gerakan ini hampir berhasil dengan baik. Karena kekuatan perlawanan kaum muslimin masih kuat, maka proses pembentukannya berhasil dipatahkan dan dibuatnya membeku. Akan tetapi, karena adanya kafir penjajah yang terus-menerus membuntutinya, juga adanya kesuksesan antek-anteknya, dan karena umat cenderung pada tsaqafahnya (tsaqafah kafir), maka gerakan pembuatan UUD memperoleh posisi yang memungkinkannya dimunculkan keluar pada kesempatan yang lain, diposisikannya sebagai kesuksesan tersendiri, dan pada tahun 1908 UUD diletakkan pada posisi yang menjadi medan aktifitas daulah. Dengan diletakkannya undang-undang dan UUD dalam posisi ini di Daulah 'Utsmani, maka hampir seluruh wilayah Daulah Islam kecuali Jazirah Arab dan Afganistan berjalan mengikuti arah undang-undang Barat. Selama kafir penjajah menduduki negara hingga negara itu berdiri dengan menerapkan seluruh undang-undang Barat secara langsung dengan menganggapnya sebagai undang-undang sipil, padahal esensinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam dan justru meninggalkan hukum-hukum syara', berarti negara telah menetapkan hukum atau pemerintahan kufur dan menjauhkan hukum atau pemerintahan Islam. Keberhasilan kafir penjajah itu masih<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>didukung dengan pemantapan pilar-pilarnya dan penegakan (pemecahan dan pembentukan) semua urusan di atas dasar <i style="mso-bidi-font-style: normal;">politik pengajaran</i> (sistem politik Barat yang diterapkan, dilegalkan, dan diwariskan dengan berbagai cara pengkaderan) yang dibakukan dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">manhaj</i> pendidikan yang diletakkan yang hal itu hingga saat ini masih terus diterapkan dalam semua negara Islam. Prestasi ini sudah barang tentu menghasilkan "pasukan besar" dari para pengajar yang kebanyakan mereka menjaga dan melestarikan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">manhaj</i> ini (aturan, sistem operasional, dan strategi kafir penjajah) dan melahirkan orang-orang yang kebanyakan memegang kendali semua persoalan kehidupan, dan mereka berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki kafir penjajah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Politik pengajaran</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> didirikan dan dibuatkan manhaj yang dibangun di atas dua dasar. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dasar pertama</i> memisahkan agama dari kehidupan. Pemisahan ini secara otomatis akan menghasilkan pemisahan agama dari negara. Demikian itu akan mendorong putra-putri kaum muslimin berjuang memerangi pendirian Negara Islam dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan asas belajar mereka yang memang berdiri di atas politik itu (politik pengajaran). <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dasar kedua</i> membentuk kepribadian kafir penjajah untuk dijadikan sumber utama (inspirasi) pengkaderan. Sumber itu mengisi akal yang tumbuh dari pengetahuan dan informasi-informasi mereka. Pengkaderan ini mengharuskan murid menghormati dan mengagungkan kafir penjajah dan berusaha mencontoh dan meneladaninya meski yang dicontoh adalah kafir penjajah. Di samping itu, murid juga dituntut merendahkan orang Islam dan menjauhinya, jijik terhadapnya, congkak dan memandangnya rendah, serta meremehkan pengambilan nilai darinya. Maka tidak aneh jika ajaran-ajaran ini menetapkan keharusan memerangi pembentukan Negara Islam dan mengatagorikannya sebagai perbuatan terbelakang dan mundur. Penjajahan tidak cukup dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">manhaj-manhaj sekolah-sekolah</i> yang diasuh dan dibimbing oleh pemerintah-pemerintah yang mendirikan dan menempati posisi manhaj-manhaj itu. Bahkan di sampingnya, juga didirikan sekolah-sekolah misionaris yang berdiri di atas landasan penjajahan semata serta lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan tsaqafah yang dibentuk di atas landasan arah politik yang keliru dan tsaqafah yang salah-kaprah. Dengan demikian, iklim pemikiran di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga tsaqafah yang berbeda-berbeda dan memiliki banyak cabang itu akan membina dan membentuk umat dengan tsaqafah yang menjauhkan mereka dari berpikir tentang Negara Islam dan berusaha menghalang-halangi mereka untuk bekerja dan berjuang demi mendirikan Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Selain itu, juga didirikan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">manhaj-manhaj politik</i> di seluruh Negara Islam di atas dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Praktek (penerapan paham) ini melahirkan persepsi umum di hampir seluruh para budayawan dengan paham pemisahan agama dari negara, sementara di tengah kehidupan berbangsa umumnya berpikiran pemisahan agama dari politik. Akibatnya, banyak dijumpai kelompok-kelompok budayawan yang berpendapat bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah keteguhan mereka memegang agama, dan jalan satu-satunya untuk membangkitkan mereka adalah paham kebangsaan dan bekerja untuknya. Juga banyak ditemukan kelompok-kelompok budayawan yang berpendapat bahwa penyebab kemunduran umat adalah nilai-nilai etika. Maka, berdirilah kelompok-kelompok (takattul) partai politik di atas dasar pikiran pertama yang bekerja untuk kebangsaan (juga kesukuan) dan nasinalisme. Sementara aktifitas yang dilandaskan pada Islam dianggap sebagai susupan penjajahan yang dicap sebagai kemunduran dan kebekuan yang akan mengantarkan manusia pada keterbelakangan dan kemerosotan. Respon politik ini (suatu respon atas kemunduran umat dengan melahirkan pemecahan secara politis yang bernafaskan kebangsaan yang mengharamkan pembentukan Negara atau partai Islam)<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>sama halnya dengan respon moral dengan upaya pembentukan kelompok-kelompok organisasi yang berdiri di atas dasar pikiran kedua yang berpijak pada prinsip akhlak, nasihat, dan petuah, dan akibatnya organisasi-organisasi itu hanya menjadi kelompok yang bekerja untuk nilai-nilai keutamaan dan akhlak serta mengharuskan dirinya untuk tidak masuk ke dalam kancah politik. Dengan demikian, partai-partai politik kebangsaan dan kelompok-kelompok organisasi moral aktifitasnya hanya berputar-putar di tempat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tanpa ada upaya yang mengarah pada pembentukan Negara Islam. Mengapa? Karena kelompok-kelompok ini memalingkan pikiran-pikiran dari aktifitas politik yang diwajibkan syara', yaitu mendirikan Negara Islam. Aktifitas-aktifitasnya dipalingkan dari aktifitas yang seharusnya dan hanya diarahkan pada aktifitas moral yang demikian itu sebenarnya merupakan pemalingan wujud pasti dari penerapan muslim terhadap hukum-hukum Islam serta pemalingan wujud alami dari pembentukan pemerintahan Islam. Juga karena partai-partai itu berdiri di atas dasar prinsip penjajahan yang menentang Islam dan berusaha menggagalkan pembentukan Daulah Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Di samping manhaj-manhaj politik, juga dibentuk undang-undang yang menjaga manhaj-manhaj itu dan mengamankan pelaksanaannya. Undang-undang itu menetapkan aturan-aturan yang melarang pembentukan partai-partai politik atau gerakan-gerakan politik yang bernafaskan Islam. Undang-undang itu mencap kaum muslimin yang bergabung dalam partai-partai Islam sebagai kelompok-kelompok radikal dan ekstrim, meski dalam faktanya mereka adalah penduduk negara itu sendiri. Undang-undang itu menetapkan aturan-aturan yang mengharuskan partai-partai dan gerakan-gerakan politik mengandung sistem dan aturan demokrasi dan anggota-anggotanya tidak dibatasi sebatas kelompoknya. Artinya, undang-undang tidak membolehkan di "Negara Islam" didirikan partai-partai atau gerakan-gerakan politik yang bernafaskan Islam sehingga Negara Islam tidak kembali lagi. Kaum muslimin tidak punya hak kecuali mendirikan kelompok-kelompok organisasi moral dan yang sejenisnya. Mereka dilarang melakukan aktifitas politik yang berlandaskan Islam. Sebagian undang-undang bahkan memvonis kriminal yang harus dijatuhi sanksi terhadap aktifitas-aktifitas yang berusaha mendirikan partai politik. Dengan demikian, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">manhaj-manhaj politik</i> telah terkonsentrasikan di atas landasan yang membendung upaya pembentukan Negara Islam. Pembendungan itu dilakukan dengan undang-undang yang ditetapkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Penjajahan tidak cukup dengan itu saja, bahkan menjadikan kaum muslimin supaya berpaling dari berpikir tentang Negara Islam. Pemalingannya dengan menjadikan mereka melakukan tindakan-tindakan bodoh yang kacau. Barat juga mendorong muktamar-muktamar Islam agar menjadikan umat berpaling dari aktifitas bersenjata yang berupaya mendakwahkan Islam dan mewujudkan kehidupan Islam dalam naungan Negara Islam. Muktamar-muktamar ini sebenarnya hanya memuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya untuk mengambil simpati, mengambil keputusan-keputusan yang bersifat verbal, dan menyebarkannya di<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>berbagai surat kabar dan media pemberitaan lainnya yang semata-mata hanya untuk diberitakan saja, bukan untuk dilaksanakan. Bahkan, tanpa sedikit pun ada upaya untuk melaksanakannya. Kemudian Barat mendorong para pengarang dan orator untuk menjelaskan bahaya adanya Negara Islam dan menjelaskan bahwa di dalam Islam tidak ada sistem pemerintahan. Lalu dikeluarkanlah buku-buku dan artikel-artikel serta jurnal-jurnal untuk sekelompok umat Islam yang dibeli agar mereka mengemban dakwah penjajah ini sehingga kaum muslimin bisa disesatkan dan berpaling dari agama mereka dan dari aktifitas yang berupaya<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>mewujudkan kehidupan menurut hukum-hukum Islam. Seperti demikianlah langkah-langkah penjajah. Semenjak berhasil merobohkan Daulah Islam hingga sekarang, mereka terus berusaha menciptakan bencana-bencana dan halangan-halangan yang mencegah pembentukan Negara Islam. Operasinya dipusatkan pada kegiatan yang mengarah pada pelumpuhan politik Islam dan menghalang-halangi pembentukan daulah setelah daulah terhapus dari permukaan bumi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">MENDIRIKAN NEGARA ISLAM </span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">WAJIB ATAS SELURUH MUSLIM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Perangkat Negara Islam dibentuk atas tujuh pilar (unsur), yaitu: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">khalifah, mu'awinun, wulah, qudhah, dirjen adiminstrasi, militer, dan majelis syura.</i> Jika negara berhasil menyempurnakan tujuh unsur ini, maka perangkat negara juga menjadi sempurna. Jika kurang salah satu darinya, maka perangkat negara juga kurang. Akan tetapi, negara (Negara Islam) masih tetap dikatakan eksis dan kekurangan salah satu unsur itu tidak membahayakan negara selama unsur khalifah masih ada. Karena khalifah adalah asas dalam Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun kaidah-kaidah pemerintahan dalam Negara Islam ada empat macam: khalifah yang diangkat hanya seorang, kekuasaan milik umat, wewenang kepemimpinan milik syara', dan pelegalisasian hukum-hukum syara' sebagai undang-undang negara hanya dilakukan oleh khalifah. Jika salah satu dari kaidah-hkaidah ini kurang, maka pemerintahan tidak bisa disebut pemerintahan Islam, bahkan harus menyempurnakan seluruh empat kaidah ini. Asas dalam Negara Islam adalah khalifah, sementara unsur-unsur lainnya adalah pengganti atau teman diskusi khalifah. Dengan demikian, Negara Islam adalah khalifah yang menerapkan Islam. Khilafah atau imamah adalah wewenang mutlak dalam mengatur kaum muslimin. Khilafah bukan termasuk akidah, tetapi bagian dari hukum-hukum syara' karena kedudukannya sebagai bagian dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">masalah-masalah furu'iyah</i> yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Menegakkan atau mengangkat khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Tidak halal bagi muslim yang bermalam selama dua hari tanpa memberikan baiat kepada khalifah. Jika kaum muslimin menganggap sepi terhadap khalifah selama tiga saja, maka mereka semua dihukumi dosa sampai mereka berhasil menegakkan khalifah. Dosa mereka tidak akan gugur sampai mereka mencurahkan segenap upaya dan kekuatan untuk menegakkan khalifah dan mengarahkan aktifitas hingga berhasil mengangkat khalifah. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Keharusan mengangkat khalifah ditetapkan dengan Kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma' shahabat. Dasar yang diambil dari Kitabullah adalah perintah Allah pada Rasul agar menjalankan pemerintahan (hukum) Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>di tengah kaum muslimin dengan apa-apa yang diturunkan-Nya kepadanya. Perintah-Nya tegas dan pasti. Allah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang keadamu"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Maaidah: 48).</b> Firman-Nya lagi: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhdap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Al-Maaidah: 49).</b> Khithab Allah pada Rasul ini adalah khithab untuk umatnya selama belum ada dalil yang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mentakhshishnya</i> (mengecualikannya). Dan, dalam konteks ini belum ada dalil yang mentakhshishnya. Dengan demikian, khithabnya untuk seluruh kaum muslimin adalah dengan keharusan mendirikan pemerintahan [Islam]. Mendirikan khalifah adalah mendirikan pemerintahan dan kekuasaan [Islam]. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun dalil sunnahnya adalah sabda Rasul seperti berikut: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Barangsiapa mati dan belum mengetahui (mengakui) imam (khalifah) zamannya, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah."</i> Imam Ahmad dan Thabrani juga meriwayatkan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan barangsiapa mati, sementara di lehernya tidak ada baiat, maka matinya adalah mati jahili."</i> Dua perawi ini meriwayatkan dari hadits Mu'awiyah. Dalam shahihnya, Imam Muslim juga punya riwayat dari Ibnu Umar yang berkata, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Saya mendengar Rasul bersabda, 'Barangsiapa melepaskan tangan dari taat pada Allah, maka dia pasti akan bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak punya hujjah. Dan, barangsiapa mati sementara di lehernya tidak ada baiat, maka matinya mati jahiliah.'"</i> Hisyam bin 'Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abuhurairah yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Setelahku akan menyusul para wulah yang memerintah kalian, lalu orang baik akan memerintah kalian dengan kebaikannya, dan orang yang cabul akan memerintah kalian dengan kecabulannya. Maka dari itu, dengarkanlah mereka dan taatilah dalam hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka (para penguasa itu) berbuat baik, maka kebaikan bagi kalian. Jika mereka berbuat jahat, maka kebaikan untuk kalian dan tanggung jawab (dosa atas kejahatan itu) dibebankan pada mereka."</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun dasar ijma'nya adalah sikap politik para sahabat yang membuat keputusan yang paling penting setelah wafatnya Rasul. Keputusan politik itu diwujudkan dengan mengangkat seorang khalifah. Dalilnya adalah peristiwa politik riil yang shahih di rumah Saqifah bani Sa'idah. Demikian juga mengenai pengangkatan seorang khalifah baru setelah kematian setiap khalifah sebelumnya. Keharusan mengangkat seorang khalifah yang didasarkan pada ijma' shahabat dilangsungkan dan dinukil secara <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mutawatir</i>. Pengangkatan ini sampai menjadikan khalifah sebagai kewajiban terpenting di antara kewajiban-kewajiban yang ada. Demikian itu dikatagorikan sebagai bentuk dalil yang qath'i dan bentuk kesepakatan para sahabat yang mutawatir atas dilarangnya umat kosong dari adanya khalifah di manapun dan kapanpun. Oleh karena itu, umat wajib mengangkat dan memberi kuasa pada seorang imam. Dengan demikian, seluruh umat semenjak wafatnya Rasul hingga hari kiamat kena <i style="mso-bidi-font-style: normal;">khithab</i> dalil-dalil di atas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kepastian keharusan mengangkat khalifah sangat jelas. Kepastian pemahaman para sahabat atas kepastian keharusan ini juga sangat jelas. Kepastian yang jelas ini ditunjukkan dengan keputusan politik para sahabat yang mengakhirkan penguburan jenazah Rasulullah sampai mereka berhasil membaiat seorang khalifah untuk memimpin negara. Demikian juga tentang keputusan politik yang diambil Khalifah Umar bin Khaththab ra. di waktu mendekati kematiannya karena tikaman seorang budak. Melihat kondisi khalifah yang sangat kritis ini, kaum muslimin mendesak Umar ra. agar menentukan penggantinya, namun Umar ra. menolak. Lalu mereka mendesak Umar ra. hingga akhirnya khalifah memilih enam calon penggantinya. Khalifah Umar ra. membatasi pencalonan khalifah yang ditunjuknya hanya pada enam orang. Salah seorang dari mereka akan dipilih menjadi khalifah. Bahkan, Umar ra. tidak cukup dengan ini. Dia memberi batas waktu pemilihan. Umar ra. memberi limit waktu selama tiga hari dengan catatan, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jika selama tiga hari belum ada kesepakatan mengangkat seorang khalifah, maka bunuhlah yang menentang</i>. Kemudian dia mewakilkan tugas ini pada enam calon tersebut. Di samping sebagai para calon pengganti khalifah dan termasuk para pembesar sahabat, mereka ini juga bertindak sebagai tim formatur khilafah. Mereka adalah Ali ra., 'Utsman ra., Abdurrahman bin 'Auf ra., Zubair bin 'Awwam ra., Thalhah bin 'Ubaidillah ra., dan Sa'ad bin Abi Waqash ra. Jika saja salah seorang dari mereka ada yang tidak setuju atas pengangkatan seorang khalifah harus dibunuh, maka demikian itu menunjukkan adanya kepastian hukum untuk memilih seorang khalifah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Banyak kewajiban syar'i yang harus dilaksanakan oleh khalifah, seperti menjalankan hukum-hukum, menegakkan hudud, menutup bahaya, menyiapkan perangkat militer untuk pasukan, memberi keputusan hukum tentang pertikaian-pertikaian di antara rakyat, memelihara keamanan, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Karena itu, pengangkatan khalifah adalah wajib.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Menuntut jabatan khilafah tidaklah dibenci makruh). Para sahabat yang bersidang di kediaman bani Saqif juga saling tarik-menarik dalam memperebutkan jabatan khilafah. Tim formatur bentukan Khalifah Umar ra. juga saling tarik-menarik mendapatkan kekhilafahan. Secara mutlak tidak satupun dari para sahabat yang menentang hal itu. Bahkan, sejak awal, kesepakatan para sahabat yang menerima perebuatan jabatan khilafah ini telah mengental.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kewajiban mengangkat khalifah bagi kaum muslimin tidak boleh lebih dari satu khalifah. Dalilnya adalah sabda Rasul: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Jika dua khalifah dibaiat, maka bunuh salah satunya."</i> Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri. Ada juga hadits Rasul yang lain: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Barangsiapa membaiat seorang imam, lalu dia memberinya satu tepukan tangan dan buah hatinya, maka taatilah khalifah itu jika dia mampu (semampunya). Jika datang khalifah lain yang hendak mencabutnya, maka penggallah leher khalifah yang lain itu."</i> Dalam riwayat lain berbunyi: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Maka penggallah dia dengan pedang di manapun dia adanya."</i> Perintah membunuh khalifah tandingan harus dilaksanakan jika khalifah itu tidak bisa dicegah kecuali dengan dibunuh. Jika beberapa orang yang memiliki kapasitas sebagai khalifah berkumpul, maka khalifah yang didukung adalah yang paling banyak memperoleh baiat. Sedangkan yang menentang baiat (suara) mayoritas adalah pembangkang (pendosa). Ini jika mereka bersepakat dalam pengadaan khalifah, tidak dalam perjanjian atas penguasaan wilayah untuk masing-masing calon khalifah. Namun, jika perjanjian penguasaan atas wilayah bagi satu orang yang telah memenuhi syarat-syarat khilafah, kemudian mayoritas umat membaiat khalifah (calon) lain, maka yang pertama (yang telah memenuhi syarat-syarat khalifah) adalah khalifah, sedangkan yang kedua (mendapatkan dukungan baiat terbanyak) wajib ditolak. Adapun syarat-syarat yang harus ada dalam diri seorang khalifah adalah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Islam, laki-laki, balig, berakal, adil, mampu, dan merdeka (bukan budak)</i>. Artinya, seorang khalifah harus laki-laki, muslim, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Adapun tentang syarat Islam, dalilnya adalah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang mukmin"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. An-Nisaa': 141).</b> Sedangkan syarat laki-laki adalah sabda Rasulullah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Kaum tidak akan jaya [jika] mereka menyerahkan [pengaturan] urusan [pemerintahan] kepada wanita."</i> Adapun syarat balig dan berakal adalah sabda Rasul: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Pena diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga bermimpi, dan dari orang gila hingga berakal."</i> Barangsiapa yang pena diangkat darinya, maka dia bukan orang mukallaf (dibebani hukum) secara syara'. Dia tidak sah menjadi khalifah atau jabatan-jabatan lainnya yang menyangkut pemerintahan karena dia tidak memiliki hak mengatur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun syarat adil adalah syarat yang sudah lazim dan pasti. Syarat ini untuk mengikatkan dan mengentalkan khalifah juga untuk melangsungkan kelangsungan khalifah. Karena dalam kesaksian, Allah mengharuskan saksi memiliki keadilan. Allah berfirman: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antaramu"</i> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(QS. Ath-Thalaq: 2).</b> Maka, barangsiapa yang memiliki wewenang lebih agung daripada saksi dan dia adalah khalifah, maka dia jauh lebih diwajibkan menjadi orang yang adil.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun syarat khalifah harus orang yang merdeka adalah karena budak dikuasai oleh tuannya. Budak tidak memiliki kemampuan atau wewenang menjalankan peran dengan dirinya sendiri. Lebih jauh, dia tidak memiliki kuasa mengatur orang lain.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sedangkan syarat kuasa, maka orang yang tidak mampu melaksanakan beban (kewajiban), sudah barang tentu beban apapun yang diberikan kepadanya akan sia-sia dan dia akan berlaku sewenang-wenang terhadap hukum-hukum dan menyia-nyiakan hak-hak. Islam tidak membolehkan demikian.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ini adalah syarat-syarat khalifah yang <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">baku</st1:place></st1:city>. Adapun syarat-syarat lain yang disebutkan para ulama fiqih, seperti berani, berilmu, dari suku Quraisy atau dari keluarga Fathimah, dan syarat-syarat lain yang sejenis, maka demikian itu bukan syarat-syarat yang mengikat khilafah. Tidak ada dalil apapun<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang mensahkan hal itu sebagai syarat yang mengikat khilafah dan mensahkan baiat. Karena itu, masalah tersebut tidak dikatagorikan sebagai syarat. Dengan demikian, setiap muslim laki-laki yang balig, berakal, adil, merdeka, dan kuasa disahkan untuk dibaiat menjadi khalifah kaum muslimin. Tidak ada syarat lain di luar itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Atas dasar ini, maka mendirikan Negara Islam adalah wajib atas semua kaum muslimin. Ini ditetapkan berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi, dan ijma' sahabat. Karena kaum muslimin tunduk pada pengaruh kafir di negara mereka yang menerapkan hukum-hukum kafir, maka negara mereka menjadi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Daru Kufrun</i> setelah menjadi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Daru Islam</i>. Artinya, yang menjadi panutan (kiblat) mereka tidak lagi Islam meski negara mereka adalah Negara Islam. Wajib atas mereka hidup di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Daru Islam</i> dan menjadikan Islam sebagai panutan atau kiblat. Mereka tidak mungkin mewujudkan hal ini kecuali dengan mendirikan Negara Islam. Kaum muslimin akan selalu berdosa hingga mereka berjuang untuk menegakkan Negara Islam, lalu membaiat seorang khalifah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang akan menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya ke semua penjuru alam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">HAMBATAN-HAMBATAN MENDIRIKAN NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Mendirikan Negara Islam bukan pekerjaan gampang karena mewujudkan kehidupan yang islami bukan perkara remeh. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> banyak hambatan besar yang bentuknya bermacam-mcam. Hambatan-hambatan ini selalu menghadang upaya mendirikan Negara Islam dan ini harus disingkirkan. Banyaknya hambatan dan besar yang berdiri mengangkang di tengah jalan mewujudkan kehidupan islami harus dikalahkan. Perintah ini tidak ada kaitannya dengan upaya mendirikan negara apapun, juga tidak ada hubungannya dengan penegakan negara yang dinamakan Negara Islam. Akan tetapi, perintah ini berhubungan dengan mendirikan Negara Islam<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang menerapkan Islam sebagai sistem yang bersumber dari akidah Islam, menerapkan Islam sebagai hukum-hukum<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>syara' yang diasumsikan sebagai hukum Allah, lalu mewujudkan kehidupan islami yang sempurna dalam negeri, mengemban dakwah Islam ke luar negeri untuk seluruh manusia secara sempurna.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Inilah Negara Islam yang harus didirikan di atas akidah Islam. Di atas akidah itu dibangun pikiran-pikiran dan berbagai kebijakan, kemudian negara berdiri di atas UUD dan sistem yang memancar dari akidah Islam. Demikian ini terus dilangsungkan hingga dorongan-dorongan kehidupan bangkit dari dalam jiwa, lalu terbentuklah akal dan jiwa islami yang menyempurnakan pelaksanaan sistem dan UUD yang dilaksanakan dengan penuh ketaatan yang memancar dari kerinduan dan ketenangan setiap penguasa dan yang dikuasai secara merata. Pembentukan Negara Islam di tengah umat dan di tangan para penguasa yang menjalankan urusan-urusan umat haruslah islami dalam seluruh aspek kehidupan dan mewujudkan kehidupan islami yang memungkinkannya mengemban risalahnya ke seluruh dunia, di samping memungkinkan bagi masyarakat non-muslim menyaksikan cahaya Islam di negaranya hingga mereka berbondong-bondong memeluk Islam. Oleh karena itu, kesulitan-kesulitan yang menghadang di tengah jalan upaya mewujudkan kehidupan islami atau di hadapan upaya mendirikan Negara Islam sangat banyak dan ini harus diketahui dan harus ditaklukkan. Kesulitan-kesulitan yang terpenting adalah sebagai berikut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(1). Adanya pemikiran-pemikiran yang tidak islami dan menyerang dunia Islam. Demikian itu karena dunia Islam di masa kemunduran, Islam mengalami pendangkalan pemikiran, tidak adanya pengetahuan, dan lemahnya akal karena kemunduran Islam merata telah dikalahkan. Islam dikalahkan dengan pemikiran-pemikiran yang tidak islami yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran Islam, juga karena berdiri di atas asas yang sudah terkontaminasi dan pemahaman kehidupan yang salah.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Maka, pemikiran-pemikiran yang ditemukan menjadi tanah subur yang bebas dari perlawanan Islam dan posisinya semakin kokoh. Pemikiran-pemikiran kaum muslimin dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran ini, apalagi para budayawannya. Pemikiran politiknya sarat dengan ide-ide yang membebek, jauh dari kreatifitas yang islami, tidak disiapkan untuk menerima pemikiran politik yang islami, dan tidak mengetahui bagaimana esensi pemikiran ini (ide kufur), khususnya dalam aspek politik. Oleh karena itu, dakwah Islam harus menjadi dakwah yang mengarah pada Islam dan pada pembentukan kehidupan yang islami. Orang-orang non-muslim diajak kepada Islam dengan kajian pemikiran-pemikiran Islam. Kaum muslim diajak merefleksikan Islam dalam perwujudan kehidupan yang islami dengan pemahaman yang islami pula. Semua ini menuntut penjelasan tentang apa yang tersimpan dalam kepalsuan pikiran-pikiran yang tidak islami, juga tentang bahaya-bahaya yang diakibatkan olehnya, di samping menuntut menjadikan politik sebagai jalan dakwah dan berjuang membina umat dengan tsaqafah Islam di mana aspek politiknya tampak di dalamnya. Dengan modal ini, dakwah memungkinkan mengalahkan kesulitan (kendala atau hambatan) ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(2). Adanya program-program pendidikan yang dibangun di atas landasan bangunan penjajah, juga adanya thariqah yang mengatur cara-cara menerapkan program-program ini di sekolah-sekolah dan berbagai perguruan tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan lengkap dengan perangkat, misi, dan landasannya menghasilkan sarjana-sarjana atau para lulusan yang akan mengatur persoalan-persoalan pemerintahan, menjalankan birokrasi (termasuk berbagai administrasi negeri dan swasta), pengadilan, pendidikan, kedokteran, dan semua persoalan kehidupan. Para lulusan dibekali dengan pemikiran khusus yang berjalan sesuai dengan garis-garis kebijakan global kafir penjajah. Program ini terus dijalankan hingga pemerintahan, sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini, berhasil menggantikan para pegawai muslim dengan antek-antek penjajah. Tugas mereka (antek-antek penjajah) yang utama adalah menjaga kepentingan dan apa-apa yang telah digariskan penjajah, seperti hudud (hukum pidana), undang-undang, tsaqafah, politik, sistem-sistem (aturan main), hadharah, dan lain-lainnya. Mereka juga dituntut membela kepentingan-kepentingan penjajah seperti membela kepentingannya sendiri, bahkan lebih keras. Sementara tata operasional (thariqah) penanggulangan kesulitan ini adalah menyingkap motif dan tujuan kerja para penguasa dan antek-antek penjajah kepada seluruh manusia sehingga sisi-sisi keburukan penjajahan menjadi tampak dan jelas. Tujuannya agar mereka terbebaskan dari tuntutan mempertahankan kepentingan-kepentingan itu, hingga dakwah menemukan jalannya untuk menyampaikan misinya kepada kaum muslimin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(3). Melangsungkan penerapan program-program pendidikan dengan dasar yang dibangun kafir penjajah dan menurut kalkulasi tata laksana (thariqah)<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang dikehendaki kafir penjajah. Cara kerja mereka dengan menjadikan pemuda-pemuda muslim jebolan lembaga-lembaga pendidikan tersebut atau para pelajar yang masih menyelesaikan studi berjalan dengan arah dan visi yang bertentangan dengan Islam. Program-program pendidikan yang dimaksudkan dalam kajian ini (yakni yang dihitung sebagai hambatan dakwah) bukanlah program sains dan industri. Ini adalah ilmu universal yang tidak dikhususkan untuk bangsa tertentu, tetapi untuk umum dan merupakan milik semua manusia. Yang kami maksudkan adalah program-program tsaqafah yang berpengaruh dalam menentukan arah pandangan hidup. Program-program inilah yang menjadikan program-program pendidikan menciptakan hambatan upaya mewujudkan kehidupan islami. Ilmu-ilmu pengetahuan yang tercakup dalam program pendidikan ini meliputi sejarah, sastra, filsafat, dan hukum. Kenapa? Karena sejarah adalah tafsir fakta kehidupan, sastra adalah gambaran rasa tentang kehidupan, filsafat adalah pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun visi kehidupan, dan hukum adalah penyelesaian konkrit atas problem-problem kehidupan, di samping sebagai alat yang menjadi landasan pengaturan hubungan-hubungan personal dan kelompok. Dengan semua modal ini, kafir penjajah mempolakan pemikiran sebagian anak-anak umat Islam dengan pola khusus yang menjadikan mereka tidak merasa berkeharusan mewujudkan Islam dalam kehidupan mereka dan umat, sementara sebagian mereka yang lain dibentuk menjadi manusia yang mengemban misi permusuhan terhadap Islam dengan cara mengingkari Islam sebagai sistem yang patut untuk dipakai menyelesaikan kesulitan-kesulitan kehidupan. Oleh karena itu, pemikiran ini harus diubah. Caranya dengan membina para pemuda di luar sekolah-sekolah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi. Pembinaannya<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dengan pemikiran-pemikiran Islam dan hukum-hukum syara'. Pembinaannya dilakukan secara berkelompok dan terkendali yang memusat (sentralisasi) dan ini terus dilakukan hingga memungkinkan dapat mengalahkan kesulitan atau hambatan ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(4). Adanya pengagungan secara umum terhadap sebagian pengetahuan tsaqafah [Barat] dan menganggapnya sebagai ilmu yang mendunia. Pengetahuan-pengetahuan itu seperti, ilmu sosial, ilmu jiwa, dan ilmu-ilmu pendidikan. Kebanyakan manusia mengatagorikan pengetahuan-pengetahuan ini sebagai ilmu dan esensi-esensi yang didatangkannya adalah hasil eksperimen, lalu mereka membawanya dengan mengagungkannya secara umum, kemudian mengambil dan menjadikannya sebagai pemecah problem-problem umat serta menjadikannya hukum yang menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Pengetahuan-pengetahuan itu dipelajari sebagai ilmu di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi kita, dan kita menerapkannya dalam kehidupan dan menjadikan alat bantu yang dianggap dapat menuntaskan persoalan-persoalan kehidupan. Maka tidak aneh jika pernyataan-pernyataan para psikolog, sosiolog, dan sarjana pendidikan lebih banyak dijadikan bukti dan referensi daripada Al-Qur'an dan hadits. Karena itu pula, di tengah kita banyak dijumpai pemikiran-pemikiran dan berbagai pandangan kehidupan yang salah sebagai akibat dari pemelajaran ilmu-ilmu tersebut, mengagungkannya, dan menjadikannya standar hukum yang diasumsikan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan kita. Akibatnya bagi dakwah, penerimaan statemen-statemen ini menjadi kesulitan. Secara umum, kesulitan (hambatan dakwah) yang disodorkan adalah mengantarkan manusia pada gaya hidup yang memisahkan agama dari kehidupan dan penentangan terhadap pendirian Negara Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pada intinya, pengetahuan-pengetahuan ini adalah tsaqafah dan bukan ilmu karena kehadirannya diperoleh melalui jalan pengamatan dan kesimpulan (istinbat). Di dalamnya tidak ada percobaan atau eksperimen. Penerapannya pada manusia tidak bisa dikatagorikan percobaan (eksperimen atau mengandung pengalaman). Pengetahuan adalah hasil pengamatan yang berulang-ulang atas sejumlah orang yang berbeda-beda, dalam keadaan dan posisi yang berbeda-beda pula. Esensinya hanyalah pengamatan dan kesimpulan, bukan percobaan seperti percobaan ahli laboratorium yang melakukan percobaan benda-benda. Oleh karena itu, hasilnya dimasukkan dalam bidang tsaqafah, bukan ilmu. Selain itu, kedudukannya masih merupakan dugaan yang mengandung kemungkinan salah dan benar karena keberadaannya dibangun di atas landasan yang keliru, pandangan personal dan kelompok, dan di atas pikiran individual. Karena itu, pandangannya beralih dari personal ke keluarga, ke kelompok, dan ke masyarakat, di atas asumsi bahwa masyarakat dibentuk dari personal-personal. Maka sudah barang tentu, kelompok-kelompok masyarakat dikatagorikan terpisah-pisah. Apa yang cocok pada masyarakat tertentu tidak otomatis cocok untuk masyarakat lain. Padahal sebenarnya, masyarakat terbentuk dari manusia, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sistem. Pikiran-pikiran dan penyelesaian-penyelesaian yang cocok untuk manusia di tempat tertentu juga cocok untuk manusia lain di seluruh tempat manapun. Masyarakat-masyarakat yang beragam bisa diubah menjadi satu masyarakat dengan keselarasan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sistem-sistem. Kekeliruan pandangan pada masyarakat membawa konsekwensi pada kekeliruan berbagai pandangan pendidikan dalam ilmu-ilmu pendidikan dan kekeliruan berbagai pandangan dalam ilmu sosial karena pandangan itu dibangun di atas pandangan ini. Sebagaimana juga pandangan yang dibangun di atas ilmu jiwa yang secara umum banyak mengandung kekeliruan dikarena dua hal. Pertama, karena ilmu jiwa mengatagorikan otak terbagi dalam beberapa logika, dan setiap logika memiliki kecenderungan khusus, sementara di dalam bagian otak tertentu menerima (memiliki kecenderungan) sesuatu yang tidak ada dalam otak yang lain. Padahal hakikat otak adalah satu. Perbedaan-perbedaan dan kontradiksi berbagai pikiran yang dihasilkannya mengikuti perbedaan objek-objek yang dirasakan dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">maklumat-maklumat</i> sebelumnya (penumpukan pengetahuan yang telah terekam dalam otak). Karena itu, dalam otak tertentu tidak ditemukan suatu kecenderungan (penerimaan) yang tidak ditemukan di otak yang lain, akan tetapi seluruh otak justru mengandung kecenderungan penerimaan pemikiran dalam segala hal selama fakta yang ditangkap indra, hasil pengawasan, dan maklumat-maklumat sebelumnya yang dimiliki otak melimpah ruah. Perbedaan-perbedaan otak hanya terletak dalam kuatnya membuat vareabel dan rasa (pengindraan panca indra dan rasa), sebagaimana perbedaan mata dalam kuat dan lemahnya pandangan. Oleh karena itu, setiap orang bisa diberi maklumat apapun. Dalam diri orang (otak) ada potensi (kecenderungan dan menerima) untuk mengunyah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">maklumat-maklumat</i> yang masuk. Oleh karena itu, potensi-potensi atau kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam ilmu jiwa tidak memiliki landasan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kedua, ilmu jiwa mengataorikan watak dalam jumlah yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>banyak. Ada naluri atau watak yang dapat disingkap dan ada yang tidak bisa. Para ilmuwan membangun pandangan-pandangan yang keliru tentang watak di atas pemahaman ini. Padahal esensinya, sesuatu bisa disaksikan dengan rasa dengan mengamati aksi dan reaksi. Dari pengamatan itu dapat diketahui bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan vital yang memiliki dua realitas (penampakan). Yang pertama menuntut pemenuhan dengan (secara) pasti. Jika tidak dipenuhi, manusia akan mati. Penampakan kedua juga menuntut pengenyangan. Jika tidak dipenuhi, manusia masih bisa bertahan hidup. Akan tetapi, dia akan mengalami kegelisahan karena tidak adanya pemenuhan. Penampakan yang pertama adalah kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik, seperti lapar, haus, dan pemenuhan hajat. Penampakan kedua adalah instink-instink, yaitu naluri beragama, naluri berketurunan, dan naluri mempertahankan hidup. Instink-instink ini adalah perasaan lemah (kurang), perasaan mempertahan keturunan, perasaan mempertahan diri, dan selain itu tidak ada lagi. Apa-apa selain tiga instink ini hanyalah bentuk-bentuk penampakan instink, seperti ketakutan, kepemimpinan, dan kepemilikan. Ketiga gejala jiwa ini adalah penampakan instink dalam mempertahankan hidup. Pengkudusan dan penyembahan adalah penampakan naluri beragama. Kebapakan dan persaudaraan adalah penampakan naluri mempertahankan keturunan. Dengan demikian, pengatagorian ilmu jiwa tentang naluri, sebagaimana dijelaskan di atas,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>adalah pengatagorian yang keliru. Pengatagorian ilmu jiwa terhadap otak dengan pengatagorian yang salah akan mengantarkan manusia pada kekeliruan pandangan yang dibangun di atas dua asas tersebut. Dan, pada gilirannya akan menyebabkan kekeliruan ilmu-ilmu pendidikan yang memang banyak terpengaruh dengan ilmu jiwa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Atas dasar ini, maka ilmu sosial, ilmu pendidikan, dan ilmu jiwa adalah pengetahuan-pengetahuan tsaqafah. Di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bertentangan dengan pemikiran Islam. Secara umum ilmu-ilmu itu adalah salah. Maka, perbuatan yang masih tetap mengagungkan ilmu-ilmu tersebut dan dipakai untuk menghukumi (memecahkan) suatu problem akan melahirkan kesulitan yang menghadang aktifitas yang berorientasi pada pembentukan Negara Islam. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu tersebut harus dijelaskan sebagai tsaqafah dan bukan sebagai ilmu. Ilmu-ilmu itu adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">dzanni</i> (bersifat dugaan) dan bukan hakikat yang pasti. Esensinya dibangun di atas dasar yang salah. Karena itu, kehadirannya tidak bisa dipakai untuk mengatur kehidupan. Hanya Islam yang mampu mengaturnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(5). Masyarakat di dunia Islam hidup dengan kehidupan yang tidak islami dan justru hidup dengan gaya hidup yang bertentangan dengan Islam. Demikian itu dikarenakan perangkat negara dan pemerintah yang perangkat dan masyarakatnya berdiri di atasnya, kaidah-kaidah kehidupan yang masyarakat dengan segala pilarnya dibangun di atasnya, orientasi pandangan jiwa yang menjadi cara pandang umat Islam, dan pembentukan akal yang pemikiran umat berdiri di atasnya, semuanya berpijak pada landasan pemahaman-pemahaman kehidupan yang bertentangan dengan pemahaman-pemahaman Islam. Selama asas ini tidak berubah dan selama pemahaman-pemahaman yang keliru ini dibenarkan, maka hal itu akan menjadi kendala perjuangan mengubah kehidupan manusia di tengah masyarakat, akan menjadi duri yang menghalangi pengubahan perangkat negara, kaidah-kaidah masyarakat, dan cara pandang jiwa dan akal yang mengatur kaum muslimin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(6). Jauhnya tujuan (gap) antara kaum muslimin dan pemerintahan Islam, apalagi dalam bidang politik pemerintah dan politik harta. Gap ini membentuk gambaran kaum muslimin tentang kehidupan islami menjadi lemah, dan sebaliknya membentuk gambaran non-mukmin dengan Islam tentang kehidupan islami dengan gambaran sebaliknya. Apalagi kaum muslimin telah hidup cukup lama dengan diwarnai buruknya penerapan Islam dalam kehidupan mereka oleh para penguasa. Mereka selama tiga kurun hidup dengan diperintah oleh musuh yang menerapkan sistem yang bertentangan dengan Islam dalam semua hal, baik dalam bidang politik pemerintahan maupun politik harta dengan wajah khusus. Oleh karena itu, dakwah harus mengangkat manusia dari fakta yang buruk yang mereka sudah terlanjur hidup di dalamnya. Mereka juga seharusnya menggambarkan kehidupan yang mereka harus hidup di dalamnya dan harus mengubah fakta kehidupan mereka dan mengubahnya pada gambaran kehidupan yang islami. Gambaran pengubahan kehidupan menuju kehidupan islami harus dengan pengubahan yang total, bukan parsial. Penerapan Islam harus dipraktekkan secara revolusioner (sekaligus), bukan secara bertahap dengan parsial dan gradual. Gambaran ini harus diperjelas hingga mendekati gambaran fakta kehidupan yang pernah terjadi di masa kejayaan Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(7). Adanya beberapa pemerintahan di "Negara Islam" yang berdiri di atas dasar demokrasi, menerapkan sistem kapitalis terhadap semua bangsa, menjalin hubungan politik dengan negara-negara Barat, dan berdiri di atas prinsip federal dan teritorial (kewilayahan yang parsial dan berasaskan perbedaan ras). Demikian ini menyebabkan perjuangan mewujudkan kehidupan yang islami menjadi sulit karena kehidupan yang dikehendaki Islam tidak akan terwujud kecuali meliputi seluruh wilayah. Islam tidak membolehkan menjadikan Negara Islam dalam negara-negara bangsa, tetapi harus menjadikannya satu negara. Ini jelas menuntut universal dakwah, perjuangan total, dan penerapan yang menyeluruh. Perjuangan ini jelas akan berhadapan dengan pemerintahan-pemerintahan yang menentang dakwah Islam, meski para penguasa berstatus muslim. Oleh karena itu, pengembanan dakwah harus diemban ke seluruh wilayah, meski harus menanggung kesulitan-kesulitan dan kendala-kendala yang maha berat yang muncul dari perlawanan pemerintahan-pemerintahan di "Negara Islam".<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(8). Adanya opini umum tentang nasionalis, kesukuan, sosialis, dan pembentukan gerakan-gerakan politik yang berpijak pada asas nasionalis, kesukuan, dan sosialis. Hegemoni Barat terhadap "Negara Islam", penyerahan kendali pemerintah pada Barat, dan penerapan sistem kapitalis di Negara Islam membawa pengaruh pada jiwa umat sehingga mereka cenderung mempertahankan diri sebagai bangsa tertentu, yang pada gilirannya akan melahirkan sentimen nasionalis yang menggerakkan mereka untuk mempertahankan tanah yang mereka hidup di atasnya, juga akan membangkitkan paham sektarian yang membuat manusia cenderung mempertahankan diri, keluarga, dan kaumnya serta berjuang menjadikan pemerintahan untuk mereka (golongan). Akibatnya, muncullah gerakan-gerakan politik dengan diatasnamakan nasionalis. Gerakan ini diarahkan untuk mengusir musuh dari negara dan dengan atas nama kesukuan untuk membentuk pemerintah yang berpijak pada paham nasionalis khusus untuk rumpun bangsa itu sendiri. Kemudian muncul paham yang dijelaskan pada manusia tentang rusaknya sistem kapitalis dan tidak adanya kelayakan sistem itu. Di tengah manusia tersebar slogan-slogan sosialis, lalu terbentuklah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan gerakan sosialis. Ideologi ini dimaksudkan untuk menutupi kekurangan kapitalisme. Gerakan-gerakan ini sebenarnya tidak memiliki gambaran apapun tentang sistem kehidupan kecuali gambaran tanpa persiapan yang akhirnya justru akan menjauhkan manusia dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mabda'</i> (ideologi Islam) dan menjauhkan mereka dari Islam dengan sifat mabda'nya yang menyeluruh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> <div align="center" class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">BAGAIMANA MENDIRIKAN NEGARA ISLAM</span></b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sesungguhnya kekuatan pemikiran Islam yang terikat dengan tata operasinya (thariqah) cukup untuk mendirikan Negara Islam dan mewujudkan kehidupan yang islami. Jika pikiran ini telah meresap ke dalam hati, merasuk dalam jiwa, dan memfisik di tengah umat Islam, maka pikiran itu akan menjadikan Islam hidup yang bekerja di tengah kehidupan. Akan tetapi, sebelum mendirikan Negara Islam, kerja besar ini harus disempurnakan dan perjuangan keras harus dicurahkan dengan segenap tenaga demi terwujudnya kehidupan yang islami.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Oleh karena itu, untuk menjadikan Negara Islam berdiri tidak cukup dilakukan dengan hanya kesenangan dan harapan; tidak cukup dengan semangat dan cita-cita mewujudkan kehidupan Islam. Ada satu hal yang paling penting dan harus dilaksanakan, yaitu membuat hipotesa yang tepat tentang kendala-kendala besar yang menghadang gerak Islam. Hipotesa ini dibuat sejauh mana kemungkinan umat Islam mampu menghilangkannya. Umat Islam juga harus diingatkan tentang beratnya konsekwensi yang selalu mengincar orang-orang yang membangkitkan Islam untuk tujuan ini. Pandangan para pemikir harus diarahkan dengan pandangan khusus menuju tanggung jawab maha besar. Setiap pemikir memberikan sumbangan pemikiran tentang masalah yang sama. Sehingga, ucapan dan tindakan berjalan seiring di jalan yang sama dengan penuh kesadaran, kehendak, kepastian, dan kedinamisan. Orang-orang yang berjalan di jalan yang memperjuangkan perwujudan kehidupan Islam adalah orang-orang yang memahat jalan di batu padas yang sangat keras. Akan tetapi, dengan adanya cangkul mereka yang tajam dan besar, maka itu menjadi jaminan yang, insyaallah, mampu memecahkan batu padas. Mereka adalah orang-orang yang berjuang menyelesaikan persoalan yang sangat rumit. Akan tetapi, karena adanya kelembutan dan kejelian mereka, maka demikian itu menjadi jaminan kebaikan pemecahan persoalan itu. Mereka adalah orang-orang yang bertabrakan dengan peristiwa-peristiwa besar, akan tetapi mereka, insyaallah,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>akan mampu mengalahkannya dan mereka tidak akan menyimpang dari jalan mereka. Karena, jalan yang ditempuh adalah jalan yang pernah dilalui Rasul. Mereka merambah jalan yang lurus yang akan memberikan hasil yang pasti dan tidak ada keraguan di dalamnya. Kemenangan pasti terwujud dan tidak ada keraguan di dalamnya. Jalan ini adalah jalan yang sekarang ini harus dilalui kaum muslimin dengan sangat hati-hati. Dalam melangkahkan kakinya harus meneladani Rasul dengan tepat dan berjalan lurus sesuai dengan ayunan langkah-langkah beliau, sehingga jalan pengemban dakwah tidak terpeleset. Menapa? Karena setiap kesalahan dalam analogi dan setiap penyimpangan jalan akan menyebabkan ketergelinciran dalam berjalan dan sakit dalam berbuat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Oleh karena itu, mengadakan muktamar-muktamar tentang khilafah bukanlah jalan yang dapat mengantarkan pada pembentukan Negara Islam. Upaya menyatukan negara-negara bangsa yang memerintah bangsa-bangsa Islam bukanlah sarana yang menjadikan Negara Islam. Piagam atau deklarasi yang dikeluarkan oleh berbagai muktamar bangsa-bangsa<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Islam bukanlah bentuk perwujudan yang mampu menciptakan kehidupan yang islami. Semua itu dan yang sejenisnya bukanlah jalan (thariqah). Itu hanyalah hiburan-hiburan yang sedikit menyegarkan jiwa kaum muslimin, lalu semangat muktamar itu lambat laun menjadi kosong (padam) dan setelah itu duduk-duduk santai tanpa melakukan aktifitas nyata. Lebih dari itu, semuanya adalah jalan yang bertentangan dengan thariqah Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Jalan (thariqah atau tata laksana) satu-satunya untuk mendirikan Negara Islam hanyalah mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata dalam upaya mewujudkan kehidupan yang islami. Demikian ini menuntut pembentukan Negara Islam menjadi satu kesatuan yang utuh. Karena, umat Islam adalah satu. Mereka adalah kumpulan kemanusian (manusia yang berkemanusiaan Islam) yang disatukan oleh akidah yang satu yang darinya sistem Negara Islam memancar. Oleh karena itu, peristiwa apapun yang terjadi di wilayah manapun dalam lingkup Negara Islam akan berpengaruh pada wilayah-wilayah Islam lainnya. Demikian itu akan mengobarkan perasaan dan pemikiran. Karena itu, seluruh Negara Islam harus dijadikan satu negara dan mengemban dakwahnya untuk seluruhnya sehingga berpengaruh pada keseluruhan wilayah Negara Islam. Demikian itu karena masyarakat yang satu yang membentuk kesatuan umat adalah seperti air dalam periuk. Jika Anda meletakkan api di bawah periuk itu sehingga memanaskan air sampai mencapai derajat yang mendidih, kemudian air yang mendidih ini berubah menjadi uap yang mendorong-dorong tutup periuk dan menciptakan gerakan dorongan, maka demikian pula halnya dengan masyarakat jika di bawahnya diletakkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mabda' Islam</i> (ideologi Islam diasosiasikan sebagai api). Panas api mabda' menimbulkan panas, kemudian mendidih, dan akhirnya panas yang mendidih itu berubah menjadi sesuatu yang mendorong masyarakat melakukan gerakan dan perbuatan. Oleh sebab itu, dakwah harus dibangkitkan dan didakwahkan ke dunia Islam untuk dipakai melaksanakan perwujudan kehidupan yang islami. Langkah ini bisa dilakukan dengan penerbitan buku-buku, risalah-risalah (jurnal-jurnal dan artikel-artikel), menjalin hubungan-hubungan, dan semua sarana dakwah, apalagi membentuk jalinan hubungan-hubungan, karena posisinya merupakan jalan dakwah yang paling sukses. Penyampaian dakwah dengan bentuk yang terbuka akan menjadi bara yang membakar masyarakat, sehingga kebekuan menjadi panas yang membara. Tidak mungkin mengubah panas yang mendidih menjadi gerakan kecuali jika <i style="mso-bidi-font-style: normal;">dakwah bilhal</i> dalam arah politiknya difokuskan pada aktifitas nyata di satu wilayah atau beberapa wilayah yang darinya aktifitas dakwah dimulai. Kemudian satu atau beberapa wilayah dijadikan titik sentral yang di atas wilayah itu Negara Islam didirikan. Dari titik itu tumbuh, kemudian membentuk Negara Islam yang besar yang mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ini persis dengan yang dilakukan Rasulullah saw. Beliau menyampaikan dakwahnya ke seluruh manusia. Langkah-langkah penyampaiannya berjalan di jalan aktifitas nyata. Beliau mengajak penduduk Makkah dan seluruh bangsa Arab di musim haji. Dakwahnya kemudian tersebar ke seluruh penjuru Jazirah. Seakan-akan beliau menciptakan bara di bawah "periuk" masyarakat Jazirah sehingga membangkitkan panas di seluruh bangsa Arab. Islam mengundang bangsa Arab melalui Rasul. Beliau menjalin hubungan dengan mereka dan berdakwah pada mereka di musim haji. Kepergian beliau ke kabilah-kabilah di rumah-rumah mereka dan mendakwahi mereka adalah untuk Islam. Seperti demikianlah gambaran dakwah yang sampai ke seluruh Arab. Sampainya dengan gesekan yang terjadi antara Rasul dan kaum Quraisy ketika terjadi benturan keras sampai gaungnya memenuhi pendengaran bangsa Arab. Ledakan benturan itu membangkitkan mereka untuk mempelajari dan bertanya-tanya. Gaung penyebaran dakwah sudah menyebar ke seluruh Arab meski medan dakwah masih terbatas di Makkah. Kemudian beliau melebarkan sayap dakwahnya ke Madinah sehingga terbentuk Negara Islam di Hijaz. Ketika itu api dakwah dan kemenangan Rasul berhasil mendidihkan bangsa Arab, kemudian timbul gerakan, lalu mereka beriman seluruhnya sampai Negara Islam meluas mencakup seluruh wilayah Jazirah Arab dan mengemban risalahnya ke seluruh alam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Oleh karena itu, pengembanan dakwah Islam dan aktifitas nyata perwujudan kehidupan yang islami harus kita jadikan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">thariqah</i> untuk mendirikan Negara Islam. Kita juga harus menggabungkan seluruh Negara Islam menjadi satu negara dan tujuan dakwah. Hanya saja kita harus memperhatikan satu hal yang sangat penting, yaitu membatasi medan aktifitas dakwah di satu wilayah atau beberapa wilayah yang di dalamnya kita membina manusia dengan Islam sehingga Islam hidup dalam diri mereka dan mereka hidup dengan dan demi Islam. Dalam wilayah itu pula kita membentuk kesadaran umum atas dasar Islam dan opini umum untuk Islam, sehingga terjadi dialog antara pengemban dakwah dan masyarakat dengan dialog yang menghasilkan perbuatan yang berpengaruh mengubah dakwah menjadi dakwah yang interaktif (tafaa'ul) dan produktif. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tafaa'ul</i> ini adalah gerakan dakwah yang operasinya langsung berhadap-hadapan dengan musuh dan berdiri tegak dalam upaya mewujudkan Negara Islam yang memancar dari umat dalam wilayah atau beberapa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">wilayah majal</i> (pusat gerakan). Ketika itu dakwah telah berjalan dari tahapan pemikiran yang sudah terbentuk dalam benak menuju wujud kongkrit aktifitas di tengah masyarakat, dari gerakan kebangsaan menuju Negara Islam. Putaran-putaran gerakan ini telah lewat, lalu beralih dari satu titik awal ke titik tolak, kemudian beralih ke titik sentral yang unsur-unsur negara dan kekuatan dakwah memusat dalam negara yang sempurna. Ketika itu tahapan aktifitas dakwah kongkrit yang diwajibkan syara' atas negara mulai dilaksanakan. Begitu juga kaum muslimin yang hidup di wilayah-wilayah yang belum masuk wilayah kekuasaan negara juga mulai diwajibkan syara' untuk menjalankan aktifitas dakwah nyata ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun kewajiban negara adalah menjalankan pemerintahan dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah secara total. Kemudian negara menyatukan wilayah-wilayah lainnya atau menyatukan negara dengan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari politik dalam negeri Negara Islam, lalu negara mengurusi pengembanan dakwah dan berbagai tuntutan untuk mewujudkan kehidupan yang islami di seluruh wilayah Islam, apalagi wilayah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang berdekatan dengan Negara Islam. Kemudian negara menghapus undang-undang politik bikinan penjajah di wilayah-wilayah baru itu dan menjadikan para penguasa wilayah yang pro dengan negara sebagai penjaga undang-undang politik negara. Oleh karena itu, negara harus menetapkan undang-undang ini meski wilayah yang bertetangga dengan negara tidak menetapkannya, lalu menetapkan pembubuhan tanda bukti pengesahan, pusat-pusat perpajakan, dan membuka pintu-pintunya untuk seluruh penduduk wilayah yang islami itu. Dengan demikian, negara menjadikan seluruh orang yang tinggal di wilayah-wilayah yang islami merasa bahwa negara ini adalah Negara Islam dan mereka melihat langsung penerapan dan pelaksanaan Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Adapun kewajiban kaum muslimin adalah bekerja (berjuang) agar negara (Negara Islam) menjadikan wilayah yang tidak menerapkan Islam dan yang dikatagorikan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Daru Kufrun</i> menjadi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Daru Islam</i>. Pengubahan dilakukan dengan perbuatan nyata yang mengikuti rumusan anyaman Negara Islam dengan dakwah dan berbagai tuntutan. Dengan ini, masyarakat di dunia Islam di seluruh wilayahnya menjadi bergolak sehingga mendorongnya menuju gerakan yang benar yang dengannya seluruh kaum muslimin dapat disatukan dalam satu negara. Dengan demikian pula, Negara Islam yang besar dapat diwujudkan. Dengan ini pula, Negara Islam yang memerankan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">qiyadah fikriah</i> (kepemimpinan pemikiran) dunia dapat dibentuk. Negara memiliki kedudukan yang penting dan pusat gerakan yang memungkinkannya mengemban dakwah dan menyelamatkan dunia dari kerusakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Jika umat Islam dahulu di negara tidak melampaui (menyerang) Jazirah Arab dan jumlahnya tidak bertambah dari beberapa juta, dan bersama itu ketika umat-umat memeluk Islam dan mengemban dakwah yang membentuk kekuatan dunia di hadapan dua pasukan adidaya pada zaman itu dan memukul keduanya secara bersamaan dan menguasai keduanya serta menyebarkan Islam di kebanyakan bagian-bagian wilayah yang diperintah pada waktu itu, maka bagaimana keadaan kita umat Islam saat ini? Umat Islam dewasa ini berjumlah satu milyar (1000 juta) jiwa yang tersebar di negara-negara bangsa yang geografisnya saling menyambung sehingga seolah-olah satu negara, dari Morakisy hingga ke <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">India</st1:place></st1:country-region> dan <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Mereka menempati sebaik-baik wilayah bumi, baik dari segi kekayaan alamnya maupun letak geografisnya yang strategis dan terkonsentrasi dalam kesatuan wilayah. Mereka juga mengemban satu-satunya mabda' yang terbaik. Maka tidak ragu lagi, potensi dan fakta yang demikian mempesona ini dapat membentuk (menjelmakan) umat menjadi kelompok yang paling kuat daripada negara-negara besar manapun dalam segala hal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt; tab-stops: .5in 1.0in 1.5in 2.0in 2.5in 3.0in 3.5in 4.0in 4.5in 5.0in 5.5in 6.0in; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Oleh karena itu, wajib atas semua umat Islam semenjak sekarang berjuang untuk mewujudkan Negara Islam yang besar yang mengemban risalah Islam ke seluruh alam dan mengawali perjuangannya ini dengan mengemban dakwah Islam dan bekerja untuk mewujudkan kehidupan yang islami di seluruh wilayah Negara Islam, memfokuskan (memusatkan) <i style="mso-bidi-font-style: normal;">daerah majalnya</i> di satu atau beberapa wilayah untuk dijadikan titik sentral gerakan sehingga dapat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>memulai aktifitas yang membawa faidah. Contoh gambaran tujuan yang sangat besar ini yang mengharuskan tiap muslim mengarahkan tujuan hidupnya ke sana, dengan berjalan di jalan aktifitas yang jelas ini yang memang diharuskan berjalan di atasnya, sudah pasti di jalan itu, dia akan memikul semua kesulitan, mencurahkan segala perjuangan untuknya, dan berjalan dengan berpasrah pada Allah, tidak mencari apapun atas hal itu selain untuk memperoleh ridha Allah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;"><br />
</div><br />
<br />
<br />
</div>andinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-48036064645810633912010-05-16T18:37:00.000+08:002010-05-16T18:37:21.024+08:00Ahkamus Sholat<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="border: 1px solid #cccccc; height: 200px; overflow: auto; padding: 10px; width: 470px;"><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 18pt;">AHKAMUS SHOLAT<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;">Judul Asli : <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ahkamus Sholat</i></b><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;">Pengarang : <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Syaikh Ali Raghib</b>, Seorang Guru Besar </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> (Profesor) di Universitas Al Azhar As Syarief, </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> Mesir<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;">Penerbit : Darun Nahdlah Al Islamiyyah, Cetakan Pertama 1991<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;">Judul Edisi Indonesia : </span><span style="font-family: Arial;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">HUKUM-HUKUM SEPUTAR SHOLAT</span><o:p></o:p></span></div><h1 style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: medium;">Penerjemah : Drs. H.A. Bahauddin</span></span></h1><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;">Editor : Iwan Januar dan Bahron Kamal<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;">Pengantar : KH. Ir. Muhammad Al-Khaththath<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;">Penerbit : Pusat Studi Khazanah Ilmu-ilmu Islam (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">PSKII</b>), 2002<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"><o:p><br />
</o:p></span></div><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"></span><br />
<span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"><div style="text-align: justify;"><br />
</div></span> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 14pt;">DAFTAR ISI<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">AHKAMUS SHOLAT............................................................................................ 1<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">PENDAHULUAN.............................................................................. 3<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">A. THAHARAH</span><span style="color: black; font-family: Arial;">.................................................................................. 4</span><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">1. Benda Suci Bercampur dengan Air........................................4<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">2. Najis yang Mengotori Air :...................................................... 5<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">3. Air Musta’mal......................................................................... 5<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">4. Sisa Makanan dan Minuman Binatang...................................6<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">5. Bersuci.................................................................................. 7<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">6. Cara Wudhu.......................................................................... 7<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">7. Menyapu Sepatu................................................................... 13<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">8. Tayammum.......................................................................... 14<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">9. Yang membatalkan wudlu.................................................... 17<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">10. Mandi Besar......................................................................... 23<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">11. Najis..................................................................................... 25<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">12. Menghilangkan Najis</span><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">............................................................ </span><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">27<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 10pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 10pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">B. SHALAT</span><span style="color: black; font-family: Arial;">................................................................................... </span><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">29<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">1. Waktu Shalat....................................................................... 31<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">2. Syarat Sah Shalat................................................................ 33<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">3. Cara - cara Shalat :............................................................ 36<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">4. Bilangan Rakaat Shalat....................................................... 53<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">5. Yang Membatalkan Shalat :................................................. 57<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">6. Hal-hal yang Makruh dalam Shalat...................................... 58<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">7. Waktu yang Makruh untuk Shalat........................................ 59<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">8. Shalat Berjamaah :.............................................................. 61<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">9. Setiap Muslim Berhak Menjadi Imam Shalat :..................... 67<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">10. Shalat Qashar :................................................................... 72<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">11. Shalat Jama’:.......................................................................75<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">12. Shalat Qadha :.....................................................................80<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">13. Shalat Orang Sakit.............................................................. 82<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">14. Shalat Jum’at:..................................................................... 83<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">15. Shalat Hari Raya :............................................................... 89<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">16. Shalat Jenazah :................................................................. 91<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">17. Sujud Sahwi :...................................................................... 93<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">18. Sujud Tilawah :................................................................... 96<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 20pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">19. Sujud Syukur...................................................................... 101<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 10pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 10pt; text-align: justify;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">C. DO’A</span><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;">....................................................................................... 102<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 16pt;"><o:p><br />
</o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial;">PENDAHULUAN</span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Bismillahirrahmaanirrahiim<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Shalawat dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada junjungan kita, penutup para nabi dan rasul, Nabi Muhammad saw. dan seluruh keluarganya serta sahabatnya. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Amma ba’du.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Saya mendapatkan banyak di antara kaum muslimin beribadah tanpa dibekali dengan pengetahuan tentang hukum syara’ yang memadai. Saya pun melihat mereka membutuhkan suatu kitab yang mudah ditelaah oleh mereka, yakni kitab yang menghimpun tatacara beribadah dengan dilengkapi dalil-dalil syara’. Atas dasar itulah, saya persembahkan kitab ini dengan judul: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ahkaamus Shalat </i>(Hukum-hukum Seputar Shalat) untuk seluruh kaum muslimin seraya memohon kepada Allah SWT, semoga persembahan ini bermanfaat bagi mereka dan jalan lurus pun dapat mereka selusuri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: Arial;">Kairo, 1 Dzul Qa’dah 1377H./19 Mei 1958M.</span><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Ali Raghib<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: Arial;">Guru Besar di Universitas Al Azhar As Syarief, Mesir<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"></b><br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial;"><br />
</span></div></b> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 14pt;">A. THAHARAH<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">Thaharah </span></i><span style="font-family: Arial;">menurut bahasa adalah suci dan bersih dari kotoran. Adapun thaharah menurut istilah para ulama ahli hukum Islam (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">fuqaha</i>) adalah menghilangkan hadats dan najis atau sesuatu yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya. Yang dimaksud dengan ungkapan “yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya” , yaitu seperti: tayamum, mandi besar yang disunnahkan, cucian yang kedua, bekumur dan sejenisnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Menghilangkan hadats dan najis itu adalah dengan air mutlak, yakni dengan air yang belum mendapatkan imbuhan unsur lain sehingga namanya juga masih tetap sebagai air murni. Air mutlak ini adalah air laut, air yang turun dari langit, dan air yang keluar dari bumi. Air laut dikategorikan sebagai air mutlak adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">(1)<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> “Laut itu airnya suci” <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Sedang air yang turun dari langit seperti air hujan dan salju (es) adalah berdasarkan firman Allah SWT:<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: -.25in;"><span style="font-family: Arial;">(2) Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya” (QS. Al Anfal,8: 11). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun air yang keluar dari perut bumi, yakni mata air dan air sumur adalah berdasarkan sebuah riwayat yang mengemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: -.25in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">(3) “Sesungguhnya Nabi saw. pernah berwudlu dengan air dari sumur Bi/udha’ah”</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Yang dikategorikan selain air mutlak, yaitu benda-benda cair seperti : cuka, air bungan, minuman keras, dan sari buah-buahan atau tumbuhan. Kesemua itu tidak boleh dipergunakan, baik untuk menghilangkan hadats maupun untuk menghilangkan najis. Firman Allah SWT: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">(4)<i style="mso-bidi-font-style: normal;">”…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian”</i> (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">QS. An Nisa,4: 43</b>). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mendapatkan air agar bertayamum. Dan Dia memberikan petunjuk bahwa wudlu tidak dibenarkan selain dengan air. Hal ini dengan alasan, karena sesungguhnya menghilangkan najis berarti mengembalikan keadaan agar menjadi suci (bersih) kembali dan suci itu sendiri hanya bisa terjadi dengan air. Allah SWT berfirman:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya”</span></i><span style="font-family: Arial;"> (<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">QS. Al Anfal, 8 : 11</b>).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">1. Benda Suci Bercampur dengan Air <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyText" style="text-align: justify;"> Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air namun karena kadarnya hanya sedikit sehingga air itupun tidak berubah karenanya, maka bersuci dengan air tersebut diperbolehkan. Sebab pada dasarnya air ini masih tetap utuh sebagai air mutlak. Jika air tersebut tidak berubah karenanya dengan alasan , sebaba air itu tidak berubah, baik rasa, warna, maupun baunya-seperti air bunga jatuh ke dalamnya-maka hendaknya diperhatikan: Andai air bunga itu kadarnya banya sehingga mendominasi air mutlak, maka bersuci dengannya tidak diperbolehkan, dan seandainya tidak mendominasi, maka bersuci dengannya diperbolehkan. Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air dan karenanya salah satu sifat air tersebut berubah, yakni rasa, atau warna, atau baunya, hendaklah diperhatikan: Sekiranya air itu tidak mungkin teratasi untuk tidak terkena benda suci tersebut seperti ditumbuhi oleh lumut (rumput air) dan sejenisnya, yang memang benda itu hidup dan tumbuh di air, maka air tersebut boleh dipergunakan untuk bersuci. Kasus seperti ini dimaafkan sebab hal tersebut tak mungkin diatasi. Sedang jika air ini memungkinkan terpelihara dari benda suci maka perhatikanlah : Seandainya merupakan suatu benda yang tidak menghilangkan nama air seperti tanah dan obat, maka air itu diperbolehkan untuk bersuci karena benda tersebut tidak menghilangkan status air sebagai air mutlak. Sedang bila benda itu selain daripadanya, seperti minyak za’faran, buah kurma, tepung, dan sebagainya - merupakan benda yang dapat dihindarkan agar tidak jatuh ke dalam air - maka berwudlu dengan air ini tidak dibenarkannya, sebab dengan masuknya benda seperti itu dapat menghilangkan status air sebagai air mutlak.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">2. Najis yang Mengotori Air :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span><span style="font-family: Arial;">Apabila benda najis jatuh ke dalam air lalu rasa, warna atau bau air itu berubah, maka air tersebut menjadi najis, baik air ini banyak maupun sedikit, baik air itu mengalir maupun menggenang. Para ulama telah sepakat bahwa jika rasa, atau warna atau bau air berubah oleh karena ada benda najis yang jatuh ke dalamnya, maka air ini menjadi najis. Sedang bila ketiga sifat air itu tidak berubah maka hendaklah diperhatikan : Andai ternyata air itu kurang dari dua kulah maka iar tersebut menjadi najis. Akan tetapi andai terbukti air ini sebanyak dua kulah atau lebih maka air tersebut tetap bersih ( suci ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bilamana terbukti air mencapai dua kulah, maka air tersebut tidak membawa najis”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Air dua kulah ukurannya sebanyak dua tempayan air, sama dengan dua belas jirgen air. Inipun dengan catatan, bila ternyata air tersebut tidak tampak terlhat oleh mata telanjang, seperti najis yang melekat pada serangga yang hinggap pada najis, lalu serangga itu jatuh ke air. Dengan demikian, maka air itu tidak menjadi najis karenanya sebab hal ini dimaafkan. Kasus ini sama halnya seperti baju yang terkena najis yang tidak tampak, maka najis inipun dimaafkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">3. Air Musta’mal <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Air musta’mal (air bekas pakai) terbagi dua, yakni air musta’mal untuk menghilangkan hadts dan air musta’mal untuk menghilangkan najis. Air musta’mal untuk menghilangkan hadats -seperti wudlu atau mandi besar-tetap suci, tidak menjadi najis, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bahwasanya Rasulullah saw. datang menjenguk aku ketika aku sakit. Kemudian beliau wudlu dan menuangkan air bekas wudlanya kepadaku”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Maka berdasarkan hadits ini, air musta’mal tetap suci, namun demikian tidak mensucikan. sehingga tidak boleh dipergunakan untuk menghilangkan hadats. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“ Sungguh, hendaknya salah seorang di antara kalian tidak sampai mandi (bersuci) dalam air menggenang sedang ia junub. Kemudian mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Abu Hurairah, bagaimana beliau saw berbuat? Dia menjawab: Beliau mengaisnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepalanya dengan air bukan air sisa mencuci kedua tangannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Selanjutnya At-Tirmidzi meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. mengambil air baru untuk menyapu kepalanya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Begitu pula At-Tarmidzi dan Ath-Thabrani mengemukakan hadits yang diriwayatkan dari Bin Jariah dengan ungkapan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ambillah untuk (menyapu) kepala, air baru”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Larangan Rasulullah saw. bersuci dalam air menggenang adalah merupakan dalil, sesungguhnya air musta’mal telah keluar dari statusnya sebagai sarana untuk bersuci, sebab larangan di sini semata-mata mandi, begitu juga hukum wudlu sama dengan hukum mandi. Kemudian daripada itu, sesungguhnya perintah beliau agar mengambil air baru untuk menyapu kepala merupakan dalil bahwa air pertama adalah air musta’mal yang tidak lag bisa dipergunakan untuk bersuci. Namun ini semua dengan catatan, bila ternyata kadar air tersebut kurang dari dua kulah. Sedangkan ketika kadar air tersebut mencapai dua kulah atau lebih, maka hilanglah statusnya sebagai air musta’mal karena kadar air yang mencapai dua kulah atau lebih tidak tercemar , sehingga untuk tidak dikategorikan musta’mal bagi air tersebut lebih utama. Tentang air musta’mal yang telah dipergunakan untuk menghilangkan najis, maka hendaknya diperhatikan: Bila air itu terpisah dari dari tempatnya dan berubah, maka air ini menjadi najis. Sedangkan bilamana air terpisah dari tempatnya dan tidak berubah. Maka hendaknya diperhatikan: Jika air tersebut terpisah dari tempatnya najis, najis pulalah air itu dan jika air tersebut terpisah namun tempatnya suci, maka air ini tetap suci.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">4. Sisa Makanan dan Minuman Binatang<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyText2" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: 10pt;">Sisa makanan dan minuman binatang adalah suci. Ketetapan ini bersifat umum pada semua binatang, baik sisa makanan dan minuman kucing maupun binatang yang lain. Semua binatang: kuda, keledai, binatang buas, tikus, ular, dan seluruh binatang yang memakan dagingnya atau tidak, sisa makanannya dan minumannya adalah suci. Begitu pula peluh dan air liurnya dengan tidak makruh. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir dikemukankan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya: Apakah kami boleh wudlu dengan air sisa keledai? Beliau menjawab: Ya, begitu juga dengan (air) sisa binatang buas”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Namun dikecualikan dari semua bintang tersebut, anjing dan babi, bahwa keduanya najis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bilamana anjing menjilat perkakas salah seorang di antara kalian, maka cucilah perkakas itu tujuh laki”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam sebuah riwayat dikemukakan pula:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Maka tumpahkanlah, kemudian cucilah tujuh kali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Perintah agar ditumpahkan dan dicuci adalah sebagai dalil, bahwa anjing adalah binatang najis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pada dasarnya air itu adalah suci dan begitu juga sisa makanan dan minuman binatang. Dengan demikian, tidak bisa diterima bahwa suatu air dinyatakan najis karena oleh seseorang dianggap najis. Akan tetapi tidak boleh tidak yang bersangkutan harus benar-benar terlebih dahulu mengetahui; najis apa yang telah jatuh ke dalam air tersebut? Bilamana dinyatakan, bahea air ini terkena najis maka berita itu jangan begitu saja diterima, sehingga tamapak jelas; najis apakah yang telah jatuh ke dalamnya. Langkah ini harus ditempuh, karena bisa jadi orang yang memberitakan air itu najis disebabkan ia melihat binatang buas menjilatnya. Barulah berita diterima, jika tampak jelas bahwa benda najis benar-benar yakin terhadap kesucian suatu air atau meragukannya, maka ia diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci. Bilamana ia benar-benar yakin tentang najisnya air itu atau meragukan kesuciannya, maka dia tidak diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap najis. Kemudian jika aia tidak yakin atas ketidaksucian dan ketidaknajisan suatu air, maka berwudlulah dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">5. Bersuci<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span><span style="font-family: Arial;">Suci terdiri dari dua macam: suci dari hadats dan suci dari najis. Bersuci untuk menghilangkan najis tidak menghendaki niat. Sedangkan bersuci untuk menghilangkan hadats, seperti wudlu, mandi besar, dan tayammum harus menyertakan niat, yakni tidak sah tanpa niat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat. Dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung niatnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Yang dimaksud amalan-amalan di sini adalah segala bentuk ibadah dan bukan muamalah, sebab muamalah merupakan aktifitas yang berupa percakapan bukan perbuatan. Sementara bersuci untuk menghilangkan hadats menghendaki aktifitas yang berupa tindakan fisik, sehingga tidak akan sah tanpa menyertakan niat. Maka dengan demikian, niat bersuci untuk menghilangkan hadats hukumnya wajib sama halnya dengan niat untuk mendirikan shalat. Kepada yang bersangkutan haruslah menyertakan niat di dalam hatinya, karena niat merupakan tujuan. Ungkapan niat ini hendaknya ditentukan untuk menghilangkan hadats ayau untuk bersuci fari hadats. Kepadanya diperbolehkan menyatakan niat tersebut dengan salah satunya, sebab dengan itu berarti ia telah niat untuk yang dimaksud, yakni menghilangkan hadats. Akan tetapi yang lebih afdhal, hendaklah ia menyatakan niat sejak mula pertama mengambil air wudlu sampai berakhir sehingga selama berwudlu ia menyertakan niat. Sedangkan fardhunya adalah ketika mula pertama mencuci muka, dengan alasan sebab muka adalah sebagai anggota wudlu yang pertama dari seluruh rangkaian fardhu wudlu. Maka dengan demikian, niat nersuci untuk menghilangkan hadats hukumnya wajib, sama hanlnya dengan niat untuk mendirikan shalat. Kepada yang bersangkutan haruslah menyertakan niat dalam hatinya, karena niat merupakan tujuan. Ungkapan niat ini hendaknya ditentukan untuk menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats. Kepadanya diperbolehkan menyatakan niat tersebut dengan salah satunya, sebab dengan itu berarti ia telah niat untuk yang dimaksud, yakni menghilangkan hadats. Akan tetapi yang lebih afdhal, hendaklah ia menyatakan niat sejak mula pertama mengambil air wudlu sampai berakhir sehingga selama berwudlu ia menyertakan niat. Sedangkan fardhunya adalah ketika mula pertama mencuci muka, dengan alasan sebab muka adalah sebagai anggota wudlu yang pertama dari seluruh rangkaian fardhu wudlu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">6. Cara Wudhu<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span></b><span style="font-family: Arial;">Wudhu adalah merupakan fardlu berdasarkan sabda Nabi saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia hadats sampai berwudhu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bagi yang wudhul diperbolehkan meminta bantuan orang lain, sebagaimana diriwayatkan, sesungguhnya Al-Mughirah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudhu pada suatu malam di tabuk. Dan sesungguhnya Usamah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudlu di pagi hari pada waktu haji wada’ sesudah beliau beranjak dari Arafah, (tepatnya) di antara Arafah dan Muzdalifah. Kemudian diriwayatkan pula dari Hudzaifah bin Abu Hudzifah dari Shafwan bin ‘Assal r.a., ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku pernah menuangkan air kepada Nabi saw. saat beliau sedang berada di tempat atau saat beliau sedang dalam perjalanan, ketika beliau hendak mengambil wudlu, lalu beliau memulainya dengan niat seraya berkata: Aku niat menghilangkan hadats wudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Niat adalah fardlu. Kemudian daripada itu disunnahkan menyebut nama Allah Ta’ala (membaca basmalah) karena wudlu, sebagaimana dikemukan dalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barang siapa wudlu dan ia menyebut nama Allah Ta’ala, maka hal itu menyebabkan suci bagi seluruh badannya. Oleh karena itu, bila ia lupa menyebutnya pada mula pertama wudlu dan baru ingat saat tengah wudlu, hendaklah ia menyebutnya sehingga wudlu tersebut tidak kosong dari (menyebut) nama Allah ‘Azza wa Jalla”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sesudah niat dan menyebut nama Allah Ta’ala, mencuci kedua telapak tangan tiga kali. Sebab Utsman dan Ali r.a., keduanya telah menggambarkan wudlu Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kemudian keduanya mencuci tangan tiga kali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Selanjutnya yang bersangkutan menggerak-gerakkan cincinnya jika keadaannya sempit agar air benar-benar sampai menembus kulit yang ada di balik cincin. Sesudah itu dia berkumur tiga kali dan menghirup air <i style="mso-bidi-font-style: normal;">(istinsyaq) </i>tiga kali dengan mendahulukan berkumur dari instinsyaq. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Abasah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tidak seorang pun di antara kalian yang mendekatkan wudlunya, kemudian berkumur, kemudian beristinsyaq dan (sesudah itu) mengeluarkannya (agar kotoran yang ada dalam hidung terbawa keluar), melainkan mengalirlah dosa-dosa yang ada dalam hidung dan ujungnya bersama air”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan dalam beristinsyaq ini, pertama-tama yang bersangkutan mengambil air dan menghirupnya dengan bagian kanan dan mengeluarkannya dengan bagian kiri, berdasarkan hadits Ali r.a. bahwasanya dia berdoa dengan doa wudlu, lalu berkumur, beristinsyaq, dan mengelurkannya dengan tangan kiri. Kemudian dia berkata: Demikianlah Nabi saw. bersuci (wudlu). Disunatkan melakukan berkumur dan istinsyaq dengan sangat, sebagaiman yang disampaikan oleh nabi saw. kepada Al-Laqith bin Shabrah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sempurnakanlah wudlu, jarangkanlah jari-jemari, dan sangatkanlah dalam beristinsyaq, kecuali engkau sedang berpuasa”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bagi yang berwudlu boleh mengambil jarak antara berkumur dengan beristinsyaq dan boleh pula menyambungnya. Alasan bagi yang menyatakan boleh bersambung antara berkumur dengan beristinsyaq, antara lain berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwasanya dia mengambil air lalu berkumur dengannya dan beristinsyaq. Hadits lainnya adalah seperti hadits Abdullah bin Zaid:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Atau dia berkumur dan beristinsyaq dari tangan sebelah. Dia melakukan hal itu tiga kali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedang alasan yang menyatakan boleh mengambil jarak antara keduanya, antara lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Mashraf dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku melihat Rasulullah saw., beliau mengambil jarak antara berkumur dengan istinsyaq”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Begitu juga disunahkan bagi yang berwudlu bersifak (menggosok gigi) dengan ranting kayu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">arak </i>atau yang lainnya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Seandainya tidak akan memberatkan atas umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam riwayat lain dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Setiap kali hendak wudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Jika bersiwak membuat seseorang kesakitan atau tidak sekalipun, baginya tetap disunatkan menggosok gigi dengan jarinya, berdasarkan hadits Aisyah r.a. Dia pernah bertanya:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ya Rasullallah, bila seseorang tidak bermulut, apakah ia bersiwak? Beliau menjawab: Ya! Lalu aku pun bertanya lagi: Bagaimana ia berbuat? Belaiu pun menjawab: Masukkanlah jarinya ke dalam mulutnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian sesudah itu ia mencuci mukanya sebagai fardlu, berdasarkan firman Allah Ta’ala:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…, maka cucilah muka kalian” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 5:6)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Batasan muka adalah: Dari atas sampai bawah, yaitu mulai dari tempat tumbuh rambut kepala sampai dagu dan ujung jenggot. Sedang lebarnya, mulai telinga sebelah kanan sampai telinga sebelah kiri. Pengertian tempat tumbuh rambut kepal, yaitu tempat tumbuh rambut kepala yang berambut normal. Bila seseorang berjenggot, hendaklah diperhatikan: jika jenggot itu tipis, tidak sampai menutupi kulit, maka yang bersangkutan wajib mencuci kulit dan jenggotnya. Sedangkan jika jenggot itu tebal, sehingga menutupi kulit di baliknya, kepadanya hanya diwajibkan mencuci jenggotnya saja, tidak wajib mencuci kulit yang ada di baliknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. wudlu, lalu beliau mengambil air hanya dengan kedua telapak tangannya saja dan hanya sekali saja serta mencuci mukanya dengan air tersebut”. <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hanya dengan kedua telapak tangannya dan hanya sekali mengambil saja, sudah barang tentu bagi orang yang berjenggot tebal tidak akan membuat air sampai pada kulit yang ada di balik jenggot. Namun demikian, disunatkan bagi yang berjenggot tebal menyibak-nyibakkannya, yakni menjarangkannya, berdasarkan hadits Utsman r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi menyibak-nyibak jenggotnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Setelah itu, ia mencuci kedua tangannya sampai dengan sikut. Ini adalah merupakan fardlu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…dan tangan kalian sampai sikut” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 5 : 6)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dalam mencuci kedua tangan ini disunatkan memulai dengan bagian kanan kemudian yang kiri, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oelh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabsa:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Apabila kalian wudlu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Namun demikian bila sampai terjadi dengan mendahulukan bagian kiri, hukumnya boleh karena dalam Al-Qur’an, Allah SWT. juga hanya berfirman: <u>( , </u>dan tangan kalian). Dalam mencuci kedua tangan wajib meliputi sikut, bukan hanya sampai pangkal, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya dia wudlu lalu mencuci kedua tangannya sampai kedua sendi (sikut) dan dia pun mencuci kedua kakinya sampai kedua betisnya. Kemudian dia berkata: <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Demikianlah aku melihat Rasulullah saw. wudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Begitu juga halnya konsensus para ulama berketetapan, sesungguhnya sikut itu sendiri adalah bagian yang harus dicuci. Sesudah itu, kemudian ia menyapu kepala. Hukum menyapu kepala ini adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…dan sapulah kepala kalian” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 5 : 6)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Batasan kepala yaitu seluruh bagian yang ditumbuhi rambut bagi yang berambut normal dan dua bagian yang melingkari ubun-ubun. Keharusan menyapu kepala ini cukup dengan mengusap saja, sekalipun hanya sedikit, karena Allah Ta’alajuga hanya menyuruh mengusap saja yang berarti mengandung makna sedikit dan banyak. Minimal -dalam menyapu kepala ini-- dengan air yang terbawa oleh telunjuk dan menyapu pada bagian mana saja dari kepala walau hanya sedikit yang diyakini, bahwa bagian kepala telah disapu atau diusap. Akan tetapi sunnatnya adalah seluruh bagian kepala disapu, mulai dengan mengambil air dengan kedua telapak tangan lalu menyapukannya dan menyambungkan ujung kedua jari manis, kemudian meletakkannya pada bagian depan kepala dan meletakkan kedua ibu jari pada bagian pelipis yang selanjutnya ditarik ke bagian belakang kepala dan setelah itu menarik kembali pada bagian depan kepala. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Miqdad bin Ma’diyakrib:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepala dan bagian luar dalam kedua telinganya serta beliau memasukkan kedua telunjuk ke dalam lubang kedua telinganya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sebaiknya menyapu kedua telinga dilakukan dengan air baru, bukan air yang dipergunakan untuk menyapu kepala, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abdullah bin Zaid, bahwasanya dia melihat Rasulullah saw. berwudlu, maka beliau mengambil air untuk menyapu kedua telinganya bukan dengan air yang telah dipergunakan untuk menyapu kepalanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Kemudian sesudah itu ia mencuci kedua kaki. Mencuci kedua kaki adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 5 : 6).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam shahih Bukhari Muslim dinyatakan juga, sesungguhnya Rasulullah saw. pernah melihat sekelompk kaum muslimin berwudlu, sedang tumit mereka tampak tidak tersapu oleh air, maka beliau bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Celakalah tumit-tumit itu karena jilatan api neraka”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pernyataan ini merupakan penjelasan, bahwa mencuci seluruh bagian kaki adalah fardlu. Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a. dikisahkan, bahwasanya seseorang berwudlu namun bagian kuku pada kedua kakinya tidak dicuci. Oleh karenanya, maka ia menyampaikan kasus ini kepada Nabi saw., maka bersabdalah Beliau:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ulangilah wudlu kamu dengan baik”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari atayhnya dari kakeknyadikemukakan pula bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi saw lalu bertanya : Ya Rasulullah bagaimana bersuci itu ? Kemudian beliau meminta air selanjutnya beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali ( dalam hadits ini dituturkan langkah-langkah berikutnya sampai ia berkata ) : Kemudian beliau mencuci kedua kakinya tiga kali dan setelah itu beliau bersabda : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“ Demikianlah cara bewudlu maka barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku zhalim “ </span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pada saat mencuci kedua kaki, wajib menyertakan kedua mata kakinya, sebagaimana firman Allah SWT:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 5: 6)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Utsman ketika mensifati wudlu Rasulullah saw. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kemudian beliau mencuci kakinya yang kanan sampai kedua mata kakinya, kemudian yang kiri juga”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tidak didapatkan riwayat yang menerangkan, bahwa Rasulullah saw. melakukan wudlu dengan menyalahi riwayat yang dikemukakan di atas, atau mengakui, atau menyatakan bahwa menyalahinya diperbolehkan. Sesungguhnya pernyataan dalam firman Allah yang berbunyi <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">ilal ka’baini</i> </b>(yakni, sampai dengan kedua mata kaki) adalah merupakan dalil, bahwa mencuci kedua kaki meliputi mata kakinya adalah fardlu, karena ghayah (tujuan akhir) termasuk ke dalam tempat tujuan akhir itu sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesuatu yang bersifat wajib bila tidak terpenuhi kecuali dengannya, maka hal itu hukumnya wajib”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunnahkan mencuci kaki dengan mendahulukan bagian kanan dari bagian kiri dan menjarangkan jemarinya, seperti dikemukakan dalam sabda Nabi saw. yang disampaikan kepada Al-Laqith bin Shanrah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Jarangkanlah olehmu jari jemari.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian daripada itu, disunnahkan pula pada saat mencuci kedua tangan melampaui kedua sikut pada waktu mencuci kedua kaki melampaui kedua mata kakinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Akan datang umatku pada hari kiamat bertanda putih dikening dan kakinya, sebagai tanda bekas wudlu. Maka barang siapa mampu agar tanda itu berkepanjangan padanya, hendaklah melakukannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dan disunnahkan juga dalam wudlu melakukannya tiga kali-tiga kali, berdasarkan hadits Ali r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana lebih dari tiga kali, hukumnya makruh, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau bersabda: Demikianlah cara berwudlu. Barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya, sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku dzalim”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Namun demikian, diperbolehkan walau hanya satu kali-satu kali atau dua kali-dua kali saja, karena hal itu juga pernah dicontohkan oleh Nabi saw., yakni bahwasanya beliau berwudlu satu kali-satu kali, dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Seperti inilah cara berwudlu. Hendaknya cara tersebut dilakukan dengan berurutan (tertib), yakni memulai dengan mencuci muka, kedua tangan, menyabu kepala, kemudian mencuci kedua kaki, dengan alasan: Sesungguhnya Allah SWT. telah menyertakan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“menyapu”</b> di antara mencuci, yakni antara kedua tangan dengan kedua kaki, sehingga hukum kasus yang sama terputus dari kasus yang sama pula. Maksud dari kasus ini tidak lain berimplikasi, bahwa tertib itu hukumnya fardlu. Dan hadits hadits shahih yang diterima dari para sahabat juga, yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang cara berwudlu Nabi saw. seluruhnya menerangkan wudlu beliau dilakukan secara berurutan. Padahal para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tentang cara wudlu beliau banyak sekali dan wudlu beliau juga disaksikan oleh mereka dilakukannya di berbagai tempat serta tidak ada yang mengukuhkan tentang cara wudlu beliau dengan cara yang tidak tertib. Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika wudlu adalah merupakan penjelasan cara wudlu seperti yang diperintahkan dan ketika beliau hanya menepati satu cara dalam wudlu ini merupakan petunjuk yang kua sebagai suatu ketetapan, sehingga jadilah tertib sebagai fardlu. Selanjutnya wajib pula berkesinambungan dalam membersihkan setiap anggota wudlu. Akan tetapi bila hanya terputusnya sebentar tidaklah mengapa. Sedangkan bila terputusnya lama, maka wudlu tersebut tidak sah. Sebab dalam hal ini, yakni berkesinambungan saat berwudlu hukumnya fardlu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Khalid bin Ma’dan dari para sahabat:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“SesungguhnyaNabi saw. melihat seorang laki-laki sedang shalat dan dibelakang kakinya tampak kulit mengering sebesar uang logam satu dirham karena tidak kena air. Maka beliau pun menyuruhnya agar mengulangi wudlunya bersama shalat tersebut”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Umar ra. -sebagai hadits <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mauquf</i> yang disandarkan kepadanya-bahwasanya dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sungguh orang yang mengerjakan hal itu, haruslah kamu itu mengulangi kembali wudlu kamu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Seandainya berkenambungan bukan fardlu, niscaya kepada yang bersangkutan cukup hanya mengulang mencuci kedua kakinya saja. Dengan demikian, maka perintah mengulang kembali wudlu secara menyeluruh bersama sahalatnya tersebut, ini adalah merupakan dalil bahwa berkesinambungan hukumnya wajib. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dan pada akhirnya seusai wudlu disunnahkan berdoa:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan pleh Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barang siapa wudlu, lalu ia wudlu dengan baik kemudian berdoa: <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya)</b> sedang ia membacanya dengan tulus dari lubuk hatinya, maka Allah membukakan baginya kedelapan pintu syurga dan ia diperbolehkan masuk sana dari pintu mana saja yang ia kehendaki”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">7. Menyapu Sepatu <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span></b><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span><span style="font-family: Arial;">Menyapu sepatu saat wudlu hukumnya boleh, berdasarkan sebuah riwayat yang mengemukakan, sesungguhnya Nabi saw. pernah melakukannya. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan untuk menghilangkan hadats besar (junub). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Shafwan bin ‘Assal Al Muradi r.a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Telah menyuruh kepada kami, yakni nabi saw. agar menyapu kedua sepatu jika kami mengenakannya dalam keadaan bersih selama tiga hari saat kami sedang dalam perjalanan, dan sehari semalam saat kami sedang ada di tempat. Dan kami tidak melepasnya karena buang hajat besar, hajat kecil, dan tidak (pula) karena tidur serta kami tidak melepasnya kecuali karena junub”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bagi yang sedang berada di tempat diperbolehkan menyapu sepatu selama sehari semalam dan bagi yang sedang bepergian selama tiga hari tiga malam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. menetapkan bagi musafir selama tiga hari bersama malam-malamnya dan bagi yang mukim sehari semalam”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ketetapan ini terhitung sejak yang bersangkutan hadats sesudah ia mengenakan sepatu dengan alasan, karena ungkapan hadits di atas berbunyi (---------------, yakni: Telah menyuruh kepada kami agar menyapu). Tentu saja menyapu baru dimulai sejak waktunya diperbolehkan, sedang diperbolehkan menyapu itu bermula sejak hadats terjadi. Diperbolehkan menyapu ini hanya untuk setiap sepatu yang masih baik, bersih, dan menutupi kaki yang harus dicuci ketika wudlu, yaitu sampai dengan mata kaki. Begitu juga halnya sama dengan sepatu, pakaian yang biasa dikenakan pada kaki, baik itu terbuat dari kulit, atau karet, atau kain, maupun yang lainnya. Hanya saja disyaratkan bagi semua itu menutupi bagian kaki yang harus dicuci saat wudhu, karena menutupi ini -berdasarkan konsensus para ulama-adalah merupakan syarat. Makna dari ungkapan, “pakaian yang biasa dikenakan pada kaki…” yaitu pakaian yang biasa dikenakan baik saat berada ditempat maupun saat bepergian, dan berdasarkan kebutuhan yang selalu terjadi, baik saat berada di rumah dan sedang berada di tempat maupun di luar itu, sebagaimana layaknya orang yang memakai sepatu. Dalam kasusu seperti ini tidak disyaratkan adanya jarak tempuh. Begitu juga halnya sama dengan sepatu dalam semua ketentuannya bagi kaus kaki, yakni diperbolehkan menyapunya tanpa harus mempertimbangkan, apakah kaus kaki itu tebal atau tipis, baik bersandal maupun tidak, berdasarkan hadits yang dikemukakan dari al Mughirah bin Syu’bah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. berwudhu dan menyapu kaus kaki dan sandalnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan juga dari Umar dan Ali r.a. bahwa menyapu kaus kaki sekalipun kaus tersebut tipis adalah diperbolehkan. Menyapu sepatu atau kaus kaki ini diperbolehkan dengan syarat bila dikenakan dalam keadaan suci secara sempurna, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bahwasanya Rasulullah saw. telah memberi keringanan bagi musyafir selama tiga hari bersama malam-malamnya dan bagi yang mukim sehari semalam, jika ia bersuci terlebih dahulu lalu mengenakan sepatunya untuk disapu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan dalam menyapu sepatu ini menyapu bagian atasnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari al Mughirah bin Syu’bah r.a. bahwasanya dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku melihat Rasulullah saw. menyapu bagian atas kdua sepatunya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bagi yang bersangkutan disunatkan pula menyapu bagian atas dan bagian bawah sepatu dengan cara ia menaruh tangannya ke dalam air, kemudian meletakkan telapak tangan kiri di bawah bagian belakang sepatu dan meletakkan telapak tangan kanannya di atas bagian depan sepatu, lalu ditarik sampai pada bagian belakangnya. Sedang telapak tangan kiri ditarik sampai pada bagian depannya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al Mughirah bin Syu’bah r.a. bahwasanya dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku telah membantu Rasulullah saw. berwudhu, pada waktu Perang Tabuk, lalu beliau menyapu bagian atas dan bagian bawah sepatunya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Namun demikian dalam menyapu sepatu itu tidak disyaratkan harus menyapu seluruh bagian sepatu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">8. Tayammum<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tayammum dari hadats kecil diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (wc) atau menyentuh perempuan, lalu kaliantidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih):.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Begitu juga tayammum dari hadats besar, yakni junub, haid, dan nifas, diperbolehkan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘ammar bin Yasir r.a. di mana ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku junub, lalu aku pun menggaruk-garukkan badan pada tanah. Kemudian aku sampaikan kepada Nabi saw. cara seperti itu, maka bersabdalah Nabi saw. : ‘Sesungguhnya cukup bagimu seperti ini: Beliau meletakkan kedua tangannya pada tanah dan meniup tanah yang menempel pada kedua tangannya. Kemudian dengan kedua tangannya itu beliau menyapu muka dan dua telapak tangannya’”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Cara bertayammum adalah menyapu muka dan kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah 6)<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir dikemukakan, sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dalam bertayammum itu (hanya) sekali menepuk (tanah) untuk muka dan kedua tangan”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Namum demikian diperbolehkan dengan dua kali menepuk tanah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah dan Ibnu Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tayammum itu dua kali menepuk (tanah); sekali tepukan untuk muka dan sekali tepukan (lagi) untuk kedua tangan sanpai dengan kedua sikutnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dan berdasarkan hadits Jabir yang mengemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tayammum itu sekali tepukan untuk muka dan sekali tepukan (lagi) untuk kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya. Dan ini merupakan (cara) tayammum yang paling sempurna”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diperbolehkan dalam tayammum hanya dengan satu atau dua tepukan untuk menyapu muka dan kedua telapak tangan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ammar di atas dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud juga dari ‘Ammar di mana ia telah berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang tayammum. Maka Beliau menyuruhku dengan hanya satu tepukan untuk muka dan kedua telapak tangan”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tayamum tidak diperbolehkan kecuali hanya dengan tanah yang bersih, karena yang dimaksud dengan ( ) dalam firman Allah SWT. ini adalah tanah yang bersih. Dalam kamus <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Al-Qamus</i></b> dikemukakan ( ) adalah tanah. <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Al-Azhari </b>berkata : Mayoritas para ulama berpendapat, sesungguhnya yang dimaksud dengan ( ) dalam firman Allah SWT ( ) adalah tanah. Dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Fiqh al-Lughah </i>karangan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Ats-Tsa’labi </b>dikemukakan : ( ) adalah tanah pada permukaan bumi. Begitu juga Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah SWT. ( ), yakni tanah yang bersih. Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman r.a. dikisahkan, sesungguhnya nabi saw. talah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kita telah diberi keutamaan atas umat-umat yang lain dengan tifa: Bumi telah dijadikan bagi kita sebagai masjid, tanahnya telah dijadikan bagi kita suci, dan barisan-barisan kita telah dijadikan seperti barisan-barisan malaikat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits Muslim dari Hadits Hudzaifah -sebagai hadits marfu’-dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan tanah telah dijadikan suci bagi kita”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits Ali Karramallahu Wajhahu disebutkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan tanah telah dijadikan suci bagiku”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kedua hadits di atas bersifat khusus, yakni bahwa yang dimaksud dengan ( dan ) adalah tanah yang dipermukaan bumi ( ). Oleh karena itu, hendaklah makna ( ) diberi makna yang khusus, seperti yang termaktub dalam hadits Abu Umamah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan bumi (maksudnya tanah) seluruhnya telah dijaikan masjid dan suci bagiku dan bagi umatku”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Makna ini telah diperkuat lagi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan bumi seluruhnya telah dijadikan masijid bagi kita dan tanahnya telah dijadikan suci bagi kita jika kita tidak memperoleh air”.</span></i><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian dari pada itu, lafadz ( , yakni usaplah oleh kalian) juga menghendaki adanya sesuatu yang disapu dengannya. Hal ini juga tidak mungkin terjadi kecuali bila ada tanah yang menempel pada kedua telapak tangan pada waktu ditepukkan pada permukaan bumi (tanah). Dengan demikian, maka tanah itu harus berdebu sehingga benar-benar ada yang menempel pada anggota yang disapu. Sedangakan kerikil ( ) yang tidak berdebu, maka tidak boleh bertayamum dengannya. Kemudian tayamum ini tidak sah tanpa niat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana hendak tayamum, sama halnya dengan wudlu, yang bersangkutan disunnatkan membaca <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">basmalah</i></b>, yakni menyebut nama Allah Azza wa Jalla. Kemudian ia wajib niat, selanjutnya menepukkan kedua telapak tangannya pada tanah dan menenggelamkan jari-jemari jika tanah itu lembut. Seandainya ia tidak menepukkan dan hanya meletakkan kedua telapak tangannya pada tanah tersebut sudah dianggap memadai (boleh). Sesudah itu, ia menyapu muka dengan rata ke seluruh bagian muka sampai pada batas tempat tumbuh rambut kepala bagi yang berambut normal. Langkah berikutnya, ia menepukkan, ia menepukkan kedua telapak tangannya untuk kedua kalinya dan meletakkan bagian dalam jari jemari bagian luar sebelah kanan, dan menariknya melintasi bagian luar telapak tangan sampai sikut, kemudian memutarnya pada bagian dalam sikut dan menariknya dengan mengangkat ibu jari sampai pergelangan tangan. Ketika telapak tangan kiri sampai pada pergelangan, maka ibu jari tangan kiri ditarik ke atas ibu jari tangan kanan, kemudian tangan kiri disapu dengan telapak tangan seperti yang dilakukan sebelumnya dan pada akhirnya ia menyapu kedua telapak tangannya dengan menjarangkan jari jemari secara bergiliran . Fardlu tayamum dari tata cara di atas, yaitu: Niat, menyapu muka, menyapu kedua tangan, dan mendahulukan muka daripada tangan. Sedangkan sunnat-sunnatnya: membaca basmalah dan mendahulukan tangan kanan dari tangan kiri. Tayamum tidak boleh dilakukan kecuali karena tidak mendapatkan air atau karena yang bersangkutan berhalangan menggunakan air. Adapun yang menjadi alasan, mengapa orang yang mendapatkan air tidak diperbolehkan tayamum adalah firman Allah SWT.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah”. </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 5: 6)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tanah yang baik (bersih) adalah wudlunya seorang muslim ketika ia tidak mendapatkan air”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Orang yang berhajat air karena kehausan dianggap seperti orang yang tidak mendapatkan air, sehingga oleh karenanya ia tidak boleh wudlu dengannya. Dalam kasus seperti ini ia harus lebih mengutamakan menyimpan air untuk persediaan minum. Taymmum tidak boleh dilakukan kecuali sudah benar-benar diusahakan untuk mendapatkan air namun tidak diperoleh, sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh firman Allah SWT.: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“…, lalu kalian tidak memperoleh air”. </i>Kemudian berusaha agar memperoleh air tidk sah kecuali sesudah masuk waktu shalat, karena berusaha agar memperoleh air motifnya untuk mengukuhkan syarat boleh tayammum, yaitu karena tidak ada air. Pada waktu mencari air yang bersangkutan harus menengok ke kanan dan ke kiri, di samping menengol ke depan dan ke belakang. Jika terpampang di depannya gunung atau apa saja yang menghalangi, maka ia pun harus memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Seandainya ia berteman, maka ia harus bertanya dan berkonsultasi tentang air bersamanya. Ketika dia memberinya, maka ia harus menerimanya. Pada waktu dia menjualnya dengan harga yang wajar dan ia memiliki uang untuk membelinya, maka air tersebut harus dibelinya. Kemudian saat ada seseorang yang menunjukkan tempat ditemukan air dan ia tidak khawatir akan kehabisan waktu shalat, tidak takut tertinggal teman, tidak cemas akan bahaya yang mengancam diri dan hartanya, maka ia harus mengejarnya. Dalam tayammum juga disyaratkan, hendaknya dilakukan sesudah waktu shalat tiba, dan tayammum hanya berlaku bagi satu kali mengerjakan shalat fardlu. Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’ib dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Telah dijadikan tanah sebagai masjid dan suci bagiku, sehingga kapan saja waktu shalat menemuiku maka aku pun menyapu dan shalat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila seorang mukallaf tidak mendapatkan, baik air maupun tanah, karena dia dikurung di dalam ruangan yang najis atau dalam ruangan tertembok, atau dalam tanah keras yang tidak berdebu, maka tetap ia harus shalat sesuai dengan kondisi tanpa harus mengulang saat air ditemukan. Kasus seperti ini didasarkan pada hadits Aisyah r.a. bahwasanya ia pernah meminjam kalung dari Asma’ dan kalung tersebut hilang. Kemudian Rasulullah saw. menyuruh para sahabat untuk mencarinya dan saat mereka melakukan pencarian waktu shalat pun tiba, lalu mereka pun shalat tanpa wudlu. Ketika mereka kembali kepada Nabi saw. mereka pun mengadukan hak itu kepadanya, maka turunlah ayat tayammum. Mereka telah shalat tanpa wudlu dan Rasulullah saw. juga tidak menyuruh mereka untuk mengulangi kembali shalat mereka. Dalam hal ini kita mengacu pada hadits Nabi saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan untuk kalian, maka kerjakanlah sedapat mungkin”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sebagai orang muslim kita diperintah untuk mendirikan shalat menepati syarat dan rukunnya. Bilamana sebagian ketentuannya tidak bisa dipenuhi, maka ketentuan yang lainnya tetap harus ditepati. Hal ini seperti bila seseorang tidak kuasa menutup aurat, maka hendaklah ia shalat tanpa menutup aurat. Atau sekiranya seseorang tidak bisa menentukan arah kiblat, maka hendaklah ia shalat ke arah mana saja yang ia yakini bahwa di sana arah kiblat. Atau saat seseorang tidak mampu memenuhi salah satu rukunnya, seperti berdiri, maka hendaklah shalat sambil duduk. Atau kalau seseorang tidak dapat memperoleh air, bahkan tanah sekalipun, maka hendaklah ia shalat tanpa wudlu atau tayammum. Dengan cara seperti itu, berarti<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial;">halaman 29 hasil terjemahan, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nggak ada<o:p></o:p></i></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">membalut kepalanya dengan pembalut (kain) lalu menyapunya, dan mencuci seluruh tubuhnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">9. Yang membatalkan wudlu<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Segala yang keluar qubul dan dubur Bani Adam membatalkan wudlu, baik itu kotoran, air kencing, kentut, belatung, nanah, darah, kerikil, maupun lainnya. Tidak ada bedanya dalam hal ini, baik itu yang langka maupun yang biasa. Begitu juga tidur, hilang akal bukan karena tidur, menyentuh kulit wanita, memegang kemaluan, semua ini membatalkan wudlu. Sedang selain dari itu tidak membatalkan wudlu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dasar hukum mengaoa segala yang keluar dari qubul dan dubur Bani Adam membatalkan wudlu adalah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah SWT.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…atau salah seorang di antara kalian kembali dari tempat buang air (WC)” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 5:6).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tidak ada wudlu kecuali karena kentut yang bersuara atau (keluar) angin”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah dalam hadits lain:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bilamana salah seorang di antara kalian mendapatkan sesuatu dalam perutnya, maka yakinlah hal apakah sesuatu (benar-benar) telah keluar daripadanya atau tidak. Maka hendaklah ia tidak sampai keluar dari masjid sampai (benar-benar) ia mendengar bunyi (kentut) atau mendapatkan angin (mencium baunya)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah saw. tentang madzi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dzakarnya dicuci dan berwudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw. tentang wadi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dalam wadi (mengharuskan) wudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tidur yang membatalkan wudlu, yaitu tidur sambil merebahkan badan, atau bersandar, atau telungkup. Sedangkan tidur yang dilakukan sambil duduk sementara pantat yang bersangkutan merapat pada tempat duduknya, maka hal itu tidak membatalkan wudlu sekalipun tidurnya itu sampai mendengkur. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ali Karramallahu Wajhahu dikemukakan, bahwa Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kedua mata itu kekangnya ekor, maka barang siapa tidur hendaklah berwudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra. Dikemukakan, bahwasanya dia telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Para sahabat Rasulullah saw. pernah menunggu shalat Isya’ sehingga mereka tertidur sambil duduk, kemudian mereka shalat dan mereka tidak wudlu (terlebih dulu)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedang dalam riwayat Al-Baihaqi dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sungguh aku telah melihaat para sahabat Rasulullah saw. bangun tidur untuk shalat sampai aku pun mendengar salah seorang diantara mereka mendengkur (ngorok), namun kemudian mereka bangun lalu shalat dan tidak wudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun hilang akal selain kerena tidur, yaitu gila atau sawan celeng, atau mabuk, atau sakit yang menimbulkan hilang kesadaran, mengapa semua itu membatalkan wudlu adalah berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedang alasan, bahwa menyentuh kulit wanita membatalkan wudlu adalah sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’ ayat 43 dan dalam surah Al-Maidah ayat 6, yaitu:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“…atau kalian menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah kalin”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam ayat di atas kata ( , yakni menyentuh) di’athafkan pada kata ( , yakni yang kembali dari tempat buang hajat) dan sebagai akibat dari kedua perbuatan tersebut timbulnya perintah tayammum ketika tidak diperoleh air. ‘Athaf seperti ini menunjukkan, bahwa menyentuh perempuan menimbulkan hadats seperti seorang yang kembali dari tempat buang hajat (selepas buang hajat besar atau kecil).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Makna dari ( dan ) adalah laki-laki menyentuh kulit perempuan dan sebaliknya tanpa ada penghalang diantara keduanya, sehingga batallah wudlu yang menyentuh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. ( , yakni atau kalian menyentuh perempuan). Dalam salah satu qiraat sab’ah ayat ini dibaca: ( ). Jadi menyentuh perempuan membatalkan wudlu. Kata ( ) menurut bahasa adalah semata-mata menyentuh dengan tangan dan tidak diartikan dengan makna bersetubuh melainkan sebagai kiasan (majaz) yang disertai dengan petunjuk (qarinah). Begitu juga kata ( ) di sini tidak dapat diartikan sebagai kata majaz kecuali ketika arti yang sebenarnya tidak mendukung. Al-Hakim telah berdalih, bahwa yang dimaksud dengan ( ) dalam ayat di atas adalah bukan bersetubuh, berdasarkan hadits Aisyah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tidak pernah barang sehari atau kurang dari sehari melainkan Rasulullah saw. itu mendatangi kami, lalu beliau mencium dan menyentuh”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Al-Baihaqi juga telah berdalil dengan hadits Abu Hurairah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tangan itu zinanya menyentuh”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam kisah Ma’iz diceritakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bisa jadi kamu mencium atau menyentuh”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits Umar dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ciuman itu merupakan sentuhan, maka wudlulah kalian karenanya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Semua dalil di atas menegaskan, bahwa ayat tersebut menunjukkan makna menyentuh secara hakiki, bukan majazi, yaitu menyentuh atau meraba dengan tangan. Hali ini diperkuat lagi dengan pemehaman para sahabat terhadap ayat ini, yakni bahwa ( ) yang berarti menyentuh (meraba) dengan tangan adalah membatalkan wudlu. Ibnu Umar telah menegaskan, sesungguhnya orang yang mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka ia harus wudlu. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dikemukakan dengan ungkapan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ciuman itu merupakan sentuhan dan karenanya mengharuskan wudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedangkan perihal hadits yang diriwayatkan dari Aisyah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. mencium sebagian isterinya kemudian beliau shalat dan tidak wudlu (lagi)”.</i> Ternyata semua periwayatannya dha’if. Bahkan lebih dari itu, sesungguhnya hadits tersebut berlawanan dengan teks ayat di atas. Adapun hadits lain yang diriwayatkan oleh Aisyah juga:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…sehingga bila beliau bermaksud hendak witir beliau menyentuhku dengan kakinya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Kemudian dia dalam riwayat lain berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Jika beliau sujud, maka beliau juga mencandai aku lalu aku pun memegang kakiku, dan bila berdiri aku pun melepaskannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hadits ini juga berlawanan dengan ayat tersebut. Dengan demikian, kedua hadits di atas merupakan kekhususan bagi Nabi saw. Hal ini berdasarkan adanya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nash qauli</i> yang berlawanan. Bilamana ada pernyataan dalam Al_qur’an atau hadits, kemudian perbuatan Rasulullah saw. menyalahinya maka perbuatan tersebut merupakan kekhususan bagi beliau, dan hendaknya perbuatan tersebut tidak dijadikan ikutan. Sebab dalam kasus seperti ini, bahwasanya perbuatan Rasulullah saw. tidak pernah berlawanan dengan pernyataan umum yang dikemukakan dalam Al-Qur’an atau hadits. Begitu juga dalam kasus seperti ini tidak boleh dinyatakan, bahwa hadits tersebut berlawanan dengan ayat itu lalu makna yang terkandung dalam hadits yang dijadikan pegangan sekalipun dengan alasan, karena hadits tersebut sebagai tafsir bagi ayat itu. Hal tersebut jangan sampai terjadi, karena lafadz yang dikemukakan dalam ayat di atas, yaitu ( ) atau ( ), tidak bersifat umum kemudian hadits membuatnya bersifat khusus. Begitu pula hal tersebut jangan sampai dikatakan, bahwa ayat di atas bersifat mutlak kemudian hadits membatasinya serta jangan pula dinyatakan, bahwa lafadz dalam ayat di atas merupakan lafadz yang mempunyai banyak arti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">(musytarak) </i> kemudian hadits menentukan makna yang dikehendaki. Selanjutnya jangan pula dianggap, bahwa lafadz yang bersifat mujmal kemudian hadits memerincinya, atau dianggap sebagai lafadz yang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mubham</i> (tidak jelas) kemudian hadits dikatakan sebagai penafsir dan penjelasnya. Semua itu jangan sampai terjadi, sebab lafadz dalam ayat di atas dalalahnya jelas dan hanya memiliki satu makna yang bersifat hakiki, sehingga adanya hadits yang berlawanan dengannya tidak bisa diterima dan sudah barang tentu hadits tersebut harus ditolak dan diarahkan pada makna lain selaras dengan maksud disabdakannya, yaitu bahwa makna yang dikandungnya itu bersifat khusus bagi Nabi saw. Atas dasar ini, maka ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudlu. Hanya saja yang batal wudlunya itu adalah hanya yang menyentuh saja. Sedangkan yang disentuh tidak batal wudlunya. Hal ini dengan alasan, karena ayat di atas menunjukkan bahwa yang batal wudlunya itu hanya yang menyentuh dan tidak bagi yang disentuh, baik ditinjau dari segi mantuq, mafhum, maupun dari segi dalalah. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Alasan ini didukung dan diperkuat lagi oleh hadits yang meriwayatkan, sesungguhnya Aisyah r.a. berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku pernah kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur (kasur). Kemudian aku bangun mencarinya, maka (ketika itu) tanganku menyentuh telapan kedua kakinya. Pada waktu beliau telah usai dari shalatnya, bersabdalah: Syaitanmu (tindakan tidak baik) telah mendatangimu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam riwayat lain dikemukakan dengan ungkapan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…, maka (ketika itu) tanganku menyentuh bagian bawah kakinya dan beliau (saat itu) berada di masjid sedang kedua kakinya menjulur dan beliau sedang berdao: (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada ridha-Mu dari murka-Mu)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hadits ini menunjukkan , bahwa yang disentuh tidak membuat wudlunya batal. Sebab sekiranya yang disentuh wudlunya batal, niscaya Rasulullah saw. memutuskan shalatnya ketika Aisyah menyentuhnya. Dalam kasus ini tidak ada perbedaan antara yang menyentuh itu apakah perempuan atau laki-laki, yakni bahwa yang batal wudlunya adalah yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak. Akan tetapi bila kulit laki-laki dan perempuan saling bersentuhan, maka keduanya batallah wudlunya. Sebab dalam hal ini keduanya dianggap menyentuh . Adapun bilamana salah seorang diantara keduanya menyentuh rambut lawan jenisnya, atau giginya, atau kukunya, atau ia menyentuh lawan jenisnya dengan gigi, atau rambut, atau dengan kukunya, maka hal itu tidak membatalkan wudlunya kerena kasus ini tidak dianggap menyentuh. Begitu juga tidak membatalkan wudlu, jika seseorang menyentuh perempuan yang masih ada tali kekerabatan yang tidak boleh dikawanini atau belum dewasa, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat sambil memangku Umamah binti Zainab r.a. Maka bila beliau sujud, beliau meletakkannya dan bila berdiri, beliau pun mengangkatnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Umamah saat itu adalah seorang anak perempuan kecil dan muhrim atas Nabi saw.; termasuk muhrim pula -selain cucu perempuan-- perempuan yang ada tali kekerabatan, seperti: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, sebagaimana termasuk muhrim juga, perempuan yang haram dinikahi karena satu susuan, atau karena jadi mertua, anak perempuan isteri. Adapun haram dinikahi untuk sementara, seperti: saudara perempuan isteri, bibi dari pihak ayah dan ibunya, mereka itu dapat membatalkan wudlu ketika disentuhnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sementara soal menyentuh kemaluan, sesungguhnya hal ini baru dapat membatalkan wudlu jika disentuh dengan bagian dalam telapak tangan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yusrah bin Shafwan r.a. yaitu sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Apabila seseorang di antara kalian menyentuh (meraba) kemaluannya (dzakar), maka wudlulah”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedangkan jika seseorang menyentuh kemaluan hanya dengan bagian atas telapak tangannya, maka hal itu tidak membatalkan wudlunya, seperti dinyatakan oleh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bilamana seseorang di antara kalian memnjulurkan tangan pada dzakarnya sedang di antara keduanya tidak ada penghalang, maka perbaharuilah wudlunya untuk shalat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yusrah binti Shafwan juga dikemukakan, sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barangsiapa menyentuh dzakarnya, maka baginya tidak boleh shalat sampai ia berwudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian dalam hadits yang dorowayatkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasai dari Yusrah diceritakan, bahwasanya dia (Yusrah) mendengar Rasulullah saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan berwudlulah orang yang menyentuh dzakarnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pengertian menyentuh dzakar dalam hadits tersebut meliputi dzakar yang bersangkutan dan dzakar orang lain.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan lagi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barangsaiapa menjulurkan tangan pada dzakarnya tanpa penghalang, maka kepadanya wajib wudlu”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Pengertian dari menjulurkan tangan tidak lain yaitu memanjangkan tangan untuk menyentuh (meraba) sesuatu dan sudah barang tentu menyentuh atau lebih tegasnya lagi meraba adalah dengan bagian bawah (dalam) telapak tangan, bukan dengan bagian atas (luar) tangan karena bagian atas telapak tangan bukan alat untuk meraba. Begitu pula halnya menyentuh dzakar orang lain sama dengan menyentuh kemaluan diri sendiri, dan menyentuh qubul dan dubur (Bani Adam) sama seperti menyentuh dzakar, adalah merupakan tindakan yang membatalkan wudlu. Atas dasar ini, maka bilamana seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meraba qubul dirinya tau qubul orang lain, baik anak kecil, atau orang dewasa, apakah ia hidup atau mati, laki-laki maupun perempuan, maka batallah wudlunya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Siapapun laki-laki yang meraba farjinya (qubul maupun dubur), maka berwudlulah. Dan siapapun perempuan yang meraba farjinya, maka berwudkulah”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits Ummu Habibah juga dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa meraba farjinya, maka berwudlulah”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Begitu juga halnya orang yang meraba farjinya orang lain sama dengan meraba farjinya sendiri, karena masih sama-sam farji bani Adam. Lain halnya bila seseorang meraba farji binatang, maka hal itu tidak membatalkan wudlu karena farji binatang tidak termasuk dalam konteks lafadz farji seperti yang dikemukakan dalam hadits nabi saw. yang bersifat khusus untuk farji Bani Adam. Yang batal wudlunya di sini adalah hanya yang meraba saja, sedang yang diraba tidak batal karena hadits di atas juga hanya menyatakan kepada yang meraba dan yang mengulurkan tangannya saja, yakni tidak menyatakan kepada yang diraba, baik secara tekstual maupun secara kontekstual, sehingga oleh karenanya maka hadits di atas menujukkan bahwa yang diraba kemaluannya tidak batal wudlunya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Inilah beberapa hal yang membatalkan wudlu. Bilamana seseorang melakukan salah satu dari kelima hal tersebut, maka batallah wudlunya dan jadilah ia berhadats kecil. Kemudian daripada itu, barang siapa mempunyai wudlu dan ia benar-benar yakin bahwa dirinya suci dari hadats kecil, namun kemudian ragu; apakah ia telah hadats atau belum, maka keraguan tersebut jangan dianggap, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ubbad bin Tamim dari pamannya:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bahwasanya ia telah mengadu kepada Rasulullah saw. tentang seorang laki-laki yang mengira bahwa dirinya mendapatkan sesuatu saat sedang shalat, maka bersabdalah beliau: Janganlah ia beranjak atau berpaling sampai mendengar suara atau mendapatkan angin (bau kentut)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Barang saipa batal wudlunya (berhadats kecil), maka haram baginya shalat berdasarkan sabda Nabi saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Allah tidak menerima shalat tanpa wudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits lain beliau bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian bila (ternyata) ia dalam keadaan hadats dampai dia berwudlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hukum sujud tilawah dan sujud syukur juga sama seperti shalat, yakni harus suci dari hadats kecil (harus mempunyai wudlu). Begitu pula halnya thawaf, sebagaimana dikemukakan dalam sabda Nabi saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Thawaf di Baitullah adalah (sama seperti) shalat, hanya saja dalam thawaf sesungguhnya Allah telah membolehkan bercakap-cakap (berbicara)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Kemudian bagi orang yang batal wudlunya diharamkan menyentuh mushhaf (Al Qur’an).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”</span></i><span style="font-family: Arial;"> (QS. 56 : 79)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kata ganti (dhamir) dalam ayat ini merupakan pengganti dari lafadz (alqur’an) yang terdapat pada ayat sebelumnya, yaitu :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh)” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 56: 77-78)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun yang dimaksud dengan (almuthahharun) yakni, orang-orang yang disucikan), yaitu orang-orang yang disifati sebagai orang-orang suci dari hadats kecil dan hadats besar. Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang menceritakan, sesungguhnya Nabi saw. telah berkirim surat kepada penduduk Yaman yang berisi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Menyentuh mushhaf pengertiannya meliputi menyentuh tulisan, sampul, catatan pinggir, dan seluruh yang dikatagorikan bahwa hal itu sebagai mushhaf. Sedang tempat menyimpan dan yang tidak dikatagorikan sebagai mushhaf tidak diharamkan menyentuhnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">10. Mandi Besar<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></b><span style="font-family: Arial;">Yang mengharuskan mandi besar adalah : Melakukan hubungan sebadan (memasukkan kemaluan -hasyafah- ke dalam farji), keluar mani (ejakulasi), haid, dan nifas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang mengharuskan mandi besar karena melakukan hubungan sebadan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bilaman dua yang dikhitan bertemu, maka mandi besar (hukumnya) wajib”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bertemunya dua yang dikhitan terjadi dengan memasukkan hasyafah ke dalam farji. Hasyafah adalah bagian kelamin yang dikhitan. Hasyafah laki-laki adalah bagian yang dikhitan, yakni yang dibuang kulit penutupnya. Sedang bagian yang dikhitan pada perempuan adalah kulit berbentuk seperti jewer ayam jantan yang terletak di bagian atas vagina. Bilamana hasyafah tersebut masuk ke dalam farji, yakni antara bagian yang dikhitan pada laki-laki dan perempuan saling bertemu dan bersentuhan, maka yang bersangkutan wajib mandi besar sekalipun ia memasukkan hasyafahnya ke dalam farji binatang, baik hidup maupun mati si empunya farji itu, baik yang bersangkutan sampai keluar mani atau tidak. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalamn sebuah hadits, bahwasanya Nabi saw. telah bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bilamana seorang duduk diantara empat pangkalnya (paha) dan dua yang dikhitan menempel, maka wajiblah mandi besar sekalipun ia tidak sampai keluar mani”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang mengharuskan mandi besar karena keluar mani adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri ra. Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya air (mani) itu dari air”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Mandi besar karena keluar air mani ini diharuskan baik keluarnya dalam keadaan yang bersangkutan sedang dalam keadaan (jaga) maupun sedang dalam keadaan tidur. Ummu Salamah ra. Telah meriwayatkan sebuah hadits:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Telah datang Ummu Sulain -istri Abu Thalhah-kepada Rasulullah saw. lalu bertanya: Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari yang baik; apakah perempuan harus madi besar jika ia mimpi bersetubuh? Beliau menjawab: Ya, jika ia melihat air (mani)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Apabila sesorang mimpi bersetubuh namun ia tidak sampai keluar air mani atau ia ragu; apakah ia sampai keluar air mani karenanya, maka kepadanya tidak wajib mandi besar. Sedangkan bila ia mendapatkan air mani sekalipun ia tidak ingat bahwa dirinya telah mimpi bersetubuh, maka kepadanya wajib mandi besar. Hal ini sebagimana diriwayatkan oleh Aisyah ra.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya tentang seorang laki-laki mendapatkan (dirinya) kebasahan, naum ia tidak ingat; apakah dirinya mimpiu bersetubuh. Bersabdalah beliau: Ia wajib mandi besar. Dan tentang seorang laki-laki yang mendapatkan bahwa dirinya mimpi bersetubuh namun ia tidak mendapatkan dirinya kebasahan, beliau bersabda: Tidak wajib madi besar kepadanya”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Keharusan mandi besar ini semata-mata hanya karena keluar air mani saja, sehingga oleh karenanya tidak wajib mandi besar karena keluar madzi atau wadi. Madzi adalah air (cairan) yang keluar karena rangsangan seksual. Sedangkan wadi yaitu cairan yang keluar saat kencing (buang air kecil). Ketetapan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali karramallahu wajhahu, bahwasanya ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku adalah seorang yang mudah keluar air madzi, sehingga di musim dingin pun aku tetap mandi besar sampai punggungku sakit karenanya. Kemudian aku mengadukan hal itu kepada Nabi saw. lalu beliau berkata: Jangan kau lakukan! Bilamana engkau mendapatkan air madzi, maka cucilah dzakarmu dan berwudhulah untuk shalat”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dalil yang mengharuskan mandi besar karena datang bulan (haid) adalah :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian dekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 2 : 222)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw. yang disampaikan kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Apabila datang haid, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berlalu, maka mandi besar dan shalatlah”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedangkan dalil yang mengharuskan mandi besar karena nifas adalah disebabkan darah nifas merupakan darah haid yang tertunda keluarnya. Begitu juga halnya wiladah sama dengan nifas dalam keharusan mandi besar, sekalipun tidak sampai mengeluarkan darah, sebab saat bersalin tentu keluar cairan walau hanya sedikit. Oleh karena itu, bersalin sama seperti darah nifas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Orang junub diharamkan shalat, thawaf, dan menyentuh mushhaf (Al Qur’an). Sebab jangankan karena junub, dikarenakan hadats kecil saja hal itu diharamkan. Maka diharamkannya hal tersebut bagi orang junub (berhadats besar) sikap yang lebih diutamakan. Begitu juga kepadanya diharamkan membaca Al Qur’an, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“</span></i></b><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">Orang junub dan yang sedang haid tidak boleh sedikitpun membaca Al-Qur’an”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Begitu juga kepada orang junub ini diharamkan berdiri di masjid, namun tidak mengapa kalau hanya sekedar berlalu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah SWT.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 4: 43).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana seseorang bermaksud hendak mandi besar dari junub, maka pertama-tama dia menyebut nama Allah (membaca basmalah) dan selanjutnya berturut-turut dia; niat bersuci dari hadats besar; mencuci kedua telapak tangannya tiga kali sebelum dimasukkan ke dalam tempat air; mencuci bagian yang terkena cairan; berwudlu seperti wudlu untuk shalat; memasukkan seluruh jari jemari ke dalam air; mengambil air dengannya dan menyiramkannya pada kepala sambil menjarangkan (menggaruk) pangkal rambut dan jenggot; mengambil air dengan kedua telapak tangan dan menyiramkam air ke seluruh tubuh; menggosok seluruh bagian badan yang bisa dijangkau oleh tangan dan berpindah tempat ; mencuci kedua kaki. Tata cara mandi besar ini berdasarkan gambaran yang dikemukakan oleh Aisyah dan Maimunah r.a. ketika keduanya mensifati mandi besar yang dilakukan oleh Rasulullah saw.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana beliau bersuci dari hadats besar (janabah), pertama mencuci kedua tangannya, kemudian berwudlu seperti wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jemarinya ke dalam air lalu menjarangkan pangkal rambut kepala dengannya, kemudian menuangkan air pada kepalanya tiga kali yang diambil dengan merapatkan kedua telapak tangannya, kemudian menuangkan air pada seluruh kulitnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Maimunah r.a., dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. berwudlu seperti wudlu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya dan beliau mencuci farjinya serta mencuci bagian yang terkena cairan, kemudian beliau menyiramkan air pada badannya, kemudian menuju pada kedua kakinya lalu mencucinya. Ini adalah bersuci janabah”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Yang termasuk sebagai fardlu dalam bersuci dari hadats besar adalah: Niat dan menyiram seluruh badan dengan air bersih. Sedang di luar kedua poin ini adalah sunat. Cara bersuci dari hadats besar bagi laki-laki dan perempuan adalah sama seperti gambaran di atas. Dan bersuci dari hadats besar boleh dilakukan dari air dalam bak, di bawah air terjun, dari air ledeng, boleh dilakukan di laut, di sungai, di sumur, dan sebagainya. Semua itu boleh dipilih selama memenuhi fardlu mandi besar, namun yang paling afdhal adalah yang bisa mencakup sunat-sunat mandi besar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">11. Najis<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Yang dikategorikan sebagai benda najis, yaitu: Air kencing, tahi, muntah, madzi, wadi, selain mani Bani Adam, darah, nanah, cairan luka, darah janin (al ‘alaqah), bangkai, arak, minuman keras selain arak, anjing, babi, daging keledai kampung, dan setiap benda yang terkena oleh salah satu benda najis tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa air kencing najis yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya seorang Arab dari dusun telah kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi). Maka Nabi saw. menyuruh agar mengambil seember air lalu disiramkannya”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa tahi manusia najis yaitu konsensus para shahabat Nabi saw.. Sedang dalil yang menunjukkan bahwa tahi binatang dan tahi burung najis adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. di mana ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua buah batu dan sebuah kotoran (keledai). Beliau mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan kotoran (keledai), lalu bersabda: Sesungguhnya itu adalah najis”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa muntah najis, baik muntah manusia maupun binatang adalah konsensus para ulama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa madzi najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku adalah seorang yang mudah keluar madzi. Maka aku menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu bersabdalah beliau: Bilaman engkau melihat madzi, maka cucilah dzakarmu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wadi najis adalah dikarenakan wadi keluar dari air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Sedangkan dalil yang menjadi alasan, mengapa wadi selain bani Adam juga najis, karena wadi tersebut keluar dari tempat keluar air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Dikecualikan dari air kencing air mani Bani Adam, yakni bahwa air mani Bani Adam adalah suci. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bahwasanya ia (Aisyah r.a. menggosak-gosok air mani agar terkelupas dari baju Rasulullah saw. sedang beliau dalam keadaan shalat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Seandainya air mani (bani Adam) najis, sudah barang tentu shalat tidak akan dikerjakan oleh beliau sementara baju yang dikenakannya ada air mani yang menempel.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa darah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma’ r.a. bahwasanya ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah saw, kemudian ia berkata: Salah seorang diantara kami bajunya terkena darah haid; bagaimanakah kami harus berbuat dengannya? Beliau bersabda: Gosoklah, kemudian bilasnlah bersama air, kemudian cucilah dengannya (air), kemudian shalatlah dengannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Begitu juga nanah hukumnya najis seperti darah, karena nanh ini tidak lain adalah darah membusuk, Sedangkan cairan luka, hendaklah terlebih dahulu diperhatikan: jika mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka tersebut najis seperti nanah. Sedangkan bila tidak mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka itu bersih, seperti peluh. Selanjutnya mengenai hukum ‘alaqah (janin yang masih berupa segumpal darah) sama dengan hukum darah, karena ‘alaqah ini adalah merupakan darah yang keluar dari rahim sehingga sama dengan darah haid.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menjadi alasan bahwa bangkai najis adalah konsensus para ulama. Kan tetapi dikecualikan dari semua jenis bangkai, bangkai ikan dan belalang serta manusia, ketiganya adalah suci berdasarkan hadits mauquf yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dihalalkan bagi kita dua (jenis) bangkai dan dua (jenis) darah. Adapun dua (jenis) bangkai, yaitu ikan dan belalang. Sedang dua (jenis) darah, yaitu hati dan paru-paru”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tentang bangkai manusia, Rasulullah saw. bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya orang beriman tidak najis”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa arak najis adalah konsensus para ulama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa anjing najis adalah hadits yang meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. pernah diundang untuk hadir di sebuah rumah, maka beliau pun berkenan memenuhinya. Dan pernah (juga) diundang untuk hadir di sebuah rumah (yang lain), namun beliau tidak mau memenuhinya. Lalu beliau ditanya karenanya dan beliau menjawab: Sesungguhnya di rumah si fulan ada anjing. Kemudian dikemukakan kepada beliau: Bahwa di rumah si Fulan ada kucing. Bersabdalah beliau: Kucing itu tidak najis”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Apabila anjing menjilat perkakas seseorang di antara kalian, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah perkakas itu tujuh kali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Berdasarkan hadits di atas, maka anjing itu najis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun dalil yang menjadi alasan bahwa babi adalah konsensus (ijma’) para sahabat Nabi saw.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan bahwa daging keledai kampung adalah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a., bahwasanya dia berkata:<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kami pada waktu menaklukkan Khaibar memasak daging keledai. Kemudian seseorang yang disuruh Rasulullah memanggil: Sesungguhanya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai karena itu adalah kotor dan najis”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Alasan dinyatakan najis benda yang terkena benda najis, karena najis tersebut jadi menempel padanya disebabkan basah umpanya. Sedangkan bila ternyata najis itu tidak menempel, seperti tangan yang menyentuh anjing namun dalam keadaan kering sehingga tidak ada bekas yang ditinggalkan, maka hal itu tidak membuat tangan menjadi najis. Sedangkan bila salah satunya dalam keadaan basah, maka benda suci yang tersentuh oleh anjing tersebut menjadi najis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">12. Menghilangkan Najis<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></b><span style="font-family: Arial;">Bilamana anjing menjilat perkakas atau salah satu anggota tubuhnya menyentuh perkakas tersebut dan salah satu anggota tubuh anjing itu dalam keadaan basah atau yang basah itu adalah perkakas, maka perkakas tersebut menjadi tidak bersih (najis) sampai perkakas itu dicuci tujuh kali dan salah satunya harus dengan tanah. Ketentuan ibi berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Cara membersihkan perkakas seseorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya sengan tanah”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Babi adalah binatang yang disamakan dengan anjing karena keadaan babi lebih buruk dari anjing, sehingga pada saat hukum babi disamakan dengannya ini adalah merupakan langkah yang dianggap lebih pantas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Cara untuk membersihkan benda yang terkena air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan selain ASI adalah cukup hanya dengan memercikkan air padanya dan tidak perlu sampai bercucuran. Sedangkan untuk bayi perempuan tidak demikian halnya, takni harus dicuci seperti sesuatu yang terkena air kencing orang dewasa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Karramallahu Wajhahu, bahwasanya Nabi saw. telah bersabda tentang air kencing bayi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Hendaknya dicuci air kencing bayi wanita, dan (cukup) diperciki dari air kencing bayi laki-laki”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun cara membersihkan benda yang terkena selain najis air kencing bayi ini, maka hendaklah diperhatikan: Najis seperti tahi dan bangkai (bersifat padat) itu sendiri tidak dapat dibersihkan walau dicuci sekalipun. Oleh karena itu bila najis tersebut jatuh pada benda suci, maka untuk membersihkannya dzatiyah najis tersebut harus dihilangkan kemudian bekasnya dicuci. Sedangkan bila najis tersebut bersifat cair, seperti: air kencing, darah, arak dan sejenisnya, maka untuk membersihkan benda terkena olehnya dengan cara dicuci sekali cucian, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Nabi saw. telah menyuruh mereka (para sahabat) agar menyiramkan air pada bekas air kencing seorang Arab dari dusun dengan seember air”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana bagian bawah sepatu mengenai najis, maka hendaklah diperhatikan: jika najis tersebut basah, maka sepatu tersebut harus dicuci. Sedangkan jika najis itu kering, maka cukup hanya dengan digosokkan pada tanah. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah kedua sandalnya. Bilamana pada bagian bawahnya terdapat kotoran, maka sapukanlah pada tanah kemudian shalatlah dengan mengenakannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Cara untuk menghilangkan semua najis, baik najis yang bersifat cair; seperti darah, maupun yang bersifat padat; seperti tahi, adalah hanya dengan air, tidak bisa dengan yang lainnya, sekalipun itu bersifat cait, kecuali jika ada nash yang membolehkannya. Namun demikian, nash tersebut pun hanya khusus untuk yang dimaksud saja. Cara menghilangkan najis dengan dengan air ditetapkan oleh sekian banyak hadits shahih, antara lain:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dari Asma’inti Abu Bakar r.a., ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Seorang perempuan telah datang kepada Nabi saw., lalu ia bertanya: Salah seorang di antara kami bajunya terkena darah haid, bagaimanakah kami harus berbuat? Maka beliau menjawab: Hendaklah ia membilasnya untuk menghilangkan dzatiyahnya, kemudian menggaruknya dengan jari jemarinya bersama air, kemudian mencucinya, kemudian shalat dengannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Abu Tsa’labah telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ya Rasulullah, berilah kami fatwa tentang perkakas orang-orang majusi mana kala kami terpaksa membutuhkannya! Beliau bersabda: Mana kala kalian terpaksa membutuhkannya, maka cucilah dengan air dan masaklah kalian dengannya!”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dari Abdullah bin Sa’ad, ia telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang air yang keluar sesudah air. Maka beliau menjawab: Itu adalah madzi, dan setiap laki-laki mempunyai madzi, cucilah farji dan kantung kedua buah dzakarmu karenanya, dan berwudlulah seperti wudlumu untuk shalat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Semua hadits di atas adalah sebagai dalil yang menunjukkan, sesungguhnya najis hanya dapat dihilangkan dengan air dan tidak bisa dengan yang lain. Adapun bila diperoleh nash yang menyalahinya, maka hal itu sifatnya khusus untuk yang dimaksud oleh nash tersebut, seperti halnya kulit; bahwasanya kulit itu bisa suci dengan cara disamak, berdasarkan adanya nash untuknya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dimana ia telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Kulit apa saja bila disamak, maka kulit itu menjadi suci”.</span></i><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><h2 style="text-align: justify;">B. SHALAT</h2><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span><span style="font-family: Arial;">Dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata : Rasulullah saw. bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Islam didirikan di atas lima (asas) : Bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadlan.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kelima asas ini adalah merupakan pondasi tempat berdiri tegaknya Islam. Kelima asas di atas dikukuhkan sebagai pondasi bagi berdiri tegaknya Islam mengingat kelima asas tersebut meliputi aspek aqidah dan amalan-amalan yang dilaksanakan dengan motif sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Islam telah menegaskan bahwa shalat -sebagai asas kedua daripadanya-adalah merupakan keharusan yang amat ditekankan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari jabir r.a., bahwasanya dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. telah bersabda: (yang membedakan) antara seseorang dengan kekafiran yaitu meninggalkan shalat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan, bahwasanya ia telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan pada seseorang hamba pada hari kiamat adalah (tentang) shalat fardlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat yang difardlukan ini semuanya ada lima, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah r.a. dimana ia berkata: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Telah datang kepada Rasulullah sa. Seorang laki-laki berambut kusut, dia adalah seorang penduduk Nejed. (Dari Jauh) kami telah mendengar teriakannya, namun kami tidak mengerti apa yang dia katakan sampai dia mendekat. Ternyata dia itu bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah saw. menjawab: Shalat yang lima dalam sehari semalam. Dia bertanya (lagi): Apakah ada keharusan lain atas diriku? Beliau menjawab: Tidak, kecuali bila kamu mau mendirikan shalat sunnat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat lima waktu adalah merupakan keharusan atas setiap muslin dan muslimah yang telah dewasa dan berakal sehat. Adapun orang kafir asli tidak diwajibkan dan bilamana ia masuk Islam, maka kepadanya tidak diharuskan mengqadlanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Katakanlah kepada orang-orang itu; Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu”. (QS. Al Anfaal 38)<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedangkan bilamana ia orang kafir karena murtad, kepadanya wajib qadla saat ia kembali menjadi muslim sebab murtad tidak menyebabkan yang bersangkutan terbebas dari tuntutan hukum syara’ melainkan ia tetap terikat dengannya, dengan alasan karena sebelumnya ia telah menyatakan diri sebagai muslim. Adapun anak di bawah umur, maka kepadanya tidak wajib mendirikan shalat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Pena terangkat (hukum tidak berlaku); dari anak di bawah umur sampai ia dewasa; orang tidur sampai ia bangun; dan dari orang gila sampai ia sembuh”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dan berdasarkan hadits di atas, maka orang hilang akal pun, baik karena gila atau karena sawan celeng (epilepsi) maupun karena sakit, kepadanya tidak diharuskan mengqadla shalat kecuali bila yang bersangkutan kembali ingatannya pada waktu ia masih mendapatkan waktu yang cukup untuk bersuci dan waktu shalat masih ada. Abdurrazaq telah meriwayatkan dari Nafi’: “Sesungguhnya Ibnu Umar mengadu bahwa ia sekali waktu ingatannya hilang, sehingga ia meninggalkan shalat kemudian ia sadar akan tetapi ia tetap tidak mengqadha shalatnya yang tertinggal”. Diriwayatkan pula dari Ibnu Juraij dari Ibnu Thawus dari ayahnya: “Bila seseorang sakit sampai tidak sadar namun kemudian ia sadar, maka ia tidak perlu mengqadha shalatnya”.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tidak seorang pun dari orang-orang yang tidak diwajibkan shalat diperintah agar ia mendirikan shalat kecuali anak dibawah umur. Hal ini berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Sirah al Jahmi r.a. dimana ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. telah bersabda: Ajarilah oleh kalian anak kecil tentang shalat bila ia telah berusia tujuh tahun, dan pukullah dia oleh kalian ketika dia telah berusia sepuluh tahun bila dia enggan mendirikannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. telah bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat, sedang mereka adalah anak berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila enggan mendirikannya, sedang mereka adalah anak berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya oleh kalian”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Barangsiapa terkena kewajiban shalat namun ia menolak untuk mengerjakannya dengan alasan bahwa shalat tidak wajib, maka kafirlah ia dan ia harus dipinta agar bertaubat seperti halnya orang murtad sehingga pada saat ia mengakui bahwa shalat itu wajib, berarti ia kembali menjadi muslim. Akan tetapi bila ia tetap menyatakan bahwa shalat tidak wajib, maka pemerintah melalui badan yang diberi wewenang harus membunuhnya. Sedangkan bila ia menginggalkan shalat karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat wajib, maka ia harus dita’zir (dipermalukan), yakni harus dihukum dengan hukuman yang bersifat mempermalukan, seperti dipenjara sampai ia mau shalat. Sekali-kali ia tidak boleh dibunuh sesuai dengan hadits Rasulullah saw. yang berbunyi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tidak halal darah seorang Muslim melainkan karena salah satu dari tiga alasan: Janda yang berzina, membunuh orang, meninggalkan agamanya, yang memisahkan dari jamaah”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Orang yang meninggalkan shalat -sedang ia muslim-adalah bukan orang kafir melainkan sebagai orang fasik, bisa saja Allah mengampuninya. Dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit r.a., ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah telah menjadikan shalat yang lima sebagai fardlu. Barang siapa membaguskan wudlu untuknya dan ia mengerjakan kelima shalat tersebut pada waktunya, serta ia menyempurnakan ruku’nya dan khusu’nya, maka baginya janji Allah. Ampunan-Nya untuk dia. Barangsiapa tidak mengerjakan (shalat), maka tidak ada baginya janji Allah sehingga bila Dia menghendaki, Dia pun mengampuninya, sehingga bila Dia menghendaki, Dia pun menyiksanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">1. Waktu Shalat<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span><span style="font-family: Arial;">Waktu shalat zhuhur bermula dari sejak matahari tergelincir dari titik tengah langit dan berakhir sampai bayang-bayang menyamai si empunya bayang-bayang tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Abbas telah meriwayatkan, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Jibril a.s. pernah mengimami aku di Baitullah dua kali; pertama kali dia shalat Zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan bayang-bayang berbalik arah seukuran jejak sandal. Kemudian kedua kalinya dia shalat ketika bayang-bayang seseuatu sama dengan dengannya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Waktu shalat bermula sejak bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengan -dan sedikit lebih panjang daripadanya-dan berakhir sampai bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Abbar r.a. telah meriwayatkan , sesungguhnya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan Jibril a.s. pernah shalat ashar bersamaku ketika bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengannya. Kemudian untuk kedua kalinya dia shalat ketika bayang-bayang sesuatu menjadi dua kali panjangnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Di luar waktu itu hilanglah waktu yang utama untuk mengerjakan shalat ashar dan hanya tinggal waktu yang diperbolehkan sampai matahari terbenam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Waktu shalat Maghrib bermula sejak matahari terbenam, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah riwayat:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat maghrib ketika matahari tenggelam, dan dia pun (ketika itu pula) berbuka puasa”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Waktu yang diutamakan untuk mengerjakan shalat maghrib hanya saat itu saja. Sedang waktu yang masih diperbolehkan sampai tenggelam awan (mega) merah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Waktu shalat Isya’ bermula sejak awan merah tenggelam berdasarkan hadits yang mengemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat Isya’ pada kesempatan lain (saat ia memberi tahu tentang waktu shalat) ketika awan tenggelam”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Yang dimaksud dengan ‘awan’ di sini adalah awan merah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. yang menyatakan Rasulullah saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Waktu shalat Maghrib adalah sampai awan merah menghilang”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedangkan akhir waktu shalat Isya’ yaitu sampai tengah malam, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr r.a. sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Waktu shalat Isya’ adalah sesuatu di antara kamu dengan tengah malam”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Yang dimaksud dalam hadits ini adalah waktu shalat Isya’ yang diutamakan. Sedang di luar waktu tersebut adalah waktu yang diperbolehkan sampai fajar terbit.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Waktu shalat Shubuh bermula sejak fajar yang kedua terbit, yakni fajar shadiq di mana orang berpuasa sejak saat itu tidak diperbolehkan makan dan minum, smapai remang-remang siang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat shubuh ketika fajar terbit, dan dia shalat pagi hari ketiak telah terang”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ini adalah merupakan waktu utama untuk mengerjakan shalat shubuh, lalu sesudah itu hanya tinggal waktu yang diperbolehkan sampai matahari terbit. Seluruh waktu shalat ini telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasai, At-Tirmidzi pada bab tentang <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Waktu Shalat</b>. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dari Jabir bin Abdullah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Jibril a.s. telah datang kepada Nabi saw. lalu dia berkata kepada beliau: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu ashar, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat Ashar ketika bayang-bayang sesuatu sama seukurannya. Kemudian ia datang lagi pada waktu maghrib, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian dia datang lagi pada waktu Isya’, lalu berkata:Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat Isya’ ketika awan merah telah menghilang. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu fajar, lalu berkata:Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat fajar ketika fajar telah tersibak atau dia berkata: fajar telah terbit. Kemudian keesokan harinya dia datang lagi kepada Nabi saw. pada waktu zhuhur, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat zhuhur ketika bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengannya. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu ashar, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat Ashar ketika bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya. Kemudian ia datang lagi pada waktu maghrib, pada waktu yang sama (seperti sebelumnya). Kemudian dia datang lagi pada waktu Isya’ ketika tengah malam telah berlalu, atau dia berkata: sepertiga malam, lalu dia shalat. Kemudian dia datang lagi kepada beliau ketika malam telah terang sekali , lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.(Ketika itu) dia shalat fajar. Kemudian dia berkata: Di antara kedua waktu ini ada waktu.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat wajib didirikan pada awal waktunya, yakni pada waktu bagian pertama yang dianggap sebagai waktu yang diutamakan. Bagi yang bersangkutan dipersilahkan mengerjakannya untuk memilih dari bagian pertama, apakah pada bagian awal tengah, atau akhir. Dan diperbolehkan mengerjakannya pada waktu bagian kedua (waktu diperbolehkan) sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits di atas dan begitu juga seperti telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari waktu Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah menemukan Shubuh. Dan barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari waktu Ashar sebelum matahari tenggelam, maka ia telah menemukan Ashar.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dalam shahih Bukhari dan muslim juga dinyatakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka berarti ia telah menemukan shalat.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Shalat ini wajib dilaksanakan pada waktunya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah SWT:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Peliharalah oleh kalian semua shalat.” (QS. 2 : 238)<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Siapa pun tidak dibenarkan melalaikan shalat sehingga baru dilaksanakan… kecuali bagi orang yang ketiduran, atau lupa, atau yang menangguhkannya karena hendak dijama’ saat ia sedang bepergian, atau karena hujan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barangsiapa tidak mengerjakan shalat Ashar, hapuslah amalnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Umatku akan selalu dalam keadaan baik selama mereka tidak menangguhkan shalat Maghrib”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Barangsiapa meninggalkan shalat, maka kepadanya wajib qadha, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Barangsiapa tertidur dari shalat atau lupa, maka shalatlah saat ia teringat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sebaiknya yang bersangkutan mengqadha saat itu juga, namun andai ditangguhkan pun masih diperbolehkan dan tidak berdosa karenanya<u>, hanya saja dia berdosa karena dia tidak mengerjakannya tepat waktu</u>. Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hashin r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dia telah berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kami pernah suatu ketika bepergian bersama Nabi saw., dan kami saat itu berjalan malam hari hingga larut malam. Karenanya kami pun tertidur nyenyak sekali. Kiranya tidak ada seorang musyafir tidur senyenyak itu, sehingga kami baru terbangun oleh karena panasnya sengatan matahari. Ketika nabi saw. bangun, maka mereka mengadukan apa yang terjadi menimpanya. Bersabdalah beliau: ‘Tidak mengapa dfan tidak membahayakan, berangkatlah kalian. Maka beliau pun berjalan tidak jauh dari sana kemudian beliau berhenti danb mengambil air wudhu dan adzan pun dikumandangkan, lalu shalat bersama-sama beliau”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hadits ini merupakan dalil bahwa Nabi saw. pernah terlambat shalat Shubuh dan beliau tidak mengqadhanya melainkan sesudah beliau keluar dari lembah itu. Seandainya harus seketika, niscaya beliau tidak menangguhkannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">2. Syarat Sah Shalat<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial; font-size: 12pt;"> </span><span style="font-family: Arial;">Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus suci dari hadats dan najis. Suci dari hadats adalah merupakan syarat sahnya shalat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah saw. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Uraian tentang maksud hadits ini telah kita ketahui dalam uraian tentang <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Thaharah</b>. Sedang yang dimaksud dengan suci dari najis, yaitu badan yang suci termasuk pakaian yang dikenakan dan tempat yang dipergunakan. Badan yang suci juga adalah merupakan syarat sah shalat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bersucilah kalian dari air kencing, karena daripadanya siksa kubur pada umumnya terjadi”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun perihal pakaian yang dikenakan harus suci dari najis sebagai syarat sah shalat, ini adalah berdasarkan firman Allah SWT. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“…dan pakaianmu bersihkanlah” </span></i><span style="font-family: Arial;">(QS. 74:4)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a., dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. apakah aku boleh shalat dengan pakaian yang aku kenakan saat aku mendatangi (menggauli) isteriku? Beliau menjawab: Ya, kecuali bila kau dapatkan seseuatu (najis) padanya, maka cucilah.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedang tentang keharusan tempat yang ditempati untuk shalat suci dari najis sebagai syarat sah shalat,ini adalah berdasarkan hadits yang menggambarkan seorang Arab dari dusun yang kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi) dan sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi s.a.w:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> “ <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Siramkanlah oleh kalian padanya seember air “.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ketika hendak shalat , maka yang bersangkutan selanjutnya harus menutup aurat. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan,bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang telah haid kecuali dengan memakai yang menutupi kepala dan lehernya ( khimar )”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana seseorang yang sedang shalat auratnya terbuka sedang ia kuasa untuk menutupinya kembali, maka shalatnya tidak sah (batal). Menutup aurat adalah salah satu syarat sah shalat bagi laki-laki dan perempuan. Hanya saja antara aurat keduanya berbeda, yakni: Bahwasanya aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dengan lutut, sedangkan pusar dan lutut sendiri bukan aurat, seperti diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. , sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dan lututnya”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Jahasy, dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Rasulullah s.a.w. pernah lewat di depan Mu’ammar sedang kedua pahanya terbuka . Maka bersabdalah beliau: Ya Mu’ammar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedang aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“. . . , dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya. Kecuali yang (biasa) tampak daripadannya” </i> ( Q.S. 24:31 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Abbas berkata: Yakni kecuali muka dan kedua telapak tangannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Umar telah meriwayatkan , sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Perempuan merdeka tidak wajib menutup mukanya dan tidak wajib pula harus mengenakan sarung tangan “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Keharusan menutup aurat ini adalah dengan pakaian yang tidak transparan atau sejenisnya, sebab pakaian atau kain yang transparan atau yang ketat masih menggambarkan warna kulit dan bentuk tubuh sehingga dianggap tidak memenuhi kriteria menutup aurat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus menghadap ke kiblat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya” </i> ( Q.S. 2: 144 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Inipun merupakan bagian dari syarat sah shalat. Atas dasar itu, maka ketika seseorang berada di depan Baitullah, ia wajib menghadap langsung ke sana.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Usamah bin Zaid r.a. meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w telah masuk ke dalam Ka’bah (Baitullah) namun ia tidak shalat, kemudian beliau keluar dari ruku’ dua kali seraya menghadap ke Ka’bah lalu bersabda: Ini adalah kiblat”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Akan tetapi bila seseorang masuk ke dalam Ka’bah dan shalat di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan karena dia dianggap telah menghadap ke salah satu bagian daripadanya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Jika seseorang tidak berada di depan Ka’bah, maka hendaklah diperhatikan: Bila ia mengetahui arah kiblat , maka menghadaplah ke arahnya. Bila seseorang yang terpercaya memberitahukan arah kiblat, maka hendaklah diterima, tidak usah berijtihad, sama halnya dengan seorang hakim hendaknya ia menerima nash dari orang tsiqqah ( terpercaya ) sehingga ia tidak usah berijtihad. Bila ternyata mayoritas kaum muslimin di suatu daerah menentukan arah kiblat ke suatu arah, maka shalatlah ke arah itu dan ia tidak perlu berijtihad, karena arah yang ditunjukkan oleh mereka sama kedudukannya dengan berita yang harus diterima. Bila seseorang berada di luar Mekkah dan ia sebagai orang yang menguasai cara-cara menentukan arah kiblat, maka ia wajib berijtihad untuk menentukan arah kiblat. Dalam situasi seperti ini keharusan menghadap ke kiblat adalah mengenai arahnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya” </i> ( Q.S. 2: 144 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Kiblat itu adalah tempat di antara timur dan barat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bila seseorang berada di Mekkah, namun antara dirinya dengan Ka’bah terhalang, maka ia sama dengan orang yang tidak langsung berada di depan Ka’bah. Sedangkan bila antara dirinya dengan Ka’bah tanpa penghalang,maka ia sama dengan orang yang berada langsung di depan Ka’bah , yakni dia harus shalat langsung menghadap Ka’bah itu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bila seseorang bukan sebagai orang yang menguasai cara-cara menentukan arah kiblat, maka ia harus mengikuti pendapat orang yang mengetahui arah kiblat, tidak perlu berijtihad, sebab ia sama dengan orang awwam tentang hukum syara’.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan bagi orang yang shalat mengembangkan tikar ( sajadah ) pada tempat yang dipergunakan untuk shalat sebagai pembatas. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Apabila seseorang di antara kalian shalat, hendaklah ia membuat pembatas tempat yang di pakai untuk shalat ( sutrah ) agar syaitan tidak dapat memutuskan shalatnya “.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sahl bin Sa’id As Sa’idi meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Diantara tempat yang dipergunakan Rasulullah s.a.w. untuk shalat ( mushala ) dengan dinding terdapat tempat lewat orang yang berjalan”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Terkadang Rasulullah s.a.w. mengambil tempat untuk shalat di masjidnya dengan membuat lingkaran.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">3. Cara - cara Shalat :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bila hendak shalat, maka yang bersangkutan harus berdiri. Berdiri adalah merupakan fardhu dalam shalat wajib.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Dan berdirilah kalian untuk Allah ( dalam shalat kalian ) dengan khusyu “. </i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">( Q. S. 2 : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> ‘Imran bin Al Hashim r.a. telah meriwayatkan, bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> “ <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Shalatlah kamu sambil berdiri. Bila kamu tidak kuasa, maka sambil duduk . Bila kamu tidak kuasa, maka sambil berbaring “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan pula :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> “ <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sesungguhnya Nabi s.a.w shalat sambil berdiri, baik dalam shalat fardhu maupun dalam shalat sunat “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Akan tetapi berdiri dalam shalat sunat bukan suatu keharusan , karena saat Nabi s.a.w. mengerjakan shalat sunat ( nafilah ) di atas hewan tunggangan ternyata beliau mengerjakan sambil duduk.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari jabir r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku melihat Nabi s.a.w shalat nawafil ( sunat ) sedang beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau menghadap ke seluruh penjuru. Tetapi beliau lebih merendah saat sujud daripada ruku’ dan beliau memberi isyarat “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan lagi dari Ibnu Umar r.a. , ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Nabi s.a.w. mengerjakan shalat di atas binatang tunggangannya sambil menghadap ke arah mana beliau menuju dan beliau (juga ) shalat witir di atas binatang tunggangannya. Hanya saja beliau tidak mengerjakan shalat fardhu di atasnya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Di syaratkan dalam berdiri ini, hendaknya berdiri dengan tegak sehingga benar- benar yang bersangkutan dikatakan berdiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian ia niat. Niat adalah salah satu dari beberapa fardhu shalat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya amalan- amalan itu dengan niat”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Niat ini harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ikhram, karena niat adalah merupakan fardhu shalat yang pertama. Kemudian niat tersebut harus sesuai dengan shalat yang dikerjakan, dengan kata lain ; bilamana shalat itu fardhu, maka niat pun harus ditentukan sesuai dengan namanya sehingga bilamana seseorang shalat Zhuhur - umpamanya- maka ia pun harus niat shalat Zhuhur begitu juga niat shalat fardhu yang lainnya agar satu shalat dengan yang lain dapat dibedakan. Sama halnya dengan shalat fardhu , shalat sunat rawatib juga - seperti witir dan sunat fajar- harus ditentukan niatnya, sebab tanpa menentukan niat ini shalat pun tidak jadi. Hal ini dimaksudkan agar shalat tersebut dapat dibedakan dari shalat sunat yang lainnya. Sedangkan untuk shalat sunat bukan rawatib hanya dengan niat shalat sunat saja sudah dianggap memenuhi syarat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana seseorang ragu setelah takbiratul ihram; apakah ia telah niat atau belum, namun kemudian ia ingat bahwa memang ia telah niat dan ingatnya ini terjadi sebelum melakukan perbuatan shalat yang bersifat jasmaniah maka shalatnya jadi, tidak usah diulang lagi. Adapun bilamana ingatnya itu terjadi sesudah melakukan perbuatan shalat yang bersipat jasmaniah, maka batallah shalat tersebut. Sebab hal itu berarti ia telah melakukan suatu perbuatan sedangkan ia dalam keadaan ragu dalam shalatnya . Begitu juga shalat seseorang batal ketika hendak keluar, atau ia ragu, apakah sebaiknya ia keluar dari shalat atau jangan. Semua ini dapat membatalkan shalat, karena niat adalah sebagai syarat bagi sahnya seluruh shalat. Maka dengan adanya niat keluar atau sikap ragu, apakah keluar dari shalat atau tidak, batallah shalat yang bersangkutan sebab sikap seperti ini berlawanan dengan keharusan niat atau menentang keharusan niat. Akan tetapi kalau hanya was-was , yakni hanya sekedar timbul dalam benak ( fikiran ) apakah telah niat atau belum, maka shalat tidak batal karenanya. Dan tidak boleh tidak orang yang sedang shalat harus melanggengkan niat shalat yang sedang dikerjakan. Bilamana seseorang yang sedang shalat Zhuhur- umpamanya- kemudian ia mengubah niat shalatnya ini shalat Ashar, maka batallah shalat Zhuhur tersebut, karena dengan sikapnya itu berarti ia telah memutuskan shalat Zhuhur yang sedang dijalani dan begitu juga shalat Asharnya juga tidak sah karena ia tidak niat untuk shalat Ashar pada waktu ia takbiratul ihram.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Berniat pada waktu takbiratul ihram secara bersamaan adalah merupakan syarat. Oleh karenanya maka hendaklah yang bersangkutan melakukan niat dalam hati bersamaan dengan saat mulutnya melafalkan Allahu Akbar ( takbiratul ihram ). Dan takbiratul ihram pun adalah sebagai salah satu fardu shalat ini, sebagaimana telah diriwayatkan dari Ali Karramallahu Wajhah, yang mengatakan bahwa sesugguhnya Nabi s.a.w. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Kunci pembuka shalat adalah wudhu, penghormatannya adalah takbir, dan penutupnya adalah salam”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Takbir yaitu mengucapkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Allahu Akbar “</i> yang berarti: Allah Maha Besar. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi pada waktu beliau memulai shalat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Shalatlah kalian seperti kalian menyaksikan ( cara ) aku shalat “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bilamana seseorang berlidah kelu atau gagu, hendaknya ia menggerakkan lidahnya sedapat mungkin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Nabi s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Bilamana aku telah memerintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah hal itu oleh kalian sedapat mungkin’.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram sampai sejajar dengan kedua pundak. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. pada waktu memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya , begitu juga ( beliau mengangkat kedua tangannya) bila beliau takbir untuk ruku’ dan bila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ ( I’tidal )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Batasan mengangkat tangan ini diperbolehkan sampai sejajar dengan kedua telinganya. Oleh karenanya dipersilakan memilih salah satunya. Saat memulai mengangkat kedua tangan tersebut adalah bersamaan dengan memulai membaca takbir dan berakhir dengan berakhirnya takbir juga. Jika tidak memungkinkan untuk mengangkat kedua tangan atau hanya memungkinkan sebelah tangan saja atau hanya memungkinkan mengangkat kedua tangan tidak sampai sejajar dengan kedua pundak, maka diperbolehkan sampai pada bagian yang memungkinkan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana sudah selesai takbir, bagi yang bersangkutan disunatkan meletakkan tangan bagian kanan di atas tanan bagian kiri, yakni tangan kanan memegang sebahagian telapak tangan dan sebahagian pergelangan tangan yang kiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Halb Ath Thai, dia telah berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Rasulullah s.a.w. telah mengimami kami. (saat itu ) beliau memegang tangan kirinya dengan yang kanan”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan pula dari Wail bin Hujrin, dia berkata : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku berkata : Sungguh akan kuperlihatkan shalat Rasulullah s.a.w. , bagaimana beliau shalat. Pertama-tama Rasulullah s.a.w. berdiri menghadap kiblat, lalu beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tanggannya sampai sejajar dengan kedua telinganya, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas bagian telapak tangan bagian kiri dan pergelangan tangan serta bagian tangan antara sikut dan pergelangan tangan”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dan disunatkan kedua tangan diletakkan di atas dada. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Wail telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku melihat Rasulullah s.a.w. shalat. Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sedang salah satunya di atas yang satunya lagi “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Abu Daud juga telah meriwayatkan hadits dari Thawus, bahwasanya di berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Rasulullah s.a.w. telah meletakkan tangan kanannya di atas tangan yang kiri, kemudian beliau meletakkan keduanya di atas dada. Saat itu beliau sedang shalat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Adapun meletakkan kedua tangan di atas bagian bawah tulang rusuk, ini adalah suatu yang tidak diperbolehkan. Dalam salah sebuah hadits hal itu telah dikukuhkan , bahwa sanya Nabi s.a.w. telah melarang meletakkan kedua tangan di atas bagian bawah tulang rusuk saat sedang shalat. Sedangkan perihal menjulurkan tangan, ternyata tidak diperoleh nash yang mutlak, namun bagaimanapun juga cara seperti itu menyalahi apa yang telah dikemukakan dalam beberapa hadits yang menerangkan bahwa meletakkan tangan saat shalat adalah di atas dada.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian disunatkan membaca do’a istiftah. Untuk do’a ini yang paling utama adalah do’a seperti yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dari Rasulullah s.a.w. , bahwasanya beliau bila berdiri shalat maka beliau membaca:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Artinya:<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Aku menghadapkan mukaku kepada Dzat pencipta langit dan bumi dengan lurus dan berserah diri serta Aku ini bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan karenanya aku diperintah . Dan aku adalah termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha raja, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Engkaulah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu , aku adalah seorang ( hamba ) yang telah berbuat zhalim kepada diriku, dan aku mengakui dosaku, maka limpahkanlah ampunan-Mu padaku atas segala dosaku. Sungguh tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa melainkan hanya Engkau. ( Ya Allah ) , tunjukkilah aku pada sebaik-baik akhlak. Sungguh tidak ada yang akan kuasa menunjukkan pada sebaik-baik akhlak tersebut melainkan hanya Engkau, dan palingkanlah daripadaku akhlak yang buruk. Sungguh tidak ada yang akan kuasa memalingkan dariku akhlak yang buruk itu melainkan hanya Engkau. ( Ya Allah) , kini aku sambut seruan-Mu dan ini aku beranjak datang menuju-Mu . Sungguh kebaikkan itu semuanya berada di atas kedua tangan-Mu, dan kejahatan itu bukan untuk-Mu serta aku bersama dengan ( kehendak ) -Mu dan (akan kembali ) kepada-Mu. Maha Berkat Engkau dan Maha Tinggi Engkau (Ya Allah ), Aku mohon ampun (dari segala dosa) kepada-Mu dan aku bertaubat (dari segala dosa) kepada-Mu”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Do’a ini boleh dibaca seutuhnya atau sebagian saja. Begitu juga do’a tersebut boleh ditukar dengan do’a istiftah yang lain. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan kepala dan kedua mata menunduk pada tempat sujud serta makruh menengadahkan kepala dan kedua mata memandang ke atas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Ibnu Sirin:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengarahkan pandangannya ke atas, maka turunlah ayat ini : ( = ( yaitu ) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya) ), lalu beliau pun menundukkan kepalanya”. <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sungguh orang-orang yang mengarahkan pandangannya ke atas dalam shalat hendaknya menahan diri ( untuk tidak berbuat demikian) atau benar-benar penglihatan mereka terampas ( menjadi buta )”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang lain di kemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Bilamana kalian sedang shalat, maka janganlah kalian melirik karena Allah mengarahkan muka-Nya kepada muka hamba-Nya yang sedang shalat selama ia tidak melirik “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sesudah itu kemudian membaca <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Ta’ awwudz” ,</i>yakni : ( ( ) ) , berdasarkan firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk “ ( Q.S. 16 : 98 ).<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya membaca surat Al Fatihah. Membaca surah Al Fatihah adalah merupakan salah satu dari beberapa fardhu shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash Shamit r.a. , yang mengatakan sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) di dalam shalat itu “<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Di lain kesempatan beliau juga bersabda : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Barangsiapa mengerjakan shalat tanpa membaca Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) di dalam shalat tersebut, maka shalatnya itu ‘khaddaj’ , yakni tidak sempurna “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sekalipun membaca surat Al Fatihah tidak dilakukan karena lupa, maka shalat itu tetap batal sebab membaca surat Al Fatihah adalah merupakan rukun. Sedang rukun adalah merupakan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan dalam shalat walaupun dengan alasan lupa. Dalam membaca surat Al Fatihah harus di awali dengan “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">basmalah”</i>, yakni dengan membaca ( ( )), karena basmalah merupakan bagian dari surat Al Fatihah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ummu Salamah r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah membaca (( )) dan beliau menghitungnya ( sebagai bagian dari surah Al Fatihah “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Maka berdasarkan hadits ini basmalah adalah merupakan bagian daripadanya , sebab beliau pun membaca dan menghitungnya sebagai bagian dari surat Al Fatihah. Basmalah di baca nyaring bersama ayat-ayat berikutnya dari surat Al Fatihah dalam shalat jahriah dan surat Al Fatihah wajib di baca dengan tertib ( berurutan ) . Akan tetapi bila bacaan lain terselip di tengahnya karena lupa, maka tidak mengapa. Sedang bila hal itu disengaja, maka bacaan surat Al Fatihah wajib diulang dari pertama. Membaca surat Al Fatihah ini wajib dilakukan di setiap rakaat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Rifa’ah bin Abu Rafi’ telah meriwayatkan , dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Pada waktu Rasulullah s.a.w. sedang duduk di masjid didapatkan seorang laki-laki sedang shalat. Kemudian ketika dia telah selesai ( dari shalatnya ) , dia pun menghampiri Rasulullah s.a.w. lalu menyampaikan salam kepadanya. Kemudian beliau bersabda kepadanya : ulang kembali shalatmu, karena engkau belum ( dianggap ) telah shalat. Maka dia pun berkata : Ajarilah aku , ya Rasulullah ! Bersabdalah beliau : Bilamana engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah kemudian bacalah Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) dan apa yang kau anggap mudah ( dari Al Qur’an )…. , kemudian lakukanlah hal yang sama ( yakni membaca surat Al Fatihah ) di setiap rakaat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Keharusan membaca surat Al Fatihah diwajibkan kepada imam dan makmum, seperti yang telah diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash Shamit r.a. , ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Rasulullah s.a.w. shalat mengimami kami dan beliau melambatkan bacaanya. Kemudian tatkala usai, beliau bersabda : Sesungguhnya aku mendengar kalian membaca di belakang imam kalian. Kami menjawab : Demi Allah , benar ( demikian ) , ya Rasulullah, kami melakukan hal ini ! Maka bersabdalah beliau : Janganlah kalian melakukan ( hal itu ) , melainkan hanya (membaca ) ummul kitab (surat Al Fatihah ) saja. Sebab, tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membacanya “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Seusai membaca surat Al Fatihah adalah membaca : Amin(( )) yang berarti : <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Kabulkanlah ya Allah”.</i> Membaca ‘ amin’ hukumnya sunat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. , bahwasanya Rasulullah<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i>s.a.w. telah bersabda: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ jika imam membaca “ amin” , maka kalian pun membacanya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dan dibaca nyaring dalam shalat jahriah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dimana ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Rasulullah s.a.w. bilamana usai membaca Ummul Qur’an ( surat Al Fatihah ) , maka beliau menyaringkan suaranya, lalu beliau mengucapkan : Amin”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Surat Al Fatihah harus dibaca dengan bahasa Arab, sama sekali tidak diperbolehkan dengan bahasa lain. Begitu juga ayat-ayat Al Qur’an yang lain pun tidak boleh dibaca dengan bahasa selain bahasa Arab. Maka dengan demikian , tidak sah shalat orang yang membaca surat Al Fatihahnya dengan bahasa non Arab sebab hal ini sama dengan belum membaca Al Qur’an , sebagaimana ditagaskan dalam firman Allah Ta’ala bahwa Al Qur’an itu adalah ( ( ) ) , yakni : <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Al Qur’an dengan bahasa Arab “.</i> Terjemah Al Qur’an bukan Al Qur’an, karena yang di sebut Al Qur’an adalah hanya yang berbahasa Arab dengan susunan kalimatnya yang bersifat mukjizat ( yang tidak bisa ditandingi ) seperti yang kita saksikan sekarang , sehinggga ketika dialih bahasakan maka nilai kemukjizatannya pun tidak ada .Sesudah membaca surat Al Fatihah dan Amin disunatkan membaca surah Al Qur’an yang lain , berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. pernah bersabda kepada Mu’adz r.a. ketika didapatkan dia mengerjakan shalat Isya dengan lama :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Apabila engkau mengimami orang-orang , maka bacalah (( dan )), dan bacalah (( dan ))”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Seorang laki-laki dari Juhainah telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya ia telah mendengar Nabi s.a.w. dalam (shalat ) Shubuh membaca ( ( ) )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Ketika seseorang menjadi ma’mum, hendaklah diperhatikan : Jika ia sedang shalat jahriah, maka bacaanya hanya surah Al Fatihah saja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Bilamana kalian berada di belakang aku, maka kalian jangan membaca apa-apa kecuali surat Al Fatihah saja, karena tidak sah shalat bagi orang yang tidak membacanya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Jika jumlah rakaat shalat lebih dari dua, maka dalam rakaat sesudahnya, yakni dalam rakaat ketiga atau keempat, sesudah membaca surah Al Fatihah jangan disambung dengan bacaan ( surah ) yang lain.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Qatadah r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. dalam shalat Zhuhur pada rakaat pertama dan kedua membaca Fatihahul kitab (surah Al Fatihah ) dan surah ( yang lain ) . Dan terkadang beliau memperdengarkan ayat kepada kami, dan beliau membacanya lebih panjang pada rakaat yang pertama daripada bacaan ( yang dibaca ) pada rakaat yang kedua. Sedangkan pada dua rakaat yang akhir beliau ( hanya ) membaca Fatihatul kitab ( saja ) “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan bagi imam menyaringkan bacaan surah Al Fatihah pada kedua rakaat Shubuh , dua rakaat ( kesatu dan kedua ) Maghrib, dan dua rakaat bagian pertama Isya. Begitu juga bacaan tersebut sunat dinyaringkan pada rakaat-rakaat di atas bagi yang shalat menyendiri ( munfarid ). Hal ini berdasarkan konsensus para sahabat Nabi s.a.w. Akan tetapi untuk shalat Zhuhur dan Ashar tidak diperbolehkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hurairah telah meriwayatkan , bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Bilamana kalian menyaksikan orang yang menyaringkan bacaan ( surah Al Fatihah ) di siang hari (ketika shalat Zhuhur dan Ashar) , maka lemparilah ia dengan isi perut unta “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sesudah membaca surah Al Fatihah (dan surah yang lain untuk rakaat pertama dan kedua ) lalu ruku’. Ruku’ adalah salah satu fardu shalat:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“. . . . ruku’dan sujudlah kalian. .”. </i>( Q.S . 22 : 77 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan ketika hendak ruku’ membaca “ <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Takbir “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengerjakan shalat, ketika berdiri dan ruku’ , maka beliau bertakbir, kemudian beliau membaca : ( ( =Allah mendengar ( perkataan) orang yang memuji-Nya) ), ketika beliau mengangkat kepalanya ( I’tidal ), kemudian beliau bertakbir ketika sujud, kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat kepalanya ( dari sujud ). Beliau melakukan hal itu dalam semua shalat sampai beliau selesai mengerjakannya”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan pada waktu takbiratul ihram mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak , berdasarkan hadits Ibnu Umar :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengawali shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya , ( begitu juga kedua tangannya diangkat ) ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ (I’ tidal )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam ruku’ diharuskan membungkuk sehingga kedua telapak tangan sampai ( memegang ) kedua lutut, sebab tanpa seperti itu tidak bisa dikatagorikan ruku’. Kemudian di sunatkan meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut dan menjarangkan ( merenggangkan ) jari jemari.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hamid As Sa’idi r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. memegangkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, seperti halnya orang yang memegang kedua lutut, dan beliau ( pun ) merenggangkan jari jemarinya “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan juga dalam ruku’ ini yang bersangkutan memanjangkan punggung sejajar dengan tengkuknya dan tidak menengadahkan kepala, melainkan membungkukkannya sehingga sejajar dengan punggung serta tengkuknya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hamid As Sa’idi r.a. telah meriwayatkan hadits yang menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. seraya berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ . . . , maka beliau ruku’ dan I’tidal . Beliau tidak menengadahkan kepalanya dan tidak pula memanjangkannya “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Yakni bahwa Nabi s.a.w. saat ruku’ dalam shalat, beliau tidak menengadahkan kepala sehingga posisinya lebih tinggi dari punggung. Dan disunatkan kedua sikut berjauhan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hamid As Sa’idi r.a. , bahwasanya Nabi s.a.w. berbuat demikian . Pada saat ruku’ disunatkan membaca : ( ( =<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Maha suci Tuhanku yang maha Agung ) ),</i> sebanyak tiga kali.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a. dimana ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku shalat bersama Nabi s.a.w. lalu saat ruku’ beliau membaca ( ( ) ) dan saat sujud ( beliau membaca ) ( ( ) ), kemudian beliau mengangkat kepalanya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan ketika mengangkat kepala dari ruku’ (I’tidal ) membaca ( ( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Allah mendengar orang yang memuji-Nya ) ), </i>berdasarkan hadits yang dikemukakan oleh Abu Hurairah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana telah tegak berdiri untuk shalat, beliau ketika itu bertakbir dan ( begitu pula beliau bertakbir ) ketika ruku’. Kemudian beliau mengucapkan : (( )). . . “ . </i>( Al Hadits ).<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dan disunatkan pula ketika I’tidal mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak, sebagaimana di kemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. di atas pada waktu menerangkan tentang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Takbiratul ihram “.</i> Kemudian sesudah tegak berdiri dari ruku’ disunatkan lagi mengucapkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Artinya :<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “ Ya Tuhan kami , hanya bagi-Mu puji ( yang meliputi ) seisi langit dan bumi serta ( yang meliputi ) sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu. ( Engkaulah ) yang berhak atas sanjungan dan kemuliaan dengan sebenar-benar apa ( yang seharusnya ) diucapkan oleh hamba ( Mu ). Kami semua adalah hamba bagi-Mu . Tidak ada yang dapat menahan terhadap apa yang Engkau berikan dan tidak ada ( pula ) yang dapat memberikan apa yang Engkau tahan( untuk diberikan ) serta tidak akan bermanfaat untuk melindungi kekayaan dan kebesaran orang kaya dan besar dari murka dan adzab-Mu “.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bacaan di atas sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. yakni bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengangkat kepalanya dari ruku’, maka beliau membaca do’a tersebut. Pada waktu berdiri dari ruku’ wajib <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ thuma’ninah “</i> dalam keadaan tegak berdiri, begitu pula halnya pada waktu ruku’.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Rifa’ah bin Malik telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w.telah bersabda: Bilamana seseorang di antara kalian berdiri untuk shalat, maka berwudhulah sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala . . . , kemudian ruku’lah dengan thama’ninah , kemudian berdirilah (I’tidal ) dengan thuma’ninah sambil berdiri, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Berdasarkan hadits ini , maka thuma’ninah adalah fardu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya. Mereka ( para sahabat) bertanya : Ya Rasulullah , bagaimana ia mencuri shalatnya? . Beliau menjawabnya : Yang tidak menyempurnakan ruku’dan sujudnya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Tidak sah shalat seorang laki-laki sehingga dia meluruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Kemudian sujud. Sujud adalah termasuk fardu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ . . . . ruku dan sujudlah kalian “ </i> ( Q.S. 22: 77 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan setiap kali hendak sujud diawali dengan bertakbir, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah r.a. yang telah lalu dalam uraian tentang ruku’. Dalam sujud disunatkan pula; pertama-tama meletakkan kedua lutut, kemudian kedua tangan , selanjutnya kening dan hidung.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Wail bin Hujrin r.a. telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Nabi s.a.w. bilamana sujud, beliau terlebih dahulu meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Bilamana bangun ( dari sujud) , maka beliau terlebih dahulu mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.Dan beliau sujud dengan meletakkan kening, hidung, kedua tangan, kedua lutut, serta kedua kaki bagian bawah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sujud dengan cara meletakkan kedua kening diatas tempat sujud adalah termasuk fardu shalat. Oleh karena itu , maka meletakkan kening secara langsung di atas tempat sujud adalah wajib sekalipun hanya meletakkan sebahagiannya saja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Khabbab bin Al Arutt r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Kami pernah mengadu kepada Rasulullah s.a.w. tentang panas batu yang kami jadikan tempat meletakkan kening kami ( pada waktu sujud ) ; apakah kami diperbolehkan mengenakan pelapis ? Namun ternyata beliau tidak menerima pengaduan kami “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Seandainya terbuka ( tanpa pelapis ) tidak wajib, sudah barang tentu kepada mereka dikatakan : Tutuplah ( lapisilah ) kening kalian. Maka ketika beliau tidak mengatakan demikian , ini berarti bahwa terbukanya kening saat sujud adalah fardu. Sedangkan sujud dengan meletakkan hidung menyentuh tempat sujud, ini hukumnya sunat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hamid telah meriwayatkan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersujud dengan meletakkan kening dan hidungnya di atas tanah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Namun demikian meletakkan hidung sampai menyentuh tempat sujud tidak wajib, sehingga bila tidak sampai menyentuh tempat sujud pun diperbolehkan , sebagaimana Jabir r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku melihat Rasulullah s.a.w. sujud dengan bagian paling atas dari keningnya, yakni dengan meletakkan bagian kepala paling depan yang ditumbuhi rambut”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sujud dengan meletakkan kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki bagian bawah adalah wajib.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Abbas r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. menyuruh agar sujud di atas tujuh anggauta ( badan ) : Kedua tangan, kedua lutut, kedua ujung jari jemari kaki, dan keningnya “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan merentangkan kedua sikut, sehingga kedua sisinya saling berjauhan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Qatadah r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana sujud, beliau merenggangkan ( merentangkan ) kedua sikutnya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga pada<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i>waktu sujud disunatkan mengangkat perut dari kedua paha.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Al Barra’ bin ‘Azib r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana bersujud, beliau mengangkat ( perutnya)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya disunatkan lagi merenggangkan antara kedua kaki. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan , bahwasanya Abu Hamid telah menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. , lalu ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Bilamana beliau sujud, maka beliau merenggangkan di antara kedua kakinya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Kemudian disunatkan menghadapkan ujung jari jemari kaki ke arah kiblat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Abu Hamid r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. menghadapkan ujung jari jemari kedua kakinya ke arah kiblat “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Juga disunatkan merapatkan jari jemari kedua tangan dan meletakkannya sejajar dengan kedua pundak. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Wail bin Hujrin telah meriwayatkan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w bilamana sujud, maka beliau merapatkan jari jemari ( tangan )nya dan beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya”.</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"> <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Serta disunatkan mengangkat kedua sikut dan bertumpu pada kedua telapak tangan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Al Barra’ bin ‘Azib r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Bilamana kamu sujud, maka rapatkanlah kedua ( jari jemari ) tanganmu dan angkatlah kedua sikutmu “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Di wajibkan thuma’ninah dalam sujud, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits yang dikemukakan Rifa’ah :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“. . . , kemudian beliau sujud dengan thuma’ninah “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan dalam sujud membaca : ( ( = Maha suci tuhanku yang Maha Tinggi ) ), berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah di atas ketika membahas tentang ruku’. Kemudian sesudah itu mengangkat kepala dari sujud untuk duduk, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah di atas ketika membahas tentang ruku’. Selanjutnya duduk iftirasy, yakni kaki kiri dilipat dan diduduki seerta kaki kanan menjulur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hamid As Sa’idi telah meriwayatkan hadits yang menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. seraya berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ . . . . , Kemudian beliau melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya serta duduk dengan tegak sehingga seluruh anggauta badannya berada pada posisinya</i>”.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Thuma,ninah dalam sujud hukumnya adalah wajib, berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ . . . , kemudian bangkitlah kamu ( dari sujud ) dan duduklah dengan Thuma’ninah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Rasulullah s.a.w. biasa berlama-lama dalam duduk di antara dua sujud sehingga hampir menyamai lama sujudnya, bahkan terkadang beliau duduk lebih lama sampai seseorang lupa apa yang dibacanya. Disunatkan saat duduk di antara dua sujud membaca :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Artinya :<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “ Ya Allah , ampunilah ( dosa-dosa )ku, limpahkanlah pahala ( dari-Mu ) kepadaku, limpahkanlah kesehatan ( dari-Mu ) kepadaku, limpahkanlah rizki ( dari-Mu ) kepadaku, dan limpahkanlah hidayah ( dari- Mu ) kepadaku”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bacaan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan At Tirmidzi yang mengemukakan, bahwasanya Nabi s.a.w. membaca do’a tersebut saat beliau duduk di antara dua sujud.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Lafazh hadits yang diriwayatkan Abu Daud berbunyi :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Artinya :<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “ Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, sehatkanlah aku, tunjukilah aku, dan berilah aku rizki “.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedang dalam hadits yang diriwayatkan At Tirmidzi ditambah dengan lafazh :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Artinya :<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “ Berilah aku pahala dan berilah aku kesehatan”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Seusai berdo’a, maka sujud untuk kedua kalinya dengan cara seperti sujud yang pertama, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w suatu ketika masuk ke masjid, lalu seorang laki-laki pun masuk kemudian dia shalat. . ., kemudian sujudlah kamu dengan thuma’ninah, kemudian bangunlah ( dari sujud ) dan duduklah dengan thuma’ninah, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah, kemudian lakukanlah hal itu dalam shalat semuanya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya setelah selesai bertasbih dalam sujud kedua ini kepala diangkat sambil bertakbir, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. di atas, dan bangkit untuk duduk sejenak baru kemudian berdiri sambil bertumpu pada tempat shalat dengan tangan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Malik bin Al Huwairits telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. duduk dengan tegak, kemudian beliau berdiri sambil bertumpu pada tanah dengan tangannya.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Tidak dibenarkan mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak pada waktu bangun dari sujud, karena mengangkat kedua tangan ini hanya disunatkan ketika takbiratul ihram, ketika ruku’ dan ketika bangkit dari ruku’ saja.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku melihat Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya bilamana beliau memulai shalat dan bilamana hendak ruku’ serta sesudah mengangkat kepalanya dari ruku’.Beliau tidak mengangkat ( kedua tangannya ) di antara dua sujud “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam riwayat Bukhari-Muslim dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dan beliau tidak melakukan hal itu ( mengangkat kedua tangannya ) dalam sujud “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam riwayat Bukhari dikemukakan lagi :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dan beliau tidak melakukan hal itu ( mengangkat kedua tangan ) ketika beliau sujud dan tidak ( pula L) ketika beliau bangkit dari sujud”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sampai pada bagian ini berarti rakaat pertama telah selesai, lalu bersambung pada rakaat kedua dengan cara-cara yang sama seperti rakaat pertama kecuali niat dan do’a istiftah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda kepada orang yang tidak baik shalatnya :. . . . ,kemudian lakukan hal itu dalam semua shalatmu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bilamana rakaat shalat hanya dua saja seperti shalat Shubuh, maka pada rakaat keduanya langsung duduk untuk tasyahhud akhir. Sedang bilamana rakaat shalat lebih dari dua seperti shalat Zhuhur dan Maghrib, maka duduk untuk tasyahhud akhir adalah pada rakaat keempat-seperti Zhuhur-dan pada rakaat ketiga untuk Maghrib, karena rakaat ketiga dalam shalat Maghrib adalah rakaat terakhir. Selanjutnya dalam shalat yang lebih dari dua rakaat, maka pada rakaat kedua duduk dahulu untuk tasyahhud awwal, sebagaimana dikutip oleh para ulama kha ,dari para ulama shalaf yang diterima dari Nabi s.a.w. Duduk untuk tasyahhud awwal dalam rakaat kedua pada shalat yang lebih dari dua rakaat hukumnya adalah sunat, bukan wajib.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abdullah bin Juhainah r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. shalat Zhuhur mengimami kami dan beliau berdiri langsung pada rakaat kedua, yakni beliau tidak duduk terlebih dahulu ( untuk tasyahhud awwal ). Kemudian ketika beliau telah selesai dari shalatnya , beliau pun sujud dua kali, baru kemudian beliau membaca salam”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Seandainya duduk pada rakaat kedua untuk tasyahhud awwal merupakan wajib, sudah barang tentu beliau pun melakukannya, yakni tidak hanya sebatas sujud (sahwi). Dalam duduk untuk tasyahhud awwal disunatkan duduk iftirasy.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hamid ra. Telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi saw. ketika duduk pada dua rakaat pertama, beliau duduk di atas bagian bawah kakinya yang kiri. Sedang kaki bagian bawah yang kanan dilipat menjulur”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan saat duduk untuk tasyahhud awwal merenggangkan jari jemari tangan dan meletakkannya di atas paha meletakkan dekat ujung lutut sehingga ujung jari jemari tersebut sejajar dengan ujung lutut dan dihadapkan ke kiblat, disamping hendaknya dalam merenggangkan jari jemari itu tidak terlalu renggang agar tampak wajar. Sedangkan tangan kanan, hendaknya diletakkan di atas paha yang kanan, kemudian kelingking, jari manis, dan jari yang tengah dilipat serta ibu jari dilipat menempel pada jari yang tengah. Sementara telunjuk diangkat dan menunjuk.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Umar ra. Telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Rasulullah saw. pada waktu duduk untuk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan yang kiri di atas lutut yang kiri, dan beliau meletakkan tangan yang kanan di atas lutut yang kanan sehingga beliau (seolah-olah) membuat (angka) tiga puluh lima, dan beliau memberi isyarat dengan telunjuk”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Selanjutnya membaca tasyahhud dengan tasyahhud mana saja, sesuai dengan tasyahhud yang diperbolehkan. Adapun bacaan tasyahhud yang dianggap paling sempurna, adalah sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Artinya:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Penghormatan yang diberkati (dan) shalawat yang baik adalah hanya bagi Allah. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan berkah-Nya. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi. Sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bacaan tasyahhud di atas sama seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. , yakni bahwasanya ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Rasulullah s.a.w. telah mengajarkan tasyahhud kepada kami, sebagaimana beliau mengajarkan suatu surat dari Al Qur’an kepada kami. Beliau bersabda : Penghormatan yang diberkati ( dan ) shalawat yang baik adalah hanya bagi Allah. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu,wahai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan berkah-Nya .Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada Tuhan selian Allah, dan aku bersaksi , sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan saat bacaan sampai “ <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syahadat “</i> memberi isyarat dengan telunjuk,sebagaimana dikemukakan dalam hadits Ibnu Umar di atas. Selanjutnya ketika telah usai bertasyahhud bangkit berdiri untuk rakaat yang ketiga dengan cara bertumpu dengan tangan pada lantai, seperti yang dikemukakan dalam hadits Malik bin Huwairits di atas. Ketika berdiri dari tasyahhud awwal disunatkan pula bertakbir dan bermula sejak mulai berdiri serta berlanjut sampai berdiri dengan sempurna. Kemudian shalat untuk menyelesaikan rakaat berikutnya dengan cara yang sama seperti rakaat kedua kecuali dalam membaca surah Al Fatihahadan surah yang lain saja, yakni bacaan surah Al Fatihah tidak dinyaringkan dan tidak disambung dengan membaca surah yang lain melainkan seusai membaca surah Al Fatihah langsung ruku’. Ketika rakaat terakhir bersama ruku’ dan sujudnya telah selesai dijalani, maka duduklah untuk tasyahhud akhir dan tasyahhud akhir ini hukumnya adalah fardu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Mas’ud telah berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Bilamana kami shalat di belakang Rasulullah s.a.w. kami membaca : ( ( = Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada Jibril dan Mikail. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada di Fulan dan si Fulan ) ). Maka Rasulullah s.a.w. pun melirik kepada kami, lalu beliau bersabda : Allah adalah As Salam. Maka jika seseorang di antara kalian shalat, ucapkanlah : ( ( <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">= Penghormatan itu adalah hanya bagi Allah,( begitu juga ) shalawat dan kebaikan. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, ( begitu juga) rahmat Allah dan berkah-Nya.Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh ) ). Sesungguhnya kalian bila mengucapkannya, maka bacaan itu meliputi setiap hamba yang shaleh yang ada di langit dan bumi. ( Kemudian beliau membaca ) : ( ( = Aku bersaksi , bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi, sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah ) ). Kemudian beliau memilih do’a yang menariknya lalu beliau pun membacanya “.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan pada waktu duduk yang terakhir ini duduk dengan cara <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“tawarruk”, </i>yakni kaki kiri dilipat dan diletakkan di bawah kaki kanan ( tetapi tidak diduduki oleh pantat seperti pada duduk ketika tasyahhud awwal ) sampai telapaknya keluar berada di samping kaki kanan, lalu ( ? ) diletakkan di atas tanah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Ahmad telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Terbukti bahwa Rasulullah s.a.w. bilamana duduk pada dua rakaat yang pertama, beliau duduk di atas kaki kiri bagian bawah dan melipat luruskan kakinya yang kanan, dan bilamana duduk pada rakaat terakhir, maka beliau duduk di atas ( ? ) sementara bagian dalam telapak kaki kirinya di bawah lutut kaki kanan dan kaki kanan bagian bawah diluruskan”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bilamana telah usai membaca tasyahhud, lalu membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. Hukum membaca shalawat pada waktu duduk yang terakhir sesudah tasyahhud adalah fardu, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Allah tidak menerima shalat melainkan bersuci ( terlebih dahulu, yakni berwudhu ) dan membaca shalawat kepadaku”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bacaan shalawat yang paling utama adalah :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Artinya:<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Ya Allah, semoga shalawat dilimpahkan kepada Muhammad, Nabi yang ummi, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Dan berkatilah Muhammad, Nabi yang ummi, dan (berkatilah ) keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Sesungguhnya Engkau MahaTerpuji dan Maha Mulia”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Al Anshari Al Badari r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Rasulullah s.a.w. pernah mendatangi kami ketika kami sedang berada di majlis ( rumah Sa’ad bin ‘Ubadah, lalu Basyir bin Sa’ad bertanya kepada beliau : Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada kami agar menyampaikan shalawat kepadamu, wahai Rasulullah ! Bagaimana (cara )kami menyampaikan shalawat kepadamu,bila kami menyampaikan shalawat kepadamu pada waktu kami sedang shalat ? Beliau menjawab :Bacalah oleh kalian : ( (<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">= Ya Allah,semoga shalawat dilimpahkan kepada Muhammad, Nabi yang ummi, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Dan berkatilah Muhammad , Nabi yang ummi, dan (berkatilah ) keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila shalat itu hanya satu rakaat, seperti shalat witir, atu dua rakaat , seperti shalat Shubuh, maka cara duduknya adalah dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“duduk tawarruk” </i>dan langsung membaca tasyahhud akhir serta membaca shalawat kepada Nabi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dan pada akhirnya membaca salam sebagai fardu shalat yang penghabisan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Kunci shalat adalah bersuci (wudhu) dan penghormatannya adalah takbir serta penghalalannya (penutupnya) adalah salam”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan dalam membaca salam ini di lakukan dua kali, pertama membacanya (ini hukumnya fardu) sambil menengok kesebelah kanan dan kedua kesebelah kiri. Bacaan salam berbunyi ( ( =<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Semoga keselamatan dan rahmat Allah dilimpahkan kepada kamu sekalian ) ).<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Abdullah bin Mas’ud r.a. meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bahwasanya Nabi s.a.w. membaca salam sambil menengok ke kanan : ( (<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> ) ) dan sambil menengok ke kiri : ( ( ) ). Sehingga putih pada pipinya tampak, dari sini dan dari sini”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Seorang imam hendaklah pada waktu membaca salam yang pertama niat mengakhiri shalat dan membacanya untuk jammah yang ada disebelah kanan serta untuk para malaikat, lalu pada waktu membaca salam yang kedua niat membacanya untuk jamaah yang ada di sebelah kiri dan untuk para malaikat. Sedang bila seseorang shalat munfarid, hendaklah pada waktu ia membaca salam yang pertama niat mengakhiri shalat dan membacanya untuk para malaikat, lalu pada waktu membaca salam yang kedua niat membacanya untuk para malaikat. Dengan diakhiri oleh salam , maka berarti seutuhnya shalat telah dikerjakan, baik yang bersifat fardu maupun yang bersifat sunat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan bagi orang yang telah menyelesaikan shalat menyambungnya dengan dzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Az Zubair r.a. di mana dia setiap usai shalat selalu bertahlil dengan mengucap :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Artinya :<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “tidak ada Tuhan selain Allah. Maha Esa Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaanyalah kerajaan (langit dan bumi) dan kepunyaannyalah segala puji. Dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan berkat pertolongan Allah. Kami tidak menyembah melainkan hanya kepada-Nya. Bagi-Nya (segala) nikmat dan bagi-Nya (semua ) keutamaan serta bagi-Nya (semua ) sanjungan yang baik. Tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai. { Kemudian dia berkata : Bahwasanya Nabi s.a.w. bertahlil dengan ini (bacaandi ataas)dalam setiap usai shalat)}”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan menyaringkan bacaan tersebut, baik dalam shalat sirriyah maupun shalat jahriyah, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya meninggikan suara ketika membaca dzikir saat orang-orang usai shalat fardlu adalah kebiasaan yang dilakukan pada masa Rasulullah saw. dan dia berkata : (Aku tahu bila mereka berlalu karenanya, jika aku mendengarnya)” </span></i><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan pada waktu shalat Shubuh qunut pada rakaat kedua sesudah ruku’ dan sebelum sujud.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Anas ra. Meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. qunut selama satu bulan. Mengutuk mereka kemudian meninggalkannya. Akan tetapi dalam shalat Shubuh beliau terus qunut sampai beliau wafat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan, bahwasanya Anas pernah ditanya: Apakah Rasulullah saw. qunut ketika shalat Shubuh? Dia menjawab: Ya. Ditanyakan (lagi): Sebelum atau sesudah ruku’? Dia menjawab: Sesudah ruku’.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan qunut dengan bacaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada Al Hasan bin Ali.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Al Hasan bin Ali ra. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Rasulullah saw. telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir. Beliau bersabda: Katakanlah: ((<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">Ya Allah, tunjukilah aku seperti orang yang telah Engkau beri petunjuk, sehatkanlah aku seperti orang yang telah Engkau sehatkan, lindungilah aku seperti orang yang telah Engkau lindungi, berkatilah aku pada apa yang telah Engkau berikan (kepadaku), dan peliharalah aku dari buruknya apa yang telah engkau gariskan. Sesungguhnya Engkau adalah Yang memiliki keputusan dan tidak ada yang kuasa memberi keputusan (siapa pu juga). Bahwasanya orang yang berlindung kepada-Mu tidak hina. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi Engkau))”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Baik juga qunut dengan bacaan seperti yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra., yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’: Bahwasanya Umar bin Khaththab ra. Qunut sesudah ruku’ dalam shalat Shubuh lalu aku mendengarnya dia membaca:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, kami memohon ampunan kepada-Mu, kami tidak kufur kepada-Mu, kami beriman kepda-Mu, dan kami berlepas diri serta meninggalkan orang yang durhaka kepada-Mu. Ya Allah, hanya kepada-Mu kami berbakti, karena-Mu kami shaat dan sujud, kepada-Mulah kami beranjak dan bergegas seraya memohon rahmat-Mu, dan kami takut atas adzab-Mu. Sesungguhnya adzab-Mu yang benar-benar dijanjikan kepada orang-orang kafir pasti terjadi. Ya Allah, adzablah orang-orang kafir, Ahli Kitab, yang senantiasa merintangi jalan-Mu, mereka yang mendustakan para Rasul-Mu dan yang membunuh para auliya-Mu. Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa) kaum mukminin-mukminat dan kaum muslimin-muslimat, damaikanlah diantara mereka yang sedang berselisih, jinakkanlah diantara hati mereka, jadikanlah hati mereka penuh dengan iman dan sikap bijaksana, teguhkanlah mereka dalam memegang agama yang disampaikan Rasul-Mu, tanamkanlah kepada mereka suku menepati janji-Mu yang telah Engkau ikat mereka itu dengannya, dan tolonglah mereka atas musuh-Mu dan musuh mereka. Ya Allah, Tuhan yang sesungguhnya, jadikanlah kami di antara mereka !”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Yang dikategorikan fardlu dalam tata cara shalat seperti yang telah dikemukakan di atas ada tiga belas, yaitu: Niat, takbiratul ihram, berdiri, membaca surat Al Fatihah, ruku’ dengan thuma’ninah, berdiri dari ruku’ (‘itidal) degan thuma’ninah, sujud dengan thuma’ninah, duduk di antara sujud dengan thuma’ninah, duduk pada akhir shalat, membaca tashahhud dalam duduk tersebut, membaca shalawat kepada Rasulullah, membaca salam yang pertama, dan tertib. Adapun di luar itu, maka semuanya sunat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">4. Bilangan Rakaat Shalat<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Jumlah bilangan rakaat shalat fardlu seluruhnya ada tujuh belas rakaat, yaitu: Empat rakaat shalat Zhuhur, empat rakaat shalat Ashar, tiga rakaat shalat Maghrib, empat rakaat shalat Isya, dan dua rakaat shalat Shubuh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Aisyah, Ummul Mukminin ra., bahwasanya ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Allah telah mewajibkan shalat dua rakaat, baik ketika sedang berada di tempat maupun ketika sedang bepergian, lalu shalat pada waktu sedang bepergian dikukuhkan (seperti semula) dan (bilangan rakaat) pada waktu sedang berada di tempat ditambah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah, bahwasanya ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“(Sebelum hijrah) shalat difardlukan (hanya) dua rakaat, kemudian Nabi saw. hijrah (ke Madinah) maka shalat difardlukan menjadi empat (rakaat)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya ia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“(Sebelum hijrah) shalat difardlukan (hanya) dua rakaat. Ketika Nabi saw. tiba di Madinah dan beliau menetap (di sana) shalat pada waktu sedang berada di tempat ditambah dua rakaat-dua rakaat, namun shalat Fajar (Shubuh) dibiarkan (tetap dua rakaat) mengingat bacaannya panjang dan shalat Maghrib</span></i><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"> (hanya tiga) karena Maghrib merupakan persimpangan siang”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Jumlah bilangan rakaat shalat fardu sebanyak itu diperkuat lagi oleh ijma konsensus para sahabat yang dapat kita telusuri secara mutawatir. Sedangkan jumlah bilangan rakaat shalat jum’at hanya dua saja, sebagaimana dikemukakan oleh Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dan (rakaat) shalat jum’at itu (hanya) dua rakaat (saja) “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Adapun jumlah bilangan rakaat shalat sunat rawatib yang berkaitan dengan shalat fardu, maka menurut pendapat yang paling kuat sedikitnya ada sepuluh rakaat, yaitu : dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Umar r.a. telah meriwatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku shalat bersama Rasulullah s.a.w. sebelum Zhuhur dua kali sujud (dua rakaat), dua kali sujud sesudahnya , dan dua kali sujud sesudah Maghrib, serta dua kali sujud sesudah Isya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Hafshah binti Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. shalat dengan dua kali sujud (dua rakaat ) yang ringan (tidak lama ) bilamana fajar terbit”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedang utamanya shalat sunat rawatib ini sebanyak delapan belasrakaat di luar shalat witir, yaitu : Dua rakaat sebelum shalat Fajar, dua rakaat sesudah Maghrib, dan dua rakaat sesudah Isya, sebagaimana telah dikemukakan dalam dua hadits di atas, kemudian empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat lagi sesudahnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Ummu Habibah r.a. telah meriwayatkan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda : Barangsiapa memelihara empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat sesudahnya, maka ia diharamkan masuk ke dalam api neraka”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya empat rakaat selebum Ashar, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengerjakan shalat sebelum Ashar sebanyak empat rakaat dan beliau memisahkannya setiap dua rakaat dengan membaca salam kepada para malaikat dan kaum mukminin yang ada bersama mereka”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan dalam shalat sunat empat rakaat sebelum Ashar, sebelum dan sesudah Zhuhur dipisah dengan membaca salam pada setiap dua rakaat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Ali r.a. dan hadits tentang shalat malam serta shalat siang hari yang dilaksanakan dengan dua rakaat -dua rakaat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Tentang hukum shalat witir, maka sesungguhnya shalat tersebut adalah sunat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al Anshari r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Witir itu adalah hak, bukan wajib. Maka barangsiapa menghendaki untuk berwitir lima (rakaat) dipersilakan. Barangsiapa menghendaki untuk berwitir sebanyak tiga (rakaat) dipersilakan.Dan barangsiapa menghendaki untuk berwitir hanya dengan satu(rakaat) pun dipersilakan”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Minimal bilangan rakaat shalat witir adalah satu rakaat dan maksimal sebelas rakaat, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengerjakan shalat malam sebelas rakaat dan beliau mengganjilkannya dengan satu rakaat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan bagi orang yang mengerjakan shalat witir lebih dari satu rakaat membaca salam setiap dua rakaat, yakni mengerjakannya dua rakaat-dua rakaat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. memisahkan antara genap dengan witir (ganjil )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Aisyah r.a. juga dalam hadits lain meriwayatkan lagi :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bahwasanya Rasulullah s.a.w. shalat antara sesudah beliau selesai mengerjakan shalat Isya sampai fajar sebanyak sebelas rakaat. Beliau membaca salam antara setiap dua rakaat dan beliau mengganjilkannya dengan satu (rakaat )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan mengerjakan shalat sunat witir pada separuh kedua dari bulan suci Ramadhan, sebagaimana telah diriwayatkan dari Umar r.a. , bahwasanya ia telah berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Disunatkan bila telah sampai pada pertengahan bulan suci Ramadhan mengutuk orang-orang kafir dalam witir sesudah membaca ( ( ) ) dengan bacaan : ( ( = Ya Allah, bunuhlah orang-orang kafir) )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga disunatkan mengerjakan shalat malam Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dengan sepuluh kali membaca salam, sebagaimana telah diriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah shalat bersama orang-orang sebanyak dua puluh rakaat selama dua malam. Kemudian pada malam ketiganya orang-orang pun berkumpul, namun beliau tidak keluar untuk mengimami mereka. Baru pada keesokan harinya beliau bersabda : Aku khawatir shalat tersebut difardukan atas kalian , sehingga kalian tidak kuasa melaksanakannya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Shalat sunat Dhuha bilangan rakaatnya minimal dua rakaat dan maksimal delapan rakaat, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bahwasanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Benarlah bahwa pada setiap ‘salami’* dari seseorang di antara kalian merupakan sedekah dan ia mendapat pahala karenanya sama dengan dua rakaat shalat Dhuha yang dikerjakannya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan pula oleh Ummu Hani binti Abu Thalib r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.aw. telah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan shalat “Tahiyyatul masjid” dua rakaat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.aw. telah bersabda : Bilamana salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka shalatlah dua kali sujud (dua rakaat) sebelum ia duduk”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan shalat sunat dua rakaat sesudah wudhu, sebagaimana diriwayatkan dari Utsman r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Aku telah melihat Rasulullah s.a.w berwudhu, kemudian beliau bersabda : Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat sedang ia tidak berbicara pada dirinya dalam keduanya, maka ia diampuni dosanya yang telah lalu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan bagi orang yang baru tiba dari bepergian shalat dua rakaat di masjid yang mula pertama ia dapatkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan oleh Ka’ab bin Malik r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bahwasanya Rasulullah s.a.w. bilamana datang dari suatu perjalanan, maka beliau mengawali ruku’dua rakaat di masjid”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya disunatkan shalat tahajjud di malam hari dan shalat sunat yang dikerjakan di siang hari tanpa batasan jumlah rakaatnya, namun dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, yakni pada setiap dua rakaat diakhiri terlebih dahulu dengan salam, berdasarkan hadits yang diriwayatakan oleh Ibnu Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.aw. bersabda: Shalat malam itu dua-dua, lalu jika engkau khawatir (shalat) Shubuh (terlambat)hendaklah (diakhiri) dengan witir satu (rakaat) “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Seluruh shalat sunat di atas tidak sunat dikerjakan dengan berjamaah . <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Tetapi di samping itu ada beberapa shalat sunat yang sunat dilaksanakan dengan berjamaah , yaitu :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Dua rakaat shalat sunat ‘Idul Fitri dan dua rakaat shalat sunat ‘Idul Adh-ha,sebagaimana dikemukakan oleh Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Shalat ‘Idul adh-ha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri itu dua rakaat, shalat safar itu dua rakaat, dan shalat Jum’at itu genap dua rakaat, tanpa diqashar berdasarkan sabda Nabi kalian s.a.w. Dan sungguh merugi orang yang mengada-ada”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dua rakaat shalat kusuf dan dua rakaat shalat khusuf dengan cara pada tiap-tiap rakaat dua kali berdiri, dua kali membaca surah Al Fatihah, dua kali ruku’,dan dua kali sujud, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“(Suatu ketika terjadi) gerhana matahari, sehingga Rasulullah s.a.w. shalat dan orang-orang pun (ikut)bersamanya, lalu beliau berdiri lama seukuran(membaca ) surah Al Baqarah. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian beliau berdiri ( lagi ) dengan lama dan berdirinya ini bukan merupakan berdiri yang pertama, kemudian ruku’(lagi) dengan ruku’ yang lama dan ruku’nya ini bukan merupakan ruku’yang pertama, kemudian beliau sujud, kemudian berdiri dengan lama dan berdiri ( kali ini juga ) bukan merupakan berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku ‘dengan ruku’yang lama dan ruku’( kali ini juga ) bukan merupakan ruku’ yang pertama, kemudian beliau bangkit( dari ruku’ ) , lalu berdiri lama dan berdiri ( yang ini pun ) bukan sebagai berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku’dengan ruku’ yang lama dan ruku’ ( yang ini pun ) bukan ruku’ yang pertama, kemudian sujud. Kemudian ( sesudah itu ) beliau berlalu dan matahari pun telah tampak ( kembali ) , maka beliau pun bersabda : Sesungguhnya matahari dan bulan adalah merupakan dua dari beberapa tanda (kekuasaan) Allah . Keduanya tidaklah tertutup karena kematian seseorang dan bukan (pula) karena hidupnya. Maka jika kalian melihat hal itu , hendaklah kalian berdzikir mengingat Allah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Berikutnya shalat sunat istisqa ( minta turun hujan ) ketika terjadi kemarau panjang. Tata caranya sama dengan shalat sunat ‘Idul Adh-ha atau ‘Idul Fitri, yakni sesudah takbiratul ihram membaca do’a iftitah, kemudian takbir tujuh kali dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali setelah berdiri tegak dari sujud pada rakaat pertama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. pernah pada suatu hari keluar untuk memohon agar turun hujan. Maka beliau shalat dua rakaat sambil mengimami kami dengan tidak diawali oleh adzan dan iqamah.Kemudian beliau berkhotbah di hadapan kami dan berdo’a kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan beliau menghadapkan mukanya ke arah kiblat sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau membalikkan selendangnya ( sorban ) , sehingga yang (semula) terletak di sebelah kanan berpindah ke sebelah kiri dan yang terletak di sebelah kiri berpindah ke sebelah kanan”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. pernah keluar sambil berpakaian kusut, dengan khusyu’, dengan merendahkan diri (kepada Allah ) , lalu beliau shalat dua rakaat sama seperti shalat ‘Id. Kemudian beliau khutbah dengan khutbah kalian yang ini”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">5. Yang Membatalkan Shalat : <i style="mso-bidi-font-style: normal;"> <o:p></o:p></i></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam shalat ada beberapa syarat sah yang harus selamanya ditepati sampai shalat itu selesai, sehingga bilamana salah satu syarat-syarat tersebut tidak ditepati- umpamanya seperti: suci , menutup aurat, dan sebagainya- maka shalat tersebut batal. Bilamana seseorang yang sedang shalat tertimpa hadats, maka shalatnya itu batal, baik hadats tersebut terjadi dengan sengaja, karena lupa atau atas kehendak sendiri, maupun karena dipaksa. Sebab dalam kasus seperti ini tidak ada perbedaan antara tidak menepati syarat sah shalat atas dasar kehendak peribadi dengan alasan dipaksa, karena berdasarkan kenyataan yang bersangkutan ternyata mengerjakan shalat tanpa wudhu( tidak suci umpamanya ) . Sedang shalat bila tanpa wudhu adalah rusak (tidak sah).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Ulangi shalatmu, karena kamu dianggap belum shalat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga bila tertinggalnya karena lupa dan baru teringat setelah shalat itu diakhiri dengan salam, maka shalat tersebut pun tidak sah. Maka shalat itu harus diulangi karena dianggap tidak memenuhi seluruh fardu shalat. Adapun bila tertinggalnya karena lupa dan kemudian teringat sebelum diakhiri dengan salam, maka yang bersangkutan harus kembali mengerjakan rakaat yang tertinggal salah satu fardunya secara utuh dan sebelum salam dia mengerjakan sujud sahwi. Sebab dalam kasus seperti ini dianggap sama dengan orang yang meninggalkan satu rakaat karena lupa, sehingga oleh karenanya dia harus mengerjakan rakaat yang tertinggal dan mengerjakan sujud sahwi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abdurrahman bin Auf r.a. meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Bila seseorang di antara kalian lupa dalam shalatnya, sehingga dia tidak tahu, apakah dia baru mengerjakan satu rakaat atau sudah dua rakaat? Maka dia harus menetapkannya baru satu rakaat. Kemudian bila dia tidak tahu, apakah dia baru mengerjakan tiga rakaat atau sudah empat rakaat? Maka dia harus menetapkannya baru tiga rakaat dan dia pun harus sujud dua kali sebelum membaca salam”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bilamana seseorang berbicara saat mengerjakan shalat , atau tertawa, atau tersedu-sedu menangis, atau membalas dengan ucapan : ( ) kepada orang yang berbangkis, sedang dia mengetahui dan sadar bahwa dirinya sedang shalat serta bahwa hal itu tidak boleh dilakukan, maka batallah shalatnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Zaid bin Arqam telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Kami (pada mulanya ) saat sedang shalat diperbolehkan bercakap-cakap, sehingga seseorang di antara kami suka ada yang bercakap-cakap kepada temannya yang berada di sampingnya saat dia sedang shalat, sampai akhirnya turun ayat: ( = Dan berdirilah kalian (shalat) karena Allah dengan khusyu’). Maka sesudah itu kami disuruh agar diam dan kami dilarang bercakap-cakap “.</i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits Muawiyah bin Al Hakam juga dikemukakan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya dalam shalat ini sedikit pun tidak dibenarkan untuk mengangkat percakapan manusia”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedangkan apabila hal di atas dilakukan saat sedang shalat dikarenakan lupa, maka shalat tersebut tidak batal, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“( Suatu ketika ) Rasulullah s.a.w shalat Zhuhur dan Ashar dengan mengimami kami , kemudian beliau membaca salam. Maka Dzul Yadaini bertanya kepadanya :Apakah shalat (ini) telah diqashar atau engkau ini lupa, ya Rasulullah ? Maka Rasulullah s.a.w. menjawabnya : Shalat tersebut tidak diqashar dan aku juga tidak lupa. Lalu dia berkata : Akan tetapi engkau telah lupa, ya Rasulullah ? Nabi s.a.w. bersabda : Apa yang dia katakan benar ? (para sahabat) menjawab : Ya ! Maka beliau pun shalat (lagi untuk ) dua rakaat yang terakhir, kemudian beliau sujud(sahwi) dua kali”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bilamana hal tersebut dilakukan karena tidak tahu bahwa itu tidak boleh dikerjakan dan tidak boleh berkelanjutan, maka shalat tersebut tidak batal, sebagaimana diriwayatkan oleh Muawiyah bin Al Hakam: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Ketika kami sedang berada bersama Rasulullah s.a.w. tiba-tiba seorang laki-laki dari suatu kaum berbangkis, lalu aku menyahutnya dengan membaca : ( = Semoga Allah mengasihani kamu) , sehingga kaum itu mengerlingkan matanya kepadaku. Maka aku pun berkomentar : Demi ibuku sebagai tanggunganku ! Mengapa kalian memandang aku seperti itu ? Kemudian kaum itu menepak paha mereka dengan tangannya. Kemudian sesudah Rasulullah s.a.w. usai(shalat) , beliau pun memanggilku : Demi ayah dan ibuku, itu seperti apa yang kulihat sebagai isyarat dan merupakan sebaik-baik pelajaran daripadanya. Demi Allah hal itu tidak menyakiti dan tidak (pula) membuatku benci. Kemudian beliau juga bersabda: Sesungguhnya shalat kita ini tidak dibenarkan, saat sedang dikerjakannya, sedikitpun dicampuri dengan perkataan manusia. Sesungguhnya shalat itu hanya merupakan tasbih, takbir, dan membaca Al Qur’an”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Suatu ketidak-tahuan baru dimaafkan dengan catatan bahwa hal tersebut sangat wajar untuk tidak atau belum diketahui. Sedangkan bila tidak demikian , maka ketidak-tahuan tersebut tidak bisa dimaafkan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">6. Hal-hal yang Makruh dalam Shalat<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dimakruhkan dalam shalat menoleh ke kanan dan ke kiri, berdasarkan hadits Aisyah r.a. di mana ia pernah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku telah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang menoleh saat sedang sedang shalat. Maka beliau menjawab: Itu merupakan suatu tindakan pencurian yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Namun demikian menoleh ini tidak membatalkan shaat sebagaimana diriwayatkan dari Jabir r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. suatu (ketika) sakit sehingga kami shalat di belakang, dan beliau (shalat) sambil duduk dan beliau menoleh kepada kami, sehingga beliau melihat kami berdiri maka beliau pun memberi isyarat kepada kami”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dimakruhkan saat shalat mengarahkan pandangan ke atas, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya nabi saw. telah bersabda: Ada apa gerangan kaum yang mengarahkan penglihatan mereka ke atas saat mereka sedang shalat. Kemudian beliau pun begitu keras menyatakan hal itu sehingga beliau bersabda: Sungguh, seharusnya mereka menahan diri dari perbuatan itu atau sungguh-sungguh penglihatan mereka dilenyapkan”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dimakruhkan saat shalat melihat kepada yang ada disekitarnya (di sampingnya), berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Bahwasanya Nabi saw. pernah shalat dengan menggunakan baju woll bergambar, maka tatkala beliau usai bersabda: Gambar-gambar ini telah membuat aku tidak khusu’, maka bawalah pergi oleh kalian baju ini kepada Abu Jahm dan berikanlah kepadaku baju woll yang tidak bergambar* .”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dimakruhkan juga saat shalat meletakkan tangan di bawah tulang rusuk berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang seorang laki-laki shalat dengan meletakkan tangan di bawah tulang rusuk.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dimakruhkan saat shalat menguap, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Menguap itu adalah dari syaitan. Maka jika seseorang di antara kalian menguap hendaklah dia menahannya sedapat mungkin”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">7. Waktu yang Makruh untuk Shalat<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dimakruhkan shalat dalam waktu yang lima, yaitu: Dua waktu karena berdasarkan pelaksanaannya dan tiga waktu karena berdasarkan waktunya. Dua waktu pertama, yaitu shalat sesudah shalat shubuh sampai matahari terbit dan shalat sesudah shalat ashar sampai matahari terbenam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Orang-orang yang diridhai telah bersaksi di hadapanku dan Umar r.a. pun menyatakan ridha kepada mereka, sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang shalat sesudah shubuh sampai matahari terbit dan (beliau juga telah melarang shalat) sesudah ashar sampai matahari terbenam.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat karena berdasarkan waktunya, yaitu shaalat ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika matahari pas berada di garis katulistiwa sampai tergelincir, dan ketika langit kekuning-kuningan sampai matahari terbenam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu atau untuk mengubug orang yang wafat di antara kita; ketika matahari tampak terbit sampai meninggi’ ketika pas tengah hari, dan ketika matahari menjelang terbenam.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Akan tetapi dikecualikan dari ketentuan di atas bagi shalat qadha, baik qadha shalat fardhu maupun qadha shalat sunat, yakini untuk shalat qadha tidak dimakruhkan berdasarkan beberapa nash yang membolehkannya, antara lain:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya Umar pada waktu Perang Khandaq datang setelah matahari terbenam dikarenakan dia terlena memaki kaum kuffar Quraisy. Maka dia berkata: Ya Rasulallah, hampir saja aku tidak shalat ashar sampai matahari pun hampir tenggelam. Kemudian Nabi saw. bersabda: Demi Allah, aku pun belum mengerjakannya. Oleh karena itu, maka beliau mengambil wudhu dan begitu pula kami pun berwudhu. Lalu beliau shalat ashar setelah matahari terbenam, kemudian sesudah itu dia shalat maghrib”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Barang siapa lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah is shalat pada waktu mengingatnya.”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat dua rakaat sesudah ashar, lalu setelah usai beliau bersabda: Wahai puteri Abu Umayah, engkau telah bertanya tentang dua rakaat sesudah ashar. Sesungguhnya orang-orang dari kaum Abdul Qais telah datang kepdaku menanyakan tentang Islam sebagai pesan yang dibawa dari mereka, sehingga mereka itu telah membuat aku sibuk sampai tidak mengerjakan shalat sunat dua rakaat sesudah dzuhur, maka inilah kedua rakaat sesudah ashar ini (sebagai qadhanya).”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Adapun shalat sunat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tahiyatul masjid</i> tetap dimakruhkan mengerjakannya pada waktu-waktu di atas, sama halnya dengan shalat-shalat sunat yang lain karena hadits rasulullah saw. yang berbunyi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka hendaklah dia jangan duduk sampai ia ruku’ dua rakaat (terlebih dulu).”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Hadits ini bersifat umum untuk seluruh waktu keadaan serta bagi setiap masjid. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu…”</i> maka sesungguhnya hadits tersebut bersifat khusus untuk waktu-waktu tertentu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya nabi telah melarang shalat sesudah ashar sampai matahari terbenam.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Hadits ini bersifat khusus dalam keadaan tertentu, yakni sesudah shalat ashar bukan sebelumnya. Bilamana terjadi pertentangan antara yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum, maka yang bersifat umum mengikuti yang bersifat khusus. Yaitu jika didapati nash yang bersifat khusus umum dan bersifat khusus berarti nash yang bersifat khusus berfungsi untuk membatasi keumuman nash yang bersifat umum. Tegasnya berfungsi untuk mengecualikan dari nash yang bersifat umum. Dengan demikian, maka anjuran untuk mengerjakan shalat tahiyyatul masjid di sembarang waktu dibatasi agar dikerjakan diluar waktu yang lima yang telah ditetapkan sebagai waktu yang terlarang untuk mengerjakan shalat. Sehingga oleh karenanya shalat tahiyyatul masjid pada waktu yang lima hukumnya makruh sama dengan shalat sunat yang lain. Sebab bentuk larangan dalam hadits tersebut dialamatkan pada seluruh shalat termasuk pada shalat tahiyyatul masjid. Lebih jelasnya lagi ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat (sunat tahiyyatul masjid) pada waktu tersebut, lain halnya dengan shalat fardu dan qadha shalat sunat rawatib yang ternyata ditemukan hadits (nash) yang membolehkannya. Maka dengan demikian , dikukuhkanlah : Sesungguhnya shalat sunat tahiyyatul masjid hukumnya makruh bila dikerjakan pada waktu yang tidak diperbolehkan, yakni pada waktu yang lima tersebut. Begitu juga, ternyata bentuk larangan yang dikemukakan dalam hadits lain yang membicarakan tentang dua waktu yang bersifat umum untuk seluruh shalat, termasuk di dalamnya shalat sunat tahiyyatul masjid, shalat nawafil, dan yang lainnya. Adanya pengecualian yang membolehkan shalat tertentu dalam waktu-waktu tersebut dan dalam keadaan-keadaan di atas menghendaki adanya nash yang membolehkan untuk mengerjakannya. Dan ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat pada ketiga waktu dan dua keadaan tersebut, melainkan hanya untuk fardu dan qadha shalat sunat rawatib saja. Maka dengan demikian, hanya dua jenis shalat itu sajalah yang dikecualikan sehingga tidak makruh bila dikerjakan pada kelima waktu tersebut. Sedangkan selain dari keduanya makruh bila dikerjakan pada kelima waktu di atas, termasuk shalat sunat tahiyyatul masjid. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">8. Shalat Berjamaah :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat berjamaah hukumnya adalah fardu kifayah yang wajib dinyatakan kepada khalayak ramai. Bilamana mereka menghadang untuk dinyatakannya, maka mereka harus dibunuh. Dalil yang menyatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardu kifayah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sesunggunya Nabi s.a.w. telah bersabda : Tidaklah dari tiga orang di suatu kampung atau di suatu dusun bilamana shalat tidak di dirikan dengan berjamaah olehnya , melainkan mereka (penduduk kampung itu) telah menjadikan syeitan sebagai pemimpinnya. Kamu hendaklah berjamaah ( bersatu ) , karena sesungguhnya srigala hanya berani menerkam kambing yang memisahkan diri “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Adapun yang menjadi landasan bahwa hukum shalat berjamah adalah fardu kifayah bukan fardu ‘ain, karena sebahagian kaum muslimin terkadang suka terlambat shalat berjamaah dengan Rasulullah s.a.w. , tetapi mereka tetap dibiarkan begitu oleh Rasulullah s.a.w.,sekalipun mereka telah diancam dengan di bakar. Bilamana shalat berjamaah hukumnya fardu’ain atas setiap muslim, niscaya beliau tidak akan membiarkan mereka terlambat. Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat manfarid (menyendiri ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Nabi s.a.w. dikemukakan, bahwasanya beliau telah bersabda : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat menyendiri dengan dua puluh tujuh derajat “.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dan shalat dimasjid lebih utama daripada shalat di rumah, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. , bahwasanya dia berkata : Rasulullah s.a.w. telah bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Barangsiapa bersuci (wudhu) di rumahnya, kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu dari beberapa yang telah difardukan oleh Allah (shalat fardu), maka langkah-langkahnya itu, salah satunya merupakan penghapus dosa yang lainnya merupakan langkah-langkah yang akan meninggikan derajatnya “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Batas minimal shalat berjamaah adalah dua orang, satu imam dan satu makmum, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku bersama sahabatku datang kepada Nabi s.a.w ,. Maka ketika kami hendak pamit daripadanya, beliau pun bersabda kepada kami : Bilamana waktu shalat tiba, maka adzanlah dan qamatlah serta jadikan imam orang yang paling tua di antara kamu berdua”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya shalat berjamaah di masjid lebih utama daripada shalat berjamaah dirumah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Barangsiapa yang ingin dibahagiakan dengan dapat menemui Allah besok dalam keadaan muslim, maka peliharalah shalat-shalat itu ketika datang panggilannya. Sebab sesungguhnya Allah Ta’ala telah mensyari’atkan bagi Nabi s.a.w. sunah-sunah yang bermakna sebagai petunjuk dan sesungguhnya shalat-shalat itu merupakan sebahagian dari sunah-sunah yang bermakna sebagai petunjuk tersebut. Dan sekiranya kalian shalatdi rumah-rumah kalian seperti orang yang menyalahi ini yang mengerjakan shalat di rumahnya,sungguh kalian ini berarti telah meninggalkan sunah Nabi kalian s.a.w. Dan sekiranya kalian berani meninggalkan sunah Nabi kalian , maka itu berarti kalian sungguh telah tersesat. Sungguh kamu telah melihat kami, bahwasanya tidak seorang pun menyalahi sunnah beliau, melainkan hanya orang yang benar-benar munafik. Sungguh seorang laki-laki hendaknya harus didatangkan untuk hadir di antara dua laki-laki sehingga dia ditempatkan pada barisan (shaf )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diperbolehkan kaum wanita datang ke masjid untuk shalat di sana dan untuk mengikuti shalat berjamaah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian pergi ke masjid sekalipun rumah mereka lebih utama bagi mereka “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Keharusan shalat berjamaah baru bisa ditinggalkan bila karena ada halangan yang disa diterima oleh syara’, seperti karena malam yang sangat dingin atau karena hujan, sebagaimana dikemukakan dalam hadtis Ibnu Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah menyuruh tukang adzan untuk adzan, kemudian sesudah ia adzan beliau bersabda : Ingat ! shalatlah kalian dirumah-rumah kalian di malam yang sangat dingin atau turun hujan jika berada diperjalanan “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“(Beliau) menyuruh muadzin bila malam sangat dingin dan turun hujan agar berkata :Ingat ! hendaklah kalian dirumah-rumah kalian “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga kepada orang yang lapar atau terdesak ingin buang hajat besar atau hajat kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Tidak dibenarkan shalat di hadapan hidangan makanan dan tidak pula bagi orang yang terdesak ingin buang hajat besar atau ingin buang air “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bahkan dalam keadaan seperti ini shalat dimakruhkan. Disunatkan bagi orang yang hendak shalat berjamaah berjalan tidak dengan berlari.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan dari Nabi s.a.w. , bahwasanya belia u telah bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana shalat telah didirikan , maka janganlah kalian mendatanginya dengan berlari-lari. Akan tetapi datangilah oleh kalian dengan berjalan (biasa). Kalian harus bersikap sakinah (tenang), lalu shalatlah kalian pada bagian yang dapat kalian temukan dan selanjutnya sempurnakanlah bagian yang tidak kalian dapatkan”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana seseorang tiba di masjid untuk mengikuti shalat berjemaah sedang shalt itu telah dimulai, hendaklah ia langsung mengikutinya, tidak perlu mengerjakan shalat sunnah terlebih dahulu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Bilamana shalat telah dimulai, maka tidak ada shalat kecuali hanya shalat fardlu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Jika seseorang sedang shalat sunat kemudian shalat fardlu dimulai, maka jika tidak dikhawatirkan akan kehilangan berjamaah hendaknya shalat sunat tersebut disempurnakan, baru kemudian menyusul untuk mengikuti shalat berjamaah. Akan tetapi jika dikhawatirkan akan kehilangan berjamaah hendaknya shalat sunat itu diputuskan, karena shalat berjamaah lebih afdhal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat berjamaah tidak sah sampai makmum niat shalat berjamaah, karena dia bermaksud hendak mengikuti imam sehingga oleh karenanya tidak boleh tidak dia harus menyertakan niat mengikuti iman, siat berjamaah, atau niat bermakmum. Namun jika sampai makmum tidak menyertakan niat berjamaah, maka shalatnya tetap sah tetapi dianggap munfarid dan tidak memperoleh keutamaan berjamaah. Untuk imam juga diharuskan menyertakan niat berjamaah, yakni di dalam hatinya menyebutkan niat mengimamai atau niat menjadi imam, sekalipun tanpa menyertakan niat mengimamai shalatnya tetap sah, tetapi dia akan memperoleh fadilah berjamah. Dalam kasus seperti ini bagi makmum tidak menjadi masalah, yakni makmum tetap memperoleh fadilah berjamaah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Apabila makmum mendapatkan waktu untuk berdiri bersama imam, namun ia khawatir tidak mendapatkan waktu untuk membaca surat Al Fatihah, hendaklah ia tidak membaca do’a istiftah dan langsung membaca surat Al Fatihah saja karena membaca surat Al Fatihah adalah fardlu yang harus diprioritaskan dari hal-hal yang bersifat sunat. Apabila makmum baru menyelesaikan sebagian dari membaca surat Al Fatihah namun imam sudah ruku’, maka dia pun harus ikut ruku’ dan memutuskan bacaan surat Al Fatihah karena mengikuti imam harus lebih diprioritaskan. Apabila makmum mendapatkan imam sedang ruku’, maka bertakbirlah untuk takbitarul ihram sambil berdiri kemudian bertakbir untuk ruku’ sambil merengkuh ruku’. Bilamana yang bersangkutan bertakbir dengan satu kali takbir dan dengan niat untuk takbiratul ihram sekaligus untuk takbir ruku’, maka hal itu hukumnya tidak sah karena berarti dia telah menyekutukan niat diantara fardlu dengan niat. Apabila makmum mendapatkan imam sendang ruku’ dan dia pun masih dapat mengikutinya dengan thuma’ninah, maka berarti dia telah mendapatkans atu rakaat secara utuh, namun bila tidak demikian berarti dia tidak mendapatkan rakaat tersebut. Barangsiapa masih dapat menemukan satu rakaat bersama imam, berarti dia telah mendapatkan shalat berjamaah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r. a. Dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah saw. bersabda: Bilamana kalian datang untuk shalat dan kami sedang sujud, maka kalian pun bersujudlah dan sedikit pun kalaian jangan melampauinya. Dan barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat, maka dia telah menemukan shalat tersebut”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Apabila seseorang mendapatkan imam pada rakaat terakhir, maka rakaat tersebut terhitung sebagai rakaat pertama baginya, sebagaimana diriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Rakaat yang kamu dapatkan adalah merupakan awal dari shalat kamu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Maka oleh karena itu, ketika imam telah membaca salam dia harus berdiri untuk menyelesaikan shalat yang belum dikerjakan. Apabila dalam shalat itu ada qunut, maka dia pun ikut qunut bersama imam dan qunut tersebut diulang lagi pada bagian akhir dari shaltnya. Kepada makmum wajib mengikuti imam dan tidak boleh sedikit pun dalam berbagai perbuatannya mendahuluinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Hanya saja imam diangkat tidak lain untuk diikuti. Bilamana dia mengatakan : ( ), maka berkatalah kalian:= Ya Allah, ya Tuhan kami, hanya kepunyaan-Mu segala puji) dan bilamana dia sujud, maka kalian pun bersujudlah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila imam lupa dalam shaltnya dan yang terlupakan itu merupakan bacaan, yakni surat Al Fatihah atau surat lain, maka makmum hendaknya memberi tahu, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra. yang mengatakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Bahwasanya para shahabat Rasulullah saw. sebagian diantara mereka suka membimbing sebahagian yang lainnya lagi ketika mereka sedang shalat”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hendaknya makmum menyaringkan bacaan selain Al Fatihah jika imam lupa dalam bacaan selain AL Fatihah tersebut sehingga dia mendengarnya. Dan apabila imam lupa dalam shalat yang berupa pekerjaan fisik, hendaklah makmum mengingatkannya dengan membaca “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">tasbih” </i>yakni membaca : ( ), sehingga dia mengatkannya. Apabila makmum berniat hendak memisahkan diri dari imam karena ingin munfarid, maka hal itu diperbolehkan, baik atas dasar adanya udzur maupun tidak ada udzur. Hal ini dengan alasan, karena Mu’adz ketika membaca surat yang panjang maka seorang Arab dari dusun akhirnya memisahkan diri karenanya. Kemudian hal tersebut disampaikan kepada Nabi saw. dan beliau tidak mengingkarinya. Bagi setiap muslim sah menjadi imam selama ia telah dewasa dan berakal serta ia tergolong ahli (taat) menjalankan shalat sekalipun dia masih di bawah umur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari ‘Amr bin salamah ra.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku pernah mengimami pada masa Rasuluallah saw. sedangkan aku (saat itu) masih kecil, anak berusia tujuh tahun”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Makruh bagi seseorang dalam shalat sambil mengiamami jamaah sedang kebanyakan jamaah di antara mereka tidak menyukainya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Abbas ra. telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Tiga kelompok orang shalatnya tidak diangkat ke atas kepala mereka barang sejengkal pun; seorang laki-laki mengimami suatu kaum sedang mereka tidak menyukainya; dan seorang isteri yang sedang tidur sedang suaminya marah kepadanya; serta dua saudara yang bermusuhan”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Seorang yang gemar melakukan maksiat makruh diangkat menjadi imam, sekalipun shalatnya tetap sah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dikemukakan, bahwasanya dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Rasulullah saw. telah bersabda: Jadikanlah oleh kalian sebagai para imam kalian orang-orang terbaik diantara kalian. Sebab mereka itu adalah duta kalian yang akan membawa misi di antara kalian dengan Tuhan kalian”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan pula dari Makhul dari Abu Hurairah ra., bahwasanya dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah saw. telah bersabda: Jihad adalah merupakan kewajiban atas kalian bersama amir (pemimpin), baik ia seorang amir yang baik maupun seorang amir yang gemar malakukan maksiat, bahkan sekalipun dia itu suka melakukan dosa-dosa besar”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan yang diangkat menjadi imam itu adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya dan yang paling luas ilmu fiqihnya di antara para jamaah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Yang lebih berhak menjadi imam bagi kaum adalah orang yang paling baik dalam membaca Kitabullahi Ta’ala (Al Qur’an) dan yang paling banyak (rajin) membacanya diantara mereka. Bilamana bacaan mereka itu sama, maka orang yang paling awal di antara mereka hijrahnya dan bilamana mereka hijrahnya bersamaan, maka orang yang paling tua usianya di antara mereka”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila meeka sedang bertamu, maka yang lebih utama menjadi imam adalah tuan rumah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al Badari ra. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Tidaklah seseorang mengimami seseorang yang tengah berada di tengah keluarganya dan tidak pula ia mengimami seseorang yang berada pada kekuasaannya serta tidak lah seseorang duduk dalam kursi kehormatannya, kecuali atas seizinnya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Apabila berkumpul antara musafir dengan yang mukim, maka yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang mukim.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan dalam tata cara shalat berjamaah, makmum yang pertama berada di bagian kanan imam, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., bahwasanya ia telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku pernah bermalam di rumah bibiku (dari pihak ibu saya). Maka Rasulullah saw. (didapatkan) bangun hendak shalat, lalu aku pun berdiri sebelah kirinya sehingga beliau menjadikan aku berada di sebelah kanannya”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Apabila kemudian datang makmum yang kedua, maka hendaklah ia mengambil posisi di sebelah kiri imam dan selanjutnya imam maju ke depan atau makmum yang pertama mundur ke belakang, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. yang mengatakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Aku berdiri di sebelah kiri Rassulullah saw. maka beliau pun mengambil tanganku lalu beliau memutarku, sehingga beliau menempatkan aku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr sehingga dia berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw., lalu beliau mengambil tangan kami semua mendorong kami sampai beliau menempatkan kami berdiri di belakangnya.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Apabila dua orang makmum di belakang imam, maka keduanya berbaris di belakangnya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. di atas. Kemudian apabila ada seseorang yang telah dewasa dan seorang yang masih di bawah umur sebagai makmum, maka keduanya berbarislah di belakang imam. Selanjutnya apabila di antara para jamaah itu ada perempuan, maka hendaklah ia mengambil posisi di belakang para makmum laki-laki.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a. dia telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah saw. berdiri dan aku bersama At-Taim berbaris di belakangnya, sedang seorang perempuan tua berada di belakang kami. Maka beliau pun shalat mengimami kami dua rakaat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dikemukakan, bahwasanya ia telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku sha;at di samping Nabi saw. dan Aisyah bersama kami, dia shalat di belakang kami sedangkan aku di samping nabi sambil shalat bersamanya.”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila mereka (para makmum) menyalahi apa yang telah dikemukakan di atas, sehingga seorang makmum laki-laki berada di samping kiri imam atau seorang makmum perempuan berdiri sejajar bersama dengan makmum laki-laki atau imam laki-laki, namun mereka masih berada di belakang imam maka shalatnya dianggap makruh sekalipun tidak sampai batal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Abbas r.a. telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dia berdiri di samping kiri Nabi saw., maka hal itu tidak membatalkan shalatnya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka tertib para makmum dalam membuat barisan secara teratur hukumnya adalah sunnat. Begitu pula tertib susunan antara posisi makmum laki-laki dan perempuan. Apabila di belakang imam hanya ada seorang makmum saja, maka <i style="mso-bidi-font-style: normal;">takbiratul ikhramnya </i> tetap dianggap sah sekalipun dia baru masuk ke dalam barisan sesudah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">takbiratul ikhram </i>dan sekalipun dia baru masuk ke dalam barisan ketika sedang ruku’ atau sesudahnya. Hal ini tidak membatalkan shalat selama dilakukan sebelum bergerak untuk sujud. Diriwayatkan, bahwa Abu Barah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">takbiratul ikhram di belakang barisan, </i>lalu dia pun ruku’ baru sesudah itu dia maju menuju barisan. Maka bersabdalah nabi saw. kepadanya: ‘Semoga Allah menambah kesungguhan kepadamu dan engkau tidak berlebih-lebihan’. Adapun bila makmum ini tetap hanya dia satu-saunya dan dia tidak masuk ke dalam barisan, maka batallah shalatnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah saw.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“(Beliau) pernah melihat seorang laki-laki shalat di belakang barisan. Maka beliau pun berdiri sampai laki-laki itu selesai shalat, lalu belaiu bersabda kepadanya: Ulangilah shalatmu, karena belum dianggap shalat bagi seseorang yang berada di belakang barisan”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Washibah bin Ma’id dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya nabi saw. melihat seorang laki-laki shalat di belakang barisan menyendiri. Maka beliau pun menyuruhnya agar mengulangi shalatnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Semua ini dengan catatan bila dalam barisan tersebut masih ada tempat kosong. Adapun bila ternyata barisan itu telah penuh, maka hendaklah seseorang ditarik ke belakang untuk membuat barisan baru bersamanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ath-Thabari telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dari Al-Hafizh pun telah meriwayatkannya dengan lafazh:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah menyuruh seorang yang datang --sementara barisan-barisan telah penuh-agar menarik seseorang ke belakang untuk berdiri di sampinya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Makmum wajib mengikuti imam. Dia tidak dibenarkan mendahului gerakan apapun dari imamnya, seperti dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Hanya saja imam diangkat tidak alain untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyalahinya. Jika dia bertakbir, kalian pun bertakbir. Bila dia ruku’, kalian pun ruku’. Bila ia mengucapkan </i>sami’allahu liman hamidah ( ), <i style="mso-bidi-font-style: normal;">maka kalian mengucapkan </i>allahum rabbana lakalhamdu ( ). <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dan bila dia sujud, kalian pun sujudlah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Bilamana makmum bertakbir sebelum imam bertakbir, maka shalatnya tidak jadi karena berarti dia menyembunyikan shalatnya dengan shalat imam yang belum dimulainya sehingga shalat makmum tidak sah karenanya. Bilamana makmum mendahului imam dalam satu rukun, seperti ia mendahului ruku’ atau mendahului sujud, maka batallah shalatnya itu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Tidakkah seseorang di antara kalian merasa takut bilamana ia mengangkat kepalanya sebelum imam, lalu Allah menjadikan kepalanya menjadi keledai atau Dia menjadikan bentuknya menjadi bentuk keledai “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Oleh karenanya, maka ia wajib mengulang untuk mengikuti imam karena mengikuti imam adalah fardu. Kemudian jika ia tidak mengulangi dan segera pula dapatkan imam mengerjakan apa yang ia lakukan, maka shalatnya tidak batal karena hal itu dianggap hanya terjadi dalam waktu yang tidak lama. Akan tetapi bilamana seorang makmum ruku’sebelum imam dan ketika imam ruku’ ia ‘itidal lalu ketika imam hendak ‘itidal ia pun sujud, maka hal seperti ini hukumnya haram. Selanjutnya jika ia mengetahui bahwa itu hukumnya haram, batallah shalatnya karena hal itu dianggap sebagai perbedaan (penyimpangan ) yang terjadi dalam waktu yang lama. Sedang bilamana ia tidak mengetahui bahwa itu hukumnya haram, maka shalatnya tidak batal namun rakaat tersebut tidak dihitung ke dalam jumlah keseluruhan rakaat shalat yang dikerjakan sebab dalam rakaat tersebut pada kebanyakannya ia tidak mengikuti imam. Dengan demikian , ia harus menambah satu rakaat lagi. Sementara itu jika ia hanya mendahului imam dalam satu rukun saja, maka shalatnya tidak batal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kepada makmum diharuskan sedikit mengakhirkan gerakan dari yang dilakukan imam. Jika ia melakukannya dalam waktu yang sama dengan imam, maka hukumnya makruh dan tidak sampai membatalkan shalatnya. Adapun bilamana imam maju ke depan makmum sehingga makmum posisinya ada di belakang imam; jika hal ini terjadi sebeluma shalat dimulai, maka shalatnya tidak jadi dan jika hal itu terjadi pada waktu shalat sedang dilaksanakan, maka batallah shalatnya karena dalam keadaan seperti ini makmum berdiri pada posisi bukan sebagai orang yang sedang berjamaah, sehingga dia tidak bisa dianggap sebagai orang yang sedang bermakmum.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">9. Setiap Muslim Berhak Menjadi Imam Shalat :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tidak disyaratkan apa-apa bagi seorang imam shalat melainkan dia itu seorang muslim. Oleh karena itu, tidak sah seorang Nasrani, Yahudi, Majusi, dan pemeluk agama selain Islam menjadi imam dalam shalat dan karenanya pula maka selain orang kafir keimanannya sah serta shalat di belakangnya juga sah. Sedang tentang keimanan seorang ahli bid’ah, maka hendaknya diperhatikan : Bilamana derajat bid’ahnya dianggap membuat ia kufur, seperti orang yang menyatakan: ( = Sesungguhnya Allah bersemayam dalam diri Sayyidina Ali ), maka keimanannya sama dengan keimanan orang kafir -tidak sah- karena orang seperti ini tidak lain adalah orang kafir yang berpura-pura menjadi penganut Islam. Sedangkan seorang ahli bid’ah yang tidak sampai dikatagorikan kafir, seperti orang yang menyatakan Al Qur’an sebagai makhluk , seperti orang Mu’tazilah, atau seperti orang Khawarij, maka keimanan mereka sah karena mereka masih dianggap sebagai orang -orang Islam. Oleh karena itu, mereka boleh dijadikan imam dalam shalat sama seperti kaum muslimin yang laindan sama sekali tidak makruh berjamaah shalat kepada mereka. Ada beberapa kriteria orang yang lebih utama untuk menjadi atau ditunjuk agar menjadi imam shalat, yaitu hendaknya dia itu seorang yang memiliki beberapa sifat seperti yang dikemukakan dalam bebarapa nash syar’i, antara lain :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Yang menjadi imam pada suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya diantara mereka. Bilamana mereka sama dalam bacaannya, maka orang yang paling mengetahui as sunah diantara mereka. Bilamana mereka sama dalam pengetahuan nya tentang as sunnah, maka orang yang lebih awal hijrah ( ke Madinah ) diantara mereka. Bilamana mereka bersamaan dalam hijrah, maka orang yang paling lanjut usianya di antara mereka. Dan hendaklah seorang laki-laki tidak mengimami seseorang yang berada dalam kekuasaannya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Ada beberapa orang yang makruh diangkat menjadi imam berdasarka hadits yang menetapkannya demikian, mereka itu antara lain seperti yang dikemukakan dalam hadits farfu’ yang diriwayatkan dari Ali r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Hendaklah orang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya(Islam) tidak mengimami kalian”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Abu Umamah dalam hadits yang diriwayatkan berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Tiga orang yang tidak perlu disambut panggilan shalatnya: Seorang hambda sahaya yang melarikan diri sampai ia kembali(kepada majikannya) , seorang isteri yang tidur sedang suaminya marah kepadanya, dan seorang imam yang memimpin suatu kaum sedang mereka membencinya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Maka makruh diangkat menjadi imam seorang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya dan seorang imam suatu kaum yang dibenci oleh mereka bukan berarti bahwa shalat tersebut tidak sah dan bukan pula berarti bahwa orang yang makmum kepadanya berdosa , akan tetapi pengertian yang terkandung dalam ungkapan di atas adalah, bahwa berjamaah kepadanya makruh dan mengangkat orang seperti itu hukumnya makruh pula.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Orang yang haram diangkat menjadi imam dalam shalat dan menyebabkan shalat menjadi batal seperti yang telah dikukuhkan dalam hadits Nabi s.a.w. adalah hanya orang kafir. Sedangkan orang yang makruh diangkat menjadi imam dalam shalat dan shalat bersamanya sah serta diperbolehkannya seperti yang telah dikukuhkan dalam hadits Nabi s.a.w. adalah seperti orang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya. Maka oleh karena itu shalat shalat berjamaah bersama setiap muslim hukumnya boleh, yakni menjadikan dia sebagai imam hukunya boleh; baik dia itu bermadzhab Syafi’i Hanafi , maupun Ja’fari; baik yang bermadzhab Sunni, maupun yang bermadzhab Syi’ah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Makhul dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan , bahwasanya dia telah berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Berjihad adalah wajib atas kalian bersama-sama dengan setiap amir ( pemimpin ) , baik dia itu seorang amir yang baik maupun tidak baik (suka berbuat maksiat ). Dan shalat adalah wajib bagi kalian di belakang setiap muslim, baik dia itu seorang muslim yang baik maupun yang tidak baik ( suka berbuat maksiat ), bahkan sekalipun dia itu suka mengerjakan dosa-dosa besar”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dikatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Mereka boleh mengimami shalat kalian. Maka jika mereka benar, kalian dan merekapun mendapat pahala. Sedangkan jika mereka salah, maka kalian tetap mendapat pahala dan atas mereka kesalahannya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Berdasarkan petunjuk ini, maka seluruh kaum muslimin, seharusnya satu sama lain menjadi pemimpin ( imam ) atas sesamanya selama mereka beridentitas sebagai penganut agama Islam. Kemudian daripada itu, maka berdasarkan petunjuk di atas hendaknya perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin seperti dalam sebahagian pemikiran atau pemahaman yang berkaitan dengan aqidah, seperti antara kaum Syi’ah dan kaum Sunni serta Khawarij, begitu juga perbedaan di antara mereka dalam sebahagian yang berhubungan dengan masalah-masalah hukum syara’, seperti antara madzhab syafi’I, Hanafi, dengan Maliki - umpamanya- maka semua itu jangan dijadikan sarana untuk menikam kepemimpinan sebahagiaan kaum muslimin atas sebahagiannya lagi. Begitu pula hendaknya seorang muslim yang shalat di belakang seorang muslim yang berbeda aliran aqidahnya yang tidak katagorikan sebagai aqidah kafir atau seorang muslim yang berbeda madzhab fiqhnya, hendaknya dia jangan sampai dinyatakan shalatnya tidak sah dan jangan pula dinyatakan shalatnya makruh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dasar hukum yang membolehkan shalat di belakang seorang imam yang berlainan madzhab aqidahnya dan shalat itu tidak makruh adalah sangat jelas, yakni bahwa yang bersangkutan -sebagai seorang muslim- shalat dengan imam seorang muslim lagi. Adapun dasar hukum yang membolehkan shalat di belakang seorang imam yang berlainan madzhab fiqhnya adalah dikarenakan hukum-hukum yangdi jadikan sandaran oleh imam dan makmum semuanya bersumber dari hukum -hukum syara’ yang sama yang dikukuhkan oleh masing-masing atas dasar dugaan, sehingga hal itu harus menjadi hukum syara’ bagi imam dan orang yang ada disampingnya. Begitu juga hukum syara’, yang menjadi pegangan makmum adalah hukum syara’bagi imam. Sebagai contoh , di sini dapat dikemukakan: Kaum Syi’ah berpendapat, bahwa yang wajib itu adalah menyapu kedua kaki, bukan mencucinya. Sedangkan kaum Sunni berpendapat , bahwa yang wajib itu adalah mencuci kedua kaki sampai dengan kedua mata kakinya, sehingga tidak sah bila hanya sekedar disapu dan oleh karenanya bila sampai ada bagian yang tidak dicuci walau hanya sedikit, maka wudhu tersebut tidak sah. Atas dasar ini, maka seorang Sunni pada waktu mencuci kedua kakinya bila hanya sekedar di sapu dia beranggapan wudhunya tidak sah, lalu dia pun beranggapan bahwa shalat dengan wudhu seperti itu shalatnya juga tidak sah. Namun demikian sepenuhnya ketentuan atau kepastian hukumnya ada pada Allah. Berbeda dengan pendapat seorang Syi’ah dalam wudhu ini, karena menurut pendapatnya hanya dengan membasuh kedua kaki sudah dianggap sah, oleh karenanya maka sah pula shalat dengan cara wudhu seperti itu. Namun demikian hendaknya bagi seorang Sunni kepastian hukumnya sepenuhnya harus diserahkan kepada Allah. Jelaslah kiranya bagi kita, bahwa kedua pendapat di atas merupakan hukum syara’ sekalipun keduanya berbeda karena satu sama lain bersandar pada hukum syara’. Bilamana seorang Sunni melihat seorang Syi’ah wudhu dengan hanya menyapu kedua kaki, tidak dengan mencucinya, lalu ia shalat mengimami jamaah, maka bagi seorang Sunni boleh shalat makmum kepadanya sekalipun cara wudhunya berbeda. Sebab walaupun demikian, sebagai seorang Syi’ah dia telah menepati hukum syara’ sesuai dengan yang difahami oleh kaum Syi’ah, sehingga dia pun berarti telah menepati syarat sah shalat sebagaimana yang telah digariskannya berdasarkan hasil ijtihad yang dianggap sah menurut kaum Syi’ah walaupun dalam pandangan seorang Sunni pemahaman tersebut salah. Akan tetapi bagaimanapun juga kaum Syi’ah berdalil dari sumber hukum yang sama dengan kaum Sunni,yakni hukum syara’.Kaum Syi’ah dalam wudhu bersandar - ketika menyapu kaki- pada firman Allah : ( ( ) ) yang dibaca “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">majrur” </i>atau<i style="mso-bidi-font-style: normal;">”kasrah”,</i> karena menurut pemahaman mereka lafadz ( ( ) ) ,yakni ( ( ) ). Atas dasar pemahaman itu, mereka berkesimpulan : Sesungguhnya Allah s.w.t. telah membagi anggauta wudhu menjadi dua bagian; dua di antaranya dicuci, yaitu muka dan kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya; lalu dua di antaranya lagi disapu, yaitu kepala dan kedua kaki sampai dengan kedua matanya. Begitu juga pendapat mereka pun bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Rif’ah, dalam hadits yang mengisahkan orang yang shalatnya tidak baik :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Maka Nabi s.a.w. bersabda kepadanya : Bahwasanya shalat seseorang di antara kalian belum sempurna sampai dia menyempurnakan wudhu seperti yang Allah Ta’ala perintahkannya, yakni dia mencuci muka dan kedua tangannya, kemudian dia menyapu kepala dan kedua kakinya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya mereka bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Ali r.a. yang mengemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bahwasanya dia (Ali ) berwudhu, lalu dia mengambil air dengan kedua telapak tangannya dan menyiramkannya pada kaki yang kanan serta sandal yang di kenakannya, selanjutnya dia meratakannya. Kemudian dia pun melakukan hal yang sama pada kaki yang kiri”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Begitu juga mereka berpendapat demikian itu, karena didukung oleh argumentasi bahwa kaki adalah anggauta wudhu yang dikecualikan dalam tayammum. Maka dengan demikian, keharusannya hanya disapu saja. Nash syar’i yang menjadi sandaran hukum dalam wudhu memang memungkinkan terjadinya pemahaman seperti yang dipegang oleh kaum Syi’ah, baik menurut bahasa maupun menurut syara’. Oleh karenanya , maka penetapan menyapu pada kaki merupakan penetapan syar’i juga dan hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad kaum Syi’ah merupakan hak penganutnya dan merupakan milik setiap muslim. Begitu juga halnya hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad kaum Sunni.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kasusnya adalah sama dengan kasus di atas, ketika terjadi silang pendapat mengenai sesuatu di kalangan madzhab-madzhab kaum Sunni itu sendiri. Sebagai contoh : Menurut madzhab Hanafi, sesungguhnya menyentuh perempuan adalah tidak membatalkan wudhu. Sedang menurut madzab Syafi’i hal itu membatalkan wudhu. Maka atas dasar ini, bila seorang laki-laki menyentuh kulit perempuan batallah wudhunya sehingga ia tidak boleh shalat dengan wudhu yang telah batal ini, dan bila ia shalat dengan wudhu tersebut, maka shalat itu tidak sah. Sedang menurut madzhab Hanafi, bila seorang laki-laki menyentuh kulit perempuan tidak membatalkan wudhu, dan kaernanya ia boleh shalat dengan wudhu ini, yakni dengan wudhu yang telah menyentuh perempuan, serta shalat tersebut dianggap sah. Bilamana seorang pengukut madzhab Syafi’I melihat seorang penganut madzhab Hanafi menyentuh perempuan lalu sesudah itu tampil ke depan mengimami shalt, maka sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I ia boleh makmum kepadanya sekalipun sekalipun diketahui bahwa imam tersebut sebelumnya telah batal wudhunya kaerna menyentuh kulit perempuan. Hal ini dikarenakan sebagai seorang pengikut madzhab Hanafi, ia pun telah mengikuti hukum syara’ sebagaimana yang telah dikukuhkan di lingkungan madzhab Hanafi. Maka oleh karenanya, berarti dia (sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I) dianggap telah mengikuti orang yang telah menepati syarat sah shalat sebagaimana telah dikukuhkan oleh dirinya dan oleh madzhab yang dianutnya berdasarkan hukum syara’ degnan benar, sekalipun menurut pandangan dia (sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I) tidak benar. Hal tersebut haruslah dijadikan landasan. Sebab antara keduanya berdalil dari sumber yang sama: Para penganut madzhab Hanafi berdasarkan pada pendapat bahwa yang dimaksud oleh firman Allah : (( )) adalah “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">bersetubuh”, </i> sebagaimana telah ditunjukkan oleh firman Allah sebelumnya:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam ayat ini Allah ta’ala melarang kaum mukminin mengerjakan shalat ketika mereka sendang mabuk dan begitu juga Dia telah melarang mereka mengerjakan shalat ketika mereka junub. Kemudian Allah ta’ala menyebutkan contoh yang mengharuskan wudhu, yaitu (( ))= <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“atau kalian datang dari temapat buang air”</i>)). Begitu juga kemudian Allah Ta’ala menyebutkan contoh yang mengharuskan mandi besar, yaitu: (( ))= <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“atau kalian telah menyetubuhi perempuan”</i>)). Dan setelah itu Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa barang siapa telah melakukan hal tersebut namunt idak mendapatkan air untuk menghilangkan hadats kecil dan hadats besar, maka bertayammumlah. Atas dasar pemahaman seperti ini, maka menurut madzhab Hanafi yang dimaksud dengan firman Allah: (( )) adalah bersetubuh, bukan menyentuh dengan tangan. Mereka memahami ayat ini demikian didukung pula oleh kedits Habib bin Tsabitdari ‘Urwah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. mencium sebahagian para istrinya, kemudian beliau keluar untuk shalat dan beliau tidak wudhu (lagi)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian diperkuat lagi dengan hadits Aisyah yang mengatakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku pernah kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur (kasur). Kamudian aku pun bangun mencarinya, maka (ketika itu) tanganku menyentuh telapak kedua kakinya. Pada waktu beliau telah usai dari shalatnya, bersabdalah: Syaitanmu (tindakan tidak baik) telah medatangimu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Berdasarkan hadits ini, niscaya beliau akan memutuskan shalatnya bila kasus tersebut memabatalkan wudhu. Begitu juga pendapat mereka telah didukung oleh hadits yang dikemukakan dalam Shahih Bukhari-Muslim yang diterima dari Aisyah r. a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. ketika sedang shalat sementara dia (Aisyah) berada di antara beliau dengan kiblat. Maka bila beliau hendak sujud beliau pun menyibakkan kakinya (Aisyah), lalu Aisyah pun menangkapnya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga dalam sebuah riwayat dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Maka bilamana beliau hendak witir, beliau pun kenyentuh kakiku”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Nash syar’I yang menjadi sandaran hukum tidak batal wudhu karena menyentuh kulit perempuan memang memungkinkan terjadi pemahaman seperti yang dipegang oleh madzhab Hanafi, baik menurut bahasa maupun merupakan penetapan syar’i juga dan hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad madzhab Hanafi merupakan hak bagi pengikutnya serta merupakan milik setiap muslim. Atas dasar ini , maka shalat makmum kepadanya sah dan shalatnya itu sendiri sah juga. Sebagai kesimpulan maka, seorang Sunni boleh makmum kepada seorang Syi’ah sekalipun pemikiran dan ketetapan hukum yang di ambil keduanya berbeda, begitu juga sebaliknya , seorang Syi’ah boleh makmum kepada seorang Sunni, sebagaimana seorang penganut madzhab Syafi’i boleh makmum kepada seorang penganut madzhab Hanafi, atau sebaliknya sekalipun ketetapan hukum yang diambil oleh kedua belah pihak berbeda.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">10. Shalat Qashar : <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Saat bepergian shalat boleh diqashar, berdasarkan firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut diserang orang-orang kafir”.</i>( Q.S. 4 : 101 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tsa’labah bin Umayah berkata : Aku telah bertanya kepada Umar r.a. tentang firman Allah : ( ( = . . .,<i style="mso-bidi-font-style: normal;">mengapa kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut . . .”</i>) ), sedangkan dewasa ini orang-orang telah aman. Umar menjawab : Aku kagum ( heran ) dari apa yang engkau herankan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. ( tentang firman Allah Ta’ala tersebut ), lalu beliau menjawab : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Itu adalah sedekah dari Allah untuk kalian , maka terimalah oleh kalian sedekahNya itu “.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Mengqashar shalat pada waktu sedang berpergian adalah lebih afdhal dari shalat biasa, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Imran bin Hashin yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku berhaji dengan Rasulullah s.a.w. maka beliau shalat dua rakaat. Aku bepergian dengan Abu Bakar maka dia shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Aku bepergian dengan Umar maka dia shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Dan aku bepergian dengan Utsman maka ia pun shalat dua rakaat selama enam tahun. Kemudian dia menyempurnakan ( shalat )di Mina”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“( Sebelum hijrah ) shalat difardukan ( hanya ) dua rakaat, kemudian itu dikukuhkan untuk shalat ketika dalam bepergian dan shalat itu disempurnakan untuk shalat ketika sedang berada di tempat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Shalat qashar hanya boleh dilakukan untuk perjalanan yang memakan waktu dua hari, yakni sejauh empat barid, sebagaimana yang dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bin Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“ Mereka berdua shalat dua rakaat berbuka puasa dalam perjalanan sejauh empat barid dan dalam perjalanan lebih dari itu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">‘Atha’ pernah bertanya kepada Ibnu Abbas :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Apakah engkau mengqashar sampai ke Arafah ? Maka dia menjawab : Tidak. Ia bertanya : Sampai ke Mina ? Maka dia menjawab : Tidak, akan tetapi sampai ke Jeddah, ke ‘Usfan, dan ke Thaif”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Malik berkata : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Antara Mekkah, Thaif, dan ‘Usfan adalah empat barid”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Satu barid adalah empat farsakh adalah tiga mil Hasyimi. Satu mil adalah enam ribu sikut. Satu sikut adalah dua puluh empat telunjuk orang menengah. Satu telunjuk adalah enam kali panjang bulu kalde yang berukuran menengah. Inilah ukuran jarak tempuh yang membolehkan shalat diqashar menurut syara’.Bila diukur berdasarkan kilometer adalah sama dengan delapan puluh satu kilometer. Tidak ada perbedaan antara perbedaan antara perjalanan dengan menggunakan pesawat udara, mobil, berjalan atau mengendarai binatang, kerena semua itu sama merupakan bepergian yang membolehkan shalat untuk diqashar. Shalat tidak boleh diqashar bilamana perjalanan yang ditempuh kurang dari seukuran di atas, sebab Nabi s.a.w. pernah pergi ke Baqi’ untuk mengubur seseorang yang meninggal dunia bersama masyarakat umum dan beliau saat itu tidak mengqashar shalat serta tidak pula berbuka puasa. Seandainya semata-mata karena bepergian merupakan satu-satunya agar shalat diqashar, niscaya beliau mengqasharnya. Tidak pula diperbolehkan shalat diqashar kecuali setelah musafir keluar dari daerah kediamannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian mengqashar shalat kalian . . .” </i> ( Q. S. 4 : 101 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam ayat di atas ternyata mengqashar shalat dihubungkan dengan bepergian di muka bumi. Ini berarti bahwa shalat baru diperbolehkan untuk diqashar ketika musafir telah meninggalkan daerah kediamannya. Selanjutnya shalat tidak boleh diqashar bagi musafir yang makmum kepada yang mukim. Maka jika dia makmum kepada yang mukim dalah salah satu bagian dari shalatnya, kepadanya diharuskan menyempurnakan bagian shalat tersebut seluruhnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Apabila seorang musafir bermaksud hendak menetap di suatu daerah, maka seketika itu juga dia bukan lagi sebagai musafir sehingga baginya tidak lagi diperbolehkan mengqashar shalat. Seandainya dia mengubah maksudnya untuk tinggal di daerah tersebut, lalu setelah itu dia pun memperbaharui perjalanannya, maka hal itu di anggap sebagai perjalanan baru. Sedangkan bila dia tidak bermaksud hendak tinggal di sana akan tetapi karena keadaan menghendaki agar tinggal di sana beberapa lama untuk memenuhi hajatnya, maka dia dianggap sebagai musafir, yakni bahwa keberadaan dia di sana tidak dianggap sebagai mukim sekalipun dia tinggal di sana beberapa hari lamanya, baik lama tinggal di sana itu di ketahui maupun tidak, sama saja dia itu tetap dianggap sebagai seorang musafir. Kasus ini seperti orang yang melakukan perjalanan ke Eropa untuk tujuan bisnis, atau ke suatu negara untuk mengetahui situasi dan kondisi pasarnya, atau dengan tujuan untuk berbelanja di sana. Maka orang seperti ini dianggap sebagai musafir, sekalipun ternyata dia tinggal di sana untuk beberapa hari lamanya, baik selama itu dia berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain maupun tetap tinggal di satu daerah, yakni status sebagai musafir tidak hilang dari dirinya, sekalipun dia tinggal di sana beberapa hari lamanya karena dalam keadaan seperti ini dia tidak dianggap sebagai mukim melainkan tatap sebagai musafir yang diperbolehkan selamanya mengqashar shalat karena dia sebagai orang yang dikatagorikan sedang bepergian.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Tamamah bin Syurahbil, dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku pergi menemui Ibnu Umar, lalu aku bertanya : Bagaimana shalat musafir itu ? Maka dia menjawab : Dua rakaat-dua rakaat kecuali Maghrib tiga rakaat. Aku bertanya : Apakah engkau tahu, jika kami berada di Dzul Majaz ? Dia bertanya : Apa itu Dzul Majaz ? Aku menjawab : Itu adalah sebuah tempat , di mana kami berkumpul dan berjual beli serta tinggl selama dua puluh atau lima belas malam. Kemudian dia berkata : Wahai Rajul ! Engkau berada di Azarbaijan. Aku tidak tahu ! Dia berkata : Empat atau dua bulan, sehingga engkau menyaksikan mereka shalat dua rakaat-dua rakaat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin Abu Ishak, dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku mendengar Anas berkata : Kami pergi bersama Rasulullah s.a.w. dari Madinah ke Mekkah. Maka beliau shalat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah. Aku bertanya : Apakah kalian mukim di Mekkah untuk beberapa hari lamanya? Dia menjawab : Kami mukim di sana selama sepuluh hari”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Hadits ini dengan tegas mengemukakan, bahwa Nabi Muhammad s.a.w.mengqashar shalat sejak beliau keluar dari Madinah sampai beliau kembali ke Madinah lagi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas hari “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Hadits ini dengan jelas mengatakan , bahwa Rasulullah s.a.w. mengqashar shalatnya selama beliau bermukim. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatakan dari jabir r.a. dikemukakan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Hadits inipun merupakan dalil yang menyatakan , bahwa beliau selalu mengqashar shalatnya selama berada di Tabuk. Ternyata semua hadits menceritahakan hal yang sama, yakni sesungguhnya beliau selalu mengqashar shalatnya pada setiap kali pergi ke Madinah. Ketika beliau bermukim di luar Madinah selama sepuluh hari, beliau mengqashar shalatnya. Ketika beliau bermukim di luar Madinah selama sembilan belas hari, beliau mengqashar shalatnya. Kemudian ketika beliau bermukim di luar Madinah selama dua puluh hari pun, beliau mengqashar shalatnya. Tentang lama beliau bermukim di Mekkah sepuluh hari dan di Tabuk dua puluh hari serta seperti yang dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas hari, semua itu maksudnya bukan ketentuan tentang batasan hari boleh mengqashar shalat melainkan itu semua hanya merupakan penjelasan tentang peristiwa yang pernah dilalui oleh beliau saja karena shalat qashar yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. selama itu tidak menolak atau tidak melarang shalat qashar pada waktu lama tinggal di suatu tempat lebih dari seperti yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas. Hal ini dengan alasan, karena lama tinggal yang dikemukakan dalam masing-masing hadits tersebut berbeda, sehingga salah satu daripadanya tidak bisa dijadikan referensi untuk menentukan batas diperbolehkan mengqashar shalat dan kita pun tidak mendapatkan hadits yasng menentukan lama diperbolehkan mengqashar shalat selama dalam perjalanan. Di samping itu kita pun dari hadits-hadits tersebut mendapat petunjuk, bahwa pelaksanaan shalat qashar itu berkaitan erat dengan tempat mukim musafir, tidak berkaitan dengan jumlah hari dia berada di suatu daerah. Kita dalam hadits Anas r.a. mendapatkan pernyataan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Maka beliau shalat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits Ibnu Abbas kita mendapatkan pernyataan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas hari “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Kemudian dalam hadits Jabar dikemukakan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: -.5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang pertama dinyatakan shalat dua rakaat-dua rakaatberkaitan dengan pernyataan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“sampai kami kembali ke Madinah dan lamanya mereka tinggal di Mekkah “. </i>Kemudian dalam hadits kedua dan ketiga dikaitkan dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“qashar”</i>. Penyebutan tentang lama tinggal dan daerah dalam hadits-hadits tersebut hanya sebagai keterangan waktu dan tempat yang dilalui saja, bukan merupakan kaitan antara lama waktu dengan shalat qashar karena diperbolehkan mengqashar selama berada dalam katagori muasfir telah dikukuhkan berdasarkan pengertian yang terkandung dalam hadits-hadits tersebut dan dalam hadits-hadits tersebut tidak didapatkan pengertian, baik secara tekstual maupun konstekstual, bahwa diperbolehkan mengqashar shalat hanya sampai sejumlah hari tertentu saja. Oleh karena itu hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk membatasi lama diperbolehkan mengqashar shalat. Bahkan berdasarkan hadits-hadits tersebut, kita mendapatkan petunjuk bahwa mengqashar shalat diperbolehkan selama seseorang dikatagorikansebagai musafir, sekalipun ia lama sekali meninggalkan tempat tinggalnya dan sekalipun ia lama sekali berada di suatu daerah. Selama ia dikatagorikan musafir ia boleh mengqashar shalat sampai ia kembali berada di daerah tempat tinggalnya atau ia berdomisili untuk menjadi warga di daerah baru. Ketetapan ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. tinggal di Hunain empat puluh hari sambil mengqashar shalat”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bepergian itu terhitung saat menunaikan shalat bukan saat tiba waktu keharusan menunaikan shalat, karena yang diperhitungkan dalam shalat itu sendiri adalah tentang cara pelaksanaannya bukan tentang keharusannya. Bilamana waktu shalat Zhuhur talah tiba dan yang bersangkutanpun dapat menyempatkan untuk mengerjakannya, kemudian dia pergi untuk melakukan perjalanan masih dalam kurun waktu shalat Zhuhur, mak baginya diperbolehkanshalt qashar. Begitu juga bilamana waktu shalt Ashar telah tiba, maka baginya diperbolehkan shalat Ashar dengan diqashar. Kemudian bila ia sampai ke tempat tujuan ternyata waktu shalat Ashar masih ada. Maka shalt Ashar yang telah dikerjakannya dengan diqashar tetap dianggap sah karena yang diperhitungkan itu adalah pelaksanaan shalat bukan keharusan menunaikan shalat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">11. Shalat Jama’:<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam bepergian yang membolehkan mengaqashar shalat diperbolehkan juga menjama’nya, yakni antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya. Namun demikian, tidak diperbolehkan menjama’ shalat antara Ashar dengan Maghrib dan antara Isya dengan Shubuh serta antara Shubuh dengan Zhuhur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ibnu Umar r.a. meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah saw. bila benar-benar bepergian, maka beliau menjama’ antara (shalat) Maghrib dengan (shalat) Isya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Anas r. a. telah meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Sesungguhnya Nabi saw. menjama’ antara (shalat) Zhuhur dengan (shalat) Ashar”. <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Tidak didapatkan sebuah riwayat pun yang mengemukakan bahwa beliau pernah menjama’ shalat selain shalat-shalat di atas, yakni selain shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya. Ketika urusan ibadah itu bersifar “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">tauqifiyah”</i> yang dibatasi oleh apa adanya sesuai dengan yang telah digariskan oleh nash syar’i, maka shalat ini tidak bisa atau tidak boleh dijama’ selain hanya shalat yang telah ditentukan oleh nash syar’I tersebut saja. Kemudian daripada itu diperbolehkan menjama’ anatara shalt Zhuhur dengan Ashar dan antara shalat Maghrib dengan Isya, baik dengan jama’ taqdim maupun dengan jama’ ta’khir, yakni shalat Ashar digabung dan dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalt Zhuhr dan shalat Isya digabung dan dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalat Maghrib (jama’ taqdim) atau shalat Zhuhur digabung dan dilaksanakan pada waktu shalat Ashar dan shalat Maghrib digabunga dan dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalat Isya (jama’ ta’khir). Hanya saja bila yang bersangkutan saat tiba waktu Zhuhur atau Maghrib masih berada di tempat, maka mengerjakan dengan cara jama’ taqdim dianggap lebih afdhal. Sedang bila ia saat tiba waktu Zhuhur atau Maghrib sudah meninggalkan tempat, maka mengerjakan shalt dengan cara jama’ ta’khir dianggap lebih afdhal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dikemukakan: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Apakah tidak sebaiknya kuberitahukan kepada kalian tentang shalat yang Rasulullah saw. saat matahari tergelincir sedangkan beliau masih berada di rumah. (Maka ketika itu) beliau mendahulukan shalat Ashar pada waktu (mengerjakan) shalat Zhuhur dan beliau menjama’ antara keduanya pada waktu matahari telah tergelincir (zawal). Dan bilamana beliau sudah pergi sebelum zawal, maka beliau pun menangguhkan shalat Zhuhur pada waktu (mengerjakan) shalat Ashar, kemudian beliau menjama’ antara keduanya pada waktu Ashar”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pada saat mengawali shalat, kepada yang bersangkutan diharapkan niat shalat jama’ dan bilamana jama’ itu adalah jama’ taqdim, maka antara keduanya harus dikerjakan secara berurutan. Bilamana seseorang melakukan shalat dengan cara jama’ taqdim dan ia lebih dahulu sampai ke tampat tujuan lalu bermaksud hendak mukim di sana sebelum waktu kedua tiba, maka jika shalat tersebut telah selesai dikerjakan tetaplah jama’ tersebut sah adanya. Adapun bila ternyata belum dikerjakan, maka shalat tersebut tidak boleh dijama’. Menjama’ shalat ini telah dikukuhkan keabsahannya berdasarkan sunnah Nabi saw. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r. a., dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah saw. bilamana bepergian sebelum matahari tergelincir, maka nemangguhkan shalat Zhuhur sampai tiba waktu shalat Ashar, kemudian beliau menjama’ antara keduanya. Sedangkan bilamana matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau pun shalat Zhuhur (terlebih dahulu), kemudian beliau menaiki (hewan tunggangannya)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r. a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana labih awal melakukan perjalanan, maka beliau menangguhkan shalat Zhuhur pada waktu Ashar dan beliau mengangguhkan shalat Masghrib sehingga beliau menjama’ anatara keduanya dan antara shalat Isya sampai mega merah menghilang”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz r. a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah saw. dalam Perang Tabuk bilamana matahari telah condong (tergelincir) sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’ anatara shalat Zhuhur dengan Ashar dan bilmana beliau berangkat sebelum matahari tergelincir, maka beliau menangguhkan shalat Zhuhur sampai beliau singgah untuk shalat Ashar. Dan dalam shalat Maghrib seperti itu, yakni bilamana matahari telah tenggelam sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya dan bilamana beliau berangkat sebelum matahari tenggelam, maka beliau pun menangguhkan shalat Maghrib sampai beliau singgah untuk shalat Isya kemudian beliau menjama’ anatara keduanya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Semua hadits di atas adalah hadits-hadits shahih dan merupakan dalil yang sangat jelas, bahwa menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar dan antara shalat Maghrib dengan Isya, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, hukumnya boleh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Di sini tidak boleh dinyatakan, bahwa Allah Ta’ala telah menentukan waktu khusus untuk setiap shalat, sehingga tidak boleh terjadi shalat dikerjakan sebelum waktunya tiba dan bilamana sampai dikerjakan sebelum waktunya tiba, maka shalat tersebut tidak sah. Begitu juga sesungguhnya shalat tidak boleh ditangguhkan sehingga bilamana sampai dikerjakan setelah waktunya berlalu, maka shalat tersebut hukumnya haram. Dan sesungguhnya waktu-waktu shalat itu telah ditetapkan dengan mutawatir berdasarkan hadits-hadits mutawatir. Sedangkan tentang diperbolehkan menjama’ shalat saat seseorang sedang bepergian ditetappan berdasarkan hadits-hadits ahad. Maka oleh karena itu, tidak boleh sampai terjadi hadits mutawatir ditinggalkan lalu hadits ahad dijadikan pegangan. Persepsi seperti itu tidak boleh sampai terjadi dalam pemikiran kita, karena menjama’ shalat pada waktu seseorang sedang bepergian tidak berarti meninggalkan hadits mutawatir, melainkan hadits mutawatir tersebut dibatasi keuniversalannya oleh hadits ahad, di mana hadits ahad bisa difungsikan untuk membatasi makna umum yang terkandung dalam Al Qur’an dan hadits mutawatir. Waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan berdasarkan hadits mutawatir adalah bersifat umum dan hadits ahad yang membolehkan shalat dijama’, baik taqdim maupun ta’khir. Bagi musafir adalah merupakan pengecualian. Dengan demikian, maka melaksanakan shalat tepat pada waktunya seperti yang telah dikukuhkan oleh hadits mutawatir yang bersifat umum tetap sebagaimana adanya. Begitu juga melaksanakan shalat dengan cara dijama’, baik taqdim maupun ta’khir, bagi musafir adalah merupakan pengecualian yang telah dikukuhkan oleh hadits-hadits shahih yang besifat pengecualian dari hadits mutawatir yang bersifat umum.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hanya saja menjama’ shalat ini hanya bisa dilakukan pada waktu wuquf di Arafah, saat menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah, ketika bepergian yang menempuh jarak yang memperbolehkan musafir mengqashar shalat, dan kala turun hujan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalil yang menunjukkan, bahwa pada waktu wuquf di Arafah dan menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah boleh menjama’ shalat adalah hadits yang meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah menjama’ shalat ketika beliau berada di Arafah dan di Muzdalifah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat ketika sedang bepergian, adalah: Sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan diperbolehkannya menjama’ shalat dalam selain karena hujan, semua itu menunjukkan hanya terjadi pada waktu bepergian saja. Hal ini tampak dengan jelas dari ungkapan-ungkapan hadits di atas yang berlainan, yakni: (( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">bilamana beliau benar-benar bepergian</i>)), ((= <i style="mso-bidi-font-style: normal;">bilamana beliau lebih awal melakukan perjalanan</i>)), dan sebagainya yang kesemuanya itu menunjukkan tentang bepergian. Dalam sebagian riwayat dengan tegas dikemukakan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“dalam bepergian “</i>, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriway tkan oleh Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Rasulullah s.a.w.dalam suatu perjalanan telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar bila beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau pun menjama’ antara shalat Maghrib dengan shalat Isya”.</i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang diterima dari Nabi s.a.w. dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. pada waktu bepergian bilamana matahari telah condong (tergelincir) sedang beliau masih berada dirumahnya, maka sebelum beliau menaiki hewan tunggangannya terlebih dahulu beliau menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar. Maka bilamana matahari belum tergelincir sedang beliau masih berada di rumahnya, beliau pun berangkat sampai waktu shalat Ashar tiba, lalu beliau menjama’ antara shalat Zhuihur dengan shalat Ashar. Dan bilamana waktu shalat Maghrib tiba sedang beliau maasih berada di rumahnya, maka beliau manjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya serta bilamana waktu shalat Maghrib belum tiba sedang beliau masih berada di rumahnya, maka beliau pun menaiki hewan tunggangannya sampai ketika waktu shalat Isya tiba, turunlah beliau (dari kendaraannya) lalu menjama’ antara keduanya (Maghrib dan Isya)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Semua hadits ini membicarakan tentang shalat jama’ yang dihubungkan atau di latar-belakangi oleh adanya bepergian. Yang dimaksud dengan bepergian di sini adalah bepergian yang membolehkan shalat diqashar karena huruf ( ( ) ) yang ada pada lafadz ( ( ) ) dalam hadits-hadits di atas berfungsi sebagai ( ( ) ), yakni perjalanan yang dijanjikan (ditentukan), yaitu : Perjalanan (bepergian) menurut syara’ yang membolehkan shalat diqashar karenanya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat karena turun hujan adalah hadits yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Salamah bin Abdurrahman berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya ketika hari turun hujan adalah merupakan sunnah (Rasulullah s.a.w.)”.</i> ( H. R. Al Atsram ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pernyataan Abu Salamah bin Abdurrahman : ( ( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>merupakan sunnah</u></i> ) ) maksudnya adalah sunnah Rasulullah s.a.w. Dengan demikian , maka pernyataan tersebut dianggap hadits Nabi s.a.w. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hisyam bin ‘Urwah telah berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku melihat Abban bin Utsman ketika malam turun hujan menjama’ antara dua shalat, Maghrib dan Isya. Maka ikut pula bersamanya mengerjakan kedua shalat tersebut ‘Urwah bin Az Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman , dan Abu Bakar bin Abdurrahman. Sedang mereka tidak mengikari apa yang dilakukannya dan bagi mereka pada masa itu tidak dikenal ada yang menyalahi (menentang ), sehingga hal tersebut menjadi konsensus”. </i> ( Diriwayatkan oleh Al Atsram ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. di Madinah ketika turun hujan beliau telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dikemukakan pula : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah mengerjakan shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan (rakaat), yakni : ( Empat rakaat ) shalat Zhuhur. ( empat rakaat ) shalat Ashar, ( tiga rakaat ) shalat Maghrib, dan ( empat rakaat ) shalat Isya. Maka Ayyub berkata : Kiranya beliau ( menjama’nya) pada malam ketika turun hujan. Dia berkata : Begitulah kiranya”* </i>(H.R. Bukhari).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pengertian tentang turun hujan seperti yang dikemukakan dalam hadits ini telah dinyatakan pula oleh Imam Malik sesudah dia meriwayatkan hadits tersebut. Semua dalil di atas menunjukkan , bahwa menjama’ shalat, baik taqdim maupun ta’khir, ketika turun hujan hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan hujan di sini adalah semata-mata hujan yang dapat membasahi pakaian, tanpa pertimbangan ; apakah hujan tersebut menimbulkan kesulitan atau tidak, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ shalat ketika turun hujan, sementara antara kamar rumah beliau dengan masjidnya tidak ada apa-apa”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga tanpa pertimbangan ; apakah hujan itu turun ketika yang bersangkutan masih berada di masjid maupun di rumah, baik hujan itu turun saat ia takbiratul ihram maupun hujan tersebut ternyata tidak jadi turun. Hal ini dengan alasan, karena hadits di atas tidak mengemukakan kesulitan sebagai alasan diperbolehkannnya menjama’ shalat sebagai akibat yang ditimbulkannya. Maka oleh karenanya, ketentuan ini bersifat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“tauqifi “</i> dan dengan alasan, karena hujan tersebut apakah turun ketika beliau sedang berada di masjid atau di tempat lain, ternyata tidak didapatkan nash yang mengemukakannya sehingga keumumannya tetap seperti apa adanya. Lebih dari itu, sebagaimana telah ditegaskan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. menjama’ (shalat ) ketika beliau sedang berada di rumah isteri-isterinya sampai ketika berada di masjid “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga dengan alasan, karena dalam hadits-hadits di atas pun dikemukakan dengan ungkapan : ( ( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">hari turun hujan </i>) ), ( ( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ketika turun hujan</i>) ),dan seperti yang dikatakan oleh Ayyub ( ( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pada malam ketika turun hujan</i> ) ), semua ini maksudnya adalah pada waktu musim penghujan, bukan semata-mata karena hujan benar-benar turun saat takbiratul ihram ( pada waktu shalat sedang dikerjakan ). Selanjutnya dengan alasan, karena penyebab diperbolehkannya menjama’ shalat di sini adalah semata-mata karena adanya alasan yang membolehkan shalat dijama’ seperti halnya bepergian. Maka begitu pula halnya dengan hujan, baik hujan itu menimbulkan kesulitan maupun tidak, baik ketika yang bersangkutan sedang berada di masjid maupun berada di tempat lain.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun selain karena sedang wukuf di Arafah, di Muzdalifah, sedang bepergian, dan karena hujan, maka menjama ‘shalat tidak diperbolehkan dengan mutlak. Alasan-alasan ini tidak boleh dijadikan analogi bagi yang lain dengan alasan adanya kesulitan, karena dalam selain alasan-alasan di atas tidak didapatkan alasan yang membolehkan shalat dijama’ dan dikarenakan sesungguhnya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“kesulitan”</i> tidak dikemukakan dalam hadits-hadits tersebut sebagai alasan syar’i sehingga shalat boleh dijama’ karenanya. Analogi tidak berfungsi jika tanpa alasan (‘illat), terutama dalam urusan ibadah, tidak boleh dicari-cari ‘illatnya dan tidak boleh dijadikan analogi. Adapun tentang hadits Ibnu Abbas r.a. yang mengemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar dan antara shalat Maghrib dengan Isya di Madinah tanpa alasan karena takut dan turun hujan “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Kemudian hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan antara shalt Maghrib dengan shalat Isya. Maka kepada beliau ditanyakan tentang hal itu. Kemudian beliau menjawab : Aku melakukan hal itu agar umatku tidak mendapatkan kesulitan(karenanya) “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga hadits -hadits yang mengemukakan tentang menjama’ shalat dengan mutlak bukan karena bepergian atau karena hujan, maka janganlah kita ini sampai beramal dengan hadits-hadits itu, bukan seharusnya kita meninggalkannya karena hadits-hadits itu berlawanan dengan hadits qath’i yang mutawatir. Sesungguhnya khabar (hadits) ahad bilamana berlawanan dengan Al Qur’an atau dengan hadits mutawatir, maka yang diambil adalah Al Qur’an atau hadits mutawatir serta hendaklah hadits ahad ditolak, karena hadits ahad bersifat zhanni sedang hadits mutawatir bersifat qath’i. Begitu pula halnya bila antara keseluruhannya tidak bisa dipadukan, maka yang bersifat zhanni harus ditolak dan yang bersifat qath’i harus di ambil. Dan ternyata di sini bahwa perihal waktu shalat telah dikukuhkan dengan mutawatir. Dengan demikian, meninggalkan atau tidak mengindahkan waktu shalat seperti yang telah digariskan dengan cara menjama’ shalat, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir karena berpedoman pada khabar ahad yang berlawanan dengan hadits mutawatir adalah tidak diperbolehkan. Hal ini dengan alasan, karena tindakan itu merupakan sikap berpaling dari yang qath’i dan bertumpu pada yang zhanni. Di sini jangan sampai dikatakan : Sesungguhnya zhanni diperbolehkan hanya untuk suatu hajat atau karena suatu halangan, boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan dengan alasan, karena hadits-hadits yang membolehkan menjama’ shalat selain karena bepergian dan karena hujan bersifat mutlak, tidak terikat oleh sesuatu. Kemudian apabila terikat oleh suatu hajat tertentu atau oleh hal yang lain, sudah barang tentu hajat itu bersifat khusus dan pasti diambilnya seperti halnya karena bepergian, umpamanya. Akan tetapi nash hadits-hadits tersebut ternyata bersifat mutlak (umum), sehingga oleh karenanya kita tidak boleh menambah sesuatu apapun ke dalamnya yang berasal dari diri kita atau suatu batasan yang tidak dikemukakan oleh nash sehingga kita pun tetap membiarkan hadits-hadits tersebut bersifat mutlak sebagaimana adanya. Di samping hadits-hadits di atas itu bersifat mutlak ternyata hadits-hadits yang mengemukakan tentang pembagian waktu shalat yang bersifat mutawatir itu pun adalah mutlak juga, sehingga keduanya berlawanan serta menyatukannya juga tidak bisa dilakukan, maka dalam keadaan seperti ini yang harus dijadikan pegangan adalah hadits-hadits mutawatir saja dan hadits-hadits yang membolehkan shalat dijama’ bukan karena bepergian atau bukan karena hujan tidak boleh tidak harus ditinggalkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bagi musafir selamanya boleh menjama’ shalat sekalipun ia bepergian untuk jangka waktu lama. Namun bila ia berdomisili di suatu daerah, hendaklah diperhatikan : Apabila ia memutuskan untuk dijadikan daerah itu sebagai tempat tinggalnya, terputuslah statusnya sebagai seorang musafir sehingga ia tidak lagi diperbolehkan menjama’ shalatnya. Hal ini seperti orang yang pergi dari kota Al Quds ke Riyadh, lalu dijadikannya sebagai tempat tinggal karena ia bekerja di sana. Maka begitu ia sampai di Riyadh seketika itu juga lepaslah statusnya sebagai musafir, sehingga ia pun tidak lagi diperbolehkan menjama’ shalat. Adapun jika ia tidak menjadikannya sebagai tempat tinggal walau dalam kenyataannya ia tinggal di sana karena memang pekerjaan, seperti bisnis dan sejenisnya, menghendaki agar ia berada di sana, maka baginya boleh menjama’ shalat sekalipun ia berada di Riyadh untuk jangka waktu yang lama, yakni sampai ia kembali ke kota Al Quds sebagai tempat tinggalnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">12. Shalat Qadha : <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Menangguhkan shalat sampai habis waktunya dengan sengaja tanpa ada halangan yang dibenarkan oleh syara’ hukumnya haram dengan qath’i berdasarkan nash Al Qur’an :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, ( yaitu ) orang-orang yang lalai dari shalatnya”</i> (Q. S. 107 : 4 - 5 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Maka datanglah sesudah mereka , pengganti ( yang jelek ) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” </i> ( Q. S. 19 : 59 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ketetapan inipun dikukuhkan oleh pengertian hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan tentang waktu shalat. Allah s.w.t. telah menentukan bagi setiap shalat fardu waktu tersebut dari dua sisi ; waktu tertentu saat shalat dikerjakan ; dan waktu tertentu saat shalat dianggap tidak sah sekalipun dikerjakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Barang siapa melalaikan shalat Ashar, seolah-olah ia telah merelakan keluarga dan hartanya pincang “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah s.a.w. tentang menta’khirkan shalat dari waktunya :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bukan dalam tidur kekurangan itu ( terjadi ) melainkan dalam bangun”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedangkan melalaikan shalat dikarenakan ada udzur syar’i sebagaimana yang telah dikemukakan oleh nash syar’i, maka bagi yang bersangkutan tidak berdosa. Orang yang mendapat keringanan seperti ini, yaitu orang yang lupa, orang yang ketiduran, dan orang yang tidak dapat mengerjakan shalat karena tidak mendapatkan air atau tanaha untuk bersuci (wudhu).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Barangsiapa tidak shalat karena tidur atau karena lupa , maka shalatlah ketika ia ingat “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Barangsiapa seseorang di antara kalian tidak shalat karena tidur atau karena lupa , maka shalatlah ketika ia ingat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bilamana kalian diperintah (untuk mengerjakan ) sesuatu, maka laksanakanlah hal itu sedapat mungkin”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Makna dari hadits ini, yaitu : Bahwa apa yang benar-benar tidak dapat kita lakukan, maka kita pun tidak dituntut agar melakukannya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”</i>( ( Q. S. 2 : 286 )<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Barangsiapa meninggalkan shalat fardu baik karena udzur maupun karena tanpa udzur, maka ia harus mengqahdanya karena semata-mata mengqadha shalat telah dikukuhkan oleh hadits shahih.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kami pernah bepergian bersama Nabi s.a.w. dan kami berjalan di malam hari sampai ujung malam (larut malam) , sehingga kami tertidur dengan nyenyak dan (kiranya) bagi seorang musafir tidak ada tidur senyenyak itu. Maka kami pun tidak bangun melainkan karena panas matahari. Kemudian ketika Nabi s.a.w. bangun, mereka mengadukan apa yang telah terjadi menimpa mereka, lalu beliau bersabda : Tidak bahaya dan tidak membahayakan, berangkatlah kalian ! Maka mereka pun berangkat. Kemudian beliau juga berangkat (menuju tempat ) yang tidak begitu jauh, lalu berhenti dan meminta air untuk wudhu. Maka berwudhulah beliau dan dikumandangkan pula panggilan untuk shalat, sehingga beliau shalat dengan (mengimami) orang-orang”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. dikemukakan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. pada waktu perang Khandaq dia baru tiba (bergabung kepada satuannya ) setelah matahari tenggelam karena dia (terlena) memaki kaum kuffar Quraisy. Dan (setelah itu) ia berkata : Ya Rasulullah ! Hampir saja aku tidak shalat Ashar, sehingga matahari pun hampir tenggelam. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Demi Allah ! Aku pun belum mengerjakan shalat Ashar. Maka kami pergi ke tempat yang luas dan beliau pun wudhu untuk shalat, lalu kami juga wudhu untuk shalat. Sesudah itu beliau shalat Ashar sesudah matahari terbenam baru kemudian beliau shalat Maghrib”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a. dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Barangsiapa lupa akan shalat, maka shalatlah ketika dia teringat. Tidak ada tebusan baginya kecuali dengan shalat lagi”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’ad r.a. dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Pada waktu perang Khandak kami tertahan dari mengerjakan shalat sehingga kami baru menghindar sesudah Maghrib, ketika malam mulai beranjak gelap. Dan hal itu sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah : ( Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan . Dan Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa ).Dan berkata : Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil Bilal (agar menyeru orang-orang untuk shalat), lalu dia iqomah Zhuhur dan beliau pun shalat Zhuhur serta membaguskannya sama seperti ketika beliau mengerjakan shalat Ashar pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh dia agar iqomah Maghrib dan beliau pun shalat Maghrib”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w. dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bahwasanya ketika seorang budak perempuan dari kaum Khats’amiah bertanya kepadanya dengan kata-kata : Ya Rasulullah , sesungguhnya ayahku mendapatkan keharusan berhaji dalam keadaaan sudah sangat lanjut usia, sehingga dia tidak lagi kuasa untuk berhaji. Apakah bila aku berhaji atas namanya , hal itu bermanfaat baginya ? Maka beliau menjawabnya : Tahukan engkau apakah bila ayahmu berutang lalu engkau melunasinya, bukankah hal itu bermanfaat baginya ? Dia berkata : Ya ! Beliau bersabda : Maka oleh karena itu, utang kepada Allah sudah barang tentu lebih berhak untuk dibayar”.</span></i><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">13. Shalat Orang Sakit<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Pada waktu seseorang sudah tidak kuasa lagi mengerjakan shalat walau hanya dengan memberi isyarat, maka padanya tidak lagi diwajibkan shalat karena tidak didapatkan nash yang mewajibkan apapun sesudah itu. Sama dengan orang yang tidak kuasa beridiri, kepada orang yang menemukan kesulitan untuk berdiri atau dapat menimbulkan penyakitnya bertambah parah bila ia berdiri tidak diharuskan shalat sambil berdiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam sebuahhadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. pernah terjatuh dari kuda sehingga beliau terluka atau terkilir betis kaki kanannya. Maka kamipun datang untuk menjenguknya, lalu saat shalat pun tiba sehingga beliau shalat sambil duduk dan kami juga shalat dibelakangnya sambil duduk”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Saat itu luka yang dirasa oleh Rasulullah saw. tidak sampai membuat beliau tidak kuasa berdiri, tetapi telah membuatnya menemui kesulitan untuk berdiri sehingga beliau shalat sambil duduk. Hal ini merupakan dalil, bahwa semata-mata ditemukan kesulitan dalam beridiri maka shalat fardhu doleh dikerjakan sambil duduk.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">14. Shalat Jum’at:<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat Jum’at hukumnya fardu ‘ain atas setiap kaum muslimin, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk mengerjakan shalat pada hari Jum’at, maka bergegaslah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” </i>(QS. 62: 9)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thariq bin Syibab dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: (Shalat) Jum’at adalah hak kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah, kecuali kepada yang empat: Hamba sahaya, perempuan, anaka kecil, dan orang sakit”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Hafshah r.a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Pergi (untuk mengerjakan shalat) Jum’at adalah wajib atas setiap orang yang telah mimpi bersetubuh”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r. a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda: Barangsiapa meninggalkan (shalat) Jum’at tiga kali tanpa alasan, maka hatinya tertutup”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Shalat Jum’at pertama kali difardukan di Madinah ketika ayat tentang shalat Jum’at diturunkan, sehingga surah Al Jumu’ah termasuk ke dalam ayat-ayat (surah-surah) Madaniah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Adapun tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abdun bin Hamid dan Abdurrazaq dari Muhammad bin Sirin telah berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Penduduk Madinah telah berkumpul sebelum Nabi saw. tiba dan sebelum surah Al Jumu’ah diturunkan. Kemudian kaum Anshar berkata kepada orang-orang Yahudi peda hari di mana setiap minggu mereka berkumpul dan kepada orang-orang Nashrani pun begitu juga, lalu marilah kita juga mengadakan suatu hari di mana kita pun pada hari itu pun kita berkumpul mengingat untuk Allah Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya. Maka mereka menjadikannya sebagai hari “Arubah” dan mereka pun berkumpul di As’ad bin Zararah, lalu tida saat itu shalat dua rakaat sambil mengimami mereka dan mengingatkannya. Kedmudian mereka menamai hari saat mereka berkumpul di As’ad bin Zararah dengan hari Jum’at dan As’ad juga menyembelih seekor kambing untuk mereka, sehingga mereka pun makan pagi dan makan malam daripadanya. Maka saat itu Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang Jum’at sesudah ayat: (Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at… al ayah)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Beigitu juga tentang hadits Ka’ab dan hadits-hadits lain yang menyebutkan mula pertama shlat Jum’at disyari’atkan dalam Islam yang terjadi di rumah As’ad bin Zararah di mana Mush’ab juga ikut serta melaksanakan shalatnya, maka semua hadits tersebut adalah hadits-hadits ahad yang bersifat zhanni dan berlawanan dengan nash yang bersifat qath’I, yakni ayat tentang shalat Jum’at yang tergolong ke dalam ayat-ayat Madaniah yang diturunkan langsung di Madinah dan keharusan melaksanakan shalt Jum’at juga terjadi di Madinah. Oleh karena itu, maka dimungkinkan hadits-hadits di atas bahwa Nabi saw. pernah meminta kepada mereka agar mengerjakan shalat sunat dua rakaat. Hal ini berdasarkan petunjuk yang tampak dengan jelas sebagaimana dikemuakkan dalam sebahagian riwayat:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah menyuruh Mush’ab bin ‘Umair seraya bersabda kepadanya: Bilamana hari telah condong dari garis tengahnya, ketika matahari telah tergelincir, dari hari Jum’at, maka bertaqarrublah kalian kepada Allah Ta’ala dengan (mengerjakan shalat) dua rakaat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Maka makna yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw. (( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">bertaqarrublah kelaian kepada Allah Ta’ala))</i> tidak menunjukkan bahwa perintah tersebut sebagai fardu melainkan hanya sunat saja sehingga dalil qath’I, yakni kedudukan ayat tentang shalat Jum’at dikukuhkan sebagai firman Allah yang diturunkan di Madinah sebagai dalil bahwa shalat Jum’at hukumnya fardu, adalah merupakan dalil yang menunjukkan sesungguhnya shalat Jum’at itu difardukan di Madinah. Sedang yang yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala (( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">apabila diseru</i>)) adalah: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bila dikumandangkan adzan” </i>karena yang dimaksud dengan seruan dalam ayat tersebut tidak lain adalah adzan, yakni adzan saat imam telah naik ke atas mimbah untuk berkhutbah di mana pada masa Nabi saw. beliau mempunyai seorang muadzdzin, lalu katika beliau duduk di atas mimbah muadzdzinnya (Bilal r. a.) segera adzan pada pintu Masjid Nabawi dan ketika beliau turundari mimbar seusai khutbah maka dia pun segera iqamah untuk mengerjakan shalat Jum’at. Kemudian pada masa Abu Bakar dan Umar r.a. juga tata tertib ibadah Jum’at pun sama seperti yang dilaksanakan pada masa Nabi saw. Baru tata tertib itu mengalami perubahan pada masa Utsman di mana jumlah masyarakat bertambah banyak dan rumah-rumah pun berjauhan, sehingga adzan dikumandangkan dua kali; pertama dikumandangkan di rumah Utsman yang diberi nama “Az Zuara” dan kedua ketika Utsman telah naik mimbar, kemudian dikukandangkan iqamah bila dia turun dari mimbar seusai berkhutbah. Kasus ini dilakukannya dengan disaksikan dan diikuti oleh para shahabat Nabi saw. namun mereka diam saja padahal seharusnya bila hal tersebut dianggap menyimpang niscaya akan dikemukakannya. Maka sikap diam mereka itu adalah sebagai konsensus (ijma’) dan ijma’ ini adalah merupakan salah satu dalil syara’ dalam ibadah, muamalah, hukuman (‘iqab), dan seluruh hukum syara’.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada anak kecil, orang gila, hamba sahaya, perempuan, orang sakit, orang ketakutan dan musafir. Sedangkan kepada selain mereka, shalat Jum’at hukumnya fardu ‘ain. Alasan shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada anak kecil dan orang gila, karena mereka berdua itu tidak dikenai beban syar’I sehingga oleh karenanya shalat Jum’at pun tidak wajib bagi mereka begitu juga shalat-shalat fardu yang lain. Alasan shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada hamba sahaya, perempuan dan orang sakit, karena mereka adalah orang-orang yang dikecualikan sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits Thariq di atas, yakni:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabis aw. Telah bersabda: (Shalat) Jum’at adalah hak dan kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah, kecuali keapada yang empat: Hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang sakit”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Alasan shalat Jum’at tidak diwajibakan kepada orang ketakutan, karena orang ini adalah orang yang dikecualikan sebagaimana telah ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Barang siapa mendengar seruan (adzan) lalu tidak menyambutnya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada udzur. Mereka (para shahabat) bertanya: Ya Rasulallah ! Udzur apakah ini? Beliau menjawab: Takut atau sakit”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Adapun dalil yang meniadakan wajiba shalat Jumat bagi musafir adalah hadits yang diriwayatkan dari Az Zuhri yang mengisahkan tentang dirinya ketika bermaksud hendakbepergian di pagi hari (saat untuk mengerjakan shalat dhuha) pada hari Jum’at, lalu hal itu ditanyakan kepadanya. Maka dia menjawab:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"> <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya nabi saw. juga pernah bepergian pada hari Jum’at”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits lain diriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi saw pada waktu menunaikan haji wada’, pada waktu beliau wuquf di arafah, yang bertepatan dengan hari Jum’at belaiu hanya mengerjakan shalat dzuhur dan ashar dengan jama’ taqdim serta beliau tidak mengerjakan shalat Jum’at”.</i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Jabir r.a. dalam salah satu hadits yang diriwayatkannya berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah saw. telah bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka kepadanya harus mengerjakan shalat kecuali bagi perempuan, atau musaffir, atau hamba sahaya, atau orang sakit”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Jabir bin Manshur meriwayatkan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Abu Ubaidah pernah bepergian pada hari Jum’at dan dia tidak menunggu shalat (Jum’at)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a. bahasanya dia melihat seorang laki-laki sedang bepergian, lalu dia mendengarnya berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Seandainya hari ini bukan hari Jum’at niscaya aku keluar. Maka Umar pun berkata: Berangkatlah, karena hari Jum’at (shalat Jum’at) tidak menahanmu untuk bepergian”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Mereka semuanya adalah orang-orang yang dikecualikan dari keharusan mengerjakan ibadah (shalat) Jum’at berdasarkan beberapa nash yang telah dikemukakan di atas. Sedangkan selain mereka tidak didapatkan nash yang mengecualikannya, sehingga shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain atas mereka. Beberapa udzur syar’i tersebut tidak bisa dijadikan analogi ( qias ) sebab udzur syar’i adalah nash syara’ yang bersifat khusus bagi kasus tertentu, ibadah-ibadah yang lain tidak bisa diqiaskan kepadanya karena dalam-ibadah tersebut tidak ditemukan nash syara’ yang menjadi ‘illat sehingga qias (analogi) bisa diterapkan dalam ibadah-ibadah tersebut. Bagi orang yang tidak dikenai keharusan ibadah shalat Jum’at boleh memilih antara mengerjakan shalat Zhuhur dengan shalat Jum’at, maka bila ia memilih untuk mengerjakan shalat Jum’at kepadanya tidak wajib shalat Zhuhur lagi karena shalat Jum’at sudah cukup baginya. Kemudian daripada itu disunatkan baginya tidak tergesa-gesa mengerjakan shalat Zhuhur sampai diketahuinya bahwa pelaksanaan shalat Jum’at telah berlalu, sekalipun bila sampai shalat Zhuhur dilaksankan sebelumnya tetap diperbolehkan. Sedangkan kepada orang yang diharuskan melaksanakan ibadah shalat Jum’at, maka kepadanya tidak dibenarkan shalat Zhuhur sebelum pelaksanaan shalat Jum’at telah berlalu karena bila sampai shalat Zhuhur dikerjakan sebelumnya, maka shalatnya dianggap tidak sah sebab yang bersangkutan adalah orang yang diseru harus mengerjakan shlat Jum’at bukan mengerjakan shalat Zhuhur dan dia itu tidak diseru untuk mengerjakan shalat Zhuhur melainkan sesudah pelaksanaan shalat Jum’at telah berlalu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disyaratkan pelaksanaan shalat Jum’at diikuti oleh beberapa orang yang diseru wajib melaksanakannya. Para sahabat telah sepakat bahwa pelaksanaan shalat Jum’at ini tidak boleh tidak harus diikuti oleh beberapa orang. Akan tetapi tidak disyaratkan dalam jumlah tertentu; berapa pun sudah dianggap memenuhi syarat selama jumlah itu dianggap sudah memenuhi kriteria shalat Jum’at, karena pelaksanaan shalat Jum’ah harus dengan berjamaah, telah dikukuhkan dalam hadits Thariq r.a. di atas, yakni :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : (Shalat) Jum’ah adalah hak dan kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah . . .”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga karena keharusan diikuti oleh beberapa orang telah digariskan oleh konsensus para sahabat Rasul. Adapun tentang ketentuan jumlah jamaahnya, maka hal ini terpulang pada pengertian nash yang mu’tabar tentang jumlah jamaah tidak bisa diterima sebagai hadits shahih. Sedangkan hadits Abdurrahman bin Ka’ab yangmengisahkan tentang kaum muslimin yang mengerjakan shalat di rumahnya As’ad bin Zarrah bersama Mush’ab bin ‘Umair di mana dalam hadits tersebut di kisahkan bahwa ia bertanya : <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Berapa jumlah kalian pada waktu itu ?” </i> Kemudian ia menjawab : <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Empat puluh orang “.</i> Selanjutnya mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani dari Ibnu Abbas yang mengemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah berkirim surat kepada para sahabatnya di Madinah seraya menyuruh mereka agar berjamaah, sehingga mereka pun berjamaah dan disepakati bahwa jumlah mereka itu sebanyak Empat puluh orang “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Maka sesungguhnya hal ini bukan merupakan dalil bahwa jumlah sebanyak itu merupakan syarat sah shalat Jum’at, karena hal ini merupakan peristiwa insidentil dan peristiwa insidentil tidak bisa dijadikan argumentasi untuk hal yang bersifat umum atau dengan kata lain, tidak bisa digenarilisasikan, yakni peristiwa khusus tidak bisa digeneralisasikan. Maka oleh karennya, kasus tersebut bukan merupakan dalil yang menunjukkan bahwa jumlah sebanyak itu adalah syarat sah shalat Jum’at sekalipun disepakati bahwa jumlah jamaah saat shalat di hari Jum’ah pada waktu itu dikuti oleh empat puluh orang, namun demikian hal itu tidak dimaksudkan saat mengerjakan shalat Jum’at seperti yang dilaksanakan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah. Bahkan lebih dari itu ternyata shalat Jum’at belum disyari’atkan, karena shalat Jum’at baru diundangkan sesudah beliau hijrah ke Madinah. Atas dasar ini, maka maksud dari hadits itu tidak bisa diterima sebagai ketentuan tentang jumlah minimal jamaah shalat Jum’at. Sekalipun memang shalat Jum’at harus diselenggarakan dengan berjamaah, namun hal itu sudah dianggap cukup bila diikuti oleh tiga jamaah atau lebih. Sedangkan apabila hanya dilakukan oleh dua orang saja, maka hal ini dianggap tidak sah karena dua orang tidak dikatagorikan sebagai jamaah, sehingga oleh karennya tidak boleh tidak harus diikuti oleh tiga orang yang diseru harus menjalankan shalat Jum’at agar shalat tersebut manjadi sah adanya. Apabila kurang dari tiga, maka shalat Jum’at pun tidak sah dan tidak bisa dikatakan shalat Jum’at kerana tidak mencapai jumlah bilangan minimal yang ditentukan. Telah menjadi konsensus bahwa shalat Jum’at harus diikuti oleh sejumlah orang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat Jum’at bisa dilaksanakan di kota, di kampung, di masjid, di gedung, dan lapangan terbuka yang masih menginduk ke gedung tersebut. Hal ini berdasarkan pada sunah, yakni bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. shalat Jum’at di Madinah. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Kemudian berdasrkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Jum’at pertama kali yang aku ikuti sesudah (shalat Jum’at diundangkan) adalah shalat Jum’at yang dilaksanakan di Masjid Rasulullah s.a.w. (Masjid Nabawi) dan di Masjid Abdu Qais di Juwai,) di Bahrain”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Abu Hurairah r.a. meriwayatkan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bahwasanya ia pernah berkirim surat kepada Umar menyakan tentang shalat Jum’at di Bahrain di mana (saat itu) ia adalah sebagai Wali di sana. Maka Umar membalasknya : Berhimpunlah kalian di mana kalian terada”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedangkan tentang hadits Nabi s.a.w. yang meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda : Tidak sah shalat Jum’at ( ?) kecuali di masjid jami”,<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">maka sesungguhnya hadits ini bukan hadits shahih. Imam Ahmad berpendapat : Ini bukan hadits. Adapun bila dilaksanakan di termpat terbuka, maka sejauh ini tidak didapatkan nash yang mensyaratkannya, sedang shalat Jum’at itu adalah sama dengan shalat-shalat yang lain, yakni menghendaki agar dilaksanakan sesuai dengan syarat-syaratnya. Maka bila dalam shalat Jum’at tersebut ada syarat khusus di luar syarat yang berlaku bagi umum yang menuntut harus dilaksanakannya, maka tidak boleh tidak syarat itu harus ada nash yang mengemukakannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat Jum’at boleh dilaksanakan di satu kampung secara berulang-ulang, sehingga oleh karenanya bila suatu kampung adalah merupakan kampung yang luas di sana didirikan beberapa masjid tanpa harus mempertimbangkan ; apakah kampung tersebut membutuhkannya atau tidak. Hal ini dengan alasan, karena tidak ditemukan nash, baik yang menyangkut tentang tidak adanya shalat Jum’at dilaksanakan secara berulang-ulang, atau suatu kampung membutuhkan beberapa masjid maupun tidak membutuhkannya. Dengan demikian, maka sifat mutlak yang ada pada nash tentang shalat Jum’at tetap pada kemutlakannya. Adapun tentang Nabi s.a.w. yang ternyata tidak pernah mengerjakan shalat Jum’at kecuali di satu masjid, maka ini bukan merupakan dilil tidak boleh melaksanakannya di masjid lain karena ketiadaan Rasulullah s.a.w. melakukan sesuatu bukan merupakan dalil tidak boleh melakukannya. Hal ini hanya dikarenakan kebetulan masjid beliau itu cuma satu sehingga beliau pun hanya shalat Jum’at disana saja. Oleh karena itu keadaan ini bukan merupakan dalil bahwa beliau tidak bermaksud shalat di masjid lain. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat Jum’at baru dikatakan sah bilamana dilaksanakan sesudah waktu Zhuhur tiba, karena shalat Jum’at adalah fardu yang harus dikerjakan dalam satu waktu sebagaimana dikemukakan dalam hadits Jabir r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Maka beliau( Nabi s.a.w.) shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits Salmah bin Al Akhwa’ , dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kami melaksanakan shalat Jum’at bersama Rasulullah s.a.w. bilamana matahari telah tergelincir”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Shalat Jum’at tidak sah bila tanpa diawali oleh dua khutbah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah s.a.w. pada hari Jum’at (saat melaksanakan ibadah Jum’at) berkhutbah dengan dua khutbah dan membuat pemisah di antara keduanya dengan duduk (sebentar)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Syarat-syarat khutbah dua, yaitu berdiri bagi yang kuasa dan memisahkan di antara keduanya dengan duduk sebentar, sebagaimana dikemkukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samrah :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah s.a.w. berkhutbah sambil berdiri kemudian beliau duduk lalu berdiri ( lagi ) dan membaca beberapa ayat (Al Qur’an) serta menyebut Allah Ta’ala (berdzikir)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Kedua khutbah tersebut harus terdiri dari bacaan Al Qur’an, dzikir, pujian dan sanjungan kepada Allah,wasiat ketaqwaan atau nasihat, dan bahasan tentang aspek atau keberadaan kaum muslimin, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diiriwayatkan oleh Jabir bin Samrah di atas dan sebagaimana dikemukakan dalam hadits lain yang masih diriwayatkan oleh Jabir, yakni :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi s.aw. berkhutbah pada hari Jum’at. Maka beliau memanjatkan puji syukur kepada Allah Ta’ala dan menyanjung-Nya, kemudian sesudah itu beliau dengan meninggikan nada suaranya dan dengan menampakkan diri bagai orang marah besar sehingga pipinya pun memerah seolah-olah beliau seorang komandan prajurit yang sedang memberi aba-aba pasukannya seraya bersabda : Aku ini diutus sedang (saat tiba) hari kiamat seperti kedua ini, beliau memberi isyarat dengan jari tengah dan jari sesudahnya (jari manis). Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya percakapan yang paling afdol adalah Kitab Allah (Al Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk yang disampaikan oleh Muhammad serta seburuk-buruk urusan adalah urusan yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat. Barangsiapa meninggalkan harta, maka harta itu bagi ahli warisnya dan barangsiapa meninnggalkan utang atau keluarga, maka datanglah kepadaku”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man r.a.) dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tidaklah aku ini mengambil ( ( ) ) melainkan dari lisan Rasulullah s.a.w. yang beliau bacanya setiap Jum’at di atas mimbar”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Disunatkan khutbah Jum’at dilaksanakan di atas mimbar, karena Nabi s.a.w. juga melakukannya di atas mimbar dan khatib duduk di atas tangga sebelum tempat istirahat, karena Nabi s.a.w. duduk padanya. Selanjutnya bagi khatib disunatkan bertumpu pada panah atau tongkat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim bin Huzn r.a. dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku diutus menghadap Nabi s.a.w. Maka (ketika itu) kami menyaksikan bersamanya Jum’at, di mana beliau bertumpu pada panah atau tongkat dan beliau memuji Allah serta menyanjung-Nya dengan beberapa kalimat ringan yang baik-baik, dan penuh berkat “.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Disunatkan pula bagi khatib meninggikan suaranya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Jabir di atas, yakni : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“. . . kemudian sesudah itu beliau dengan meninggikan suaranya dan dengan menampakkan diri bagai orang marah besar”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Di sunatkan lagi bagi khatib berkhutbah dengan singkat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Utsman r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bahwasanya dia berkhutbah dengan singkat, maka dikemukakan (saran) kepadanya : (Akan lebih baik) sekiranya engkau (berkhutbah) lebih panjang. Kemudian dia berkata: Aku mendengar Nabi s.a.w. bersabda : Khutbah seseorang dengan singkat adalah terpuji dan sebagai dalil akan kedalaman ilmu agamanya.Maka lamakanlah shalat dan persingkatlah khutbah oleh kalian”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Shalat Jum’at sama halnya dengan shalat Zhuhur hanya saja shalat Zhuhur empat rakaat sedang shalat Jum’at dua rakaat, sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a. di mana ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Shalat ‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, dan shalat Jum’at dua rakaat dengan utuh tanpa di qashar berdasarkan sabda Nabi kalian s.a.w. Dan merugilah orang yang mengada-ada “.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Disunatakan pada rakaat pertama sesudah membaca Al Fatihah membaca surah Al Jumu’ah dan pada rakaat kedua membaca surah Al Munafiqun, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abu Rafi’ yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Marwan telah mengangkat Abu Hurairah untuk Madinah. Maka dia mengimami orang-orang dalam shalat Jum’at, lalu dia membaca surah Al Jumu’ah dan surah Al Munafiqun. Kemudian aku bertanya : Wahai Abu Hurairah, engkau telah membaca dua surah dan aku juga telah mendengar Ali r.a. membaca kedua surah tersebut. Dia pun lalu berkata : Aku telah mendengar kekasihku, Abu Al Qasim, s.a.w. membaca kedua surah tersebut”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Barangsiapa masuk ke masjid dan ia mendapatkan imam sedang shalat Jum’at, maka hendaklah ia langsung takbiratul ihram untuk berjamaah. Bilamana imam saat itu ruku’ untuk rakaat kedua, maka ia dianggap masih mendapatkan shalat Jum’at. Selanjutnya ketika imam membaca salam, hendaklah ia berdiri untuk menyempurnakannya. Sedang bilamana ia tidak lagi mendapatkan ruku’ (tidak lagi menyertai ruku’) imam, berarti ia tidak lagi mendapatkan shalat Jum’at, sehingga ketika imama membaca salam kepadanya diharuskan berdiri untuk melanjutkan shalatnya seperti halnya shalat Zhuhur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Barangsiapa masih mendapatkan ruku’ dari rakaat terakhir pada hari Jum’at, maka tambahkanlah rakaat lain padanya. Dan barangsiapa tidak lagi mendapatkan ruku’, maka hendaklah ia menyempurnakannya dengan shalat Zhuhur empat (rakaat )”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><span style="font-family: Arial;">Bilamana seseorang tidak dapat sujud di atas lantai dikarenakan sangat berdesak-desakan, maka sujudlah pada punggung orang bila hal ini memungkinkan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">Apabila sangat berdesak-desakan, maka sujudlah seseorang di antara kalian pada punggung saudaranya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">15. Shalat Hari Raya :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Shalat hari raya, yakni shalat ‘Idul Fitri dan shalat ‘Idul Adha, adalah sunat karena kedua shalat tersebut dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya mereka (kaum muslimin) pernah kehujanan pada saat hari raya. Namun demikian Rasulullah s.a.w. tetap mengimami mereka shalat ‘Id di masjid (Nabawi)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Akan tetapi sekalipun demikian tidak ditemukan petunjuk, bahwa shalat ‘Id hukumnya wajib. Waktu melaksanakan shalat ‘Id ini adalah pada waktu di antara matahari terbit sampai tergelincir dan dikerjakan tanpa di awali adzan dan iqamah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w., Abu Bakar, dan Umar, mereka melaksanakan shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha sebelum khutbah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila masjid kampung (masjid jami ) terlalu sempit untuk menyelenggarakan shalat hari raya, maka disunatkan terselenggara di lapangan terbuka, sebagaimana diriwayatkan dalam salah satu hadits :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah keluar menuju mushalla (lapangan terbuka, untuk melaksanakan shalat ‘Id )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Shalat ‘Id dilaksanakan hanya dengan dua rakaat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Umar r.a. di atas :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Shalat ‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, . . . .”. </i>( Al Hadits)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Pada rakaat pertama dari shalat ‘Id disunatkan bertakbir tujuh kali di luar takbiratul ihram dan takbir ruku’ dan pada rakaat kedua bertakbir lima kali di luar takbir untuk berdiri dan ruku’ serta harus dibaca sebelum membaca surah Al Fatihah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bertakbir pada waktu (shalat ) ‘Idul Fitri dalam rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan dalam rakaat kedua sebanyak lima kali di luar takbir shalat “.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang masih diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya , dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. telah bersabda : Takbir pada (shalat ) ‘Idul Fitri adalah tujuh kali untuk rakaat pertama dan lima kali untuk rakaat yang akhir serta membaca (surah Al Fatihah ) sesudahnya untuk kedua-duanya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan lagi dari Umar bin ‘Auf Al Mazni r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bertakbir dalam dua ‘Id pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali sebelum membaca (surah Al Fatihah ) dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali sebelum membaca (surah Al Fatihah )”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Seusai shalat ‘Id disunatkan berkhutbah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. , kemudian Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a., mereka telah shalat dua rakaat ‘id sebelum khutbah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Disunatkan khutbah ini dilaksanakan di atas mimbar, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir r.a. yang mengatakan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Aku menyaksikan bersama Nabi s.aw. ‘Idul Adha. Maka ketika beliau usai berkhutbah, turunlah beliau dari mimbarnya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan lagi dari Abu Sa’id r.a. dia berkata : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Nabi s.a.w. telah keluar pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha ke mushalla (lapangan). Mula pertama yang beliau lakukan adalah shalat kemudian beliau beranjak lalu berdiri menghadap orang-orang sedang mereka duduk pada barisannya dan beliau menyampaikan nasihat, pesan, dan perintah kepada mereka. Apabila beliau bermaksud hendak memutuskan suatu uraian atau hendak memerintah dengan sesuatu, maka beliau pun memerintahkan dengannya, kemudian sesudah itu beliau berlalu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">16. Shalat Jenazah :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hukum memandikan mayat adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan seorang yang terjatuh dari untanya :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Mandikanlah dia oleh kalian dengan air dan daun kayu gaharu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Adapun orang yang syahid dunia akhirat, yaitu orang yang gugur fi sabilillah, maka dia tidak boleh dimandikan berdasarkan sebuah riwayat yang mengmukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda berkenaan dengan para syuhada perang Uhud : Janganlah kalian memandikan mereka, karena setiap luka atau setiap darah (yang menetesnya) pada hari kiamat akan semerbak mewangi ( bagaikan) minyak wangi kasturi”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Begitu juga mereka itu tidak boleh dishalatkan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hukum mengkafani mayit adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Nabi s.a.w. berkenaan dengan seorang yang sedang berihram yang tersungkur jatuh dari untanya lalu wafat :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Kafanilah dia oleh kalian dengan kedua bajunya yang dia pakai saat wafat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedikitnya mengkafani mayat adalah menutupi aurat seperti orang hidup dan sunatnya dengan tiga lapis kain, yakni : Satu lapis kain sarung dan dua lapis kain putih yang menutupi seluruh badannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Rasulullah s.a.w. dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang terbuat dari kapas di dalamnya tidak ada baju dan tidak pula ada serban”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Disunatkan kain kafan itu yang baik berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :Apabila seseorang di antara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah dia mengkafaninya dengan yang bagus”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Adapun mengkafani mayat perempuan, maka sunatnya dengan lima lapis kain, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan bersanad dari Laila binti Qanif Ats Tsaqafiah Ash Shahabiah r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku adalah termasuk orang yang memandikan puteri Rasulullah s.a.w. Maka yang pertama-tama diberikan kepada kami oleh Rasulullah s.a.w. adalah kain basahan, kemudian baju, kemudian tutup kepala, kemudian kerudung, kemudian sesudah itu dikafani dengan kain lain (yang menutupi seluruh badannya). Dia berkata : Saat itu Rasulullah s.a.w. duduk di tengah-tengah pintu dengan membawa kain kafannya dan memberikannya kepada kami satu helai -satu helai”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Seusai mayat dimandikan dan dikafani ia wajib dishalatkan kecuali bila mayat itu wafat syahid, maka ia tidak boleh dishalatkan berdasarkan hadits tentang para syuhada Uhud seperti yang telah diutarakan di atas. Hukum menyolatkan mayat adalah fardu kifayah :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Shalatlah kalian atas sahabat kalian”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sudah dianggap cukup ketika seseorang telah menyolatkannya dan diperbolehkan menyolatkannya di sepanjang waktu sebagaimana diperbolehkannya di masjid dan di luar masjid berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menyolatkan Suhail bin Baidha’ di Masjid”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Syarat sah menyolatkan mayat adalah : Suci, menutup aurat, berdiri, dan menghadap kiblat karena menyolatkan mayat (shalat janazah) tak ubahnya sama dengan syarat fardu, sehingga syarat-syaratnya juga harus sama dengan syarat-syarat bagi sahnya shalat fardu. Kemudian daripada itu disunatkan bagi imam shalat janazah berdiri di samping kepala mayat bila mayat itu laki-laki, dan disamping perutnya bila mayat itu perempuan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Diriwayatkan dalam sebuah hadits :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Anas r.a. menyolatkan seorang mayat laki-laki, maka dia berdiri di samping kepalanya dan (dia pun menyolatkan ) seorang mayat perempuan, maka dia berdiri di samping perutnya. Kemudian Al ‘Ala’ bin Ziyad bertanya kepadanya : Begitukah Rasulullah s.a.w. cara menyolatkan mayat perempuan, yakni (berdiri) di samping perutnya dan untuk mayat laki-laki (berdiri ) di samping kepalanya ? Dia menjawab : Ya !”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila seseorang bermaksud hendak shalat janazah, hendaklah ia niat shalat untuknya dan ini hukumnya fardu karena shalat janazah juga sama dengan shalat yang lain. Kemudian ia bertakbir empat kali berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. shalat untuk Najasyi. Maka beliau takbir untuknya sebanyak empat kali”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Kemudian sesudah takbir yang pertama membaca Fatihahatul Kitab berdasarkan hadits Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya ia shalat janazah, lalu ia pun membaca Fatihatul Kitab</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">(surah Al Fatihah ) dan ia berkata : Hendaklah kalian mengetahui, sesungguhnya itu adalah sunnah (Rasul)”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya sesudah takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. sebagai salah satu fardu shalat janazah dan sesudah takbir ketiga mendo’akan mayat dengan do’a apa saja. Sedangkan berdo’a dengan do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. adalah lebih afdol. Di antara do’a-do’a yang dicontohkan oleh beliau, yaitu: Seperti do’a yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dan An Nasai dari ‘Auf bin Malik yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku mendengar Nabi s.a.w. saat shalat janazah membaca : Ya Allah, ampunilah dia, kasihilah dia, muliakanlah kediaman dia, mandikanlah dia dengan air, dengan es, dengan embun, sucikanlah dia dari berbagai kesalahan seperti kain putih yang dibersihkan dari kotoran, gantilah rumah dia dengan rumah yang lebih bagus dari rumahnya dahulu, dan gantilah ahli keluarga dia dengan ahli keluarga yang lebih baik dari ahli keluarganya dahulu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dan terakhir dari rangkaian fardu shalat janazah ini adalah sesudah takbir keempat membaca salam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari Umamah bin Sahl, bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan sahabat Nabi s.a.w. memberi tahu kepadanya :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya sunnah dalam shalat janazah, yaitu : Imam bertakbir kemudian membaca Fatihatul Kitab sesudah takbir yang pertama dengan lirih dalam dirinya, kemudian membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. dan berdo’a untuk mayat dengan tulus ikhlas dalam takbir-takbir berikutnya, dan dia tidak boleh membaca apapun daripadanya, kemudian membaca salam dengan lirih dalam dirinya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila mayat telah dishalatkan hendaklah segera dimakamkan dan tidak usah ditangguhkan untuk menunggu kehadiran orang yang hendak menyolatkannya, kecuali walinya saja untuknya boleh ditangguhkan untuk menunggu kehadirannya bila memang tidak dikhawatirkan akan membusuk. Barangsiapa di antara kaum muslimin wafat ( gugur ) dalam berperang dengan orang-orang kafir sebelum perang itu berakhir, maka ia dianggap syahid sehingga tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dishalatkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah memerintahkan berkenaan dengan para syuhada Perang Uhud agar menguburkan mereka bersama darahnya dan tidak menyolatkan serta tidak memandikannya”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sedangkan apabila ia terluka saat dalam pertempuran dan wafat sesudah perang berakhir, maka ia harus dimandikan dan dishalatkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">17. Sujud Sahwi :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bilamana seseorang yang sedang shalat meninggalkan satu rakaat sari shalatnya karena lupa, namun sebelum shalatnya berakhir dia teringat akan hal itu, maka dia harus menghadirkannya dan diharuskan sujud sahwi. Kemudian bila ia ragu terhadap tertinggalnya rakaat tersebut, seperti bila ia ragu; apakah dirinya dalam shalat itu baru mengerjakan satu rakaat, atau telah dua rakaat, atau telah tiga rakaat, atau telah empat rakaat, maka dia harus mengambil rakaat yang paling sedikit lalu melanjutkan dengan rakaat yang telah tersisa dan sujud sahwi. Selanjutnya bila dia telah membaca dalam shalatnya kemudian ia yakin bahwa dirinya telah meninggalkan satu rakaat, atau dua rakaat, atau tiga rakaat; atau bahwa dirinya telah meninggalkan ruku’, atau sujud, atau rukun-rukun shalat yang lain selain niat dan takbiratul ihram, maka dalam kasus ini harus diperhatikan: Bilamana ia teringat akan hal itu belum begitu lama, maka ia harus menyambung kembali shalatnya dan sujud sahwi. Sedangkan bilamana ia baru teringat akan hal itu sesudah waktu berselang lama, maka ia harus mengulang kembali shalatnya, sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. telah shalat salah satu dari shalat </span></i><span style="font-family: Arial;">al-‘asyiyyi -<i style="mso-bidi-font-style: normal;">zhuhur dan ashar--. Kemudian beliau membaca salam pada waktu (belaiu baru mengerjakan) dua rakaat. Seseudah itu beliau menghampiri pohon kurma yang terletak di arah kiblat masjid lalu belaiu bersandar padanya. Dan kala itu orang-orang bergegas keluar sedang Dzul Yadain berdiri dan berkata: Ya Rasulallah, apakah engkau (sengaja) mengqashar atau engkau lupa? Maka nabi saw. memandang ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda: Apa yang Dzul Yadain katakan itu? Mereka (para sahabat) menjawab: Dia benar, bahwa engkau tidak shalat melainkan hanya dua rakaat. Maka beliau pun shalat lagi dua rakaat dan membaca salam, kemudian bertakbir, kemudian sujud, kemudian bertakbir, lalu berdiri, krmudian bertakbir dan sujud, kemudian bertakbir dan berdiri.”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Abu da’id al-Khudri r.a. telah meriwayatkan pula:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya nabi saw. bersabda: Bilamana seseorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, maka buanglah keraguan itu dan bersikap yakinlah. Kemudian jika ia telah yakin dengan seyakin-yakinnya, sujudlah dua kali. Bilamana shalatnya itu terbukti sempurna, maka rakaat tersebut merupakan tambahan (sunnat) baginya dan begitu juga kedua sujud. Dan jika terbukti rakaat itu kurang, maka rakaat tersebut menjadi penyempurna bagi shalatnya dan kedua sujudnya merupakan arang yang mencoreng muka syaitan.”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Kemudian dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakhai dari ‘Alqamah bin Mas’ud r.a. dia berkata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah saw. telah shalat -Ibrahin berkata: Beliau dalam shalatnya itu lebih atau kurang--, maka seusai beliau membaca salam, ditegurlah beliau; ‘Ya Rasulallah, apakah sesuatu telah terjadi dalam shalat? Beliau bertanya,’Apakah itu?’ Mereka (para sahabat) menjawab,’Engkau telah shalat demikian dan demikian.’ Maka beliau pun melangkahkan kedua kakinya dan menghadap kiblat lalu beliau bersujud dua kali, kemudian beliau membaca salam. Sesudah itu beliau pun menghadapkan mukanya ke arah kami dan bersabda: Bahwasanya bila sesuatu terjadi dalam shalat, sudah barang tentu aku memberitahukannya kepada kalian. Akan tetapi walaupun demikian, sesungguhnya aku juga adalah manusia yang bisa lupa seperti halna kalian juga yang bisa lupa. Oleh karena itu, maka bila aku lupa, maka ingatkanlah aku oleh kalian, dan jika seseorang di antara kalian ragu dalam shalatnya, maka upayakanlah untuk memperoleh yang benar lalu sempurnakanlah dengannya kemudian hendaklah sujd dua kali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Ketentuan ini berkenaan dengan seseorang yang shalat lalu ada bagian shalat yang tertinggal, namun kemudian teringat akan hal itu, saat masih shalat maupun saat shalat sudah selesai dikerjakan. Begitu juga ketentuan tersebut berkenaan dengan seseorang yang shalat lalu ia ditimpa keraguan. Adapun bila ia dilanda perasaan ragu sesudah membaca salam; apakh dirinya telah meninggalkan sesuatu atau tidak? Maka dalam kasus seperti ini dia tidakdiharuskan apa-apa lagi karena pada dasarnya ia telah menunaikan seluruh rangkaian shalat tersebut dengan sempurna, sehingga keraguan yang timbul sesudahnya tidak berpengaruh apa-apa lagi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Apabila seseorang yang sedang shalat meninggalkan salah satu fardhu shalat karena lupa, akan tetapi saat masih shalat dia teringat akan hal itu, atau dia itu ragu akan salah satu fardhu shalat; apakah fardhu tersebut dikerjakan ataukah tidak, sedang saat itu ia masih dalam keadaan shalat, maka bagian yang diragukan dalam rakaat tersebut jangan ditangguhkan melainkan harus langsung dikerjakan dan sesudah itu baru melanjutkan yang berikutnya karena tertib dalam pelaksanaan shalat hukumnya fardhu. Sebagai contoh, umpamanya: Apabila seseorang yang sedang shalat dalam rakaat pertama tertinggal sujudnya dan dia mengingatnya saat sedang berdiri dalam rakaat kedua, maka seketika itu juga ia harus turun untuk bersujud terlebih dahulu untuk menggantikan sujud yang tertinggal dalam rakaat pertama tersebut, dan sesudah itu barulah ia melanjutkan untuk memulai lagi rakaat yang kedua. Selanjutnya apabila ia baru teringat akan hal itu pada saat sedang berdiri untuk rakaat ketiga, yakni baru teringat bahwa sujud pada rakaat pertama tertinggal, maka hal itu dianggap sama dengan meninggalkan seluruh rangkaian rekaat pertama itu sehingga oleh karenanya ia pun harus menggantinya dengan satu rakaat secara utuh. Dalam kedua kasus di atas hendaklah ditambah lagi dengan sujud sahwi dan seluruh rangkaian ketentuan ini berkenaan dengan hal-hal yang bersifat fardu. Adapun bila ia lupa dalam hal-hal yang bersifat sunat, lalu teringat akan hal itu sedang ia masih dalam shalat maka hal tersebut tidak perlu diulang. Sebagai contoh ; bilamana sunat yang terlupakan itu berupa sunat haiah seperti mengangkat kedua tangan saat berdiri dari ruku’ atau membaca tasbih saat ruku’, maka tidak perlu sujud sahwi. Sedangkan bilamana yang terlupakan itu sunat seperti duduk pada tasyahhud awwal atau qunut dalam shalat Shubuh, maka hendaklah sujud sahwi sebagai penambal atas sunat yang tertinggal itu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ziyad bin ‘Alafah dikemukakan, bahwasanya dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Al Mughirah bin Syu’bah shalat mengimami kami. Kemudian dia bangkit dalam dua rakaat, maka kami pun mengucapkan : ( ( ) ) dan dia pun mengucapkan: ( ( ) ) serta sesudah itu dia berlanjut. Ketika dia telah menyempurnakan shalatnya dan membaca salam, dia pun sujud sahwi dua kali. Selanjutnya ketika dia beranjak, berkatalah : Aku telah melihat Rasulullah s.a.w. melakukan seperti yang aku lakukan”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Hukum sujud sahwi ini adalah sunat berdasarkan sabda Nabi s.a.w. yang dikemukakan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. di atas, yakni :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“. . . ., maka rakaat tersebut merupakan tambahan (sunat) baginya dan begitu juga kedua sujud”.</span></i><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sujud sahwi dilakukan sebelum membaca salam berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Juhinah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah berdiri dalam shalat Zhuhur padahal seharusnya beliau duduk .Maka ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, bersujudlah beliau dua kali dan beliau bertakbir dalam setiap sujud serta beliau melakukannya sambil duduk dan sebelum membaca salam, lalu orang-orang pun bersujud bersama beliau pada duduk yang terlupakan tersebut”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Ketentuan tentang pelaksanaan sujud sahwi ini berdasarkan pada hadits lain juga, yaitu pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibrahim An Nakhai di atas. Kemudian berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Apabila seseorang di antara rakaat kalian ragu dalam shalatnya, tidak tahu berapa rakaat ia telah melakukannya ; tiga atau empat rakaat? Maka buanglah keraguan itu dan berpeganglah pada bilangan rakaat yang diyakininya, kemudian bersujudlah dua kali sebelum membaca salam”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya didasarkan pula pada hadits Abdurrahman bin ‘Auf r.a. yang berbunyi :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan sujudlah dua kali sebelum membaca salam”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sujud sahwi juga boleh dilakukan sesudah membaca salam berdasarkan hadits Dzul Yadain dari hadits riwayat Abu Huairah r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan (beliau) membaca salam, kemudian bertakbir, kemudian sujud, kemudian bertakbir, lalu beliau mengangkat (kepala ) , kemudian bertakbir dan sujud, kemudian bertakbir dan mengangkat (kepala)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Imran bin Hashin dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Maka beliau shalat satu rakaat kemudian membaca salam, kemudian sujud dua kali, kemudian membaca slam”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. juga dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. shalat Zhuhur lima rakaat lalu kepadanya ditanyakan: Apakah shalat (ini) ditambah ? Maka beliau menjawab : Apakah itu ? Mereka (para sahabat) menjawab : Engkau telah shalat dengan lima rakaat. Kemudian beliau sujud dua kali sesudah beliau membaca salam”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">18. Sujud Tilawah :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Sujud tilawah disyari’atkan bagi qari dan pendengar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Rasulullah s.a.w. membacakan Al Qur’an kepada kami, Maka ketika berlalu ayat sajdah, beliau pun takbir dan sujud, lalu kami juga sujud”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Apabila seorang qori tidak sujud, maka bagi pendengar tetap dianjurkan sujud karena anjuran sujud dialamatkan kepada kedua belah pihak sehingga anjuran tersebut tidak hilang dikarenakan salah satu pihak tidak melakukannya. Ketentuan ini berlaku dengan catatan, bilamana pendengar dengan sengaja mendengarkan bacaan Al Qur’an. Adapun bilamana yang mendengar bacaan Al Qur’an itu bukan pendengar yang dengan sengaja mendengarkannya, seperti seorang yang sedang berlalu di jalan lalu ia mendengar seorang qari sedang membaca Al Qur’an di masjid, atau di rumah dengan bacaan yang nyaring sehingga tanpa disengaja orang yang sedang berlalu di jalan pun mendengarnya, atau seseorang ada di dekat orang yang sedang membaca Al Qur’an tetapi ia sibuk dengan kegiatan lain, seperti menulis atau membicarakan urusan lain, maka dalam posisi seperti ini ia tidak dianjurkan untuk sujud tilawah karena ia dianggap bukan pendengar yang sedang mengikuti bacaan Al Qur’an yang sedang dilantunkan oleh si qari.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Ketentuan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Utsman dan ‘Imran bin Al Hashin r.a. : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sujud tilawah dianjurkan kepada pendengar”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sujud tilawah adalah bagi orang yang duduk untuk mendengarkan bacaan Al Qur’an”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Hukum sujud tilawah adalah sunat bukan wajib berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Surah An Najm disampaikan kepada Rasulullah s.a.w. namun tidak seorang pun di antara kami yang sujud tilawah”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Sujud tilawah berjumlah empat belas kali, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Al ‘Ash r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Rasulullah s.a.w. telah membacakan (menyebutkan) kepadaku lima belas ayat sajdah (ayat yang menganjurkan sujud tilawah) dalam Al Qur’an, antara lain : tiga pada ayat-ayat Al Mufashshal dan dua dalam surah Al Hajj”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Tetapi yang termasuk ke dalam sujud tilawah dari kelima belas ayat sajdah itu hanya empat belas saja, yakni ayat sajdah dalam surah Shad bukan merupakan ayat yang menganjurkan untuk sujud tilawah melainkan ayat yang menganjurkan untuk sujud syukur. Bunyi ayat tersebut, yaitu :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">( )<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“. . . lalu (Daud) menyungkur sujud dan bertaubat”</span></i><span style="font-family: Arial;"> ( Q. S. 88 : 74 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Ketetapan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Suatu hari Rasulullah s.a.w. berkhutbah di hadapan kami, Maka ketika beliau membaca ayat sajdah, kami pun beranjak untuk sujud. Ketika beliau menyaksikan kami demikian, beliau pun bersabda : Sesungguhnya itu adalah taubat seorang Nabi (Daud). Tetapi kalian tetap siap untuk sujud sehingga beliau juga turun dan sujud”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Kemudian diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah sujud dalam surah Shad dan beliau bersabda : Daud a.s. telah sujud berkenaan dengannya sebagai sujud taubat sedang kita sujud berkenaan dengannya sebagai sujud syukur”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Disunatkan saat sujud tilawah membaca seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"></span><br />
<span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"><div style="text-align: justify;"><br />
</div></span> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. , dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Rasulullah s.a.w. dalam sujud saat membaca Al Qur’an di malam hari, beliau membaca : ( ( = Mukaku bersujud kepada Dzat yang telah menciptakannya, Dzat yang telah membukakan pendengarannya, dan Dzat yang telah membukakan penglihatannya dengan kekuasaan-Nya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Selanjutnya saat sujud hendaklah bertakbir berdasarkan hadits shahih dari Nabi s.a.w. yang mengemukakan, bahwa beliau bertakbir saat sujud tilawah dan saat bangkit dari sujud tersebut. Kemudian membaca salam ketika telah usai bangkit dari sujud tilawah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sabda Nabi s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Tahrim shalat adalah takbir dan tahlilnya adalah membaca salam”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sedangkan sujud tilawah juga dianggap shalat. Dengan demikian,maka sujud tilawah juga harus diakhiri dengan membaca salam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Bagi siapa saja yang sujud tilawah, maka baginya kebaikan sebagai imbalan atas kesediaanya melakukan pekerjaan sunat. Sedang bagi yang meninggalkannya, maka baginya tidak ada kebaikan namun tidak berdosa. Apabila seseorang memdengar ayat sajdah dibacakan tetapi ia dalam keadaan tidak suci, maka kepadanya tidak lazim harus wudhu atau tayammum karena sujud tilawah adalah sujud yang berkaitan dengan suatu sebab, sehingga bila ayat sajdah tersebut telah berlalu baginya tidak perlu lagi sama halnya dengan seorang yang membaca ayat sajdah dalam shalatnya, kemudian ia tidak sujud tilawah, maka ia tidak lazim harus sujud sesudahnya. Hukum sujud tilawah sama dengan hukum shalat sunat, yaitu harus suci, menutup aurat, dan menghadap ke kiblat karena hakikatnya sujud tilawah itu adalah shalat juga.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Alasan, mengapa sujud tilawah dianggap sebagai ahalat karena shalat juga adakalanya diungkapkan dengan sujud dan begitu juga sebaliknya. Banyak hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat Rasul s.a.w. yang mengungkapkan shalat dengan kata-kata sujud, di mana dalam hadits -hadits tersebut kata <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“rakaat”</i> diungkapkan dengan kata <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“sujud”</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku shalat bersama Rasulullah s.a.w. sebelum Zhuhur dua sujud (sajdatain, maksudnya dua rakaat ) dan susudahnya dua sujud (sajdatain), lalu sesudah shalat Maghrib dua sujud (sajdatain ), serta sesudah shalat Isya dua sujud ( sajdatain )”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Maksud dari kata-kata <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“sajdatain</i>” dalam hadits ini juga tidak lain adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“rak’atain”</i>, yakni dua rakaat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Ini adalah sebagai dalil, bahwa shalat terkadang dinyatakan dengan sujud. Kemudian ketika rakaat dinyatakan dengana sujud (sajdah)- sebagaimana tidak diperselisihkan ,bahwa rakaat juga adalah shalat, maka sujud pun dianggap sebagai shalat, sekalipun sujud adalah salah satu dari beberapa pekerjaan yang dilakukan saat seseorang sedang shalat. Memang terkadang kata sujud ini dimaksudkan sebagai bagian dari rangkaian shalat seperti sujud dalam shalat yang terdiri dari beberapa rakaat dan terkadang sebagai shalat secara utuh, yakni shalat itu sendiri, seperti sujud syukur, sujud tilawah, dan sujud sahwi. Kemudian keadaan di antara keduanya juga ada beberapa persamaan, yakni bahwa shalat memiliki sebab yaiitu tiba (masuk) waktu, seperti Zhuhur, atau karena memperoleh apa yang disyari’atkan untuk shalat, seperti shalat tahiyyatul masjid. Maka begitu juga halnya sujud pun mempunyai sebab, yakni karena lupa ada yang tertinggal dalam shalat, sehingga disyari’atkan sujud sahwi, atau karena memperoleh nikmat, atau karena terhindar dari bencana, sehinga disyari’atkan sujud syukur, atau karena membaca ayat sajdah, sehinga disyari’atkan sujud tilawah. Sehubungan dengan sujud sahwi, sesungguhnya sujud ini -sebagaimana tidak diperselisihkan oleh para ulama- bukan merupakan bagian dari shalat melainkan sujud tersebut merupakan penambal bagi shalat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sabda Rasulullah s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“. . . dan jika terbukti rakaat itu kurang, maka rakaat tersebut menjadi penyempurna bagi shalatnya dan kedua sujudnya merupakan arang yang mencoreng muka syaitan”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Begitu juga, bahwa sujud sahwi pun disyaratkan suci karena sujud sahwi ini merupakan ibadah di luar rakaat-rakaat shalat. Kemudian daripada itu, perihal ketentuan bagi sujud tilawah juga persis sama dengan ketentuan bagi sujud sahwi dan ketentuan ini tidak didasarkan pada qias, karena dalam ibadah (mahdhah) tidak ada qias. Akan tetapi ketentuan ini didasarkan pada posisi atau status sujud tilawah itu sendiri sebagai salah satu macam sujud. Dalam sujud tilawah disyaratkan suci karena yang diperhitungkannya pun sujud itu sendiri bukan penyebabnya. Maka dengan demikian, jelaslah bagi kita : Sesungguhnya sujud tilawah sama dengan shalat yang mempunyai syarat seperti syarat yang ditetapkan dalam shalat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Adapun tentang apa yang dikemukakan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya (Shahih Bukhari) , yaitu tentang pernyataanya :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“BAB SUJUD KAUM MUSLIMIN BERSAMA KAUM MUSYRIKIN DAN SEORANG MUSYRIK YANG TIDAK MEMPUNYAI WUDHU, DAN IBNU UMAR R.A. TERBUKTI TANPA WUDHU”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Maka hal ini tidak boleh dijadikan dalil untuk membolehkan sujud tilawah tanpa wudhu. Sebab sesungguhnya Bukhari hanya sekedar menyebutkan hal itu dalam sebuah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“bab”</i> sebagai judul dan dia tidak meriwayatkannya dari seorang perawi pun. Apa yang disebutkan oleh Bukhari dalam kitabnya sebagai judul bagi suatu bab tidak dapat dianggap sebagai hadits yang diriwayatkannya dan tidak bisa dijadikan dalil seperti halnya nash syar’I, melainkan hal tersebut hanya sekedar pendapat dia sendiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sedangkan riwayat lain yang meriwayatkan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Ibnu Umar telah sujud tilawah tanpa wudhu”.</span></i><span style="font-family: Arial;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">ini adalah riwayat yang dikemukakan dari nara sumber yang tidak bisa ditelusuri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam sebuah riwayat Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari jalur ‘Ubaid bin Al Hasan dan seorang laki-laki yang menduga, bahwa ia seperti dirinya dari Sa’id bin Jubair , ia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ibnu Umar terbukti turun dari hewan tunggangannya lalu menuangkan air, kemudian ia menaiki (hewan tunggangannya). Maka dia membaca ayat sajdah dan dia tidak wudhu”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Status tiwayat ini adalah majhul ( tidak dapat ditelusuri nara sumbernya) dan terhadap riwayat yang majhul kita pun dilarang menerimanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sementara itu dalam riwayat Al Baihaqi tertulis : ( ( = dia sujud (tilawah) dengan (mempunyai wudhu). yakni lafadz ( ( = tanpa) ) tidak tertulis. Dengan demikian jelaslah bagi kita, sesungguhnya riwayat yang mengemukakan bahwa Ibnu Umar r.a. melakukan sujud tilawah tanpa wudhu tidak bisa dikukuhkan bersumber dari pernyataan dia sendiri dan sesungguhnya riwayat yang mengemukakan bahwa Ibnu Umar r.a. terbukti melakukan sujud tilawah tanpa wudhu ini berlawanan pernyataannya dia sendiri yang menegaskan wajib wudhu untuk sujud tilawah, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad shahih yang diterima dari Al Laits dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang mengatakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Seseorang tidak sah sujud (tilawahnya ) kecuali dia itu suci (berwudhu)”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dan Ibnu Umar sendiri menganggap sujud tilawah adalah shalat, sehingga dia menyatakan makruh melakukan sujud tilawah dalam waktu-waktu dimakruhkan mengerjakan shalat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya dia (Ibnu Umar) ditanya tentang orang yang membaca Al Qur’an sesudah shalat Fajar dan sesudah shalat Ashar : Apakah ia boleh sujud (tilawah)? Dia menjawab : Tidak boleh”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Ini adalah ketetapan berdasarkan aspek periwayatan, sedangkan bila ketetapan ini berdasarkan aspek pengambilan dalilnya maka sesungguhnya perbuatan Ibnu Umar bukan merupakan dalil syar’i , sehingga pernyataan dia itu tidak bisa dianggap sebagai dalil syar’i melainkan sebagai hukum syar’i dari atau bagi seorang mujtahid.Hal ini dengan alasan, sebab madzhab(pendapat) seorang sahabat adalah bukan merupakan dalil syar’i. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sedangkan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Bukahari yang mengatakan : Musaddad telah meriwayatkan kepada kami, katanya : Abdul Warits telah meriwayatkan kepada kami, katanya : Ayyub telah meriwayatkan kepada kami dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersujud (tilawah) ketika membaca surah An Najm dan kaum muslimin kaum musyrikin, jin, dan manusia juga sujud bersamanya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Hadits ini secara dirayah tertolak walaupun diriwayatkan oleh Bukhari. Adapun alasan, mengapa secara dirayah hadits tersebut tertolak, ini berdasarkan dua segi :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u><span style="font-family: Arial;">Pertama </span></u></i><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">:</span></i><span style="font-family: Arial;"> Karena hadits tersebut berlawanan dengan nash Al Qur’an yang bersifat qath’i, dimana Al Qur’an memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik sangat keberatan untuk menerima agama yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada mereka. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya”. </span></i><span style="font-family: Arial;">( Q.S. 42 : 13 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sedangkan hadits di atas menyatakan : Sesungguhnya mereka ketika mendengan Al Qur’an (dibacakan) sujud. Sujud yang dilakukan oleh mereka sungguh berlawanan dengan sikap mereka sendiri yang sangat keberatan menerima agama yang diserukan oleh Rasulullah s.a.w. kepada mereka. Kemudian di lain ayat Allah s.w.t memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik apabila dibacakan Al Qur’an kepada mereka , maka mereka tidak mau sujud.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah Ta’ala : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka , maka mereka tidak bersujud”. </span></i><span style="font-family: Arial;">( Q. S. 84 :21.) <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Akan tetapi dalam hadits di atas dikemukakan : Sesungguhnya mereka bersujud ketika Al Qur’an dibacakan kepada mereka. Selanjutnya Al Qur’an memberitahukan lagi kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik berpaling dari sujud kepada Allah Ta’ala.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Dan apabila dikatakan kepada mereka : Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang, mereka menjawab : Siapakah Yang Maha Penyayang itu ? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada Nya )? Dan (perintah sujud itu ) menambah mereka jauh ( dari iman)” </span></i><span style="font-family: Arial;"> ( Q. S. 25 : 60 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sedangkan hadits di atas menyatakan : Ketika kepada mereka dibacakan Al Qur’an, mereka pun bersujud. Ini jelas berlawanan satu sama lain, sehingga secara dirayah hadits tersebut harus ditolak. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>Kedua :</u></i> Sesungguhnya Abdullah bin Abbas r.a. yang disebut sebagai perawi hadits di atas, pada waktu kisah hadits ini dihubungkan kepada Rasulullah s.a.w. yang terjadi sebelum hijrah kedua ke Habsyi- di awal kerasulan, periode Mekkah- terbukti saat itu dia masih kecil. Sekali pun dapat dipastikan dia saat itu telah lahir dan dapat dipastikan dia memperoleh kisah di atas, tetapi dapat pula ditegaskan : Sesungguhnya Ibnu Abbas r.a. sama sekali tidak menyaksikan kisah di atas, sebagaimana dikatakan oleh para pensyarah hadits itu sendiri. Atas dasar itu, maka hadits ini dianggap berlawanan dengan realita kisahnya sekalipun Ibnu Abbas dapat dipastikan memperolehnya. Di sini tidak boleh dikatakan : Sesungguhnya Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan kisah ini dari Rasulullah s.a.w. secara langsung karena beliau menyampaikan kisah itu kepadanya secara langsung atau dengan perantaraan. Hal ini tidak boleh dikatakan demikian, sebab Ibnu Abbas r.a. tidak meriwayatkan dengan ungkapan : ( ( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda ) ),</i> melainkan dia itu meriwayatkan hadits seperti yang langsung menyaksikan jalannya peristiwa sehingga dia berkata ( ( = <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersujud (tilawah) dan sujud pula bersamanya kaum muslimin, serta orang-orang musyrikin) ).<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Atas dasar ini , maka, hadits tersebut tidak boleh dijadikan dalil. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dengan demikian, diperbolehkannya sujud tilawah tanpa wudhu tidak bida diterima (tertolak) dan keharusan dalam keadaan suci (berwudhu) ketika sujud tilawah -karena sujud tilawah sama dengan shalat-dikukuhkan ketetapannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">19. Sujud Syukur<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Disunatkan bagi orang yang memperoleh nikmat atau terhindar dari bencana bersujud sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana datang urusan yang menyenangkannya atau beliau diberi kabar gembira dengannya, maka beliau menyungkur sambil sujud sebagai rasa syukur kepada Allah SWT”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang dikemukakan oleh Ahmad, hadits senada diungkapkan dengan kata-kata:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya dia (Abu Bakrah) menyaksikan Nabi saw. didatangi oleh seseorang pembawa kabar gembira yang menggambarkan bahwa pasukannya mendapat kemenangan atas musuh mereka. Sedangkan (saat itu) kepada beliau ada dalam pangkuan Aisyah, maka bangkitlah beliau lalu menyungkur sujud, dan beliau berlama-lama dalam sujudnya. Baru kemudian mengangkat kepalanya dan beranjak menuju kamarnya lalu beliau masuk dan menghadap kiblat”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Hukum sujud syukur dalam syarat dan tata caranya sama dengan hukum sujud tilawah, dilakukan di luar shalat.<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u><o:p></o:p></u></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><h2 style="text-align: justify;">C. DO’A</h2><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;">Doa adalah permohonan hamba kepada Tuhannya. Doa dalam pandangan Islam merupakan ibadah yang sangat besar kedudukannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> At-Tirmidzi telah meriwayatkan hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Doa adalah otaknya ibadah”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Banyak atsar yang diterima dari Nabi saw. yang berupa dorongan agar senang berdoa, antara lain:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang diterima dari Abu Hurairah r.a.:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah selain doa”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia (Allah) akan marah kepadanya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits Ibnu Mas’ud dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Memohonlah kalian kepada Allah untuk memperoleh karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah senang apabila diminta”. </i>(HR. At-Tirmidzi)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Sesungguhnya doa bermanfaat bagi yang turun dan belum turun, maka kalian, wahai hamba-hamba Allah, hendaklah berdoa”.</i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Tidaklah seorang muslim di planet bumi ini berdo’a kepada Allah dengan suatu do’a , melainkan Allah mengabulkannya atau Dia memalingkan keburukan semisal do’a tersebut daripadanya”. </i>( H.R. At Tirmidzi dan Al Hakim ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id r.a. dikemukakan:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Tidaklah seorang muslim berdo’a, di mana dalam do’a tersebut tidak terdapat unsur dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan dengan do’a itu Allah memberi salah satu dari tiga (kebaikan) kepadanya : Baik dengan spontan Allah mengabulkan permohonannya, atau menangguhkannya untuk nanti di akhirat, atau Allah memalingkan keburukan semisal do’a tersebut daripadanya”. </i>(H.R. Ahmad ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Hadits-hadits di atas dan hadits-hadits yang lainnya, pada umumnya menunjukkan terhadap kedudukan do’a yakni : Bahwasanya do’a adalah merupakan permohonan hamba kepada Tuhannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dalam Al Qur’an juga didapatkan beberapa ayat yang menunjukkan tentang do’a, antara lain :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dan tuhan kalian berfirman : Berdo’alah kalian kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagi kalian:</i> (Q. S. 40 : 60 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadaku tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku”. </i>(Q.S. 2 : 136 )<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di muka bumi” </i>( Q.S. 27 : 62 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“( Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arasy dan malaikat yang berada disekelilingnya bertasbih memuji tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampunan bagi orang -orang beriman ( seraya mengucapkan ) : Ya Tuhan kami , rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala. Ya Tuhan kami , dan masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘And yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang shaleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana” </i>( Q. S . 40 :7-8).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Berdasarkan ayat-ayat di atas, sesungguhnya Allah Ta’ala telah meminta kita agar berdo’a (memohon) kepada-Nya dan Dia pun telah menjelaskan kepada kita, bahwa sesungguhnya hanya Dia sendirilah yang kuasa mengabulkan do’a, lain tidak, serta Dia telah menjelaskan kepada kita tentang do’a yang disampaikan mereka kepada-Nya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Dengan demikian , maka bagi setiap muslim dianjurkan berdo’a kepada Allah s.w.t. , baik ia dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi, sehingga ia memperoleh pahala daripada-Nya. Berdo’a lebih afdhal daripada berdiam diri dan bersikap pasrah berdasarkan dalil-dalil yangmenunjukkannya. Sebab dalam berdo’a tampak sikap tunduk dan merendah di hadapan Allah s.w.t. serta dalam berdo’a tidak akan mengubah apa yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah Ta’ala dan tidak juga akan mengubah qadha-qadar-Nya serta tidak akan menimbulkan sesuatu bila tanpa diawali oleh penyebabnya. Sebab, sesungguhnya apa yang telah di tetapkan dalam ilmu Allah Ta’ala pasti terjadi. Sesungguhnya qadha Allah Ta’ala pasti terealisir, sekiranya do’a dapat mengubahnya, niscaya qadha-qadar Allah tidak akan di gariskan. Kemudian daripada itu, sesungguhnya Allah telah menciptakan sebab akibat. Dia telah menjadikan sebab membuahkan akibat dengan pasti, tidak pernah ada akibat tanpa diawali oleh sebab. Atas dasar ini,maka tidak boleh diyakini, sesungguhnya do’a merupakan jalan untuk membuahkan hajat, sekalipun dengannya Allah mengabulkan apa yang diharapkan. Sebab, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan bagi alam, bagi manusia, dan kehidupan ini undang-undang (sunnah ) di mana kesemuanya berjalan di atasnya, dan dia pun telah menjadikan (mengikat) sebab dengan akibat. Do’a tidak dapat memberi pengaruh sehingga sunatullah dapat diubah, begitu juga do’a tidak dapat membuat akibat berlainan dengan sebabnya. Seseungguhnya tujuan akhir dari berdo’a adalah memperoleh pahala dengan cara mengikuti ketentuan (perintah) Allah Ta’ala, di mana kedudukan do’a itu sendiri segagai salah satu bentuk ibadah kepada-Nya. Sebagaimana shalat, puasa, zakat, berjihad fi sabilillah, dan sebagainya merupakan ibadah, maka berdo’a pun adalah ibadah, di mana dalam berdo’a seorang mukmin memohon kepada Allah agar terkabul hajatnya atau duka yang menggayut dalam dirinya selama ini segera berlalu dan do’a lainnya yang berhubungan dengan urusan dunia -akhirat. Dalam berdo’a hendaklah ia menampakkan diri dengan segala ketulusan sikap berlindung kepada Allah, sikap merendah di hadapan-Nya,sikap mengharap pahala daripada-Nya, serta sikap patuh terhadap segala perintah-Nya. Apabila hajatnya terkabul, hendaklah diyakini bahwa ini adalah semata-mata karunia dari Allah dan sudah merupakan qadha-Nya sesuai sunatullah yang mengacu pada kaidah hukum sebab- akibat. Sedangkan apabila Allah tidak mengabulkannya, maka walau begitu Dia tetap mencatat pahala bagi-Nya. Atas dasar ini, hendaklah seorang muslim pada waktu berdo’a bersikap merendah di hadapan Allah Ta’ala dan bersikap patuh terhadap perintah serta penuh harap untuk memperoleh pahala daripada-Nya, baik hajatnya itu terkabul maupun tidak. Bagi seorang muslim diperbolehkan berdo’a dengan do’a apa saja, baik terucap maupun hanya di dalam hati saja, serta dengan bahasa yang ia kuasai, yakni ia tidak terikat dengan do’a tertentu. Baginya diperbolehkan berdo’a dengan do’a-do’a seperti yang dikemukakan dalam Al Qur’an, atau seperti yang dikemukakan dalam hadits-hadits, atau dengan do’a dari dirinya sendiri, atau dengan do’a yang dipanjatkan oleh orang lain. Dia tidak di haruskan berdo’a dengan do’a tertentu, melainkan yang dituntut daripadanya agar berdo’a kepada Allah Ta ‘ala. Hanya saja yang dianggap paling afdhol adalah berdo’a dengan do’a seperti yang telah dikemukakan dalam Al Qur’an atau hadits. Di antara do’a-do’a seperti yang telah dikemukakan dalam Al Qur’an :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Tidak ada do’a mereka selain ucapan : Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.</span></i><span style="font-family: Arial;">(Q.S. 3:147 ). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar(seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu) : Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian. Maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbuat bakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji” </span></i><span style="font-family: Arial;"> (Q. S. 3 : 193-194 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial;"> Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Katakanlah : Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” </span></i><span style="font-family: Arial;">(Q. S. 3 : 26 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah Ta’ala :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“(Mereka berdo’a) : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau -lah Maha Pemberi (karunia)” </i>(Q. S. 3 : 9 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah Ta’ala : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” </span></i><span style="font-family: Arial;"> ( Q. S. 6 : 79 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Firman Allah Ta’ala : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah ) “ </span></i><span style="font-family: Arial;"> ( Q. S. 6 : 162-163 ).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dari sekian banyak istigfar dan do’a yang dikemukakan dalam hadits, antara lain : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Hadits yang diriwayatkan dari Syaddad bin Aus r.a. dari Nabi s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Penghulu istigfar adalah ucapan : Ya Allah, Engkau adalah tuhanku, tiada Tuhan kecuali hanya Engkau. Engkau telah menciptakanku sebagai hamba-Mu. Aku terhadap janji-Mu dan ancaman-Mu sedapat mungkin (akan memperhatikan ). Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku perbuat. Aku kembali kepada-Mu dengan nikmat-Mu yang dilimpahkan kepadaku dan aku kembali kepada-Mu bersama dosaku, maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang kuasa mengampuni dosa kecuali hanya Engkau”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar memohon ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali “.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Diriwayatkan dari Mudzalifah r.a. dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Nabi s.a.w. apabila merebahkan badannya ke atas pembaringannya, beliau membaca : Dengan mana-Mu aku mati dan aku hidup. Dan apabila beliau bangun, beliau pun membaca : Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menghidupkan kami sesudah Dia mematikan kami dan kepada-Nya kembali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dari Warid, pelayan Al Mudhirah bin Syu’bah, dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Al mughirah berkirim surat kepada Muawiah bin Abu Sufyan memberitahukan: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada setiap usai shalat, bila beliau telah membaca salam, beliau membaca : Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa. Ya Allah, tiada yang dapat menahan terhadap apa yang di berikan dan tidak ada(pula) yang dapat memberikan terhadap apa yang Engkau tahan (untuk diberikan) serta tidak akan bermanfaat untuk melindungi diri, kekayaan, dan kebesaran orang kaya, dan besar dari murka dan adzab-Nya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dari Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r. . :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Mereka (para sahabat ) berkata : Ya Rasulullah, penduduk (keluarga) Ad Datsur telah pergi dengan membawa kemuliaan dan nikmat abadi. Beliau bertanya : Bagaimana itu ? Dia menjawab : Mereka shalat seperti shalat kami, dan mereka berjihad seperti jihad kami, serta mereka berinfak dengan kelebihan harta mereka, sedangkami tidak mempunyai harta (berlebihan seperti mereka ). Beliau bersabda : Bukankah telah aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang kalian ketahui (yang kalian dapatkan) sebelum orang-orang yang datang sebelum kalian dan kalian adalah orang-orang pertama (yang mendapatkannya) daripada orang -orang sesudah kalian serta seorang pun tidak akan dapat menyamai seperti apa yang kalian bawa, kecuali orang yang datang dengan membawa semisalnya, yakni : Kalian bertasbih pada setiap usai shalat sebanyak sepuluh kali, kalian membaca hamdalah sepuluh kali, dan kalian membaca takbir sepuluh kali”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;"> </span></i><span style="font-family: Arial;">Dari Abdurahman bin Abu Laila, dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ka’ab bin Ajrah telah menemuiku, lalu dia berkata : Tiadakah sebaiknya aku memberi hadiah kepadamu dengan suatu hadiah ? Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah meninggalkan kami, lalu kami pun bertanya : Ya Rasulullah , kami sudah tahu, bagaimana kami menyampaikan salam kepadamu. Maka bagaimana pula kami menyampaikan shalawat kepadamu ? Beliau menjawab : Katakanlah oleh kalian : Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dari Anas bin Malik r.a. , dia berkata :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Nabi s.a.w. telah bersabda kepada Abu Thalhah : Carikanlah untuk kami seorang pembantu dari para pembantu kalian agar dia menjadi pembantuku. Maka Abu Thalhah pun membawaku pergi dan beliau mendapatkanku berada di belakangnya.Kemudian (sejak saat itu ) aku pun menjadi pelayan Rasulullah s.a.w. yang selalu menyertai ke mana pun beliau pergi. Aku sering mendengar beliau membaca : Ya Allah , sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari bingung dan duka, dari lemah dan malas, dari kikir dan pengecut, dari lilitan utang dan dari tekanan orang-orang”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam sebuah hadits shohih di kemukakan : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Nabi s.a.w. dalam salah sebuah do’anya beliau mengucapkan : Ya Allah , jadikanlah di dalam hatiku cahaya, di dalam penglihatanku cahaya, di dalam pendengaranku cahaya, dari kananku cahaya, dari kiriku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, di depanku cahaya, di belakangku cahaya, dan jadikanlah cahaya menyelimuti ku”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam sebuah hadits lain dikisahkan sebuah peristiwa yang dilalui Rasulullah s.a.w. , yakni ketika beliau kembali pulang dari Thaif sesudah kabilah Tsaqif menolak kehadirannya dengan sangat biadab. Ketika itu beliau sedang berteduh untuk istirahat di bawah pohon anggur sementara kedua anak Rabi’ah memandangnya dan menyaksikannya bahwa beliau sangat sedih. Sesudah beliau agak merasa tenang, lalu beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dengan sikap sangat sedih dan pilu seraya mengadu :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku dan sedikitnya daya-upayaku serta ketidak-berdayaanku di mata manusia. Ya Allah, Yang Maha Pengasih di antara semua yang mengasih, Engkau adalah Tuhan pemelihara orang -orang tertindas dan Engkau adalah Tuhan pemelihara daku. Kepada sipakah aku ini akan Engkau serahkan ? Ketempat jauhkah Engkau akan membuangku? Atau kepada musuh Engkau akan menyerahkan urusanku ini ? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, maka aku pun tidak peduli. Tetapi perlindungan dari sisi-Mu itulah yang lebih melapangkan dadaku. Aku berlindung di balik sinar wajah-Mu yang menyinari segala tempat yang gelap dan yang membuat baik segala urusan dunia-akhirat dari turunnya murka-Mu kepadaku atau turunnya marah-Mu kepadaku. Kepada-Mu sajalah aku mengadukan keberadaanku, sampai Engkau pun ridha kepadaku.</span></i><span style="font-family: Arial;"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tidak ada daya-upaya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan-Mu”.<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Disunatkan mengangkat kedua tangan pada waktu berdo’a berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan Syarik, di mana keduanya mendengar dari Anas dari Nabi s.a.w. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Bahwasanya Nabi s.a.w. mengangkat kedua tangannya (saat beliau berdo’a) sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam hadits Usamah dikemukakan :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Aku telah menyertai Nabi s.a.w. di Arafah, maka beliau berdo’a sehingga ontanya miring karenanya, lalu tali kekangnya pun jatuh kemudian dambil oleh tangannya sambil tatap mengangkat tangannya yang lain”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Di antara do’a-do’a yang dipanjatkan oleh orang banyak, yaitu sebagai berikut : <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Ya Allah, limpahkanlah dunia (kekayaan duniawi) kepada kami dan janganlah Engkau menjadikannya fitnah bagi kami serta janganlah Engkau menjauhkannya dari kami sehingga kami Engkau jadikan merana karenanya. Ya Allah, jadikanlah kekayaan yang melimpah berada di tangan kami dan sedikit pun jangan Engkau jadikan kekayaan tersebut menguasai hati kami”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Sekalipun do’a ini bukan do’a yang bersumber dari Nabi s.a.w. , tetapi seseorang tidak mengapa berdo’a dengannya. Sebaiknya kita berdo’a dengan do’a-do’a yang bersumber dari Nabi s.a.w. Dalam Shahih Bukhari-Muslim dikemukakan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.aw. , beliau bersabda :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Kami berlindung kepada Allah dari kerasnya cobaan, dari dalamnya derita, dari buruknya qadha, dan dari kegembiraan musuh di atas derita kami”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial;">Dalam shohih Muslim dikemukakan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">“Sesungguhnya Nabi s.a.w. suka berdo’a dengan satu kata : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dari-Mu petunjuk, taqwa, pandai memelihara diri, dan kaya jiwa”.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">Wallahu ‘alam Bishshawab. <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: Arial;">Walhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamiin.</span></i><span style="font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div></div>andinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-16009289954680207682010-05-16T17:30:00.001+08:002010-05-16T17:58:06.987+08:00Demokrasi Sistem Kufur<div style="border: 1px solid #cccccc; height: 200px; overflow: auto; padding: 10px; width: 470px;"><div style="text-align: center;"><b>A B D U L Q A D I M Z A L L U M</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: center;"><b>DEMOKRASI :</b></div><div style="text-align: center;"><b>SISTEM KUFUR</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: center;"><b>HARAM </b></div><div style="text-align: center;"><b>Mengambilnya, </b></div><div style="text-align: center;"><b>Menerapkannya, </b></div><div style="text-align: center;"><b>dan</b></div><div style="text-align: center;"><b>Menyebarluaskannya</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: center;"><b>عبد القَديم زَلّوم</b></div><div style="text-align: center;"><b>الدّيمُقراطيةُ نظام كُفْرٍ</b></div><div style="text-align: center;"><b>يَحْرُمُ</b></div><div style="text-align: center;"><b>أخذها أو تطبيقهـا أو الدّعوة إليهـا</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: center;"><b>من مَنشورات حزب التحرير</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: center;"><b>ABDUL QADIM ZALLUM</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: center;"><b>Judul Asli : الديمقراطية نظام كفرٍ،</b></div><div style="text-align: center;"><b>يحرم أخذها أو تطبيقها أو الدعوة إليها</b></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">Pengarang : Abdul Qadim Zallum</div><div style="text-align: center;">Dikeluarkan dan disebarluaskan oleh HIZBUT TAHRIR</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">Penerjemah : Muhammad Shiddiq Al Jawi</div><div style="text-align: center;">Penyunting : A.R. Nasser </div><div style="text-align: center;">Penata Letak : Abu Azka</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">بِســمِ اللهِ الرَّحمَن الرَّحيم</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi yang telah dijajakan negara Barat kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya adalah sistem kufur. Ia tidak punya hubungan sama sekali dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar maupun rinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.</div><div style="text-align: justify;">Karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi.</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezhaliman dan penindasan para penguasa terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.</div><div style="text-align: justify;">Kelahiran demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa penguasa adalah Wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan membuat hukum dan menerapkannya. Dengan kata lain, penguasa dianggap memiliki kewenangan memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuat penguasa itu sendiri, karena mereka telah mengambil kekuasaannya dari Tuhan, bukan dari rakyat. Lantaran hal itu, mereka menzhalimi dan menguasai rakyat —sebagaimana pemilik budak menguasai budaknya— berdasarkan anggapan tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Lalu timbullah pergolakan antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Para filosof dan pemikir mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat —yaitu sistem demokrasi— di mana rakyat menjadi sumber kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya dari rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan. Rakyat dikatakan memiliki kehendaknya, melaksanakan sendiri kehendaknya itu, dan menjalankannya sesuai sesuai keinginannya. Tidak ada satu kekuasaan pun yang menguasai rakyat, karena rakyat ibarat pemilik budak, yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan, serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak pula mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat —karena posisinya sebagai wakil rakyat— dengan peraturan yang dibuat oleh rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Karena itu, sumber kemunculan sistem demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi merupakan lafal dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan, yang berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan menjalankan kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan siapapun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan undang-undang sendiri —karena mereka adalah pemilik kedaulatan— melalui para wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat, melalui para penguasa dan hakim yang mereka pilih dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat —sebagaimana individu lainnya— berhak menyelenggarakan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang.</div><div style="text-align: justify;">Menurut konsep dasar demokrasi —yaitu peme-rintahan yang diatur sendiri oleh rakyat— seluruh rakyat harus berkumpul di suatu tempat umum, lalu membuat peraturan dan undang-undang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta memberi keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.</div><div style="text-align: justify;">Namun karena tidak akan mungkin mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat agar seluruhnya menjadi sebuah lembaga legislatif, maka rakyat kemudian memilih para wakilnya untuk menjadi lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan Dewan Perwakilan, yang dalam sistem demokrasi dikatakan mewakili kehendak umum rakyat dan merupakan penjelmaan politis dari kehendak umum rakyat. Dewan ini kemudian memilih pemerintah dan kepala negara —yang akan menjadi penguasa dan wakil rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala negara tersebut mengambil kekuasaan dari rakyat yang telah memilihnya, untuk memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Dengan demikian, rakyatlah yang memiliki kekuasaan secara mutlak, yang berhak menetapkan undang-undang dan memilih penguasa yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Kemudian, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna —baik dalam pembuatan undang-undang dan peraturan maupun dalam pemilihan penguasa— tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi prinsip yang harus diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian rakyat akan dapat mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.</div><div style="text-align: justify;">Kebebasan individu ini nampak dalam empat macam kebebasan berikut ini :</div><div style="text-align: justify;">1. Kebebasan Beragama. </div><div style="text-align: justify;">2. Kebebasan Berpendapat.</div><div style="text-align: justify;">3. Kebebasan Kepemilikan.</div><div style="text-align: justify;">4. Kebebasan Bertingkah Laku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas ideologi Kapitalisme. Aqidah ini merupakan jalan tengah yang tidak tegas, yang lahir dari pergolakan antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para filosof dan pemikir. Saat itu para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama sebagai alat mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, serta alat untuk menghisap darah mereka. Ini disebabkan adanya suatu anggapan bahwa raja dan kaisar adalah wakil Tuhan di muka bumi. Para raja dan kaisar itu lalu memanfaatkan para rohaniwan sebagai tunggangan untuk menzhalimi rakyat, sehingga berkobarlah pergolakan sengit antara mereka dengan rakyatnya. </div><div style="text-align: justify;">Pada saat itulah para filosof dan pemikir bangkit. Sebagian di antara mereka ada yang mengingkari keberadaan agama secara mutlak, dan ada pula yang mengakui keberadaan agama tetapi menyerukan pemisahan agama dari kehidupan, yang kemudian melahirkan pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.</div><div style="text-align: justify;">Pergolakan ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Ide ini merupakan aqidah yang menjadi asas ideologi Kapitalisme dan menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) bagi ideologi tersebut, yang mendasari seluruh bangunan pemikirannya, menentukan orientasi pemikiran dan pandangan hidupnya, sekaligus menjadi sumber pemecahan bagi seluruh problem kehidupan. Maka aqidah ini merupakan pengarahan pemikiran (Qiyadah Fikriyah) yang diemban oleh Barat dan selalu diserukannya ke seluruh penjuru dunia.</div><div style="text-align: justify;">Jelaslah bahwa aqidah tersebut telah menjauhkan agama dan gereja dari kehidupan bernegara, yang selanjutnya menjauhkan agama dari pembuatan peraturan dan undang-undang, pengangkatan penguasa dan pemberian kekuasaan kepada penguasa. Oleh karena itu, rakyat harus memilih peraturan hidupnya sendiri, membuat peraturan dan undang-undang, dan mengangkat penguasa yang akan memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang tersebut, serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum mayoritas rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Dari sinilah sistem demokrasi lahir. Jadi, ide pemisahan agama dari kehidupan adalah aqidah yang telah melahirkan demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang mendasari seluruh ide-ide demokrasi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi berlandaskan dua ide :</div><div style="text-align: justify;">1. Kedaulatan di tangan rakyat.</div><div style="text-align: justify;">2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.</div><div style="text-align: justify;">Kedua ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka melawan para kaisar dan raja, untuk menghapuskan ide Hak Ketuhanan (Divine Rights) yang menguasai Eropa waktu itu. Atas dasar ide itu, para raja menganggap bahwa mereka memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat dan hanya merekalah yang berhak membuat peraturan dan menyelenggarakan pemerintahan serta peradilan. Raja adalah negara. </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat berkedudukaan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat dan kehendak, melainkan hanya berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa dan melaksanakan perintah.</div><div style="text-align: justify;">Lalu disebarkanlah dua ide landasan demokrasi tersebut untuk menghancurkan ide Hak Ketuhanan secara menyeluruh, dan untuk memberikan hak pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa kepada rakyat. Dua ide tersebut didasarkan pada anggapan bahwa rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan budak yang dikuasai tuannya. Jadi rakyat ibarat tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat harus memiliki kehendaknya dan melaksanakannya sendiri. Jika tidak demikian, berarti rakyat adalah budak, sebab perbudakan artinya ialah kehendak rakyat dijalankan oleh orang lain. Maka apabila rakyat tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti rakyat tetap menjadi budak.</div><div style="text-align: justify;">Maka untuk membebaskan rakyat dari perbudakan ini, harus dianggap bahwa rakyat saja yang berhak menjalankan kehendaknya dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya, atau menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya. Sebab, rakyat adalah pemilik kedaulatan yang mutlak. Rakyat harus dianggap pula berhak melaksanakan peraturan yang ditetapkannya, serta memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan yudikatif) yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang dikehendaki rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Dengan berhasilnya revolusi melawan para kaisar dan raja serta robohnya ide Hak Ketuhanan, maka kedua ide landasan demokrasi tersebut —kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sebagai sumber kekuasaan— dapat diterapkan dan dilaksanakan. Dua ide inilah yang menjadi asas sistem demokrasi. </div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian, rakyat bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, dan bertindak sebagai Munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan peraturan dan undang-undang, pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh dewan, lembaga, dan organisasi lainnya, ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Pemilihan penguasa oleh rakyat baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas pemilih dari rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu, suara bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas menurut demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah penjelasan ringkas mengenai demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.</div><div style="text-align: justify;">Dari penjelasan ringkas tersebut, nampak jelaslah poin-poin berikut ini :</div><div style="text-align: justify;">1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan agama mana pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.</div><div style="text-align: justify;">2. Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.</div><div style="text-align: justify;">3. Demokrasi berlandaskan dua ide : </div><div style="text-align: justify;">a. Kedaulatan di tangan rakyat.</div><div style="text-align: justify;">b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.</div><div style="text-align: justify;">4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.</div><div style="text-align: justify;">5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu :</div><div style="text-align: justify;">a. Kebebasan Beragama (freedom of religion)</div><div style="text-align: justify;">b. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)</div><div style="text-align: justify;">c. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)</div><div style="text-align: justify;">d. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi harus mewujudkan kebebasan tersebut bagi setiap individu rakyat, agar rakyat dapat melaksanakan kedaulatanya dan menjalankannya sendiri. Juga agar dapat melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga-lembaga perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.</div><div style="text-align: justify;">Dengan memperhatikan poin 1 di atas, sebenarnya sudah jelas bahwa demokrasi adalah sistem kufur, tidak berasal dari Islam, dan tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam.</div><div style="text-align: justify;">Namun sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan demokrasi dengan Islam serta hukum syara' dalam pengambilannya, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu, bahwa demokrasi itu sendiri sebenarnya belum pernah diterapkan di negara-negara asal demokrasi, dan bahwa praktek demokrasi itu sesungguhnya didasarkan pada kedustaan dan penyesatan. Kami ingin menjelaskan pula tentang kerusakan dan kebusukan demokrasi, serta berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat penerapan demokrasi, termasuk sejauh mana kebobrokan masyarakat yang menerapkan demokrasi.</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi dalam maknanya yang asli, adalah ide khayal yang tidak mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum dan tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun. Sebab, berkumpulnya seluruh rakyat di satu tempat secara terus menerus untuk memberikan pertimbangan dalam berbagai urusan, adalah hal yang mustahil. Demikian pula keharusan atas seluruh rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya, juga hal yang mustahil.</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu, para penggagas demokrasi lalu mengarang suatu manipulasi terhadap ide demokrasi dan mencoba menakwilkannya, serta mengada-adakan apa yang disebut dengan "Kepala Negara", "Pemerintah" dan "Dewan Perwakilan". </div><div style="text-align: justify;">Namun meskipun demikian, pengertian demokrasi yang telah ditakwilkan ini pun toh tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak pernah pula terwujud dalam kenyataan. </div><div style="text-align: justify;">Klaim bahwa kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; bahwa dewan perwakilan adalah penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan bahwa dewan tersebut mewakili mayoritas rakyat, semuanya adalah klaim yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. </div><div style="text-align: justify;">Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat —bukan mayoritasnya— mengingat kedudukan seorang anggota di parlemen itu sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Karena itu suara para pemilih di suatu daerah, harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih suara mayoritas para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut. Konsekuensinya ialah para wakil yang menang, sebenarnya hanya mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka mereka menjadi orang-orang yang mendapat kepercayaan dari minoritas rakyat dan menjadi wakil mereka, bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat dan tidak pula menjadi wakil mereka.</div><div style="text-align: justify;">Demikian pula kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung maupun oleh para anggota parlemen, sebenarnya juga tidak dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat, tetapi berdasarkan minoritas suara rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota parlemen tersebut di atas.</div><div style="text-align: justify;">Lagi pula, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara asal demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis —yaitu para konglomerat dan orang-orang kaya— dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi ini dikarenakan para kapitalis raksasa itulah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan, yang akan merealisasikan kepentingan para kapitalis itu. Kaum kapitalis tersebut telah membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen, sehingga mereka memiliki pengaruh yang kuat atas presiden dan anggota parlemen. Fakta ini sudah terkenal di Amerika. </div><div style="text-align: justify;">Sementara di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari partai Konservatif. Partai Konservatif ini juga mewakili para kapitalis raksasa, yaitu para konglomerat, para pengusaha dan pemilik tanah, serta golongan bangsawan yang aristokratis. Partai Buruh tidak dapat menduduki pemerintahan, kecuali terdapat kondisi politis yang mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan. Oleh karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili kehendak rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan fakta ini, maka pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri demokrasi adalah wakil dari pendapat mayoritas, merupakan perkataan dusta dan menyesatkan. Demikian pula pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan mengambil kekuasaan mereka dari rakyat, juga merupakan dusta yang menyesatkan!</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam parlemen-parlemen tersebut, serta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara-negara tersebut, diputuskan dengan pertimbangan: bahwa kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Kemudian pernyataan bahwa penguasa/presiden bertanggung jawab kepada parlemen yang merupakan penjelmaan kehendak umum rakyat; dan bahwa keputusan-keputusan yang penting tidak dapat diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen, tidaklah sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden (PM Inggris), misalnya, telah mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu baik kepada parlemen maupun kepada para menteri yang memiliki andil dalam pemerintahannya. Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. John Foster Dulles pada saat Perang Suez telah diminta oleh Kongres untuk menyerahkan laporan mengenai Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan pembiayaannya. Namun dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan tersebut kepada Kongres. Sementara itu Charles de Gaulle telah mengambil keputusan-keputusan tanpa diketahui para menterinya. Raja Hussein pun telah mengambil keputusan-keputusan yang penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para menteri atau anggota parlemen.</div><div style="text-align: justify;">Oleh karenanya, pernyataan bahwa parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi telah mewakili pendapat mayoritas, dan bahwa para penguasa dipilih berdasarkan suara mayoritas serta menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang sebenarnya. Perkataan itu dusta dan menyesatkan!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penjelasan di atas berkenaan dengan kenyataan di negeri-negeri asal usul demokrasi. Adapun parlemen-parlemen di Dunia Islam, keadaannya lebih buruk lagi. Parlemen-parlemen tersebut tak lebih dari sekedar istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada satu parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang penguasanya, atau menentang sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania misalnya —yang dipilih dengan slogan "Mengembalikan Demokrasi dan Mewujudkan Kebebasan"— ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein, atau mengkritik rezim pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu bahwa penyebab krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tak lain adalah kebobrokan rezim keluarga kerajaan yang telah mencuri harta kekayaan negara. </div><div style="text-align: justify;">Kendatipun demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani mengkritik rezim tersebut. Mereka hanya berani mengkritik Zaid Rifa'i dan beberapa menteri. Padahal mereka tahu bahwa Zaid Rifa'i dan para menteri itu hanyalah pegawai bawahan, yang tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa mendapat ijin dan restu dari raja.</div><div style="text-align: justify;">Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, undang-undang yang ada umumnya justru dibuat oleh pemerintah, dalam bentuk rancangan undang-undang. Kemudian rancangan undang-undang itu dikirim oleh pemerintah ke parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi khusus yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan kemudian menyetujuinya. Padahal faktanya banyak anggota parlemen yang tidak memahami isi undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan dalam undang-undang tersebut bukan bidang keahlian mereka.</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu, pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, dan bahwa kehendak umum itu mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Cacat yang menonjol dalam sistem demokrasi —yang berkaitan dengan pemerintahan dan kabinet— antara lain ialah bila di dalam suatu negeri demokrasi tidak terdapat partai-partai politik besar —yang dapat mencapai mayoritas mutlak di parlemen dan menyusun kabinetnya sendiri— maka pemerintah negeri tersebut akan selalu tidak stabil dan kabinetnya akan terus digoncang dengan tekanan krisis-krisis politik yang silih berganti. Hal ini terjadi karena pemerintah negeri tersebut sulit mendapatkan kepercayaan mayoritas parlemennya, sehingga kondisi ini akan memaksa pemerintah untuk meletakkan jabatannya. Kadang-kadang presiden selama berbulan-bulan tak mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga pemerintah menjadi lumpuh atau nyaris tak berfungsi. Kadang-kadang pula presiden terpaksa membubarkan parlemen dan menyelengggarakan pemilu yang baru, dengan tujuan mengubah perimbangan kekuatan politik agar dia dapat menyusun kabinetnya yang baru.</div><div style="text-align: justify;">Krisis-krisis tersebut terjadi berulang kali sehingga pemerintah selalu tidak stabil dan aktivitas politiknya pun terus digoncang dan nyaris tak terurus. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, dan negeri-negeri demokrasi yang lain, yang memiliki banyak partai politik sementara tidak ada satu partai politik besar yang mampu mendapatkan mayoritas mutlak. </div><div style="text-align: justify;">Karena kondisinya seperti itu, maka tawar menawar selalu terjadi di antara partai-partai tersebut, sehingga terkadang partai-partai kecil dapat mendikte partai-partai lain —yang mengajak berkoalisi untuk membentuk kabinet— dengan cara mengajukan syarat-syarat yang sulit sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partai-partai kecil —yang hanya mewakili minoritas rakyat itu— dapat mengendalikan partai lain dan mendikte kegiatan politik negeri tersebut termasuk penetapan kebijakan-kebijakan kabinetnya.</div><div style="text-align: justify;">Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal, serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang!</div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya ide kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, telah mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka ini jelas membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta bendanya, memonopoli kekayaan alamnya, serta menghisap darah bangsa-bangsa tersebut dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan.</div><div style="text-align: justify;">Keserakahan dan kerakusan yang luar biasa dari negara-negara kapitalis itu, kekosongan jiwa mereka dari nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan, serta persaingan di antara mereka untuk mencari harta yang haram; telah membuat darah bangsa-bangsa terjajah menjadi barang dagangan. Faktor-faktor tersebut juga telah mengakibatkan berkobarnya fitnah dan peperangan di antara bangsa-bangsa terjajah, sehingga negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan produk-produk industrinya dan dapat mengembangkan industri-industri militernya yang menghasilkan keuntungan besar.</div><div style="text-align: justify;">Sungguh betapa banyak hal yang menggelikan sekaligus memuakkan, yang selalu menjadi bahan bualan negara-negara demokrasi penjajah yang tidak tahu malu itu. Amerika, Inggris, dan Perancis, misalnya, selalu saja menggembar-gemborkan nilai-nilai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) di mana-mana. Padahal pada waktu yang sama mereka telah menginjak-injak seluruh nilai kemanusiaan dan akhlak, mencampakkan seluruh Hak-Hak Asasi Manusia, dan menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia. Krisis-krisis di Palestina, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam (Afrika Tengah), dan Afrika Selatan, adalah bukti paling nyata yang akan menampar wajah mereka dan akan membeberkan sifat mereka yang sangat pendusta dan tidak tahu malu itu!</div><div style="text-align: justify;">Adapun ide kebebasan bertingkah laku, sesung-guhnya telah memerosotkan martabat berbagai masyarakat yang mempraktekkan demokrasi sampai pada derajat masyarakat binatang yang sangat rendah. Ide itu juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya hidup serba-boleh (permissiveness) yang najis, yang bahkan tidak dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Maha Benar Allah SWT yang berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَرَأَيْتَ مَنِ اتَخَذَ إِلـهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكيْلاً </div><div style="text-align: justify;">أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَو يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إلاَّ كَالأَنْعَام بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً </div><div style="text-align: justify;">"Terangkanlah kepada-Ku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)."</div><div style="text-align: justify;">(Al-Furqaan 43-44)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam masyarakat demokrasi ini, hubungan seksual menjadi aktivitas yang sah-sah saja —seperti halnya minum air— karena telah disahkan oleh undang-undang yang ditetapkan parlemen negeri-negeri tersebut dan direstui oleh para tokoh gerejanya. Peraturan tersebut membolehkan hubungan seksual dan pergaulan lelaki-perempuan dengan sebebas-bebasnya bila masing-masing telah berumur 18 tahun. Negara dan orang tua tidak berwenang sedikit pun untuk mencegah segala perilaku seksual tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Undang-undang itu ternyata tidak sekedar membenarkan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi lebih dari itu telah membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan beberapa negeri demokrasi telah mengesahkan pernikahan antara dua orang yang berkelainan seksual, yakni pria dibolehkan menikahi sesamanya, dan wanita dibolehkan menikahi sesamanya pula.</div><div style="text-align: justify;">Karena itu di antara fenomena yang dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat demokrasi, ialah Anda akan menyaksikan —di jalan-jalan, taman-taman, bus-bus, dan di wagon-wagon kereta api— para pemuda dan pemudi saling berciuman, berangkulan, berpelukan, serta saling mengisap bibir dan bercumbu. Semua ini mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun karena perilaku semacam itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar saja.</div><div style="text-align: justify;">Begitu pula sudah dianggap biasa kalau para wanita Barat menunggu matahari terbit pada musim panas dengan cara berbaring di taman-taman dengan tubuh telanjang —persis seperti keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu mereka— tanpa penutup kecuali secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling vital. Juga sudah dianggap biasa para wanita di sana pada musim panas berjalan-jalan dengan tubuh nyaris bugil dan tidak menutupi tubuh mereka, kecuali hanya sekedarnya saja.</div><div style="text-align: justify;">Berbagai perilaku seksual yang menyimpang dan abnormal telah memenuhi masyarakat demokrasi yang bejat ini. Perilaku homoseksual antar lelaki, lesbianisme di kalangan wanita, dan pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah banyak terjadi. Juga banyak terjadi perilaku seksual kolektif (orgy), di mana beberapa pria dan wanita melakukan hubungan seksual bersama-sama. Padahal perilaku seperti ini bahkan tak akan dijumpai di dalam kandang-kandang binatang ternak sekalipun.</div><div style="text-align: justify;">Sensus sebuah koran Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 25 juta pelaku seksual yang menyimpang di Amerika Serikat telah menuntut pengesahan perkawinan di antara mereka dan menuntut hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal. Sebuah koran lain juga mempublikasikan data, bahwa satu juta orang di Amerika Serikat telah melakukan hubungan seksual dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak perempuan, maupun saudara perempuan mereka.</div><div style="text-align: justify;">Perilaku serba boleh gaya binatang inilah yang telah menyebarluaskan berbagai penyakit kelamin —yang paling mematikan adalah AIDS— dan juga telah menghasilkan banyak anak zina, sampai-sampai sebuah koran menyebutkan bahwa 75 % orang Inggris adalah anak zina.</div><div style="text-align: justify;">Dalam masyarakat demokrasi, institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan. Tak ada lagi yang namanya rasa kasih sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara lelaki, dan saudara perempuan. Karenanya, sudah merupakan pemandangan biasa, jika terdapat puluhan bahkan ratusan pria dan wanita tua bangka yang berjalan-jalan di taman hanya bertemankan anjing-anjing. Hewan inilah yang menemani kaum lanjut usia itu di rumah, di meja makan, dan bahkan di tempat tidur mereka! Anjing-anjing itu menjadi sahabat dalam kesendirian mereka, sebab masing-masing memang hanya hidup sebatang kara. Tak ada sahabat lagi selain anjing.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Itulah beberapa contoh kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai demokrasi, khususnya ide kebebasan individu yang selalu mereka dengung-dengungkan itu. Itu pula salah satu bentuk dan penampilan peradaban mereka yang senantiasa mereka bangga-banggakan, mereka gembar-gemborkan, dan mereka sebarluaskan ke seluruh pelosok dunia. Tujuannya tak lain agar seluruh dunia ikut terjerumus ke dalam peradaban mereka yang sangat buruk itu. Kebejatan-kebejatan tersebut tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali menunjukkan kerusakan, keburukan, dan kebusukan demokrasi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Beberapa kerusakan dan keburukan demokrasi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :</div><div style="text-align: justify;">1. Masyarakat-masyarakat demokrasi Barat telah bejat sedemikian rupa, hingga terpesosok ke derajat binatang yang kotor, yang bahkan tidak pernah ada dalam komunitas binatang ternak. Hal ini akibat adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide kebebasan bertingkah laku.</div><div style="text-align: justify;">2. Penjajahan Barat yang demokratis itu telah nyata-nyata menimbulkan berbagai krisis, bencana, dan penghisapan bangsa-bangsa yang terjajah dan terbelakang; dengan cara mencuri sumber daya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk, dan menistakan rakyat-rakyatnya, serta menjadikan negeri-negeri mereka sebagai pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.</div><div style="text-align: justify;">3. Demokrasi dalam arti yang sebenaranya tidak mungkin diterapkan. Bahkan dalam pengertiannya yang baru, sesudah dita'wilkan, tetap tidak sesuai dengan fakta dan tidak akan terwujud dalam kenyataan.</div><div style="text-align: justify;">4. Kedustaan dan kebohongan para penganut demokrasi telah nyata. Mereka mengklaim bahwa parlemen adalah wakil dari kehendak umum masyarakat, merupakan perwujudan politis kehendak umum mayoritas rakyat, dan mewakili pendapat mayoritas. Nyata pula kedustaan mereka yang mengklaim bahwa hukum-hukum yang dibuat parlemen ditetapkan berdasarkan mayoritas suara wakil rakyat yang mengekspresikan kehendak mayoritas rakyat. Begitu pula nyata kedustaan mereka yang mengklaim bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasaannya dari rakyat.</div><div style="text-align: justify;">5. Cacat dalam sistem demokrasi telah jelas, khususnya aspek yang berhubungan dengan kekuasaan dan para penguasa jika tidak terdapat partai-partai besar di suatu negeri yang akan menjadi golongan mayoritas di dalam dewan perwakilan. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ya, meskipun semua keburukan tersebut telah terjadi, namun Barat yang kafir ternyata telah mampu memasarkan ide-ide demokrasi yang rusak itu di negeri-negeri Islam!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun bagaimana Barat yang kafir itu dapat berhasil memasarkan ide-ide demokrasi yang kufur —yang tidak berhubungan sama sekali dengan hukum-hukum Islam itu— di negeri-negeri Islam? </div><div style="text-align: justify;">Jawabnya adalah bahwa keberhasilan Barat dalam hal ini disebabkan negara-negara Eropa yang kafir dan sangat dengki dan dendam terhadap Islam dan kaum muslimin itu, dalam hati mereka terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan kaum muslimin. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">قَدْ بَدَتِ البَغْضَـآءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَ مَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ </div><div style="text-align: justify;">“…telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (Ali ‘Imraan 118)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mereka telah memahami bahwa rahasia kekuatan kaum muslimin terletak pada ajaran Islam itu sendiri. Sebab Aqidah Islamiyah adalah sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam. Maka setelah itu, mereka pun menyusun strategi jahannam untuk memerangi Dunia Islam, dengan jalan melancarkan serangan misionaris (kristenisasi) dan serangan kebudayaan (berupa westernisasi).</div><div style="text-align: justify;">Serangan kebudayaan (westernisasi) ini ternyata telah mengusung kebudayaan dan ide-ide barat —termasuk demokrasi— serta peradaban dan pandangan hidup Barat ke Dunia Islam. Negara-negara Eropa itu segera menyerukan ide-ide tersebut kepada kaum muslimin, dengan maksud agar kaum muslimin menjadikannya sebagai asas cara berpikir dan pandangan hidup mereka, sehingga pada gilirannya negara-negara Eropa itu akan dapat menyimpangkan kaum muslimin dari Islam serta menjauhkan mereka dari keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya. Tujuan akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah menghancurkan negara Islam —yakni negara Khilafah— dan kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian kaum muslimin selanjutnya akan mudah diarahkan untuk mengambil berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kafir, sebagai ganti dari Islam. Akhirnya Barat akan dapat menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan dapat mengencangkan cengkeramannya atas mereka. Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ لَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَ لاَ النَّصَارى حَتَّى تَتَّبعَ مِلَّتَهُم قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَ لَئِنِ اتَبَعْتَ أَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَذِي جَـآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لاَ نَصِيْرٍ</div><div style="text-align: justify;">"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan (bukti yang nyata) datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah 120)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Serangan misionaris dan kebudayaan ini semakin sengit ketika kemerosotan kaum muslimin di bidang pemikiran dan politik semakin parah pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh kedua abad XIX M). Pada saat itu telah terjadi perubahan dalam perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negara-negara Eropa. Yaitu setelah terjadinya revolusi pemikiran dan revolusi industri di Eropa dan terwujudnya berbagai kreativitas dan penemuan ilmiah, yang dengan cepat menghantarkan Eropa menuju ketinggian dan kemajuan. Sementara itu, Khilafah Utsmaniyah tetap jumud dan semakin lemah dari hari ke hari. Kondisi inilah yang akhirnya mengakibatkan banjirnya berbagai kebudayaan, ide, peradaban, dan peraturan Barat yang mengalir deras ke negeri-negeri Islam.</div><div style="text-align: justify;">Negara-negara Eropa dalam serangan misionaris dan kebudayaan yang ditujukan ke negeri-negeri Islam menggunakan cara merendahkan ajaran Islam dan menjelek-jelekkan hukum-hukumnya, menyebarkan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran ajaran Islam, membangkitkan kebencian kaum muslimin terhadap Islam, serta menyatakan bahwa Islamlah yang menjadi sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya, negara-negara Eropa mengagung-agungkan Barat dan peradabannya, membangga-banggakan ide dan sistem demokrasi, serta menggembar-gemborkan kehebatan peraturan dan undang-undang demokrasi itu.</div><div style="text-align: justify;">Selain itu, negara-negara Eropa juga menggunakan cara penyesatan. Yaitu menyebarkan sangkaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa peradaban Barat tidak bertentangan dengan peradaban Islam, dengan alasan bahwa peradaban Barat sebenarnya berasal dari Islam juga, dan bahwa peraturan dan undang-undang Barat sesungguhnya tidak menyalahi hukum-hukum Islam.</div><div style="text-align: justify;">Mereka juga melekatkan sifat Islam pada ide dan peraturan demokrasi, serta menyatakan bahwa demokrasi tidak menyalahi atau bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka katakan demokrasi itu berasal dari Islam itu sendiri, atau identik dengan musyawarah, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa. </div><div style="text-align: justify;">Propaganda mereka ini ternyata sangat mem-pengaruhi kaum muslimin sehingga akhirnya mereka dapat dikendalikan oleh ide-ide dan peradaban Barat.</div><div style="text-align: justify;">Propaganda tersebut juga berhasil mendorong kaum muslimin untuk mengambil beberapa peraturan dan undang-undang Barat pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Dan setelah negara khilafah hancur, kaum muslimin malahan mengambil sebagian besar peraturan dan undang-undang Barat. </div><div style="text-align: justify;">Propaganda Barat itu berhasil pula mempe-ngaruhi kaum terpelajar, para politikus, para pengem-ban Tsaqafah Islamiyah, sebagian pengemban dakwah Islam, dan mayoritas kaum muslimin.</div><div style="text-align: justify;">Mengenai kaum terpelajar, sesungguhnya sangat banyak dari mereka yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat —yang telah dijadikan asas pendidikan mereka— tatkala mereka mempelajari kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negeri-negeri Islam sendiri. Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negeri-negeri Islam setelah Perang Dunia I, telah disusun atas dasar falsafah dan pandangan hidup Barat. Kondisi ini menyebabkan banyak dari kaum terpelajar yang akhirnya menggemari, menggandrungi, dan bahkan mengagung-agungkan kebudayaan Barat. Sebaliknya mereka mengingkari Tsaqafah Islamiyah dan hukum-hukum Islam jika bertentangan dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang Barat. Mereka pun akhirnya membenci Islam sebagaimana halnya orang-orang kafir Eropa membenci Islam, serta sangat memusuhi kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam, sebagaimana halnya kelakuan orang-orang Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar ini akhirnya menjadi corong-corong propaganda bagi peradaban, ide, dan peraturan Barat, sekaligus menjadi alat penghancur dan penghina bagi peradaban, hukum, dan peraturan Islam. </div><div style="text-align: justify;">Mengenai para politikus, sesungguhnya mereka telah benar-benar mengikhlaskan dirinya untuk mengabdi kepada Barat dan peraturannya. Mengikatkan diri dengan Barat dan menjadikan Barat sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri sebagai penjaga berbagai undang-undang dan peraturan Barat. Bahkan dengan suka rela mereka mengangkat diri mereka sebagai budak-budak yang bertugas melestarikan kepentingan Barat dan menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat. </div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian mereka telah menyatakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan telah mengumumkan perang terhadap "Islam politik" beserta segenap pengemban dakwahnya yang ikhlas. Mereka mencurahkan segala potensi yang mereka miliki untuk menghalang-halangi berdirinya negara Khilafah dan kembalinya hukum yang diturunkan Allah ke tahta kekuasaan. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling dari kebenaran ?</div><div style="text-align: justify;">Adapun para pengemban Tsaqafah Islamiyah, sesungguhnya mereka tidak lagi memiliki kesadaran terhadap Islam dan hakikat/realitas hukum-hukum syara', serta tidak menyadari pula hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain itu, mereka juga tidak mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan pandangan hidup Barat dengan aqidah, hukum, peradaban, dan pandangan hidup Islam.</div><div style="text-align: justify;">Kondisi tersebut terjadi karena taraf pemikiran kaum muslimin telah merosot sehingga mereka sangat lemah dalam memahami Islam dan hukum-hukumnya, serta telah salah paham dalam memahami cara penerapan syari’at Islam di tengah masyarakat. </div><div style="text-align: justify;">Akibatnya, Islam lalu ditafsirkan dengan pengertian yang tidak sesuai dengan kandungan nash-nash syara'. Demikian juga hukum-hukum Islam ditakwilkan agar sesuai dengan kondisi yang ada, bukan sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum yang tidak ada dasarnya dari syara', atau dasarnya lemah, dengan hujah kaidah syar'iyah rumusan mereka yang sangat keliru :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ</div><div style="text-align: justify;">"Tidak diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena adanya perubahan zaman."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akhirnya Islam pun ditakwilkan banyak orang agar sesuai dengan setiap aliran, gagasan, dan ideologi, walaupun penakwilan mereka bertentangan dengan hukum-hukum dan pandangan hidup Islam. Mereka lalu mengatakan bahwa peradaban dan ide-ide Barat tidaklah bertentangan dengan Islam dan hukum-hukum Islam, karena semua itu justru diambil dari peradaban Islam. Mereka katakan pula bahwa sistem pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme juga tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam, padahal faktanya kedua sistem tersebut adalah sistem kufur. Mereka berkata pula bahwa ide demokrasi dan kebebasan individu itu berasal dari Islam, padahal kedua ide itu pada hakekatnya sangat bertentangan dengan Islam.</div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian, muncullah ketidakjelasan dalam benak mereka mengenai apa-apa yang boleh diambil kaum muslimin dari bangsa dan umat lain —seperti ilmu kedokteran, perikanan, matematika, kimia, pertanian, industri, peraturan lalu lintas, transportasi, dan perkara mubah lainnya yang tidak menyalahi Islam— dengan apa-apa yang tidak boleh mereka ambil, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara'.</div><div style="text-align: justify;">Hal-hal seperti ini tidak boleh diambil dari bangsa dan umat lain. Sebab, segala sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan hukum syara' tidak boleh diambil kecuali dari wahyu yang dibawa Rasulullah, yaitu Al-Kitab dan As-Sunah, serta dalil-dalil syara' yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunah, yaitu Qiyas dan Ijma' Sahabat.</div><div style="text-align: justify;">Ketidakjelasan dalam benak mereka inilah yang akhirnya menyebabkan Barat mampu menjajakan peradaban dan pandangan hidup mereka, ide demokrasi dan kapitalisme, serta ide kebebasan individu di negeri-negeri Islam. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebelum kami menjelaskan pertentangan demokrasi dengan Islam dan menerangkan hukum syara' dalam pengambilan demokrasi, kami ingin mengupas tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain. Serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin, sesuai dengan nash-nash dan hukum-hukum syara'. Penjelasan kami sebagai berikut : </div><div style="text-align: justify;">1. Sesungguhnya seluruh perbuatan manusia, dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum risalah beliau. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk kepada syara' dan terikat dengan hukum-hukum syara'. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ مَا آتَاكُمُ الرَسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا</div><div style="text-align: justify;">"Apa-apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka terimalah/laksankanlah, dan apa yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr 7)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham-mad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,..." (An-Nisaa' 65)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ مَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ</div><div style="text-align: justify;">"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuura 10)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ</div><div style="text-align: justify;">"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul(Nya) (Sunnahnya)." (An-Nisaa' 59)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bersabda Rasulullah SAW:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ</div><div style="text-align: justify;">"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ</div><div style="text-align: justify;">"Siapa saja yang mengada-adakan —dalam urusan (agama) kami ini— sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara' dan terikat dengannya adalah wajib. Baik yang berkaitan dengan perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Ia harus tahu apakah suatu perbuatan hukumnya wajib atau mandub sehingga dia dapat melakukannya; ataukah hukumnya haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya, ataukah mubah sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Atas dasar inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku kaidah bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah. </div><div style="text-align: justify;">Adapun benda-benda yang berhubungan dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Jadi hukum asal benda adalah mubah. Benda tidak diharamkan kecuali jika terdapat dalil syar'i yang menunjukkan keharamannya. </div><div style="text-align: justify;">Prinsip ini didasarkan pada nash-nash syara' yang telah membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua benda yang ada (di alam sekitarnya), sesuai nash-nash umum dalam masalah ini yang meliputi semua benda.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَ لَمْ تَرَوا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السّمَوَاتِ وَ مَا فِي الأَرضِ</div><div style="text-align: justify;">"Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi." (Luqman 20)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Arti menundukkan seluruh apa yang ada di langit dan bumi untuk manusia, adalah bahwasanya Allah SWT telah membolehkan semua yang ada di dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Allah SWT berfirman pula :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">هُوَ الّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا</div><div style="text-align: justify;">"Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian." (Al-Baqarah 29)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا النَّاس كُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا</div><div style="text-align: justify;">"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (tidak menjijikkan) dari apa yang terdapat di bumi." </div><div style="text-align: justify;">(Al Baqarah 168)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">هُوَ الَّذي جَعَلَ لَكُمْ الأَرضَ ذَلُولاً فَامْشُـوا</div><div style="text-align: justify;">فِي مَنَاكِبِهَـا وَ كُلُوا مِنْ رِزْقِهِ</div><div style="text-align: justify;">"Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya" (Al-Mulk 15)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah. Semua ayat yang telah membolehkan segala sesuatu itu bersifat umum dan keumumannya ini menunjukkan hukum bolehnya memanfaatkan segala sesuatu yang ada. Dengan kata lain, hukum bolehnya memanfaatkan semua benda telah ditunjukkan oleh khithab (seruan) Asy-Syari' (Allah SWT) yang bersifat umum. Maka jika suatu benda diharamkan, berarti harus ada nash syara' yang mengkhususkan keumuman nash tersebut, serta menunjukkan pengecualian benda tersebut dari hukum mubah yang bersifat umum. Misalnya firman Allah SWT :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الخِنْزِيرِ وَ مَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَ الْمُنْخَنِقَةُ وَ المَوْقُوذَةُ وَ المُتَرَدِّيَةُ وَ النَّطِيحَةُ وَ مَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاّ مَا ذَكَّيْتُم وَ مَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ .</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala..." (Al-Maaidah 3)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari dalil-dalil tersebut, maka hukum asal terhadap benda-benda yang digunakan manusia, adalah mubah.</div><div style="text-align: justify;">2. Hukum-hukum Syari'at Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, problem yang sedang terjadi, dan kejadian yang mungkin akan ada pada masa mendatang. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa depan, kecuali ada hukumnya dalam Syari'at Islam. Jadi, Syari'at Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدًى</div><div style="text-align: justify;">وَ رَحْمَةً وَ بُشْرَى لِلمُسْلِمِيْنَ</div><div style="text-align: justify;">"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan pemberi kabar gembira bagi orang-orang Islam." (An-Nahl 89)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">مَا فَرَّطْنَا فِيْ الكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ</div><div style="text-align: justify;">"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab (Al-Quran)." (Al-An'aam 38)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الإِسلاَمَ دِينًا</div><div style="text-align: justify;">"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (Al-Maaidah 3) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Walhasil, Syari'at Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia. Bagaimana pun juga perbuatan itu, Syari'at Islam pasti akan menetapkan dalil untuk suatu perbuatan melalui nash Al-Quran dan Al-Hadits, atau dengan menetapkan tanda (amaarah) dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang menunjukkan maksud dari tanda tersebut atau menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga hukum yang ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan tersebut. </div><div style="text-align: justify;">Jadi, secara syar'i tidak mungkin ada perbuatan manusia yang tidak dijelaskan oleh dalil, atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Ini berdasarkan keumuman firman Allah SWT:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ</div><div style="text-align: justify;">"untuk menjelaskan segala sesuatu" (An Nahl 89).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Juga berdasarkan nash yang tegas bahwa Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam ini (Al-Maaidah 3).</div><div style="text-align: justify;">3. Berdasarkan dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin —dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain— dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.</div><div style="text-align: justify;">Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/ bangunan yang bercorak kekotaan dan terlahir dari kemajuan sains dan teknologi, boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya.</div><div style="text-align: justify;">Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara' yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya.</div><div style="text-align: justify;">Dalil untuk ketentuan tersebut adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan bolehnya memanfaatkan seluruh benda-benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia. Juga berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ،</div><div style="text-align: justify;">وَ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku perintahkan kepada kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan agama kalian, maka laksanakanlah perintah itu. Tapi jika aku perintahkan kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan dunia kalian, maka ketahuilah aku ini hanyalah manusia biasa." (HR. Muslim). </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Juga berdasarkan hadits Nabi SAW tentang penyer-bukan korma sebagaimana sabdanya :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاكُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Juga berdasarkan tindakan Nabi SAW tatkala mengutus beberapa shahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata perang.</div><div style="text-align: justify;">Atas dasar inilah, maka setiap perkara yang tidak termasuk masalah aqidah atau hukum syara', boleh untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat dalil khusus yang mengharamkannya.</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan uraian di atas, kaum muslimin dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu yang ber-hubungan dengan kedokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika, pertanian, industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ilmu ekonomi —yang membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan sarana-sarana produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu ini bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk umat penganut Islam, kapitalisme atau sosialisme, dan semua ilmu tersebut boleh diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.</div><div style="text-align: justify;">Maka dari itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, tidak boleh diambil karena teori ini bertentangan dengan firman Allah SWT :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالفَخَّارِ</div><div style="text-align: justify;">"Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar." (Ar-Rahmaan 14)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ بَدَأَ خَلْقَ الإِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِيْنٍ</div><div style="text-align: justify;">"(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina (mani)." (As-Sajdah 7)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ مِنْ أَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ طُرَابٍ</div><div style="text-align: justify;">"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah." (Ar-Ruum 20)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebagaimana dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami sebutkan di atas, kaum muslimin dibolehkan pula mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti produk-produk industri, alat-alat, mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda yang bercorak kekotaan dan berhubungan dengan sivilisasi. Maka dari itu dibolehkan mengambil pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala jenis produknya. Dikecualikan di sini pabrik-pabrik yang memproduksi patung, minuman keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya. Produk-produk industri boleh diambil baik yang berupa benda kemiliteran maupun bukan, baik industri berat —seperti tank, pesawat tempur, peluru kendali, satelit, bom atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta api, kapal api— maupun industri ringan seperti industri konsumtif, senjata-senjata ringan, alat-alat laboratorium, alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian, furniture, karpet, dan barang-barang konsumtif.</div><div style="text-align: justify;">Semua yang telah disebutkan di atas boleh diambil sebab semuanya termasuk dalam kategori benda-benda yang mubah, dan dalam hal ini terdapat dalil umum yang menunjukkan ke-mubahannya. Tindakan mengambilnya adalah berstatus mengamal-kan hukum syara', yaitu mubah, dan juga dalam rangka mengikuti syari'at Rasulullah SAW sebab semua itu termasuk mubah, sedang mubah merupakan salah satu hukum taklif (legal capacity) yang lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.</div><div style="text-align: justify;">4. Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara', serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam, pan-dangan hidup Islam, dan hukum-hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara', dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari'at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma' Sahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Dalil syar'i untuk ketentuan di atas adalah sebagai berikut :</div><div style="text-align: justify;">a. Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا</div><div style="text-align: justify;">"Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr 7)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kata “مَا” (apa saja) dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum, yang berarti ayat itu mewajibkan kita mengambil semua hukum yang dibawa Nabi untuk kita, dan menjauhi semua yang dilarang beliau bagi kita. Mafhum mukhalafah (penentuan lawan hukum) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh mengambil hukum dari selain hukum yang dibawa Nabi untuk kita.</div><div style="text-align: justify;">b. Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) dan ulil amri (penguasa muslim yang menjalankan Syari'at Islam) di antara kamu." (An-Nisaa' 59)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mentaati Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan meng-ambil hukum-hukum syara' yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. </div><div style="text-align: justify;">c. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali (merujuk) kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ الخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ</div><div style="text-align: justify;">"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." </div><div style="text-align: justify;">(Al-Ahzab 36)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوه إلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمَ الآخِرِ</div><div style="text-align: justify;">"Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) ber-lainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir." </div><div style="text-align: justify;">(An-Nisaa' 59)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">d. Allah SWT telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah, dan mem-peringatkan beliau agar waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum Allah SWT. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الكِتَابِ وَ مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَ لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ </div><div style="text-align: justify;">مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ</div><div style="text-align: justify;">"Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai penghapus kitab-kitab tersebut; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al-Maaidah 48)</div><div style="text-align: justify;">e. Sesungguhnya Allah SWT telah melarang kaum muslimin untuk mengambil hukum dari selain Syari'at Islam. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ </div><div style="text-align: justify;">أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ</div><div style="text-align: justify;">"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 63)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أمِرُوا</div><div style="text-align: justify;">أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ</div><div style="text-align: justify;">"Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari (kufur terhadap) thaghut itu." (An-Nisaa' 60)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selain itu Rasulullah SAW telah bersabda :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">كُلُّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ</div><div style="text-align: justify;">"Setiap perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak."</div><div style="text-align: justify;">(HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nash-nash syara' di atas menunjukkan dengan jelas mengenai kewajiban untuk terikat dengan seluruh hukum yang dibawa Rasul SAW untuk kita. Maka kita tidak boleh menghalalkan sesuatu kecuali apa yang telah dihalalkan Allah, dan tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali apa yang telah diharamkan Allah. Begitu pula apa yang tidak dibawa Rasul untuk kita, kita tidak boleh mengambil-nya, dan apa yang tidak beliau haramkan atas kita, kita tidak boleh mengharamkannya.</div><div style="text-align: justify;">Jika kata “مَا” (apa saja) dalam firman-Nya :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ مَا آتَاكُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian." dan,</div><div style="text-align: justify;">وَ مَا نَهـَاكُمْ</div><div style="text-align: justify;">“dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">dikaitkan dengan firman Allah SWT :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ</div><div style="text-align: justify;">أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ</div><div style="text-align: justify;">"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 63) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Maka, akan nampak sangat jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa yang dibawa Rasul saja, dan bahwa mengambil (hukum) dari selain Rasul adalah dosa yang pelakunya akan mendapatkan azab yang pedih. Bahkan Allah SWT tidak mengakui keimanan dari orang yang berhakim kepada selain Rasul dalam perbuatan-perbuatannya. Allah SWT berfirman : </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hal ini menunjukkan secara tegas mengenai pembatasan berhakim hanya pada apa yang dibawa Rasul saja, apalagi Allah SWT telah memperingatkan Rasul-Nya untuk waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadanya. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ</div><div style="text-align: justify;">"Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu." (Al-Maaidah 49)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, Al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul, yakni hendak kepada hukum-hukum kufur. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشَيْطَانُ </div><div style="text-align: justify;">أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا</div><div style="text-align: justify;">"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (An-Nisaa' 60)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hal ini menunjukkan bahwa berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul adalah suatu kesesatan, sebab tindakan ini berarti berhakim kepada thaghut, yakni kekufuran. Padahal Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengingkari thaghut itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/ kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya. Sebab, peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan undang-undang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil, sebagaimana Umar bin Khaththab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi. </div><div style="text-align: justify;">Peradaban Barat berdiri di atas aqidah pemisahan agama dari kehidupan, serta pemisahan agama dari negara.</div><div style="text-align: justify;">Sementara peradaban Islam berlandaskan pada Aqidah Islamiyah, yang telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara'.</div><div style="text-align: justify;">Peradaban Barat berdiri di atas asas manfaat (oportunity), dan menjadikannya sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan. Dengan demikian, peradaban Barat adalah peradaban yang hanya mempertim-bangkan nilai manfaat saja, serta tidak memperhi-tungkan nilai apa pun selain nilai manfaat yang bersifat materialistik. Karena itu, dalam peradaban Barat tidak akan dijumpai nilai kerohanian, nilai akhlak, dan nilai kemanusiaan.</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu peradaban Islam berdiri di atas landasan rohani (spiritual), yakni iman kepada Allah, dan menjadikan prinsip halal-haram sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan, serta mengendalikan seluruh aktivitas dan nilai berdasarkan perintah dan larangan Allah.</div><div style="text-align: justify;">Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya.</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridla Allah SWT. Peradaban tersebut mengatur pemenuhan kebutuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum-hukum syara'.</div><div style="text-align: justify;">Atas dasar itulah, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem pemerintahan demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem kebebasan individu yang ada di negara-negara Barat. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank ribawi, dan sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebagaimana tidak boleh mengambil peradaban Barat beserta segenap ide dan peraturan yang terlahir darinya, maka kaum muslimin juga tidak boleh mengambil peradaban/kultur komunisme. Sebab, peradaban ini juga bertentangan dengan peradaban Islam secara menyeluruh.</div><div style="text-align: justify;">Peradaban komunisme berdiri di atas suatu aqidah yaitu bahwa tidak ada pencipta terhadap alam semesta ini, dan bahwa materilah yang menjadi asal usul segala benda. Seluruh benda di alam semesta ini dianggapnya berasal dari materi melalui jalan evolusi materi.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa Allah sajalah yang menjadi pencipta alam semesta ini, dan bahwa seluruh benda yang ada di alam semesta merupakan makhluk Allah SWT. Allah telah mengutus para nabi dan rasul dengan membawa agama-Nya kepada umat manusia dan mewajibkan mereka untuk mengikuti perintah dan larangan-Nya yang telah diturunkan kepada mereka. </div><div style="text-align: justify;">Peradaban komunisme menganggap bahwa peraturan hanya diambil dari alat-alat produksi. Masyarakat feodal menggunakan kapak sebagai alat produksinya, maka dari alat tersebut diambil peraturan feodalisme. Dan jika masyarakat itu berkembang menjadi masyarakat kapitalisme, maka mesin menjadi alat produksi, dan dari alat ini diambil peraturan kapitalisme. Jadi peraturan komunisme diambil dari evolusi materi.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan peradaban Islam, menganggap bahwa Allah SWT telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan dalam hidupnya, dan mengutus Sayyidina Muhammad SAW untuk membawa peraturan ini, dan Rasul telah menyampaikan peraturan tersebut kepada manusia, dan mewajibkan mereka untuk melaksanakannya. </div><div style="text-align: justify;">Peradaban komunisme memandang bahwa peraturan materi adalah tolok ukur dalam kehidupan. Dengan berkembangnya peraturan materi tersebut, maka berkembanglah tolok ukur dalam kehidupan.</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu peradaban Islam memandang halal-haram —yakni perintah dan larangan Allah— sebagai tolok ukur perbuatan dalam kehidupan. Yang halal dikerjakan, dan yang haram ditinggalkan. Dan bahwasanya hukum-hukum ini tidak akan berevolusi dan atau berubah. Prinsip halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan asas manfaat ataupun materialisme, malinkan ditetapkan atas dasar syara’ semata. Dari sinilah jelas terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara peradaban komunisme dan peradaban Islam. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban komunisme beserta segala ide dan peraturan yang berasal darinya.</div><div style="text-align: justify;">Karenanya, kaum muslimin tidak boleh mengambil ide evolusi materi, ide penghapusan kepe-milikan individu, penghapusan kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan penghapusan kepemilikan tanah bagi individu. Begitu pula kaum muslimin tidak boleh mengambil ide mempertuhankan manusia, ide menyembah manusia, dan seluruh ide atau peraturan dari peradaban yang atheistik ini. Sebab, semuanya adalah ide dan peraturan kufur yang bertentangan dengan Aqidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukum Islam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sekarang kami akan menjelaskan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.</div><div style="text-align: justify;">Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى</div><div style="text-align: justify;">"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (An-Najm 3-4)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (Al-Qadr 1)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT, atau syara', bukannya akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash yang berkenaan dengan hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنِ الحُكْمُ إلاَّ للهِ</div><div style="text-align: justify;">"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah."</div><div style="text-align: justify;">(Al-An'aam 57)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ اَلى اللهِ وَ الرَّسُولِ</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)."</div><div style="text-align: justify;">(An-Nisaa' 59)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ</div><div style="text-align: justify;">"Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuuraa 10)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen —yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama— dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan. </div><div style="text-align: justify;">Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.</div><div style="text-align: justify;">Aqidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah —yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah— dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.</div><div style="text-align: justify;">Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesung-guhnya terdapat dua ide yang pokok : Perta-ma, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan.</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri. </div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apa pun, menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidentil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.</div><div style="text-align: justify;">Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (animisme/paganisme), sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu. </div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengadopsian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk. </div><div style="text-align: justify;">Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam seluruh aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri'. Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ</div><div style="text-align: justify;">"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." </div><div style="text-align: justify;">(Al-An'aam 57)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشَيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا</div><div style="text-align: justify;">"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu." (An-Nisaa' 60)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berhakim kepada thaghut artinya berhakim kepada hukum yang tidak diturunkan Allah. Atau dengan kata lain, berhakim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.</div><div style="text-align: justify;">Dan Allah SWT berfirman :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ</div><div style="text-align: justify;">"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al-Maaidah 50)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hukum Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa Muhammad SAW dari Tuhannya. Yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia. Allah SWT berfirman juga :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ </div><div style="text-align: justify;">أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ</div><div style="text-align: justify;">"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 63).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud menyalahi perintah Rasul —sesuatu yang harus diwaspadai itu— adalah mengikuti hukum yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Rasululah SAW bersabda :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ</div><div style="text-align: justify;">"Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." </div><div style="text-align: justify;">(HR. Muslim) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud dengan kata "amruna" (perintah kami) dalam hadits di atas adalah Islam.</div><div style="text-align: justify;">Masih ada puluhan ayat dan hadits lain dengan pengertian yang qath'i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri', bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.</div><div style="text-align: justify;">Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya. </div><div style="text-align: justify;">Karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat. </div><div style="text-align: justify;">Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً</div><div style="text-align: justify;">"Dan siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai'at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah."(HR. Muslim) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:</div><div style="text-align: justify;">وَ مَنْ بَايعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعْهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ</div><div style="text-align: justify;">"Siapa saja yang membai'at seorang imam (khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya (bertekad janji), maka hendaklah dia mentaatinya sekuat kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggalllah batang lehernya." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ عَلَى السَّمْعِ وَ الطَاعَةِ فِي المَكرَهِ و المَنْشطِ</div><div style="text-align: justify;">"Kami telah membai'at Nabi SAW untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.</div><div style="text-align: justify;">Meskipun syara' telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat —yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai'at— akan tetapi syara' tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi. </div><div style="text-align: justify;">Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan maksiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً</div><div style="text-align: justify;">'Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah." </div><div style="text-align: justify;">Dari 'Auf bin Malik ra, dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :</div><div style="text-align: justify;">...وًشِرَارُ أئِمَّتِكُمْ الذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُونَكُمْ وَ تَلْعَنُوْنَكُمْ وَ يَلْعَنُونَكُمْ، قَال : قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ: أَفَلاَ نُنَابِذَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ ؟ قَال : لاَ ، مَا أقَامُوا فِيكُمْ الصَلاَةَ ، ألاَ مَنْ وَليَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرآهُ يَأتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَليَكْرَههُ مَا يَأتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ </div><div style="text-align: justify;">وَ لاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ</div><div style="text-align: justify;">'...sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci sedang mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka sedang mereka pun melaknat kalian. 'Auf bin Malik lalu berkata,"Kami lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu ?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, selama mereka masih mendirikan sholat di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang —yang menjadi rakyat seorang penguasa— menyaksikan penguasa itu mengerjakan perbuatan ma'shiat. Maka hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud dengan "mendirikan shalat" dalam hadits di atas ialah "melaksanakan hukum-hukum Islam". Karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya.</div><div style="text-align: justify;">Demikian pula umat tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali jika dia menampakkan kekufuran yang terang-terangan, sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit mengenai bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">...فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَمْع وَ الطَاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ يُسْرِنَا وَ أَثَرَةٍ عَلَيْنَا ، وَ أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إلاّ أَنْ تَرَاوْ كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرهَانٌ</div><div style="text-align: justify;">"...Maka kami membai'at beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa-apa yang harus kami lakukan, yakni bahwa kami membai'at beliau untuk mendengar dan mentaatinya, dalam apa yang kami sukai dan apa yang kami benci, dalam apa yang sukar dan yang mudah bagi kami, serta untuk tidak lebih mengutamakan diri (daripada orang lain). Dan kami juga tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)', jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.</div><div style="text-align: justify;">Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum mayoritas. Karenanya pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota berbagai lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan, pengambilan keputusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan organisasi, seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat mayoritas.</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa maupun bukan. Sebab pendapat mayoritas merupakan sesuatu yang mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak mempunyai pilihan kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan dalam Islam, permasalahannya sangatlah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum, kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara'. Sebab, yang menjadi Musyarri' hanyalah Allah SWT, bukan umat. </div><div style="text-align: justify;">Adapun pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara' yang menjadi keharusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan roda pemerintahan, adalah khalifah saja. Khalifah mengambil hukum syara' dari nash-nash syara' dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Dalam hal ini khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Para Khulafa' Rasyidin dahulu telah meminta pendapat para shahabat ketika mereka hendak mengadopsi suatu hukum syara', misalnya Umar bin Khaththab pernah meminta pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi hukum syara' mengenai masalah tanah-tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak. Umar bin Khaththab telah meminta pendapat kaum muslimin dalam masalah tersebut. </div><div style="text-align: justify;">Jika khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Yang demikian ini karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selain itu para shahabat yang mulia telah bersepakat bahwa seorang Imam (Khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukum-hukum syara' tertentu, serta berhak memerintahkan rakyat untuk mengamalkannya. Kaum muslimin wajib mentaatinya dan meninggalkan pendapat mereka. Dari adanya Ijma' Shahabat inilah di-istimbath (diambil dan ditetapkan) kaidah-kaidah syara' yang terkenal :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ</div><div style="text-align: justify;">"Perintah (keputusan) Imam (khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا</div><div style="text-align: justify;">"Perintah (keputusan) Imam wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ</div><div style="text-align: justify;">"Penguasa (khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru, sesuai perkembangan problem yang terjadi."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, sebagaimana firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَ أولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam.</div><div style="text-align: justify;">Adapun masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fiqih dikem-balikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya.</div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan pendapat yang tepat diambil dari pihak yang berkompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.</div><div style="text-align: justify;">Yang patut dicatat, bahwa para anggota majlis perwakilan rakyat (parlemen) baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu memahami setiap permasalahan secara tepat. Sehingga suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majlis hanya berupa formalitas belaka, tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan yang tepat. </div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat.</div><div style="text-align: justify;">Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar —yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis— yang meng-usulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Adapun masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal (praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya, pen.), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.</div><div style="text-align: justify;">Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat —khususnya para pemudanya— berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak.</div><div style="text-align: justify;">Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">Adapun ide kebebasan individu, sesungguhnya merupakan salah satu ide yang paling menonjol dalam demokrasi. Ide ini dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi, sebab dengan ide ini tiap-tiap individu akan dapat melaksanakan dan menjalankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa tekanan atau paksaan. Rakyat dianggap tidak akan dapat mengekspresikan kehendak umumnya kecuali dengan terpenuhinya kebebasan individu bagi seluruh rakyat.</div><div style="text-align: justify;">Kebebasan individu merupakan suatu ajaran suci dalam sistem demokrasi, sehingga baik negara maupun individu tidak dibenarkan melanggarnya. Sistem demokrasi kapitalis menganggap bahwa adanya peraturan yang bersifat individualistik, serta pemeliharaan dan penjagaan terhadap kebebasan individu, merupakan salah satu tugas utama negara.</div><div style="text-align: justify;">Kebebasan individu yang dibawa demokrasi tidak dapat diartikan sebagai pembebasan bangsa-bangsa terjajah dari negara-negara penjajahnya yang telah meng-eksploitir dan merampas kekayaan alamnya. Sebabnya karena ide penjajahan tiada lain adalah salah satu buah dari ide kebebasan kepemilikan, yang justru dibawa oleh demokrasi itu sendiri.</div><div style="text-align: justify;">Demikian pula kebebasan individu tidak berarti pembebasan dari perbudakan, sebab budak saat ini sudah tidak ada lagi.</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud dengan kebebasan individu tiada lain adalah empat macam kebebasan berikut ini :</div><div style="text-align: justify;">1. Kebebasan beragama.</div><div style="text-align: justify;">2. Kebebasan berpendapat.</div><div style="text-align: justify;">3. Kebebasan kepemilikan.</div><div style="text-align: justify;">4. Kebebasan bertingkah laku.</div><div style="text-align: justify;">Keempat macam kebebasan ini tidak ada dalam kamus Islam, sebab seorang muslim wajib mengikatkan diri dengan hukum syara' dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslim tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Dalam Islam tidak ada yang namanya kebebasan kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedang perbudakan itu sendiri sudah lenyap sejak lama.</div><div style="text-align: justify;">Keempat macam kebebasan tersebut sangat berten-tangan dengan Islam dalam segala aspeknya sebagaimana penjelasan kami berikutnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya, atau memeluk agama yang disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan aqidah dan agamanya, atau berpindah kepada aqidah baru, agama baru, atau berpindah kepada kepercayaan non-agama (Animisme/paganisme). Dia berhak pula melakukan semua itu sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan. Jadi, seorang muslim, misalnya, berhak berganti agama untuk memeluk agama Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan baginya dari negara atau pihak lain untuk mengerjakan semua itu.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Islam, telah mengharamkan seorang muslim meninggalkan Aqidah Islamiyah atau murtad untuk memeluk agama Yahudi, Kristen, Budha, komunisme, atau kapitalisme. Siapa saja yang murtad dari agama Islam maka dia akan diminta bertaubat. Jika dia kembali kepada Islam, itulah yang diharapkan. Tapi kalau tidak, dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari isterinya. Rasulullah SAW:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ</div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa mengganti agamanya (Islam), maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya." </div><div style="text-align: justify;">(HR. Muslim, dan Ashhabus Sunan)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika yang murtad adalah sekelompok orang, dan mereka tetap bersikeras untuk murtad, maka mereka akan diperangi hingga mereka kembali kepada Islam atau dibinasakan. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah tatkala Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian orang yang tidak terbunuh kembali kepada Islam. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">Adapun kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi, mempunyai arti bahwa setiap individu berhak untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagaimana pun juga pendapat atau ide itu. Dia berhak pula menyatakan atau menyerukan ide atau pendapat itu dengan sebebas-bebasnya tanpa ada syarat atau batasan apapun, bagaimana pun juga ide dan pendapatnya itu. Dia berhak pula mengungkapkan ide atau pendapatnya itu dengan cara apapun, tanpa ada larangan baginya untuk melakukan semua itu baik dari negara atau pihak lain, selama dia tidak mengganggu kebebasan orang lain. Maka setiap larangan untuk mengembangkan, mengungkapkan, dan menyebarluaskan pendapat, akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan.</div><div style="text-align: justify;">Ketentuan ajaran Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang muslim dalam seluruh perbuatan dan perkataannya wajib terikat dengan apa yang terkandung dalam nash-nash syara'. Dengan demikian dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan kecuali jika dalil-dalil syar'i telah membolehkannya.</div><div style="text-align: justify;">Atas dasar itulah, maka seorang muslim berhak mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan pendapat apapun, selama dalil-dalil syar'i telah membolehkannya. Tapi jika dalil-dalil syar'i telah melarangnya, maka seorang muslim tidak boleh mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut. Jika dia tetap melakukannya, dia akan dikenai sanksi.</div><div style="text-align: justify;">Jadi seorang muslim itu wajib terikat dengan hukum-hukum syara' dalam mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan suatu pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan semaunya.</div><div style="text-align: justify;">Islam sendiri telah mewajibkan seorang muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap waktu dan tempat. Dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit ra, disebutkan :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">...وَ أَنْ نَقُولَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا ، لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ</div><div style="text-align: justify;">"...dan kami akan mengatakan kebenaran di mana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demikian pula Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa dan mengawasi serta mengoreksi tindakan mereka. Diriwayatkan dari Ummu 'Athiyah dari Abu Sa'id ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">أَفْضَلُ الجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ</div><div style="text-align: justify;">"Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dirawayatkan pula dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seseorang pada saat melempar jumrah aqabah, "Jihad apa yang paling utama, wahai Rasulullah ? Maka Rasulullah SAW menjawab :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ عِنْدَ ذِي سُلْطَانٍ جَائِرٍ</div><div style="text-align: justify;">"Yaitu menyampaikan perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rasululah SAW pernah bersabda pula :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَنَصَحَهُ فَقَتَلَهُ</div><div style="text-align: justify;">"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan Imam yang zhalim, kemudian dia menasehati Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tindakan yng demikian ini bukanlah suatu kebe-basan berpendapat, melainkan keterikatan dengan hukum-hukum syara', yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan, dan kewajiban menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">Adapun kebebasan kepemilikan —yang telah melahirkan sistem ekonomi kapitalisme, yang selanjutnya melahirkan ide penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia serta perampokan kekayaan alamnya— mempunyai arti bahwa seseorang boleh memiliki harta (modal), dan boleh mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Seorang penguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembangkannya melalui imperialisme, peram-pasan dan pencurian harta kekayaan alam dari bangsa-bangsa yang dijajah. Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengembangkan harta melalui penimbunan dan mudlarabah (usaha-usaha komanditen/trustee) mengambil riba, menyembunyikan cacat barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi secara tidak wajar, mencari uang dengan judi, zina, homoseksual, mengeksploitir tubuh wanita, memproduksi dan menjual khamr, menyuap, dan atau menempuh cara-cara lainnya.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan ajaran Islam, sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan harta tersebut. Islam telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide perampokan dan penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam juga menentang praktik riba baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh macam riba dilarang. Di samping itu Islam telah menetapkan adanya sebab-sebab kepemilikan harta, sebab-sebab pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya. Islam mengharamkan ketentuan di luar itu semua. Islam mewajibkan seorang muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara' dalam usahanya untuk memiliki, mengem-bangkan, dan mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola harta sekehendak-nya, tetapi Islam telah mengikatnya dengan hukum-hukum syara', dan mengharamkannya untuk memiliki dan mengembangkan harta secara batil. Misalnya dengan cara merampas, merampok, mencuri, menyuap, mengambil riba, berjudi, berzina, berhomoseksual, menutup-nutupi kecacatan barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi dengan tidak wajar, memproduksi dan menjual khamr, mengeksploitir tubuh wanita, dan cara-cara lain yang telah diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan mengembangkan harta.</div><div style="text-align: justify;">Semua itu merupakan sebab-sebab pemilikan dan pengembangan harta yang dilarang Islam. Dan setiap harta yang diperoleh melalui jalan-jalan itu, berarti haram dan tidak boleh dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi.</div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian jelaslah bahwa kebebasan kepemilikan harta itu tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara' dalam hal kepemilikan, pengembangan, dan pengelolaan harta. Dia tidak boleh melanggar hukum-hukum itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">Mengenai kebebasan bertingkah laku, artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan. Juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga. Kebebasan ini merupakan jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala sesuatu yang telah diharamkan. </div><div style="text-align: justify;">Kebebasan inilah yang telah menjerumuskan masyarakat Barat menjadi masyarakat binatang yang sangat memalukan dan membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang lebih hina daripada binatang ternak.</div><div style="text-align: justify;">Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamr, bertelanjang, dan melakukan perbuatan apa saja —walaupun sangat hina— dengan sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan atau batasan, tanpa tekanan atau paksaan.</div><div style="text-align: justify;">Hukum-hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku tersebut. Tidak ada kebebasan bertingkah laku dalam Islam. Seorang muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Haram baginya melakukan perbuatan yang diharamkan Allah. Jika dia mengerjakan suatu perbuatan yang diharamkan, berarti dia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.</div><div style="text-align: justify;">Islam telah mengharamkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, minuman keras, ketelanjangan, dan hal-hal lain yang merusak. Untuk masing-masing perbuatan itu Islam telah menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat jera pelakunya.</div><div style="text-align: justify;">Islam memerintahkan muslim berakhlaq mulia dan terpuji, juga menjadikan masyarakat Islam sebagai masya-rakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai yang mulia.</div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">Dari seluruh penjelasan di atas, nampak dengan sangat jelas bahwa peradaban Barat, nilai-nilai Barat, pandangan hidup Barat, demokrasi Barat, dan kebebasan individu, seluruhnya bertentangan secara total dengan hukum-hukum Islam.</div><div style="text-align: justify;">Seluruhnya merupakan ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang kufur. Oleh karenanya adalah suatu kebodohan dan upaya penyesatan kalau ada yang mengatakan demokrasi itu adalah bagian dari ajaran Islam. Juga suatu kebodohan dan penyesatan kalau dikatakan demokrasi itu identik dengan sistem syura (permusyawaratan) itu sendiri, atau identik dengan amar ma'ruf nahi munkar, dan atau mengoreksi tingkah laku penguasa.</div><div style="text-align: justify;">Syura, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa, adalah hukum-hukum syara', yang telah ditetapkan Allah SWT. Kaum muslimin telah diperintahkan untuk mengambil dan melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah hukum-hukum syara'.</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan demokrasi bukanlah hukum-hukum syara' dan tidak berasal dari peraturan Allah. Demokrasi adalah buatan manusia dan peraturan buatan manusia.</div><div style="text-align: justify;">Demokrasi bukan syura, karena syura artinya adalah memberikan pendapat. Sedangkan demokrasi, sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan peraturan, yang telah dibuat oleh manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan itu berdasarkan kemaslahatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.</div><div style="text-align: justify;">Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya.</div><div style="text-align: justify;">Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut. </div><div style="text-align: justify;">Demokrasi adalah sistem kufur, yang mengandung berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.</div><div style="text-align: justify;">Demikian pula kaum muslimin wajib menerapkan dan melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلِّى وَ نُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ سَاءَتْ مَصِيْرًا</div><div style="text-align: justify;">"Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisaa' : 115)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Telah selesai dengan pertolongan dan karunia Allah SWT, pada hari Ahad tanggal 3 Dzulqa'dah 1410 H, bertepatan dengan tanggal 17 Mei 1990 M.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div></div>andinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-88039150062174367722010-05-16T17:15:00.001+08:002010-05-16T17:58:54.405+08:00Ibadah Hati<div style="border: 1px solid #cccccc; height: 300px; overflow: auto; padding: 8px; width: 470px;"><div style="text-align: center;"><div style="text-align: center;"><b>Mukaddimah</b></div></div><div style="text-align: center;"><div style="text-align: center;"><b>Bismillâhirrahmânirrahîm</b></div></div><div style="text-align: center;"><div style="text-align: justify;"><b><br />
</b></div></div><div style="text-align: justify;">Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan kekuatan untuk dapat menyelesaikan buku sederhana yang ini. Semoga segala upaya yang telah dikeluarkan demi terbitnya buku ini menjadi amal jariah dan menjadi timbangan kebaikan di akhirat kelak. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada pembimbing hidup manusia ke jalan yang benar, Nabi Muhammad Saw dan kepada keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat. Semoga Allah Swt memberikan kita kekuatan untuk selalu berada di jalan keselamatan; jalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.</div><div style="text-align: justify;">Merupakan sebuah keniscayaan bahwa mahluk yang dicipta berkewajiban untuk mengabdi kepada sang Pencipta. Dan pada hakikatnya ibadah adalah tujuan utama penciptaan jin dan manusia. Al-Quran telah menegaskan hal ini dalam surat Al-Dzariyat ayat 56 yang berbunyai:</div><div style="text-align: justify;">وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ</div><div style="text-align: justify;">"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Al-Dzariyat: 56)</div><div style="text-align: justify;">Dan untuk itu pula para rasul diutus, sebagaimana firman Allah:</div><div style="text-align: justify;">وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ</div><div style="text-align: justify;">Dan sungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut (syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah Swt) (QS. Al-Nahl: 36)</div><div style="text-align: justify;">Kata "ibadah" adalah serapan dari sebuah kata dalam bahasa Arab, "'Abd" yang memiliki dua pengertian, yaitu, pertama: segala yang ditundukkan dan dikuasai oleh Allah, dalam arti Dialah yang mengadakan atau menidakannya, menjaga dan mengatur keberadaannya, menetapkan umur dan memberinya rezeki dst. Dengan pengertian seperti ini maka semua mahluk tanpa terkecuali adalah hamba Allah, baik orang yang taat maupun durhaka, orang yang beriman maupun kafir, ahli surga atau neraka, karena semuanya berada di bawah kekuasaan, pengawasan, penjagaan dan pengaturan Allah Swt, tidak ada yang berada di luar kehendak-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Kedua: 'abd berarti 'âbid, yaitu orang yang menyembah. Maka kata "abdullah" berarti seorang yang hanya menyembah Allah Swt semata, tidak menyekutukannya, menaati perintahnya dan perintah Rasul-Nya, serta menjauhi larangan-Nya dan larangan Rasul-Nya. Dengan pengertian yang kedua ini, maka tidak semua orang adalah hamba Allah, karena banyak manusia yang menyembah selain Allah Swt. Ibadah seorang âbid (hamba) yang dimaksud dalam ayat di atas adalah ibadah dalam pengertian kedua. Karena menurut pengertian pertama, semua makhluk adalah hamba Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Adapaun ibadah itu sendiri adalah penghambaan total; secara lahir dan batin. Ibnu Timiyah mendefinisikan ibadah sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">العِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ</div><div style="text-align: justify;">"Ibadah adalah nama bagi seluruh amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt baik berupa ucapan atau perbuatan, yang batin maupun yang zahir." </div><div style="text-align: justify;">Maka, shalat, zakat, puasa, haji, doa, dzikir, tilawah Al-Quran, berkata benar, menjalankan amanat, berbakti kepada orang tua, menjaga hubungan kekerabatan (silaturrahim), menepati janji, amar ma'ruf nahi munkar, jihad melawan orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik terhadap tetangga, anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil, hamba sahaya bahkan binatang, semua itu adalah bentuk-bentuk ibadah kepada Allah Swt. Demikian juga dengan hubbullah warasûlihi (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya), khauf (takut) kepada Allah, ikhlas mengabdi kepada-Nya, tawakkal dan berserah diri kepada-Nya, sabar cobaan-Nya, syukur terhadap nikmat-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, rajâ' (mengharap) rahmat-Nya, juga termasuk ibadah kepada Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">Sebagai seorang mukmin kita diwajibkan untuk mempelajari tata cara ibadah zahir dan dituntut rajin mengamalkannya. Namun tidak kalah pentingnya adalah mempelajari dan memahami hakikat ibadah batin serta mengamalkannya. Karena dengan demikianlah penghambaan kita kepada Allah akan sempurna. Hal ini karena setiap perintah ibadah zahir yang disyariatkan Allah Swt haruslah dilandasi dengan ruh ibadah batin. Karena ibadah batin inilah yang menjadi ukuran diterimanya amal ibadah. Perintah shalat misalnya, zahirnya adalah pekerjaan badan yang dapat kita lihat, seperti, berdiri, rukuk, sujud dsb. Tetapi menunaikan gerakan badan saja tidaklah cukup, karena shalat memiliki ruh yaitu khusyu', yang dibarengi dengan hati yang ikhlas karena Allah, sabar untuk tetap menjalankannya, mengharap pahala, ampunan dan rahmat-Nya (rajâ'), takut terhadap azab-Nya (Khauf) dst. Demikian juga dengan seluruh ibadah yang lainnya sepeti, puasa, zakat, haji dsb. </div><div style="text-align: justify;">Ibadah batin ini semuanya merupakan implementasi atau wujud nyata dari tauhid hamba terhadap Rabb-nya. Sebab, jika salah satunya ditujukan kepada selain Allah maka mengakibatkan tercemarnya kemurnian tauhid kita kepada Allah. Semuanya adalah ibadah yang tidak boleh dilalaikan dan ditinggalkan. Imam Ibnu Taimiyah berkata:</div><div style="text-align: justify;">وَهَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاطِنَةُ كَمَحَبَّةِ اللَّهِ وَالْإِخْلَاصِ لَهُ وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ وَالرِّضَا عَنْهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ كُلُّهَا مَأْمُورٌ بِهَا فِي حَقِّ الْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ لَا يَكُونُ تَرْكُهَا مَحْمُودًا فِي حَالِ أَحَدٍ </div><div style="text-align: justify;">"Amalan-amalan batin ini seperti mahabbatullah, ikhlas, tawakkal, ridha dan sebagainya semuanya merupakan amalan yang diperintah bagi orang-orang khâshah dan awam, dimana merupakan perkara yang tidak terpuji bagi siapapun yang meninggalkannya."</div><div style="text-align: justify;">Yang juga penting diperhatikan bahwa, semua ibadah ini adalah diwajibkan bagi orang-orang berilmu dan awam. Tidak ada dikhotomi untuk orang-orang tertentu sebagaimana sering didengar bahwa amalan-amalan batin hanya untuk golongan khâshah (orang-orang tertentu yang memiliki keluasan ilmu dan kedekatan khusus dengan Rabb-nya). Semuanya adalah ibadah yang harus dilakukan oleh setiap muslim, meskipun dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda sesuai dengan ilmu dan kedekatan tersebut. Semuanya adalah ibadah yang dapat dilatih dan ditingkatkan sebagaimana halnya ibadah zahir. Bahkan justeru kalau kita memperhatikan Al-Quran, perintah terhadap ibadah-ibadah hati seperti ihklas, tawakkal, syukur, sabar dan sebagainya itu jauh lebih banyak dari perintah ibadah-ibadah zahir. </div><div style="text-align: justify;">Menyadari akan pentingnya mengetahui hal ini, maka kami dari kelompok kajian ABDIKA ICMI Orsat Kairo, mencoba untuk mengkaji ibadah atau amalan hati ini dan berusaha menyusun dan menyajikannya dalam sebuah buku, dengan harapan semoga amal ini bermanfaat bagi umat Islam pada umumnya dan terutama bagi mereka yang membaca, mempelajari dan mengamalkannya. Untuk merealisasikan tujuan ini kami mencoba mengkaji sebuah buku karya syaikh Shalih Al-Munajjid, sebagai buku standar dan berusaha melengkapi bahasannya dari beberapa buku karya ulama-ulama klasik dan kontemporer seperti, Ihyâ' 'Ulûmiddin karya Iman Al-Ghozâli, Majmu' Fatawa imam Ibnu Taimiyah, Madârijus Sâlikîn karya Imam Ibnu Qayyiom Al-Jauziyah, Mustkhlash fi Tazkiyat al-Anfus, dll. </div><div style="text-align: justify;">Manhaj yang kami utamakan dalam menyusun buku ini adalah, sebisa mungkin merujuk kepada sumber utama yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, kemudian perkataan dan pendapat ulama generasi Salaf al-Shâlih. Tujuannya adalah untuk mendapatkan manfaat yang lebih banyak, menekankan bagaimana bermuamalah dengan Al-Quran dan Sunnah, juga demi menumbuhkan kecintaan kita kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan upaya mengajak masyarakat muslim untuk kembali menuju dustur Ilahi dan misykat Nabawi dan berpegang teguh dengan keduanya. Karena hanya orang yang berpegang teguh dengan keduanyalah yang akan selamat dan tidak tersesesat. Maka akan sangat baik jika pembaca dapat lebih mentadabburi mengkaji dan menyelami dalil-dalil dalam buku ini supaya mendapat berkah dan manfaat ilmu yang lebih mendalam. </div><div style="text-align: justify;">Di samping itu kami juga berupaya mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan ayat sebisa mungkin dengan merujuk kepada tafsir-tafsir ulama seperti Tafsir Imam Thabari, Tafsir Imam Ibnu Katsir dan sebagainya, untuk membantu menjelaskan letak-letak makna yang ditunjukkan oleh suatu dalil. Demikian juga dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Kami berusaha untuk mendalami maknanya dari kitab-kitab hadis yang mu'tabar, seperti Fath al-Bâri karya imam Ibnu hajar, Syarh Shahih Muslim karya imam Nawawi dan sebagainya. </div><div style="text-align: justify;">Dalam upaya ini tentu akan banyak sekali kekurangan atau bahkan kesalahan. Jika ada kebenaran maka semua itu semata-mata dari Allah dan jika sebaliknya maka itu semua dari kami dan setan. Namun dengan amal sederhana ini kami berharap setidaknya telah memberikan sumbangsih dalam meninggikan kalimah Allah Swt, bermanfaat bagi pembaca serta amal jariyah bagi penulisnya di akhirat kelak. Akhîrul kalâm, kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, dan berterimakasih kepada seluruh pihak yang membantu terbitnya buku ini. Semoga amal ibadah kita semua menjadi timbangan kebaikan di hari kiamat nanti. Âmîn yâ rabbal âlamîn </div><div style="text-align: justify;">Kairo, 6 September 2007 </div><div style="text-align: justify;">Lalu Heri Afrizal, Lc.</div><div style="text-align: justify;">Koord. ABDIKA </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menyibak Tabir Ilahi Melalui Pintu Ikhlas</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Ahmad Musyafa'</div><div style="text-align: justify;">Merupakan perkara yang tidak diragukan lagi bahwa misi utama penciptaan manusia di muka bumi ini tiada lain adalah untuk beribadah kepada Allah Swt sebagaimana dengan tegas Dia firmankan:</div><div style="text-align: justify;">وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)</div><div style="text-align: justify;">"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."(QS. Al-Dzâriyât: 56)</div><div style="text-align: justify;">Di hadapan ayat yang mulia ini tentu akan timbul pertanyaan, ibadah seperti apakah yang diperintahkan dan dikehendaki oleh Allah Swt? Sepertinya tidak perlu repot mencari jawaban dari pertanyaan di atas. Karena yang berhak menjawabnya tentunya adalah Dzat yang memerintah manusia untuk beribadah itu sendiri. Dengan mengkaji dan mentadabburi Al-Quran serta sunnah Rasulullah saw, kita dapat menemukan jawaban pertanyaan di atas dengan jelas, bahwa ibadah yang diperintah adalah ibadah yang dilandasi oleh dua perkara yaitu, keikhlasan dalam beribadah dan ibadah yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dua perkara inilah yang kemudian menjadi syarat utama diterimanya amal ibadah.</div><div style="text-align: justify;">Adapun syarat pertama, banyak sekali ayat dan hadis yang menjelaskan hal ini. Sebagai contoh, ayat-ayat berikut ini:</div><div style="text-align: justify;">وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (5)</div><div style="text-align: justify;">"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya...." (QS. Al-Bayyinah: 5)</div><div style="text-align: justify;">أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ... (3)</div><div style="text-align: justify;">"Ingatlah, hanya bagi Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...." (QS. Al-Zumar: 3)</div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-An'âm: 162-163)</div><div style="text-align: justify;">Dalam sebuah hadis yang masyhur Rasulullah saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ</div><div style="text-align: justify;">"Sesunggunya (sah dan diterimanya) amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barang siapa yang berhijrah karena dunia ingin meraih dunia atau perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya adalah untuk apa yang tujuakan." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Maksud hadis yang mulia di atas adalah bahwa amalan yang diterima di sisi Allah adalah amalan yang dilakukan dengan niat menjalankan perintah Allah dan mengharap keridhaan-Nya. Jika ibadah dilakukan dengan niat hanya karena ingin mendapatkan kehormatan, harta duniawi, isteri dan sebagainya, maka semua itu bisa saja ia dapatkan di dunia, namun ia sama sekali tidak akan mendapatkan pahala kebaikan di akhirat kelak, sebesar apapun amalan itu. Walaupun amalan itu adalah ibadah hijrah yang merupakan ibadah yang sangat besar dan agung sampai-sampai Rasulullah saw berlepas diri dari orang yang mengaku beriman namun tidak berhijrah bersama beliau ke Madinah. Maka niat karena Allah adalah sarat utama diterimanya ibadah. </div><div style="text-align: justify;">Adapun syarat kedua adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat dan hadis berikut:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (31) "Katakanlah: 'Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."(32) (QS. Ali Imrân: 31-32) </div><div style="text-align: justify;">Mari kita menyimak penjelasan imam Ibnu Katsir tentang kedua ayat di atas. Beliau berkata: "Ayat yang mulia ini adalah hakim terhadap siapa saja yang mengaku mencintai Allah namun tidak berada di atas sunnah nabi Muhammad Saw. Sesungguhnya ia berkata bohong sampai ia benar-benar mengikuti syariat nabi Muhammad Saw. Karena beliau sendiri bersabda:</div><div style="text-align: justify;">مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ</div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaranku maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Maksud ayat di atas adalah, cinta kepada Allah yang sesungguhnya adalah dengan suatu bukti yaitu mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Jika hal ini telah kita lakukan maka Allah akan mencintai kita. Tentunya cinta Allah kepada kita jauh lebih agung dan istimewa dari pada cinta kita kepada Allah Swt. Kebalikannya adalah jika kita tidak mengikuti sunnah Rasulullah Saw maka pengakuan bahwa kita cinta kepada Allah adalah dusta belaka dan kita tidak akan dicintai Allah Swt. Na'ûdzubillahi min dzâlik. </div><div style="text-align: justify;">Menjelaskan makna ayat yang kedua imam Ibnu Katsir berkata: "Kemudian Allah Swt memerintahkan semua orang baik yang berilmu maupun yang awam, 'Katakanlah: 'Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling—tidak taat menaati perintahnya (Rasul)—maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir", ini menunjukkan bahwa menyalahi sunnahnya merupakan suatu bentuk kekufuran, dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki sifat tersebut walaupun ia mengaku mencintai Allah dan beribadah kepada-Nya, sampai ia mengikuti Rasulullah Saw ...." Na'ûdzubillahi min dzâlik. </div><div style="text-align: justify;">Sepertinya, atas dasar inilah Al-Fufhail bin 'Iyadh menafsirkan makna ahsanu 'amala--dalam ayat: </div><div style="text-align: justify;">الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ </div><div style="text-align: justify;">"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun," [QS. Al-Mulk: 2]--dengan: "Akhlashuhu wa ashwabuhu (perbuatan yang paling ikhlas dan paling benar)." Beliau kemudian ditanya apa yang dimaksud dengan "Akhlashuhu wa ashwabuhu? Beliau menjawab: perbuatan ikhlas tapi tidak benar tidak akan diterima, begitu pula perbuatan benar tapi tidak ikhlas tidak akan diterima sebelum keduanya tercapai, benar dan ikhlas. Adapun ikhlas adalah tulus mengerjakan karena mengharap ridha Allah Swt, dan dikatakan perbuatan itu benar apabila sesuai dengan ajaran sunnah."</div><div style="text-align: justify;">Dalam tulisan ini, kita akan membahas lebih mendalam hakikat syarat pertama diterimanya amal ibadah ini yaitu ikhlas. Sebenarnya hakikat ikhlas ini telah banyak diulas oleh para ulama salaf. Imam Syafi'i misalnya, mengatakan bahwa ikhlas merupakan sepertiga dari agama Islam. Imam Bukhari juga menempatkan hadis tentang ikhlas dan niat di urutan pertama dalam Shahih Bukhari-nya. Demikian juga dilakukan oleh para ulama setelah beliau seperti, imam Nawawi dalam bukunya Riyadh Al-Shalihin dan Arbaîn. Lebih tegas lagi imam Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, bahwa barangsiapa yang ingin mengarang sebuah karya, pertama kali hendaknya memulai dengan hadis tentang ikhlas dan niat. Semua ini membuktikan perhatian mereka yang serius terhadap konsep ikhlas. Dan mengapa tidak, karena ikhlas adalah syarat wajib dan utama diterimanya amal ibadah. Dengannya seseorang akan masuk surga, dan tanpanya seseorang akan masuk neraka.</div><div style="text-align: justify;">Penyebutan kata ikhlas pun sudah sangat akrab di kalangan umat Islam. Akan tetapi fenomena ini belum bisa dijadikan barometer yang menjamin bahwa umat Islam sudah menjalankan substansi ikhlas secara utuh. Apalagi sering kita dengar keluhan-keluhan yang muncul tentang sulitnya aplikasi nilai-nilai keikhlasan dalam setiap aktivitas terutama yang berdimensi ibadah, padahal sudah banyak literatur tentang ikhlas yang sudah dibaca dan dipahami. </div><div style="text-align: justify;">Dalam beraktivitas dan bersinggungan dengan orang lain, sering kali kita terpeleset ke jurang riya'. Atau malah sebaliknya, gara-gara takut riya', kita menjadi ragu dan meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya tergolong amal ibadah. Memang, jarak antara ikhlas dan riya' sangatlah tipis, bagai batas pemisah antara hitam dan putih. Riya' yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan amat sangat tersembunyi, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat imam Ahmad, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ فَقَالَ لَهُ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَكَيْفَ نَتَّقِيهِ وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ</div><div style="text-align: justify;">"Wahai sekalian manusia, berhati-hatilah kalian dari syirik ini, karena sesungguhnya ia lebih tersembunyi dari suara tapak kaki semut." Kemudian seseorang bertanya kepada beliau: "Bagaimana kita berlindung darinya jika ia lebih tersembunyi dari suara tapak kaki semut?" Rasulullah menjawab: "Katakanlah, Wahai Allah sesuungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui dan kami memohon ampun dari syirik tidak ketahui." (HR. Ahmad) </div><div style="text-align: justify;">Imam Al-Junaid pernah berkata:</div><div style="text-align: justify;">اَلْإِخْلَاصُ سِرٌّ بَيْنَ اللهِ وَبَيْنَ الْعَبْدِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكْتُبُهُ، وَلَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدُهُ</div><div style="text-align: justify;">"Ikhas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Malaikat tidak mengetahuinya sehingga ia bisa mencatatnya, dan setan tidak mengetahuinya sehingga ia bisa merusaknya." </div><div style="text-align: justify;">Ada kalanya kita tidak ikhlas karena belum memahami secara benar hakikat ikhlas tersebut. Pengetahuan kita tentangnya hanya sepintas lalu, sehingga kita tidak menyadari apakah amalan-amalan yang telah dilakukan benar-benar ikhlas ataukah ada noda riya' yang mengotorinya. Terkadang kita meremehkan hal ini sehingga tidak pernah tergerak untuk mendiagnosa kondisi hati kita. Benarkah kita sudah ikhlas dalam beraktivitas dan beribadah? </div><div style="text-align: justify;">Melalui tulisan sederhana ini penulis mengajak kepada pembaca untuk jujur kepada diri sendiri, membuang sikap meremehkan itu untuk kembali mendalami makna dan hakikat ikhlas. Karena denga ikhlas inilah kita akan selamat di dunia dan akhirat. Selain itu kita hendaknya selalu memohon kepada Allah Swt agar memberikan kita taufik agar selalu ikhlas dalam beribadah dan beramal shalih, karena di tangan-Nya lah segala sesuatu. Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan tentang makna dan hakikat ikhlas sebagaimana mestinya. </div><div style="text-align: justify;">Definisi Ikhlas</div><div style="text-align: justify;">Melalui pintu definisi ini kita akan mencoba mengenal makna ikhlas. Mungkin ada sebagian orang yang menganggap bahwa ikhlas itu sulit didefinisikan, sulit diungkapkan dengan kata-kata, karena ia adalah amalan hati yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Swt. Anggapan ini terjawab dengan kita menelaah kembali beberapa literatur yang diwariskan oleh para ulama salaf. Meskipun mereka tidak mendefinisikan ikhlas dengan ungkapan yang sama, tetapi definisi yang beragam itu membuktikan kekayaan intelektual dan pengalaman para ulama Muslim. Tentunya kita ber-husnuzzhan bahwa mereka adalah orang-orang terdepan dalam hal mengamalkan ikhlas ini. Karena, kedalaman pemaparan mereka tentang konsep ikhlas ini membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat berpengalaman menumbuhkan jiwa-jiwa keikhlasan ini. Seseorang yang berbicara banyak tentang suatu bidang pekerjaan membuktikan bahwa dia telah memakari bidang yang dibicarakannya itu dan banyak memiliki pengalaman tentangnya. </div><div style="text-align: justify;">Mereka yang ikhlas adalah orang-orang yang benar-benar bertauhid. Oleh karena itu Kalimat at-tauhid disebut juga dengan kalimat al-ikhlâs. Di dalam Al-Quran terdapat satu surah yang kita kenal bersama dengan nama surah Al-Ikhlas. Karena surat ini dari awal sampai akhir berbicara tentang tauhidullah (pengesaan Allah). Rasulullah Saw menjelaskan bahwa surah Al-Ikhlas adalah sepertiga Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu: sepertiga pertama adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Swt (tauhid), sepertiga kedua ayat-ayat tentang hukum dan sepertiga ketiga ayat-ayat tentang qashash (kisah-kisah). </div><div style="text-align: justify;">Para ulama mendefinisikan kata ikhlas cukup beragam. Secara bahasa ia diambil dari kata khalasha-khulûshan-khalâshan, berarti murni dan tanpa noda campuran. Jadi, orang yang ikhlas melakukan sesuatu berarti ia melakukannya hanya karena Allah Swt dan tidak mencampurinya dengan riya'. Oleh karena itu Al-Fairûzabâdi mengatakan, bahwa ikhlas karena Allah adalah meninggalkan riya'. </div><div style="text-align: justify;">Adapun definisi ikhlas menurut istilah, para ulama memiliki ungkapan yang berbeda-beda dalam hal ini. Akan tetapi kesemuanya merujuk ke inti dan makna yang sama. Dalam bukunya Madârij al-Sâlikîn imam Ibnu al-Qayyim—rahimahullah—menukil beberapa ungkapan para ulama tentang definisi ikhlas ini. Di antaranya sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">إِفْرَادُ الْحَقِّ سُبْحَانَهُ بِالْقَصْدِ فِى الطَّاعَةِ </div><div style="text-align: justify;">"Menjadikan hanya Allah Swt sebagai tujuan dalam setiap ketaatan."</div><div style="text-align: justify;">Artinya, melakukan segala sesuatu hanya karena Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan berbuat riya'. Seperti yang dikatakan oleh Amru Khalid, da'i muda asal Mesir, bahwa ikhlas adalah memfokuskan seluruh perkataan dan perbuatan, hidup dan mati, diam dan bicara, gerak yang tersembunyi ataupun yang terlihat, dan setiap aktivitas di dunia ini, dengan niat hanya untuk mencapai ridha Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">أَنْ يَكُوْنَ الْعَمَلُ لِلَّهِ تَعَالَى لَا نَصِيْبَ لِغَيْرِ اللهِ</div><div style="text-align: justify;">"Setiap perbuatan hendaknya semata karena Allah Swt, tidak ada peluang sedikitpun untuk makhluk."</div><div style="text-align: justify;">تَصْفَيَةُ الْعَمَلِ عَنْ مُلَاحَظَةِ الْخَلْقِ حَتَى عَنْ نَفْسِكَ</div><div style="text-align: justify;">"Menghindarkan perbuatan dari perhatian orang lain, bahkan dari perhatian diri sendiri."</div><div style="text-align: justify;">Maksudnya, bahwa orang yang sempurna keikhlasannya tidak akan riya' (ingin dilihat orang), dan tidak juga merasa ujub (berbangga diri) karena amalannya. </div><div style="text-align: justify;">تَصْفِيَةُ الْعَمَلِ مِنْ كُلِّ شَوْبٍ </div><div style="text-align: justify;">"Mensucikan perbuatan dari segala noda dan cacat."</div><div style="text-align: justify;">Artinya, seseorang yang amalannya murni karena Allah, tidak dicemari noda nafsu duniawi, seperti rasa ingin dianggap baik oleh orang lain, ingin dipuji dan disanjung, ataupun takut dicela orang kalau tidak berbuat sesuatu, singkatnya melakukan sesuatu bukan karena Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Dari penjelasan dan definisi-definisi ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa ikhlas adalah amalan hati yang merupakan ruh semua ibadah dan syarat diterimanya, ia berupa ketulusan beribadah hanya karena mengharap ridha Allah Swt, jauh dari perasaan riya', 'ujub, dan kepentingan-kepentingan duniawi yang dapat mencemari kemurnian ibadah itu. Ia adalah laksana ruh dari sebuah jasad. Amal ibadah tanpa ruh bagaikan badan tanpa nyawa alias bangkai. </div><div style="text-align: justify;">Nilai dan Urgensi Ikhlas</div><div style="text-align: justify;">Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak pernah menghiraukan lunturnya posisi namanya di hati orang lain, demi kebaikan hatinya bersama dengan Allah Swt dan perbuatannya tidak ingin diketahui orang lain walau sedikitpun. Ikhlas merupakan substansi Islam dan kunci dakwah para nabi, sebagaimana firman-firman Allah Swt di bawah ini: </div><div style="text-align: justify;">وما أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ (5)</div><div style="text-align: justify;">"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus" [QS. Al-Bayyinah: 5]</div><div style="text-align: justify;">قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (14)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku." [QS. Az-Zumar: 14]</div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (162) Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." [Al-An'am: 162-163]</div><div style="text-align: justify;">فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." [Al-Kahf: 110]</div><div style="text-align: justify;">وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ (125) </div><div style="text-align: justify;">"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan," [Al-Nisa': 125]</div><div style="text-align: justify;">Konsep ikhlas bukan teori untuk dihafal, tapi sebuah ajaran untuk diterapkan dalam setiap aktivitas seiring desahan nafas yang kita keluarkan. Para nabi dan rasul, terlebih lagi Rasulullah Saw dan para sahabat banyak memberikan teladan praktis yang patut diteladani. </div><div style="text-align: justify;">Dari penjelasan-penjelasan Allah dan Rasul-Nya, syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyimpulkan beberapa nilai dan urgensi ibadah ikhlas ini, dalam garis-garis besar di bawah ini:</div><div style="text-align: justify;">1. Ikhlas sebab keselamatan di akhirat</div><div style="text-align: justify;">Karena orang yang tujuannya hanya duniawi belaka, Allah Swt telah mengancam mereka dengan firmannya: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. (15) Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (16) (QS. Hûd: 15-16) </div><div style="text-align: justify;">2. Menyelamatkan hati dari belitan perhiasan dunia </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa menjadikan akhirat tujuannya, maka Allah akan menganugerahkan kekayaan di hatinya, mengumpulkan kekuatannya, kemudian dunia mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu berada di depan matanya, mencerai beraikan kekuatannya, dan tidak diberikan kenikmatan dunia kecuali yang telah ditakdirkan untuknya." (HR. Tarmidzi).</div><div style="text-align: justify;">3. Sumber pahala yang besar, walau amalannya ringan </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ</div><div style="text-align: justify;">"Sungguh kamu tidak akan menginfakkan hartamu semata karena Allah kecuali kamu akan mendapat pahala, sekalipun makanan yang kau berikan kepada istrimu." (HR. Bukhari)</div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnul Mubârak berkata: “Betapa banyak amalan kecil yang kemudian bermiali besar karena niat, sebalknya betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat pula.” Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa seorang pelacur diampuni dosanya hanya karena memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan. Semua itu tidak lain karena niat yang ikhlas karena Allah. </div><div style="text-align: justify;">4. Penyelamat dari siksa pada hari kiamat </div><div style="text-align: justify;">Nabi Saw memberitakan kepada kita bahwa orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat adalah tiga orang. Mereka bukanlah tukang maksiat, melainkan tukang berbuat baik. Mereka adalah orang yang rajin bersedekah, Ahlu Al-Quran sekaligus ulama, dan mujahid di jalan Allah. Akan tetapi Dia bersedekah agar dikatakan dermawan. Pembaca Al-Quran dan pembelajar ilmu mengajarkannya agar dikatakan qâri' (ahli membaca Al-Quran) dan berilmu. Dan mujahid yang berperang agar dikatakan sebagai pemberani. Maka kita harus berhati-hati dalam hal ini, semoga kita termasuk orang yang ikhlas. </div><div style="text-align: justify;">Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, imam Muslim, imam Tirmidzi, dan imam Nasai dari Abu Hurairah ra. Ketika menuturkan hadis ini, Abu Hurairah ra diselimuti rasa ketakutan yang sangat dalam. Kata-katanya terputus-putus, nafasnya tersengal, hingga akhirnya pingsan tidak sadarkan diri. Setelah beberapa saat, beliau tersadar kemudian membasahi mukanya dengan air hingga berhasil menuturkan hadis ini sampai akhir setelah berkali-kali pingsan. Jadi orang yang pertama kali merasakan panasnya api neraka bukanlah para pembunuh, pezina, pencuri, pelaku homoseksual, dan peminum khamr, tapi mereka adalah para pembaca Al-Quran dan ulama, tukang sedekah, dan mujahid disebabkan oleh masalah yang sangat penting, yaitu ikhlas. </div><div style="text-align: justify;">Begitu juga bagi para penuntut ilmu, hilangnya keikhlasan pada dirinya akan menyebabkan kesengsaraan dan kerugian yang besar di akhirat kelak. Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa belajar ilmu yang seharusnya untuk mendapatkan keridhaan Allah, namun ia melakukannya hanya untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka di hari kiamat dia tidak akan mencium bau surga." (HR. Ahmad dan Abu Dawud). </div><div style="text-align: justify;">Dalam hadis yang lain Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa belajar ilmu untuk mendebat para ulama (agar terlihat ilmunya), atau mendebat orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya ke neraka." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).</div><div style="text-align: justify;">Di hadapan hadis-hadis yang mulia ini, orang yang pertama kali dituntut berhati-hati adalah para penuntut ilmu dan ulama. Karena jika tanggung jawab ilmu yang mereka bebani tidak dilaksanakan, ataupun melaksanakannya namun dengan niat dan tujuannya salah, maka merekalah orang yang pertama kali dijebloskan ke dalam neraka. Kita memohon kepada Allah afiat dan keselamatan.</div><div style="text-align: justify;">5. Pondasi ibadah hati. </div><div style="text-align: justify;">Ikhlas adalah pondasi amalan hati seperti syukur, sabar, ridha dan sebagainya. Sedangkan amalan hati adalah pondasi amalan badan. Jika hati baik maka amalan badan juga akan baik, dan jika hati buruk maka amalan badan juga akan buruk. Rasulullah bersabda:</div><div style="text-align: justify;">أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ</div><div style="text-align: justify;">"Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada gumpalan, yang jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">6. Keikhlasan Niat Dapat Menghilangkan Pahala Perbuatan Besar dan Sebaliknya Membesarkan pahala perbuatan kecil </div><div style="text-align: justify;">Mengenai hal ini Allah Swt berfirman dalam surah Al-Furqan:</div><div style="text-align: justify;">وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا (23)</div><div style="text-align: justify;">"Dan kami hadapi segala amal (kebaikan) yang mereka kerjakan (di dunia), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan." (QS. Al-Furqan: 23) </div><div style="text-align: justify;">Amal kebajikan yang mereka lakukan sirna bagai debu yang beterbangan gara-gara mereka tidak didasari tujuan mendapatkan ridah Allah Swt. Kisah masyhur tentang "Muhâjir Ummi Qais" adalah bukti nyata hal ini. Bagaimana seorang yang melakukan hijrah bersama Rasulullah, ibadah yang paling agung, namun menjadi tiada berarti karena niatnya bukan karena Allah, tetapi karena ingin menikahi Ummu Qais. Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ</div><div style="text-align: justify;">Dari Umar bin Al-Khaththâb ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya (diterimanya) amal perbuatan itu karena niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (ganjaran dari) apa yang diniatkannya, barang siapa yang berhijrah kapada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, dan barang siapa yang berhijrah karena menginginkan dunia atau ingin menikahi perempuan, maka hijrahnya ia hanya mendapatkan itu dari hijrahnya." (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Sebaliknya, amalan kecil dapat menjadi besar karena dilakukan dengan niat ikhlas. Di dalam sebuah hadis Rasulullah menceritakan seorang perempuan pelacur diampuni oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan:</div><div style="text-align: justify;">بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ</div><div style="text-align: justify;">"Ketika seekor anjing berputar-putar mengelilingi sebuah sumur, hampir mati karena kehausan, seorang perempuan pelacur bani Israil melihatnya, kemudian ia melepaskan sepatunya -untuk mengambil air--untuk memberi munim anjing itu, akhirnya ia diampuni karenanya." (HR. Bukhari) </div><div style="text-align: justify;">Ibnul Al-Mubarak rh berkata: </div><div style="text-align: justify;">رُبَّ عَمَلٍ صَغِيْرٍ تُكَبِّرُهُ النِّيَّةُ وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيْرْ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ</div><div style="text-align: justify;">"Berapa banyak perbuatan kecil menjadi besar karena niat, dan berapa banyak pekerjaan besar menjadi kecil karena niat."</div><div style="text-align: justify;">7. Memperbaiki dan memulihkan kondisi umat </div><div style="text-align: justify;">Banyak manusia yang hidup dalam perselisihan, bahkan para aktivis dakwah dan penuntut ilmu—kecuali mereka yang mendapat rahmat dari Allah Swt—karena dihinggapi penyakit "tidak ikhlas" yang menghalangi keberkahan dan taufik Allah Swt. Kemenangan umat Islam pada zaman dahulu, selalu datang dari tangan tentara-tentara yang ikhlas, dakwah islamiah tersebar di tangan para da'i yang ikhlas, ilmu menjadi berkah di tangan para ulama yang ikhlas. Intinya bahwa agama ini akan kokoh jika dipikul oleh mereka yang memiliki-memiliki jiwa-jiwa keikhlasan. </div><div style="text-align: justify;">Keterbelakangan umat Islam semakin hari semakin meningkat, hegemoni Barat di dunia Islam telah menyusup ke seluruh lini kehidupan, wibawa umat Islam semakin terpuruk di mata umat lain, semua ini terjadi karena banyak sebab, yang di antaranya adalah hilangnya salah satu unsur terpenting, yaitu keikhlasan dalam menjalankan ajaran agama, keikhlasan dalam berjuang, keikhlasan dalam berkarya dan seterusnya. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan dan pertolongan.</div><div style="text-align: justify;">8. Mengubah aktivitas biasa menjadi ibadah </div><div style="text-align: justify;">Di antara kelebihan ikhlas adalah merubah aktivitas biasa menjadi ibadah. Misalnya ketika orang mandi kemudian menggunakan minyak wangi dengan maksud mengikuti sunnah Nabi Saw di hari jumat, serta untuk memuliakan dan menghormati rumah Allah Swt, dan tidak menyakiti orang yang ada di samping lantaran bau yang tidak sedarp, maka ia mendapatkan pahala. Makan yang diniatkan untuk menguatkan badan demi menjalankan perintah Allah, mencari nafkah untuk keluarga demi menunakan kewajiban sebagai suami karena Allah, isteri yang taat terhadap suaminya karena Allah, senyum untuk membahagiakan orang lain karena Allah, dan sederet amalan-amalan biasa lainya, semua itu akan dihitung sebagai amal ibadah jika diniatkan mengikuti sunnah Rasulullah Saw, karena Allah Swt. Dan kualitas pahalanya tergantung kualitas niatnya. </div><div style="text-align: justify;">9. Syarat diterimanya amal ibadah </div><div style="text-align: justify;">Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa perbuatan yang diterima adalah yang ikhlas karena Allah Swt dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Keduanya ibarat dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dalam hadis riwayat imam Nasai disebutkan: </div><div style="text-align: justify;">عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ</div><div style="text-align: justify;">Dari Abu Umâmah al-Bâhily berkata, "Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw dab bertanya, 'Wahai Rasulullah saw—seorang yang berjihad untuk mendapatkan pahala dan agar dikenang apakah yang ia dapat? Rasulullah Saw menjawab, "Ia tidak mendapat apa-apa" dan mengucapkannya tiga kali. Kemudian beliau bersabda kepadanya, "Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan kecuali yang ikhlas dan semata-mata mengharap ridha Allah Swt" (HR. Nasai)</div><div style="text-align: justify;">10. Sebab orang mendapat pahala. </div><div style="text-align: justify;">Orang yang ikhlas ibarat seorang mujtahid, ahli ilmu dan fuqaha, apabila niat berijtihad dengan ikhlas dengan mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan suatu kebenaran, maka ia mendapat dua pahala jika ijtihadnya benar dan tetap mendapat satu pahala walaupun salah.</div><div style="text-align: justify;">Meneladani Keikhlasan </div><div style="text-align: justify;">Sejarah mencatat kerja keras dan keikhlasan ulama salaf dalam melaksanakan dan mendakwahkan ajaran Islam. Kita ber-husnuzzhzan bahwa mereka melakukan semua itu semata-mata karena Allah Swt. Buktinya mereka terkadang sengaja menyembunyikannya dari perhatian orang lain. Akan tetapi Allah Swt menghendaki lain, mengungkap semua perbuatan baiknya agar diabadikan oleh tinta sejarah dan dijadikan sebagai teladan bagi generasi-generasi setelahnya hingga semuanya kembali kepada-Nya. Karena Allah telah berjanji:</div><div style="text-align: justify;">وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (105)</div><div style="text-align: justify;">"Dan katakanlah: "Berbuatlah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al-Taubah: 105)</div><div style="text-align: justify;">Keikhlasan Istri Imran (Ibunda Sayyidah Maryam) </div><div style="text-align: justify;">Meskipun nama ibu yang melahirkan wanita termulia di dunia, Sayyidah Maryam, tidak dijelaskan secara detil, tapi patutlah kita meneladani keikhlasannya yang luar biasa, sehingga dicatat dan diabadikan bersama kisah-kisah agung lainnya dalam Al-Quran. Mari kita simak ungkapan hatinya yang tulus dan ikhlas kepada Rabb-nya yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 35: </div><div style="text-align: justify;">إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ</div><div style="text-align: justify;">"(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Ali Imran: 35]</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud demgam kata "muharraran" dalam ayat di atas adalah dengan ketulusan, keikhlasan, dan tidak mengharapkan apapun kecuali ridha Rabb-nya. Kalau kita bayangkan, seorang ibu mengandung anak selama kurang lebih sembilan bulan dengan segala jerih payahnya, kondisi badan harus senantiasa setabil, tidak boleh berkativitas terlalu banyak, tidur juga terkadang tidak bisa nyeyak. Kemudian setelah si buah hati itu lahir dengan selamat, diberikan kepada orang lain tanpa imbalan apapun, dan bukan karena tidak mampu menafkahinya. Mungkin keikhlasan seorang ibu di lingkungan kita hanya sebatas memohon kepada-Nya: "Ya Allah anugerahkanlah padaku anak yang shalih, lahirkan dia dengan selamat dan aku akan mendidiknya dengan baik agar mengenal-Mu dan senantiasa melabuhkan cintanya pada-Mu." </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Ibunda sayyidah maryam tidak hanya sekedar berdoa, melainkan menyerahkan jiwa dan raga belahan jiwanya kepada Rabb-nya, seraya memohon agar persembahannya diterima oleh Allah. Allah Swt kemudian mengabulkan permohonannya: </div><div style="text-align: justify;">فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا... (37)</div><div style="text-align: justify;">"Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik…" [Ali Imran: 37]</div><div style="text-align: justify;">Apa kemudian yang menjadi buah dari keihklasan tersebut? Putri belahan hati yang ia persembahkan itu kemudian tumbuh menjadi salah satu dari empat wanita sempurna yang ada di dunia ini. Beliaulah sayyidah Maryam, wanita suci yang melahirkan nabi Isa as. Dan menurut sebagian ulama Tafsir, beliau akan menjadi Isteri Rasulullah Saw di Surga kelak.</div><div style="text-align: justify;">Keikhlasan Rasulullah Saw </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw adalah imam dan pemimpin para mukhlisîn. Beliaulah teladan utama dalam hal keikhlasan mengabdi kepada Allah Swt. Seluruh aktivitas beliau adalah cerminan dari ikhlas, mahabbah, ridha, takwa, sabar, syukur, tawakkal, dan ibadah-ibadah hati lain yang akan kita bicarakan pada pembahasan-pembahasan berikutnya. Mari kita melihat salah satu diantaranya, yaitu kebiasaan beliau bangun malam untuk bermunajat kepada Allah Swt. Padahal jaminan masuk surga sudah dijanjikan dan segala kesalahannya sudah diampuni baik yang sudah lewat maupun yang belum. </div><div style="text-align: justify;">Beliau menyembah Rabb-Nya adalah karena mahabbah, ikhlas dan syukur beliau kepada Rabb-nya. Doa yang selalu beliau haturkan setiap solat malam, membuktikan betapa kesyukuran, keikhlasan, kecintaan, ketawakkalan beliau kepada Allah Swt. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan:</div><div style="text-align: justify;">اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ قَيُّوْمُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَّقُّ، وَوَعْدُكَ حَقٌّ، وَلِقَاءُكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ... اَللَّهمَّ لَكَ أَسلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَإلَِيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسرَرْتُ وَمَا أَعلَنْتُ، أَنْتَ المُقَدِّمُ وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ</div><div style="text-align: justify;">"Wahai Allah, bagimu segala puji, Engkaulah penguasa langit dan bumi dan apa-apa yang berada padanya, bagi-Mu segala puji Engkaulah yang mengatur langit dan bumi beserta isinya, bagi-Mu segala puji Engkaulah cahaya langit dan bumi beserta isinya, bagi-Mu segala puji Engkaulah Al-Haqq, janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, para nabi adalah benar, dan Muhammad Saw adalah benar, hari kiamat adalah benar… Wahai Allah, kepada-Mu lah aku berserah diri, kepada-Mu lah aku bertawakkal, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku kembali, karena Engkau aku memusuhi, kepada Engkau aku berhukum, maka ampunilah aku terhadap apa-apa yang telah aku dahulukan, atau yang telah kuakhirkan, dan apa yang aku sembunyikan, atau yang aku perlihatkan, sesungguhnya Engkaulah yang mendahulukan dan mengakhirkan." (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Bukankah jaminan keselamatan merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam beribadah? Kalau sudah dijamin selamat dan tidak bersalah, lalu mengapa Rasulullah adalah orang yang paling kuat menyembah Rabb-nya? Jawabannya adalah, justeru ibadah yang beliau lakukan itu adalah bukti bahwa Allah telah menjamin keselamatan beliau. Sebaliknya jika seseorang tidak mau menyembah Allah dan gemar memaksiati-Nya maka hal ini adalah bukti bahwa Allah tidak menjamin keselamatannya. </div><div style="text-align: justify;">Rahasia hal ini kembali kepada takdir Allah Swt. Karena Allah Swt Mahamengetahui siapa saja yang akan menjadi kekasih-Nya dan penduduk surga, sebagaimana juga mengetahui siapa saja yang akan menjadi musuh-Nya dan penghuni neraka masuk surga. Maka orang yang telah Allah ketahui sebagai kekasih-Nya dan penduduk surga, Dia akan memudahkannnya untuk menjalankan ketaatan dan mencegahnya berlaku maksiat. Sedangkan orang yang Dia tahu akan menjadi penghuni neraka Dia akan memudahkan baginya berbuat maksiat dan menghalanginya berbuat ketaatan. </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah saw bersabda: (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَمَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ قَالَ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ :{ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى }</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw bersabda: “Tak seorangpun diantara kalian dari setiap yang bernyawa kecual telah tertulis posisinya di surga atau neraka, telah tertulis sebagai orang yang sengsara atau bahagia.” Seseorang kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita pasrah saja dengan apa yang telah ditetapkan dan meninggalkan amal, karena siapa saja di antara kita yang sudah tertulis sebagai orang yang bahagia niscaya ia akan akan melakukan perbuatan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan, dan siapa saja di antara kita yang telah tertulis sebagai orang sengsara maka ia akan melakukan perbuatan orang-orang yang mendapat kesengsaraan?” Rasulullah menjawab: “Orang-orang Ahli Sa’âdah (yang telah tertulis sebagai orang bahagia) akan dimudahkan untuk melakukan amalan-amalan yang menyampaikan kepada kebahagiaan, dan orang-orang Ahli Syaqawah (yang telah tertulis sebagai orang sengsara), maka akan dimudahkan kepada amalan-amalan yang menyampaikan kepada kesengsaraan </div><div style="text-align: justify;">Maka bersyukurlah orang yang beriman dengan lapang dada dan gemar melakukan kebajikan dan merasa ringan melakukannya, karena hal itu merupakan pertanda Allah telah memilihnya menjadi penduduk surga. Namun ia tetap harus berhati-hati, karena ia tidak mengetahui takdir Allah yang telah ditetapkan. Ia tidak mengetahui apakah Allah akan mengakhiri hidupnya dengan husnul khâtimah atau sû'ul khâtimah. Sebab belum tentu ia ikhlas dalam beriman dan beramal shalih. Rasulullah saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ</div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli surga di hadapan manusia sedangkan ia adalah ahli neraka. Dan sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli neraka di hadapan manusia sedang ia adalah ahli surga." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Orang yang telah digariskan menjadi penduduk neraka, sedang ia terlihat di hadapan manusia selalu berbuat baik, tetap saja ia akan masuk neraka. Karena memang hatinya tidak ikhlas sebagaimana diisyaratkan oleh hadis di atas. kebaikan yang ia lakukan hanya tampak di hadapan manusia saja. Kalau benar ia ikhlas, niscaya Allah Yang Maha Adil tidak akan menakdirkannya mati dalam keadaan sû'ul khâtimah. Sebaliknya orang yang di dunia terkenal sebagai penjahat dan selalu bermaksiat kepada Allah, namun di akhir hayatnya ia ditakdirkan mati dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini tentulah tidak serta merta begitu saja. Tetapi karena di dalam hati kecilnya ada keikhlasan bertauhid yang terpatri, sehingga ia dimatikan dalam keadaan bertaubat nasuha dan tidak menyekutukan Allah Swt. Tauhid yang didasarkan dengan ikhlas inilah yang membakar dosa-dosanya. </div><div style="text-align: justify;">Banyak cerita orang yang terlihat di hadapan manusia sebagai orang yang shalih, namun mati dalam keadaan sû'ul khatimah, na'ûdzbillah min dzâlik. Rasulullah bersabda: </div><div style="text-align: justify;">عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ الزَّمَنَ الطَّوِيلَ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ ثُمَّ يُخْتَمُ لَهُ عَمَلُهُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ الزَّمَنَ الطَّوِيلَ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ ثُمَّ يُخْتَمُ لَهُ عَمَلُهُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ</div><div style="text-align: justify;">Dari Abu hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan ahli surga dalam waktu yang lama, kemudian diakhiri amalannya dengan amalan ahli neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan ahli neraka, kemudian diakhiri amalannya dengan amalan ahli surga." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu Rasulullah saw mengajarkan kita sebuah doa, semoga Allah menetapkan keimanan kita sampai akhir hayat. </div><div style="text-align: justify;">عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا قَالَ نَعَمْ إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ</div><div style="text-align: justify;">Dari Anas ra berkata bahwasanya Rasulullah saw sering sekali berdoa: "Wahai, (Dzat) Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa, apakah engkau mengkhawatirkan kami? Beliau menjawab, "Ya, sesungguhnya hati manusia berada di antara jari-jemari Allah, Dia membolak-balikkannya sekehendak-Nya." (HR. Tirmizi dan Ahmad) </div><div style="text-align: justify;">Teladan dari Salaf al-Shâlih</div><div style="text-align: justify;">a. Hasan Al-Bashri </div><div style="text-align: justify;">Hasan Al-Bashri berkata: "Jika saja ada seorang menghafal Al-Quran tetapi orang lain tidak mengetahuinya, pakar dalam ilmu fikih tetapi orang lain tidak mengetahuinya, biasa melakukan shalat dalam waktu yang lama padahal di rumahnya seringkali dikunjungi tamu tapi mereka tidak mengetahuinya. Sesungguhnya saya melihat segolongan orang di bumi ini tidak mampu menyembunyikan perbuatannya." Orang Muslim berupaya sebisa mungkin tidak terdengar suaranya dalam berdoa kecuali desahan antara dia dan Allah Swt. Sesuai dengan firman Allah Swt: </div><div style="text-align: justify;">اُدْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (55)</div><div style="text-align: justify;">"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-A'râf: 55)</div><div style="text-align: justify;">b. Abdullah bin Al-Mubarak</div><div style="text-align: justify;">Abdullah bin AL-Mubarak adalah salah seorang pemuka ulama salaf yang terkenal dengan kelusan ilmu dan kezuhudannya. Namun selain itu beliau juga adalah mujahid yang sangat pemberani di medan perang. Beliau memilih bertemu dengan Rabb-nya melalui jalan kesyahidan. 'Abdah bin Sulaiman bercerita: "Ketika kami berada dalam pasukan perang bersama Abdullah bin Mubarak di daerah Romawi, kami berjumpa dengan pasukan musuh. Tatkala dua pasukan bertemu salah seorang dari pasukan musuh keluar dari barisan untuk mubârazah (perang tanding). Maka majulah seorang tentara muslim melawannya. Tapi musuh sangat kuat dan berhasil membunuhnya. Setelah itu keluarlah seorang tentara muslim yang lain, namun ia juga terbunuh. Akhirnya yang ketiga kalinya seorang pasukan muslim keluar dan terbunuh juga. Para tentara yang lain pun mengerumuninya untuk mengetahui siapa dia, ternyata dia menutupi mukanya dengan surbannya. Saya termasuk salah satu orang yang ikut mengerumuni tempat itu, terus saya tarik ujung kain penutup mukanya, ternyata dia adalah Abdullah bin Mubarak." </div><div style="text-align: justify;">b. Zainul Abidin</div><div style="text-align: justify;">Beliau adalah Zainul Abidin bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. salah seorang yang patut untuk dijadikan teladan dalam beramal shalih. Selama puluhan tahun, para fakir di daerahnya mendapati makanan di depan pintu rumahnya tanpa mengetahui siapa yang mengantarkan makanan. Fenomena yang mengundang tanda tanya itu baru terungkap pada hari beliau wafat. Karena pada hari itu para fakir merasa kehilangan, karena kiriman makanan itu berhenti. Akhirnya mereka mengetahui bahwa yang selama memberikan mereka makan adalah Zainul Abidin. Tatkala mereka mau memandikan mayatnya, mereka menemukan warna hitam di bagian punggungnya. Mereka menyadari bahwa warna hitam itu adalah bekas membawa makanan di pundaknya untuk diantarkan ke rumah-rumah orang fakir miskin selama puluhan tahun. </div><div style="text-align: justify;">Demikian sekelumit contoh yang bisa kita jadikan suri tauladan dalam beraktivitas dan berkarya apapun bentuknya. Mereka (para salaf) memiliki ibadah khusus yang tidak ingin diketahui orang lain, sekalipun istrinya sendiri. Ibadah itu merupakan rahasia antara mereka dan Rabb-nya. Maka wajar saja ketika Ali bin Bakkâr yang merupakan salah satu tokoh ulama Bashrah yang terkenal dengan kezuhudannya berkata: "Lebih baik aku bertemu dengan setan daripada bertemu dengan manusia karena aku takut pura-pura berlagak baik karenanya, dan Allah tidak mau melihatku lantaran itu." </div><div style="text-align: justify;">Masalah-masalah seputar ikhlas</div><div style="text-align: justify;">a. Keraguan ketika beribadah</div><div style="text-align: justify;">Tidak dipungkiri bahwa kadang kala keraguan sering kali muncul ketika kita melakukan ibadah, apakah yang kita lakukan itu riya atau ikhlas. Fenomena seperti ini sering sering kita alami, siapapun bisa dihinggapi. Dalam menyikapi hal seperti ini, sebagian orang ada yang memilih tidak melakukan ibadah yang sudah menjadi kegiatan rutinnya karena takut riya. Penyikapan semacam ini menurut ulama bukanlah tindakan yang benar. Karena justru tindakan yang sebenarnya bentuk lain dari riyâ', yaitu riyâ' batin yang lebih samar. Fudhail bin 'Iyadh pernah berkata:</div><div style="text-align: justify;">تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النًّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يُعَافِيْكَ اللهُ مِنْهُمَا</div><div style="text-align: justify;">"Meninggalkan suatu perbuatan karena manusia adalah riya, berbuat karena manusia adalah syirik, dan keikhlasan adalah, ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya."</div><div style="text-align: justify;">Tetapi jika seseorang sengaja meninggalkan suatu perbuatan untuk dilakukan di tempat yang tidak dilihat orang lain, maka itu tidak menghilangkan makna ikhlas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi rh: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ عَزَمَ عَلَى عِبَادَةٍ وَتَرَكَهَا مَخَافَةَ أَنْ يَرَاهُ النَّاسُ فَهُوَ مُرَاءٍ لِأَنَّهُ تَرَكَ لِأَجْلِ النَّاسِ، لَكِنْ لَوْ تَرَكَ الْعَمَلَ لِيَفْعَلَهُ فِي الْخَفَاءِ فَلَا يُنَافِي ذَلِكَ الْإِخْلَاصِ.</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa yang ingin melakukan ibadah kemudian meninggalkannya karena takut dilihat orang maka dia terjatuh dalam riya, sebab ia meninggalkannya karena manusia. Tetapi apabila meninggalkannya untuk dilakukan secara diam-diam maka itu tidak menafikan keikhlasan."</div><div style="text-align: justify;">Ulama berpendapat bahwa ketika timbul timbul rasa ragu dalam diri, sebenarnya pada saat itu kita sedang ber-mujahadah dalam batin kita, justru inilah pertanda kebaikan. Sebab, ketika seseorang bertanya pada hatinya, apakah ia melakukan perbuatan ini untuk dilihat orang? Maka hatinya juga akan menjawab: "Ya Allah, aku telah berusaha untuk mengikhlaskan amal ibadah ini untuk-Mu semata, jika ada hal yang mengotorinya baik yang aku ketahui atau yang tidak kuketahui maka ampunilah aku karenanya. Jadikanlah amalan ini hanya untuk-Mu." Adapun jika hati kita merasa tenang ketika melaksanakan ibadah, dalam arti ia membiarkan dirinya larut dalam niat ingin dilihat orang, itulah sebenarnya yang menjadi masalah. </div><div style="text-align: justify;">b. Kapan ibadah itu boleh diperlihatkan? </div><div style="text-align: justify;">Para ulama berpendapat bahwa boleh amal kebajikan diperlihatkan dengan syarat, dilakukan sebagai contoh dan teladan bagi murid, atau orang lain yang memang perlu mengetahuinya. Ibadah-ibadah wajib sendiri memang harus diperlihatkan, seperti shalat wajib, zakat wajib, jihad, haji dan sebagainya. Karena jika tidak demikian, maka akan hilanglah syiar-syiar Islam. Namun kita harus tetap menjaga hati agar semuanya dilakukan atas dasar iklhlas karena Allah Swt, sesuai dengan perintah-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Ibadah yang utama dilakukan tanpa dilihat orang lain adalah ibadah-ibadah sunnat. Namun tidak berarti tidak boleh memperlihatkannya kepada orang lain dengan tujuan mengajar atau menganjurkan mereka untuk ikut rajin melaksanakan ibadah Sunnah.</div><div style="text-align: justify;">Dalam hal ini, penting juga diperhatikan kemampuan dalam membentengi diri dari segala pujian atau celaan dari orang lain. Jika merasa lemah maka sebaiknya tidak diperlihatkan, karena dikhawatirkan ibadah yang dilakukannya menjadi sia-sia. Tetapi jika merasa mampu menghindari riyâ', tahan terhadap celaan, maka baginya lebih utama untuk memperlihatkan amalan, karena hal itu termasuk mengajak kepada kebajikan. Dan mengajak kebaikan adalah kebaikan. Apalagi kebaikan itu kemudian diikuti oleh orang banyak, maka akan menjadai amal jariyah yang pahalanya selalu mengalir, sehingga menjadi kebaikan di atas kebaikan. Rasulullah Saw bersabnda:</div><div style="text-align: justify;">مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ</div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa yang memulai suatu perbuatan baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang memulai perbuatan buruk maka baginya dosanya dan dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi dari dosa mereka sedikitpun." (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Mâjah, Baihaqi, dan hadis dengan lafaz ini adalah riwayat Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Para ulama memberikan teladan yang baik memperlihatkan atau mengabarkan ibadah yang mereka lakukan untuk diikuti oleh orang lain, terutama sebagai pelajaran kepada anak. Seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakr bin 'Iyâsy kepada putranya: "Wahai anakku janganlah kau melakukan maksiat di kamar ini, sesungguhnya aku telah menghatamkan Al-Quran di kamar ini sebanyak dua belas ribu kali." Bagi mereka yang dekat dengan Rabb-nya, memiliki keikhlasan tingkat tinggi, mereka tidak akan terpengaruh ada atau tidak adanya makhluk yang melihat mereka. Tidak juga terpengaruh oleh pujian atau celaan, karena keagungan Dzat yang mereka sembah terlalu besar untuk diusik oleh makhluk yang kerdil dan hina. </div><div style="text-align: justify;">Intinya bahwa seseorang diperintah untuk berdakwah dan menyeru orang menuju jalan Allah yang lurus. Selain dengan ungkapan, dakwah juga harus disertai dengan qudwah (teladan yang baik). Karena orang terkadang tidak percaya terhadap Islam karena melihat juru dakwahnya yang tidak mencerminkan akhlak islami. Dalam proses berdakwah ini tentulah akan ada pasang surut niat. Maka hendaknya ia selalu men-tajdid (memperbaharui) niatnya. Ketika timbul niat yang tidak baik maka bersegeralah mengucap tahllil. Rasulullah saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ</div><div style="text-align: justify;">"Perbaharuilah niat kalian." Para sahabat bertanya, "bagaimana kami memperbaharui niat kami wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "perbanyaklah mengucap, 'Lâ Ilâha illallâh'." (HR. Imam Ahmad) </div><div style="text-align: justify;">Atau bisa juga mensiasati agar amal tidak terjangkit riyâ', dengan melihat kondisi. Jika ada perasaan ujub dan riyâ', berhentilah sejenak untuk mengintrospeksi diri kemudian melanjutkan amal kembali. Sebagaimana menurut perkataan sebagian ulama:</div><div style="text-align: justify;">يَنْبَغِيْ لِلْعَالِمِ أَنْ يَتَحَدَّثَ بِنَيَّةٍ وَحُسْنِ قَصْدٍ، فَإِنْ أَعْجَبَهُ كَلَامُهُ فَلْيَصْمُتْ وَإِنْ أَعْجَبَهُ الصَّمْتُ فَلْيَنْطِقْ، فَإِنْ خَشِيَ الْمَدْحَ فَلْيَصْمُتْ وَلَا يَفْتَرْ عَنْ مُحَاسَبَةِ نَفْسِهِ فَإِنَّهَا تُحِبُّ الظُّهُوْرَ وَالثَّنَاءَ</div><div style="text-align: justify;">Hendaknya bagi seorang yang alim berbicara dengan niat dan maksud yang baik. Jika perkataannya membuat dirinya ujub maka hendaknya ia diam, jika diam juga membuatnya ujub maka hendaknya ia berbicara, apabila ia takut dipuji maka hendaknya ia diam dan hendaknya ia tidak menyerah untuk memuhasab diri karena ia suka untuk dilihat dan dipuji.</div><div style="text-align: justify;">c. Menyeru meninggalkan perbuatan baik</div><div style="text-align: justify;">Menyeru orang untuk menyembunyikan semua amalan baik, terutama syiar-syiar yang agung dan besar yang harus dilakukan secara bersama-sama oleh kaum muslimin, adalah perbuatan yang berbahaya. Karena di samping hal ini dapat menghilangkan syiar-syiar tersebut, perbuatan ini juga merupakan ciri-ciri orang munafik. Orang munafik tatkala melihat seorang muslim bersedekah dengan jumlah besar, mereka akan mengatakan engkau riyâ', tetapi ketika ia bersedekah dengan jumlah yang kecil, mereka akan mengatakan Allah tidak membutuhkan uluran tanganmu yang sedikit itu. Upaya ini tidak lain adalah propaganda untuk merusak niat baik kaum muslimin, dan agar tidak lagi terlihat kebaikan di lingkungan mereka. Jika hal ini terjadi maka bisa-bisa nilai-nilai dan ruh Islam akan tenggelam bersama dengan hilangnya teladan yang baik. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ</div><div style="text-align: justify;">"(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak mendapatkan sesuatu (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih." [Al-Taubah: 79]</div><div style="text-align: justify;">Riya’</div><div style="text-align: justify;">Kata riya` berasal dari kata ru`yah (melihat). Asalnya adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan menunjukkan kepada mereka berbagai perangai dan sifat baik. Diantara bentuk-bentuk riya’ adalah sebaga berikut:</div><div style="text-align: justify;">- Menampakkan keletihan dan kelelahan yang mengesankan kerja keras, merasa sedih memikirkan berbagai persoalan agama dan sangat takut dengan akhirat. </div><div style="text-align: justify;">- Penampilan yang dibuat-buat, seperti rambut kusut, menundukkan kepala ketika berjalan, sangat tenang dalam melakukan aktivitas dan membiarkan bekas sujud menempel di wajahnya. </div><div style="text-align: justify;">- Memberikan mau’izhah (nasehat), peringatan dan berbicara dengan kata-kata hikmah (mutiara) dan atsâr (Hadits Nabi atau perkataan ‘ulama`), menggerakkan kedua bibirnya untuk bedzikir di depan orang banyak, memanjangkan berdiri, sujud dan ruku’ dalam shalat, semuanya karena ia ingin dianggap sebagai orang sholeh. </div><div style="text-align: justify;">Yang Tidak Termasuk Riya' </div><div style="text-align: justify;">Ada beberapa contoh sederhana yang mungkin terjadi diantara kita. Perbuatan yang terkadang memunculkan perasaan dan anggapan riyâ' terhadap suatu pekerjaan. Diantaranya adalah sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;">a. Mendapat pujian tanpa diinginkan atau disengaja karena melakukan kebaikan, kemudian merasa bahagia dan tidak merasa besar hati karena semua itu pemberian Allah, maka hal ini tidak termasuk riya' tetapi justeru merupakan kabar gembira dan pertanda kabaikan bagi seorang mukmin. Rasulullah bersabda:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنْ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ</div><div style="text-align: justify;">Dari Abu Dzarr ra, ia berkata, ditanyakan kepada Rasulullah saw, "Bagaimanakah dengan seseorang yang melakukan amal kebaikan kemudian dipuji orang lain?" Beliau menjawab, "Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang yang beriman." (HR. Muslim) </div><div style="text-align: justify;">b. Seseorang melihat ahli ibadah, kemudian membuatnya semangat dan giat beribadah karena melihat orang lain yang lebih giat darinya. Perbuatan semacam bukan riya', jika diniatkan untuk ibadah karena Allah akan mendapatkan pahala. </div><div style="text-align: justify;">c. Memakai pakaian dan sepatu yang bagus, berpenampilan rapi dan wangi bukanlah termasuk riyâ' asal tidak berlebihan. Karena Allah Maha Indah dan menyukai yang indah. Dia juga memerintahkan kita untuk bersih dan rapi tetapi tetap sederhana dan tidak berlebihan.</div><div style="text-align: justify;">d. Menyembunyikan dosa dan tidak membicarakannya. Sebagian kita beranggapan bahwa untuk mendapatkan derajat ikhlas harus membeberkan dosa-dosa dan aibnya di hadapan orang lain. Padahal Allah memerintahkan kita untuk menutupi aib diri sendiri dan orang lain, bahkan merupakan perbuatan yang disukai Allah Swt. Jika beranggapan sebaliknya maka hal itu merupakan bisikan dan tipu daya setan untuk menyebarkan kemungkaran di antara manusia. Rasulullah Saw bahkan bersabda:</div><div style="text-align: justify;">كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ</div><div style="text-align: justify;">"Seluruh umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang terang-terangan bermaksiat. Dan termasuk terang-terangan dalam bermaksiat adalah seseorang yang bermaksiat di malam hari kemudian di pagi hari bercerita, wahai fulan tadi malam akutelah berbuat begini dan begini. Ia bermalam dalam keadaan ditutupi aibnya oleh Allah, namun ia malah membuka penutup aibnya sendiri." (HR. Bukhari) </div><div style="text-align: justify;">e. Menjadi tenar tapi bukan merupakan kehendaknya. Seperti ulama yang terkenal padahal tujuannya untuk kemaslahatan umat, menunjukkan yang benar, memerangi kebatilan, menjawab tuduhan-tuduhan tidak benar terhadap agama, dan demi menyebarkan agama Allah. Jika datangnya ketenaran adalah sebuah konsekuensi dari apa yang dilakukan itu maka tidak termasuk perbuatan riya'. Tetapi dengan ketenaran sering membuat orang terjebak dalam perbuatan riya'.</div><div style="text-align: justify;">Antara riya' dan Menyertakan Lain Dalam Beribadah</div><div style="text-align: justify;">Dua hal yang sangat berdekatan dan hampir sulit dibedakan. Penting sekali mengetahui hakikat kedua hal tersebut dalam suatu amal perbuatan. Kapan perbuatan itu dikatakan tidak diterima? Bagaimanakah hukum menyertakan niat lain selain Allah dalam beramal? Kapan seseorang dianggap berdosa, dan kapan dianggap tidak berdosa? </div><div style="text-align: justify;">Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid membaginya sesuai dengan urutan sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;">a. Beramal semata-mata karena Allah dan tidak tercampur oleh niat duniawi lainnya. Tingkatan ini merupakan derajat tertinggi.</div><div style="text-align: justify;">b. Beramal karena Allah dan dibarengi dengan niat lain yang diperbolehkan. Misalnya kita berpuasa karena Allah kemudian kita barengi dengan niat demi menjaga kesehatan. Seperti halnya niat haji dan berdagang, berjihad dan mendapat bagian dari ghanîmah (bagian harta rampasan perang), pergi ke masjid dan olahraga dengan berjalan, dan beberapa contoh semisal. Bagaimana hukum perbuatan semacam ini? Apakah embel-embel tujuan itu merusak ibadah? Niat tersebut sesungguhnya tidak merusak amal ibadah, hanya saja dapat mengurangi pahalanya sesuai kadar kecenderungnnya terhadap niat yang lain itu. Yang lebih utama tentunya tidak menyertakan niat sampingan itu dan tidak dimunculkan bersamaan dengan niat karena Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">c. Berbuat dengan niat yang tidak diperkenankan. Yaitu ketika melakukan suatu ibadah tapi ada tujuan tertentu yang tidak diperbolehkan, misalnya ingin dilihat, didengar, dipuji atau dikenang. Apakah ibadah ini dianggap tidak diterima? Jika niat itu merupakan sumber asli sebuah amal perbuatan maka tidak diterima. Apabila niat riya' itu muncul di ketika melakukan ibadah kemudian berusaha menghilangkan dengan bermujahadah, maka amalannya benar dan mendapat pahala karena bermujahadah. Tetapi jika penyakit riya' itu timbul ketika melakukan suatu amalan kemudian kita biarkan, tidak ada usaha menghilangkannya, maka perbuatannya tidak dibenarkan. </div><div style="text-align: justify;">d. Beramal untuk kemaslahatan dunia semata. Misalnya berpuasa hanya untuk menjaga diri tanpa mengharap pahala, haji untuk berdagang saja, mengeluarkan zakat agar hartanya bertambah, pergi ke masjid untuk berolahraga dengan berjalan, dan lain sebagainya. Tipe seperti ini jelas salah dan tidak diterima. Firman Allah dalam surat Al-Isra' ayat 18: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir." [Al-Isra': 18]</div><div style="text-align: justify;">e. Beramal karena riya' semata. Amalan semacam ini jelas tertolak dan tidak mendapat pahala, bahkan pelakunya berdosa. Larangan-larang terhadap riya' dari Al-Quran dan hadis utamanya menujuk langsung kepada amalan seperti ini. </div><div style="text-align: justify;">Hukum Perbuatan Yang Dihinggapi Riya'</div><div style="text-align: justify;">Ada dua kriteria amalan yang dihinggapi oleh riya' ini. Pertama, seorang yang melakukan amal kebaikan dan perasaan riya' atau ingin dilihat atau mendapat posisi tertentu di hati orang lain menjadi faktor utama yang mendorongnya berbuat. Kedua, tujuan pertama amal kebaikan yang ia lakukan adalah semata-mata karena Allah, akan tetapi di tengah-tengah ia menjalankannya muncul penyakit riya' ini. hukum kriteria yang pertama adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa perbuatan itu jelas merupakan kemaksiatan besar dan termasuk bentuk perbuatan syirik yang tersembunyi. Otomatis perbuatan ini tidak diterima bahkan pelakunya berdosa dan tidak diampuni selama ia tidak beristigfar, bertaubat dan memohon ampun. Riya' semacam ini merupakan bentuk riya' yang paling buruk. </div><div style="text-align: justify;">Adapun kriteria yang kedua menurut jumhur ulama juga termasuk riya', akan tetapi tidak menghapus seluruh pahala amalan baik. Inilah bukti akan rahmat Allah kepada hamba-Nya. Lebih lanjut para ulama mensyaratkan agar ketika timbul riya' segera kembali kepada niat awal, tapi jika terlelap dalam riya' maka amalan ibadahnya akan ditimbang, mana yang lebih banyak antara riya' dan ikhlas. Apabila hasilnya berimbang maka si pelaku tidak mendapatkan siksa atau pahala. Jika riya' lebih banyak mengungguli ikhlas maka akan mendapat siksa. Rasulullah saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلَا قَمَرًا وَلَا وَثَنًا وَلَكِنْ أَعْمَالًا لِغَيْرِ اللَّهِ وَشَهْوَةً خَفِيَّةً</div><div style="text-align: justify;">Dari Syaddâd bin Aus ra ia berkata: "Rasulullah saw besabda, 'Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan dari umatku adalah syirik kepada Allah, bukan yang kumaksud dengan syirik adalah menyembah matahari, bulan atau berhala, tetapi amalan-amalan yang ditujukan selain karena Allah dan syahwat yang tersembunyi'." (HR. Ibnu Majah)</div><div style="text-align: justify;">Dalam hadis lain beliau bersabda: </div><div style="text-align: justify;">عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً</div><div style="text-align: justify;">Dari Mahmud bin Labîd ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan dari umatku adalah syurik kecil." Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu? Beliau menjawab: "Riya'." Allah azza wajalla akan berkata kepada mereka pada hari kiamat, ketika setiap orang telah mendapatkan ganjaran amalannya: "Pergilah kalian kepada orang-orang yang engkau berbuat riya' karena mereka di dunia, dan lihatlah apakah kalian akan mendapatkan imbalan dari mereka." (HR. Imam Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Untuk menanggulangi masalah ini Rasulullah memberikan solusi luar biasa dan tidak sulit dikerjakan, yaitu memperbanyak istigfar, tahlil (mengucap: Lâ Ilâha Illallâh) dan sebuah doa di kala pagi dan petang yang diajarkan oleh beliau: </div><div style="text-align: justify;">أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ فَقَالَ لَهُ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَكَيْفَ نَتَّقِيهِ وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ</div><div style="text-align: justify;">"Wahai sekalian manusia, berhati-hatilah kamu terhadap syirik, karena ia lebih tersembunyi dari (suara) langkah semut." Seseorang bertanya, "Bagaimana kami menghindarinya kalai ia lebih tersembunyi dari suara langkah semut?" Beliau menjawab: "Ya Allah kami berlindung dari perbuatan menyekutukan-Mu yang kami ketahui, dan kami mohon ampun (dari menyekutukan-Mu) dengan apa yang tidak kami ketahui." (HR. Imam Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Ikhtitam</div><div style="text-align: justify;">Menutupi kajian tentang ikhlas kali ini marilah kita mengintrospeksi diri, dimanakah letak antara kita dan ikhlas. Sebagian ulama menyebutkan ciri-ciri bahwa bibit keikhlasan telah tumbuh dalam diri. Apakah kemudian kita telah berupaya mencapainya? Coba kita tanyakan beberapa sinyal-sinyal keikhlasan yang disebutkan oleh syaikh Shalih al-Munajjid di bawah ini kepada diri kita. Apakah kita memiliki semangat dalam beramal demi kemaslahatan Islam? Apakah kita selalu beranggapan bahwa masih banyak hak Allah yang belum ditunaikan? Apakah kita tidak pernah melihat keikhlasan dalam perbuatannya dan selalu bertanya-tanya dalam hati apakah perbuatan ini sudah ikhlas atau belum? Apakah kita tidak pernah menginginkan pujian dari orang lain dan tidak takut terhadap celaan selama melakukan kebenaran, atau sebaliknya? Apakah kita terpengaruh oleh pujian dan celaan orang lain dalam beribadah? Apakah kita selalu menghadirkan niat karena Allah dan terus-menerus memperbaharuinya? Apakah kita lebih gemar melakukan amal ibadah sunnah secara tersembunyi dari pada terlihat, kecuali untuk tauladan? Apakah kita semangat dan sigap dalam beramal dan mencari pahala? Apakah kita mampu bersabar, bertanggung jawab dan tidak suka mengadu kepada makhluk dan selalu kepada Allah? dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyan yang bisa kita lakukan untuk menguji keikhlasan dalam diri kita ini. semoga Allah Yang Maha Pemurah menganugerahi kita keikhlasan dalam beribdah kepadanya. Âmîn yâ rabbal 'âlamîn. Wallahu a'lam</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mantapkan Akidah, Tentramkan Jiwa dengan Tawakkal</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Ahmad Musyafa, Lc.</div><div style="text-align: justify;">Tawakkal adalah salah satu ibadah hati yang paling penting, karena ia adalah kewajiban terbesar yang merupakan konsekuensi keimanan. Ia menduduki peringkat kedua setelah ikhlas kepada Allah Swt. Tawakkal adalah proses memohon pertolongan dengan penyerahan diri dan penghambaan total kepada Allah. Ibadah ini sangat berhubungan erat dengan amalan-amalan zahir, seperti halnya ikhlas. Setiap amalan wajib, sunnah, maupun mubah tidak sempurna tanpa nilai tawakkal. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah zahir manusia harus dibarengi dengan tawakkal. </div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tawakkal hukumnya wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar di antara kewajiban yang lain, seperti halnya ikhlas. Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa tawakkal merupakan bentuk penyerahan diri secara total, memohon pertolongan, dan ridha kepada Allah. Syaikh Sulaiman bin Abdullah mengatakan, sumber yang mengeluarkan cabang-cabang amal ibadah adalah tawakkal kepada Allah. Darinya akan terlahir ketergantungan hanya kepada Allah, berlindung hanya kepada-Nya. Ia adalah puncak tauhid yang membuahkan maqâm yang mulia seperti mahabbah, khauf, raja’, ridha dan ibadah-ibadah hati lainnya. Tawakkal yang tinggi bahkan bisa mengantarkan seseorang pada kenikmatan menghadapi ujian, karena ia menganggapnya sebagai nikmat. </div><div style="text-align: justify;">Setiap muslim hendaknya memahami bahwa tawakkal merupakan kewajiban dalam beragama dan kebutuhan duniawi. Ia tidak hanya berhubungan dengan urusan mencari rezeki. Ia bahkan menjadi sangat penting ketika seseorang mendirikan ibadah jihad melawan orang kafir, dan merupakan wujud kemantapan iman. Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (23)</div><div style="text-align: justify;">"Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Maidah: 23)</div><div style="text-align: justify;">Tawakkal adalah ibadah hati yang merupakan maqâm yang tidak mudah dicapai oleh sembarang orang. Hanya orang tertentu yang mampu menerapkan tawakkal yang maksimal. Mereka adalah bagian dari tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan siksa. Ini membuktikan bahwa dari sekalian manusia hanya sebagian kecil yang berhasil meraih maqâm tawakkal ini. Rasulullah Saw bersabda tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab: “...Mereka adalah segolongan orang yang tidak menjampi, menganggap sial, tidak mengobati luka dengan besi panas, dan mereka yang senantiasa bertawakkal kepada Rabb-nya.” (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Definisi Tawakkal </div><div style="text-align: justify;">Secara bahasa tawakkal berarti bergantung, menyerahkan, dan mewakilkan urusan kepada orang lain. Seseorang dikatakan mewakilkan urusannya kepada orang lain ketika ia meminta posisinya digantikan dalam melakukan sesuatu dengan kebergantungan dan kepercayaan penuh kepada orang yang mewakilnya. Dapat dipahami juga bahwa tawakkal berarti menunjukkan kelemahan atau ketidakmampuan dalam menjalanan tugas tertentu sehingga membutuhkan pertolongan orang lain dalam menjalankannya. Kata tawakkal dengan beragam bentuk penggunaannya disebutkan dalam Al-Quran sebanyak empat puluh dua kali, semuanya berarti penyerahan diri secara total kepada Allah Swt </div><div style="text-align: justify;">Ada penggunaan kata senada dengan tawakkal yaitu al--wakâlah. Menurut Imam Ibnul Qayyim, kata tersebut mempunyai dua makna; pertama, berarti at-taukîl, yaitu meminta digantikan posisinya. Kedua, berarti at-tawakkul, yaitu proses penyerahan secara penuh. Maksudnya, bahwa proses ini terjadi di antara dua belah pihak; antara hamba dan Rabb-nya. Allah Swt mewakilkan kepada hamba untuk menjaga urusan yang dititipkan kepada hamba itu. Sedangkan hamba bertawakkal dan bergantung sepenuhnya kepada Allah dalam menjalankan urusan tersebut. Ayat yang menunjukkan bahwa Allah mewakilkan amanat kepada hamba terdapat dalam surat Al-An‘am ayat 89: </div><div style="text-align: justify;">...فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ (89)</div><div style="text-align: justify;">"Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab, hikmat dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya (risalah kenabian) kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya." (QS. Al-An’am: 89)</div><div style="text-align: justify;">Maksud dari ayat tersebut adalah Allah menitipkan risalah ilahiyah kepada orang yang beriman, berdakwah, berjihad, dan menolong agama Allah. Artinya Allah Swt menitipkan amanat dakwah dan agama kepada hamba-Nya agar berdakwah untuk menyebarkan misi Allah dan senantiasa berjuang demi kepentingan agama. Ketika ada pertanyaa benarkah Allah menitipkan urusan tertentu kepada sebagian hamba-Nya? Jawabannya adalah benar dan tidak mengurangi sifat-Nya sebagai Mahakuasa, karena menitipkan tidak berarti menyerahkan segala urusan secara penuh. Selain itu tidak mungkin makhluk apapun menggantikan posisi Sang Khalik. Manusia hanya menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi. </div><div style="text-align: justify;">Adapun tawakkal menurut istilah syariat adalah kesungguhan hati dalam bergantung secara penuh kepada Allah Swt untuk mendapatkan kebaikan dan menjauhkan diri dari kemadharatan (bahaya dan kerugian) duniawi dan ukhrawi. Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan definisi di atas degnan mengatakan, tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bergantung sepenuhnya kepada Allah Swt untuk mendapatkan kebaikan dan menjauhkan kemadharatan, dibarengi dengan usaha yang diperintahkan oleh Allah. Tidak jauh dengan definisi di atas Syaikh Zubaidy mengatakan, tawakkal adalah yakin sepenuhnya dengan apa yang dimiliki Allah dan tidak yakin dengan apa yang dimiliki manusia, hati bergantung sepenuhnya kepada Allah Swt dibarengi dengan usaha nyata dengan keyakinan penuh bahwa Allah adalah Mahapemberi rezeki, Mahapencipata, Mahamenghidupkan dan mematikan, Mahapemberi dan penghalang, tidak ada tuhan selain Dia.</div><div style="text-align: justify;">Penerapan Tawakkal </div><div style="text-align: justify;">Al-Quran banyak sekali menyinggung urgensi penyertaan tawakkal dalam melaksanakan ibadah-badah zahir. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah hati berupa tawakkal haruslah menjadi dasar ibadah-ibadah zahir. Ibadah zahir bagaikan usaha nyata untuk menggapai surga Allah Swt. Tapi tetap saja bukan ibadah yang membuat seseorang masuk surga, malainkan rahmat dan ridha Allah lah yang menjadikannya masuk surga. Jadi ibadah yang ia lakukan hanyalah usaha untuk mengemis kepada Allah Swt, sehingga kalau Allah mengasihinya, maka Dia akan memasukkannya ke dalam Surga. Di bawah ini adalah urgensi tawakkal sebagai dasar ibadah-ibadah zahir. </div><div style="text-align: justify;">1. Tawakkal dan ibadah secara umum</div><div style="text-align: justify;">Allah memerintahkan Rasul-Nya dan sekalian hamba-Nya untuk beribadah dan bertawakkal kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;">فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (123)</div><div style="text-align: justify;">"…Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya, dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS. Hûd: 23)</div><div style="text-align: justify;">وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا (3)</div><div style="text-align: justify;">"Dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pemelihara." (QS. Al-Ahzab: 3)</div><div style="text-align: justify;">2. Tawakkal dalam berdakwah. </div><div style="text-align: justify;">Banyak kisah para nabi yang menggambarkan ketawakkalan yang maksimal ketika menyebarkan dakwahnya. Perjalanan dakwah mereka tidak pernah mulus dari ancaman dan penentangan kaumnya. Ketika dakwah mereka tidak diterima oleh kaumnya, para rasul senantiasa bertawakkal kepada Allah. Karena mereka paham bahwa tugas mereka hanya menyampaikan risalah kenabian. Perkara hidayah bukanlah ditangan mereka. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">مَاعَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (99)</div><div style="text-align: justify;">"Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (QS. Al-Maidah: 99)</div><div style="text-align: justify;">Soal kaum mereka mau beriman atau tidak, itu adalah urusan Allah, bukan urusan para nabi dan rasul. Karena tugas mereka hanya menyampaikan. Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (129)</div><div style="text-align: justify;">"Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dialah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung."</div><div style="text-align: justify;">3. Tawakkal ketika memutuskan hukum</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw menyerahkan segala urusan dan senantiasa bertawakkal kepada Allah. Sebagian orang, tatkala berbeda pendapat dengan orang lain dalam suatu urusan, mereka mengembalikan urusan itu kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ketika sekelompok masyarakat telah bermusyawarah dan sepakat untuk melakukan kebaikan, maka kewajiban mereka setelah itu adalah bertawakkal, menyerahkan hasil kesepakatan itu kepada Allah, kemudian menjalankannya, pantang surut ke belakang selama berada dalam kebenaran. Demikian juga dengan seorang hakim yang istiqamah dalam kebenaan. Ia tidak akan merasa terbebani oleh penolakan orang lain yang tidak setuju dengan kebijakannya, selama keputusannya benar-benar sesuai dengan syariat agama. Untuk itu seorang qâdhi (hakim) harus senantiasa bertawakkal kepada Allah Swt dalam setiap keputusannya. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ (10)</div><div style="text-align: justify;">"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya adalah kepada Allah. Dialah Allah Tuhanku, kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nya lah aku kembali." (QS. Al-Syura: 10)</div><div style="text-align: justify;">4. Tawakkal ketika berjihad memerangi musuh.</div><div style="text-align: justify;">Meskipun dengan kemampuan persenjataan dan pasukan yang memadai serta dilengkapi dengan strategi perang yang jitu, tawakkal tidak boleh dilupakan. Karena kemenangan tetaplah karena pertolongan Allah Swt. Firman Allah Swt dalam surat Ali Imran:</div><div style="text-align: justify;">إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (122) وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (123)</div><div style="text-align: justify;">Dan (ingatlah), ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal (122). Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya (123) (QS. Ali Imran: 121-122) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160)</div><div style="text-align: justify;">Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (QS. Ali Imran: 160) </div><div style="text-align: justify;">Kemenangan adalah mutlak dari Allah Swt. oleh karena itu, apapun kondisi kita, baik dalam keadaan lemah maupun kuat, persenjataan serba canggih atau tidak, jika Allah tidak menghendaki kemenangan maka kemenangan tidak akan berpihak pada kita. </div><div style="text-align: justify;">5. Tawakkal dalam mengais rezeki. </div><div style="text-align: justify;">Rezeki yang dikaruniakan kepada manusia hanyalah jatah yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. setiap mahluk tidak akan mati sebelum ia menghabiskan jatah rezekinya. Manusia hanya ditugaskan untuk berusaha dan dilarang berpangku tangan. Setelah berusaha, kewajibannya tinggal tawakkal. Kalau ia mendapat rezeki, tugas selanjutnya adalah bersyukur dan kalau tidak ia harus bersabar. Dan dalam keadaan mendapat rezeki atau tidak, ia harus tetap bertawakkal kepada Allah Swt. Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آَمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (36)</div><div style="text-align: justify;">"Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. (QS. Al-Syura: 36)</div><div style="text-align: justify;">Dan dalam mencari rezeki, tawakkal adalah senjata yang ampuh. Sebab Allah berjanji, siapapun yang bertawakkal penuh kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)</div><div style="text-align: justify;">"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Al-Thalaq: 3)</div><div style="text-align: justify;">6. Tawakkal tatkala berjanji. </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt menceritakan tentang nabi Ya'qub ketika anaknya meminta untuk didatangkan saudara-saudaranya, kemudian dia jawab sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf ayat 66-67, artinya adalah: </div><div style="text-align: justify;">قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلَّا أَنْ يُحَاطَ بِكُمْ فَلَمَّا آَتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ (66) وَقَالَ يَا بَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ (67)</div><div style="text-align: justify;">"Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kalian, sebelum kalian memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini). Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah milik Allah; kepada-Nya lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri". (QS. Yusuf: 66-67)</div><div style="text-align: justify;">Manusia bisa merencanakan sesuatu, atau berjanji untuk melakukan sesuatu, namun tetap saja rencana atau janji itu akan terlaksana atas izin Allah Swt. oleh karena itu, ketika seseorang telah berazam untuk melakukan sesuatu, maka tugas berikutnya adalah bertawakkal kepada Allah. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) </div><div style="text-align: justify;">"...Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)</div><div style="text-align: justify;">7. Tawakkal ketika hijrah di jalan-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Tidak diragukan bahwa ibadah yang satu ini mempunyai nilai yang sangat agung di sisi Allah. Meninggalkan keluarga dan harta benda setelah dizalimi oleh musuh, demi menjaga dan memelihara keutuhan iman dan ajaran agama. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini dipuji oleh Allah Swt dalam surat An-Nahl ayat 41-42:</div><div style="text-align: justify;">وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (42)</div><div style="text-align: justify;">"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia, dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal." (QS. Al-Nahl: 41-42)</div><div style="text-align: justify;">Sebesar apapun pahala suatu ibadah, tetap semua itu adalah pemberian Allah. Dan seorang hamba, setelah mereka melaksanakan suatu ibadah maka ia harus menyerahkannya kepada Allah. Sebab, hanya ditangan-Nya lah suatu ibadah diterima atau ditolak. Tugas manusia hanya berusaha, beribadah kemudian bertawakkal, menyerahkan apa yang telah mereka usahakan kepada Allah Swt. dengan demikian, hatinya akan menjadi tenang karena janji Allah, dan tidak ujub (bangga diri dan berbusung dada) dengan amalan yang telah dilakukannya.</div><div style="text-align: justify;">Antara Tawakkal dan Ikhtiar</div><div style="text-align: justify;">Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa tawakkal adalah penyerahan diri tanpa usaha, padahal ikhtiar atau usaha adalah bukti tawakkal itu sendiri. Ikhtiar tidak bisa dipisahkan dari tawakkal. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis:</div><div style="text-align: justify;">لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا</div><div style="text-align: justify;">"Kalau engkau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad dan Tirmizi)</div><div style="text-align: justify;">Coba kita perhatikan teks hadis di atas. Jelas sekali Rasulullah Saw menerangkan bahwa orang yang bertawakkal kepada Allah akan pergi bekerja dan berusaha. Hadis menyebutkan kata, "taghdû" yang artinya pergi pagi-pagi sekali. Jadi orang yang tawakkalnya benar akan pergi berusaha mencari rezeki, bahkan di pagi-pagi buta, yang mengisyaratkan kesungguhan, kedisiplinan, tidak bermalas-malasan atau berpangku tangan. Sebaliknya orang yang tidak mau bekerja dengan alasan tawakkal, berarti menurut hadis di atas, ia tidak bertawakkal dengan sebenar-benar tawakkal. Sahabat-sahabat Rasulullah sendiri banyak yang kaya. Mereka rajin berdagang, bekerja dan bercocok tanam dikebun-kebun mereka. Dan merekalah uswah kita dalam hal kesungguhan berikhtiar.</div><div style="text-align: justify;">Orang-orang matrealis Barat mempercayai bahwa hanya usaha yang akan menyampaikan seseorang menuju hasil, tidak perlu ada campur tangan Tuhan. Sebagai muslim kita wajib menyeimbangkan antara tawakkal dan ikhtiar. Tawakkal tidak boleh terlepas dari usaha nyata, tetapi usaha nyata saja tidak akan membuahkan hasil jika Allah berkehendak lain. Artinya, kita percaya sepenuhnya bahwa segala hasil yang dicapai tidak lain adalah atas izin Allah. Dengan kata lain, hasil adalah takdir dari Allah. Tetapi kita harus memahami bahwa usaha juga merupakan takdir Allah. Allah telah meletakkan sunnah (hukum) sebab akibat dalam alam ini. Jika seseorang ingin mendapatkan hasil, maka ia harus melalui usaha sebagaimana yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. Jika ia ingin kenyang, maka ia harus makan, karena Allah tidak akan menakdirkannya kenyang sebelum ia makan. Kalau ia ingin kenyang tapi tidak mau makan, maka ia akan kelaparan, karena Allah telah menetapkan bahwa tidak makan akan mengakibatkan kelaparan. </div><div style="text-align: justify;">Ibnul Qayyim berpendapat bahwa hakikat tawakkal adalah ketika hati bergantung penuh kepada Allah Swt disertai dengan usaha nyata tetapi hatinya tidak boleh bergantung kepada usaha tersebut. Usaha nyata tidak menafikan tawakkal kepada Allah, karena usaha adalah bukti dari tawakkal itu sendiri. Tentang tidak bolehnya bergantung pada diri sendiri ini, Rasulullah Saw bermunajat dalam sebuah doanya:</div><div style="text-align: justify;">اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ</div><div style="text-align: justify;">"Ya Allah, aku sangat mengharap rahmat-Mu, maka janganlah engkau membiarkan diri ini bergantung pada diriku sendiri walau sekejap mata, perbaikilah semua keadaanku, tiada Tuhan selain Engkau." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)</div><div style="text-align: justify;">Jika kita menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt, maka Dia akan menolong kita. Siapapun yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan menerima amalannya, mencukupi kebutuhannya, menanggung segala urusannya, menjauhkannya dari segala kejelekan, memberikan apa yang diinginkan, dan menyelamatkannya dari bahaya di dunia dan akhirat. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 59:</div><div style="text-align: justify;">وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ (59)</div><div style="text-align: justify;">"Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, niscaya Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (QS. Al-Taubah: 59)</div><div style="text-align: justify;">Bagaimana Betawakkal?</div><div style="text-align: justify;">Yang umum dikenal, ibadah tawakkal dipahami sebagai upaya berikhtiar dan dan menyerahkan hasilnya kepada Allah. Sebenarnya tawakkal tidak sesederhana itu. Ada jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam bertawakkal. Jenjang-jenjang itu adalah sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;">1. Mengenal wujud Allah, sifat-sifat-Nya, kekuasaan-Nya, keluasan karunianya-Nya dan sebagainya. Artinya ketika kita bertawakkal kepada Allah dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya, kita harus meyakini benar kesempurnaan Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">2. Meyakini bahwa Allah telah meletakkan dalam alam ini sunnah-Nya berupa hukum kausalitas (sebab-akibat). Artinya, meyakini bahwa hasil atau akibat adalah takdir Allah, dan sebab atau usaha mendapatkan hasil juga merupakan takdir Allah. Seperti perkataan amirul mukminin Umar bin Khaththab r.a. ketika hendak berkunjung ke suatu daerah. Ketika beliau mengetahui bahwa di negeri itu terdapat wabah penyakit yang telah menyebar dan membunuh banyak orang, beliau mengurungkan niat untuk berkunjung ke daerah itu. Sahabat Abu Ubaidah bin al-Jarrah menegur beliau, "Apakah anda ingin lari dari takdir Allah?" mendengar teguran itu, Umar r.a. sedikit marah. Kata beliau, "Kalau saja yang mengucapkan ini bukan engkau wahai Abu Ubaidah, kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain."</div><div style="text-align: justify;">Artinya, jika seseorang ingin terjangkit suatu penyakit, ia harus berupaya menghindar. Karena Allah telah meletakkan sebuah hukum, jika seseorang mendekati tempat yang berpenyakit maka biasanya ia akan terjangkit penyakit. Terjangkit penyakit adalah akibat mendekati tempat berpenyakit. Kita meyakini hal ini adalah takdir Allah, tetapi kita juga harus meyakini bahwa upaya menghindari penyakit juga merupakan takdir Allah. Mendapat rezeki adalah takdir Allah, upaya mencari rezeki juga merupakan takdir Allah. Allah akan memberi rezeki-Nya kepada orang yang berusaha mencarinya, tidak bagi orang yang hanya bermalas-malasan. </div><div style="text-align: justify;">3. Mensinergikan antara usaha nyata dengan keyakinan bahwa segala hasil sepenuhnya ditentukan oleh Allah Swt. Al-Quran mengajarkan bagaimana seharusnya usaha nyata itu selalu menyertai keyakinan ini. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (42)</div><div style="text-align: justify;">"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia, dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal." (QS. Al-Nahl: 41-42)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat di atas, sangat jelas diterangkan bahwa bagi yang menginginkan tempat yang bagus di dunia dan pahala di akhirat maka ia harus berhijrah terlebih dahulu. Allah Swt memerintahkan kita untuk bekerja dan berbuat serta melarang berpangku tangan. Dia berfirman:</div><div style="text-align: justify;">هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)</div><div style="text-align: justify;">"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk: 15)</div><div style="text-align: justify;">Allah memerintahkan kita untuk berjalan mencari karunianya di atas bumi, kemudian mengingatkan kita dengan keyakinan bahwa setiap kita pasti akan dibangkitkan, untuk dipertanggungjawabkan segala amalan kita. Apakah didunia kita telah melaksanakan perintah Allah dengan baik atau tidak. Dalam ayat lain Allah juga berfirman: </div><div style="text-align: justify;">فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)</div><div style="text-align: justify;">"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung." (QS. Al-Jumu'ah: 10)</div><div style="text-align: justify;">4. At-Tafwidh, menyerahkan segara urusan sepenuhnya kepada Allah Swt. Dalam Al-Quran Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">فَسَتَذْكُرُونَ مَا أَقُولُ لَكُمْ وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (44)</div><div style="text-align: justify;">"Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu, dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya". (QS. Ghafir: 44)</div><div style="text-align: justify;">5. Senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Meyakini bahwa segala ketetapan Allah adalah yang terbaik bagi kita, selama kita telah berusaha menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Walaupun telah berusaha keras, namun tetap saja miskin, kita harus meyakini bahwa takdir Allah itu adalah yang terbaik buat kita. Sebab belum tentu kekayaan kemudian menjadi kebaikan hidup kita di dunia dan kahirat. Banyak orang kaya di dunia yang hidupnya sengsara, dan banyak pula yang lupa akhirat disebabkan kekayaannya. Dalam kedaan seperti itu, harta bendanya justru menyengsarakan hidupnya di dunia dan akhirat. Hati kita tidak boleh goyah karena kehilangan urusan keduniaan. Kalau kita berbaik sangka kepada Allah, itu artinya Allah telah berbuat baik kepada kita, maka hal itu haruslah disyukuri. Allah berfirman dalam sebuah hadis Qudsi:</div><div style="text-align: justify;">أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي</div><div style="text-align: justify;">"Aku sebagaimana prasangka hamba-ku kepada-Ku." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Penutup </div><div style="text-align: justify;">Tawakkal merupakan perintah wajib. Oleh sebab itu ia bukanlah sebuah keputusasaan. Sebab Allah Swt tidak mungkin memerintahkan hambanya untuk melakukan perbuatan setan. Putus asa adalah larangan Allah dan tabiat orang-orang kafir. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (87)</div><div style="text-align: justify;">"...Dan jagnanlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS. Yusuf: 87)</div><div style="text-align: justify;">Justru yang menjadi ciri khas seorang mukmin adalah optimisme yang tinggi. Optimis meraih janji-janji Allah, karena mustahil bagi Allah mengingkari janji-Nya. Opitimisme inilah yang dikandung dalam hadis:</div><div style="text-align: justify;">أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي</div><div style="text-align: justify;">"Aku sebagaimana prasangka hamba-ku kepada-Ku." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Ia yakin Allah akan berbuat baik terhadapnya, sehingga ia tidak pernah berputus asa untuk selalu beramal shalih mengharapkan kebaikan dari Allah Swt. Ia optimis untuk selalu menjadi hamba yang baik dengan berusaha menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Dan inilah wujud tawakkal itu sendiri, berproses menuju ke arah yang lebih baik. Wallahul musta‘ân wa ‘alaihit tuklân.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">MEMAKNAI KETAKWAAN</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Abdul Aziz Sarikan, Lc.</div><div style="text-align: justify;">Takwa merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling penting. Ia adalah pokok kebreagamaan yang akan menjadikan kehidupan manusia mulia di dunia dan akhirat. Tidak ada kebaikan hidup bagi manusia tanpanya. Seluruh kebaikan dunia dan akhirat terhimpun di bawah kata takwa ini. Kata inilah yang sering kali menjadi wasiat para khatib jumat. Bahkan takwa adalah wasiat Allah langsung kepada manusia, dan tidak ada wasiat yang lebih berharga dari pada wasiat Allah </div><div style="text-align: justify;">Jika kita merenungkan kembali ayat-ayat Al-Quran, betapa banyak kebaikan yang selalu dihubungkan dengan takwa ini, betapa banyak pahala, ganjaran dan kebahagian yang dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tentunya sangat penting bagi kita untuk mengetahui hakikat takwa ini, bagaimana mewujudkannya dalam diri, apa saja manfaat dan keuntungan bertakwa, apa saja wasilah yang dapat membantu seseorang untuk meningkatkan ketakwaannya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan takwa ini, agar kita tergerak untuk selalu meningkatkan kualitas ketakwaan kita terhadap Allah Swt</div><div style="text-align: justify;">Definisi Takwa</div><div style="text-align: justify;">Secara bahasa, takwa berasal dari kata waqâ-wiqâyah, yang berarti sesuatu yang digunakan oleh seseorang untuk menjaga dirinya. Seperti menjaga kebersihan adalah sarana untuk menjaga kesehatan dan melindungi diri dari penyakit. Begitu pula menjalankan perintah Allah dan manjauhi larangan-Nya adalah sarana untuk menjaga diri dari murka dan azab Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran kata ini terkadang disandingkan dengan kata al-birr (kebajikan). Seperti pada firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ... (2)</div><div style="text-align: justify;">"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…." (QS. Al-Maidah: 2). Dan sering juga disebut sendirian. Maka, jika kata takwa disandingkan dengan kata al-birr, maka al-birr berarti melaksanakan perintah dan takwa berarti meninggalkan larangan, dan jika disebut sendiri maka takwa mencakup makna al-birr (menjalankan perintah) dan juga meninggalkan larangan. </div><div style="text-align: justify;">Adapun menurut istilah, bebrapa ulama mendefinisikan takwa dengan ungkapan berbeda-beda. Namun semuanya merujuk kepada makna yang sama. Istilah yang masyhur dan sering kita dengar adalah, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Definisi lain yang diungkapkan oleh imam Ali r.a. adalah:</div><div style="text-align: justify;">اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَالْقَنَاعَةُ بِالْقَلِيْلْ وَالْاِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ</div><div style="text-align: justify;">"Takut kepada Allah, mengamalkan Al-Quran, qana'ah (merasa cukup) dengan yang sedikit, dan mempersiapkan diri untuk hari kepergian (kematian)." </div><div style="text-align: justify;">Umar bin Khattab ra pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab ra: "Apakah arti takwa? Ubay ra menjawab, 'Wahai Amîr al-Mu'minîn, pernahkah anda berjalan di jalanan yang banyak durinya?' 'Ya, pernah', jawab Umar ra. Ubay ra bertanya lagi, 'Apa yang anda lakukan kemudian?' Umar ra menjawab: 'Aku segera mengangkat kainku sampai betis, lalu melihat tempat berpijak kedua kakiku, kemudian memajukan kaki yang satu dang mengakhirkan yang lain, takut terkena duri. Kemudian Ubai bin Ka'ab berkata, 'Itulah takwa'." </div><div style="text-align: justify;">Artinya bahwa seorang yang bertakwa selalu berhati-hati dalam hidupnya. Ia akan berupaya melaksanakan segala sesuatu yang menyelamatkannya dari bahaya (melaksanakan perintah Allah) dan menjaga dirinya dari segala yang membahyakannya (meninggalkan larangan Allah), baik bahaya di dunia maupun di akhirat, mirip seperti kehati-hatian orang yang berjalan di jalanan penuh onak dan duri. </div><div style="text-align: justify;">Imam Ahmad bin Hanbal berkata:</div><div style="text-align: justify;">اَلتَّقْوَى هِىَ تَرْكُ مَا تَهْوَى لِمَا تَخْشَى</div><div style="text-align: justify;">"Takwa ialah meninggalkan sesuatu yang kau inginkan karena sesuatu yang kau takutkan."</div><div style="text-align: justify;">Artinya meninggalkan segala bentuk larangan Allah Swt karena takut terhadap azab dan murka-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Diriwayatkan dari Daud Ath-Thâ'iy beliau berkata tentang takwa:</div><div style="text-align: justify;">أَنْ لَا يَرَاكَ حَيْثُ نَهَاكَ وَلَا يَفْتَقِدُكَ حَيْثُ أَمَرَكَ</div><div style="text-align: justify;">" Allah tidak melihatmu di tempat yang dilarang-Nya, dan tidak menemukanmu di tempat yang diperintahkan-Nya."</div><div style="text-align: justify;">Artinya, kita harus selalu berada jauh dari larangan-Nya dan tidak sampai melanggarnya. Selain itu, tidak meninggalkan perintah-Nya, yaitu harus selalu berada di jalan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Dengan kata lain, dalam perjalanan menuju Allah, setiap muslim harus menaati segala rambu-rambu agama yang ada, baik berupa perintah ataupun larangan Allah. Pengertian-pengertian yang diungkapkan oleh pada ulama di atas pada hakikatnya tidak saling bertentangan, tetapi masing-masing menyebutkan salah salah satu sisi dari makna takwa. Sehingga makna-makna itu saling melengkapi dan terangkum dalam satu kata yaitu takwa. </div><div style="text-align: justify;">Takwa di dalam Al-Quran</div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran kita dapat menemukan sumber makna takwa yang disebutkan oleh para ulama di ata.s. Diantaranya adalah:</div><div style="text-align: justify;">a. Takwa berarti takut. Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (41)</div><div style="text-align: justify;">"Dan hanya kepada Aku-lah kamu harus bertakwa (takut)." (QS. Al-Baqarah: 41)</div><div style="text-align: justify;">Pemaknaan dengan "takut", tidak berarti menafikan makna lain yang masih dikandung oleh kata takwa di atas, hanya sebatas spesifikasi makna yang lebih ditekankan saja. Dalam ayat lain juga disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ...(281)</div><div style="text-align: justify;">"Dan takutlah terhadap hari di mana kalian dikembalikan kepada Allah..." (QS. Al-Baqarah: 281)</div><div style="text-align: justify;">b. Takwa juga berarti ibadah dan ketaatan, sebagaimana frman Allah Swt: </div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran: 102)</div><div style="text-align: justify;">Maksudnya, taatilah Allah dengan sebenar-benar ketaatan, beribadahlah kepadanya dengan sebenar-benar ibadah, sebagaimana penafsiaran Mujahid, ketika beliau mengatakan: "Ditaati dan tidak dimaksiati, diingat (zikir) dan tidak dilupakan serta disyukuri dan tidak diingkari."</div><div style="text-align: justify;">c. Takwa berarti meninggalkan maksiat dan membersihkan diri dari dosa, sebagaimana firman Allah :</div><div style="text-align: justify;">وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (52)</div><div style="text-align: justify;">"Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan."</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat di atas disebutkan kata-kata, yuthi' (taat) yang mewakili makna ketaatan menjalankan perintah, yakhsyâ (takut) yang memiliki makna ketundukan kepada Allah dan ketakutan akan azab dan murka-Nya, dan yattaqhi (takwa) yang mewakili makna meninggalkan segala bentuk maksiat dan membersihkan diri dari dosa. Jadi, masing-masing memiliki makna spesifik yang ditunjukkannya. Akan tetapi kata "takwa" jika disebut secara tersendiri tanpa diiringi dengan kata-kata yang masih memiliki kaitan makna dengannya, maka ia mengandung seluruh makna-makna ditunjukkannya, dengan kata lain meliputi ke tiga makna di atas dan makna-makna lain yang masih terkandung di dalamnya. </div><div style="text-align: justify;">Takwa Dan Ilmu Halal-Haram</div><div style="text-align: justify;">Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hakikat takwa ini, ada hal penting yang perlu kita ketahui yaitu fungsi dan manfaat ilmu terkait dengan takwa ini. Kita harus mengetahui dengan benar dalam hal apa kita harus bertakwa (takwa dalam arti menghindari suatu perbuatan). Ilmu tentang halal dan haram dalam hal ini sangat penting untuk dipelajari. Karena dengannya kita mengetahui apa saja yang harus dikerjakan dan ditinggalkan. Tanpa pengetahuan halal dan haram, seseorang bisa saja meninggalkan kewajiban karena menganggapnya larangan, ataupun sebaliknya. </div><div style="text-align: justify;">Di zaman Rasulullah, ada seorang yang tidak ingin menikah, padahal itu sunnah yang sangat diutamakan dan bahkan wajib dalam keadaan tertentu. Ada juga yang ingin puasa sepanjang hayat, padahal yang demikian itu tidak diperbolehkan. Jadi ketakwaan haruslah dituntun dengan ilmu. Ada yang mengatakan, "Jika engkau bertakwa tanpa ilmu, maka kamu akan makan riba. Jika engkau bertakwa tanpa ilmu, maka engkau akan melihat perempuan yang bukan mahram sementara engkau tidak menundukkan pandanganmu, jika engkau bertakwa tanpa ilmu, engkau akan terjerumus ke dalam fitnah (bencana) tanpa engkau sadari." </div><div style="text-align: justify;">Sebagian orang mempertanyakan dosa membunuh cecak, tetapi mereka tidak pernah mempertanyakan dosa membakar pencuri hidup-hidup. Padahal pencuri di dalam Islam tidak boleh di bunuh. Cukup dengan menerapkan hukum potong tangan terhadapnya. Hukum inilah yang terbukti sangat efektif mencegah tindak pencurian. Hal ini tidak heran, karena hukum ini adalah hukum Allah Swt yang Mahamengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Hukum ini sangat efektif dalam mencegah pencuri untuk mencuri lagi, dan pelajaran bagi orang lain agar tidak mencuri. </div><div style="text-align: justify;">Ketika terjadi fitnah di zaman sahabat, sekelompok orang mendatangi Ibnu Umar ra menanyakan hukum membunuh nyamuk, dan di antara mereka ada pembunuh cucu Nabi Saw, Husain ra. Kemudian Ibnu Umar ra menjawab: "Mereka bertanya kepadaku tentang hukum membunuh nyamuk, namun mereka telah melumuri tangan mereka dengan darah Husain, padahal Rasulullah telah bersabda (tentang Hasan ra dan Husain ra): "Mereka berdua adalah kekasihku di surga." </div><div style="text-align: justify;">Kedudukan Dan Manzilah Takwa</div><div style="text-align: justify;">a. Takwa adalah wasiat Allah dan Rasul-Nya.</div><div style="text-align: justify;">Takwa adalah memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sehingga Allah yang langsung mewasiatkannya kepada umat-umat terdahulu dan khususnya kepada umat Nabi Muhammad Saw Dia berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ (131)</div><div style="text-align: justify;">"Sungguh kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; hendaklah kalian bertakwa kepada Allah." (QS. Al-Nisa: 131)</div><div style="text-align: justify;">Sebagian Ahlul 'Ilmi mengatakan bahwa ayat di atas adalah intisari dari seluruh isi Al-Quran, karena semua isinya mengandung makna ayat di ata.s. Tiada satupun kebaikan lahir maupun batin, dunia maupun akhirat melainkan takwa adalah jalan yang mengantarkan seseorang menujunya, dan tiada keburukan sekecil apapun melainkan takwa adalah benteng yang akan melindungi dan menyelamatkan seseorang darinya. </div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari hadis (اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ) beliau berkata: "Aku tidak mengetahui wasiat Allah dan Rasul-Nya yang paling berharga bagi orang yang berakal kecuali ayat ini (An-Nisa: 131). Ketika Rasulullah Saw mengutus Mu'âdz bin Jabal ke daerah Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan:</div><div style="text-align: justify;">اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ</div><div style="text-align: justify;">"Bertakwalah kamu kepada Allah, ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi)</div><div style="text-align: justify;">Mu'âdz bin Jabal adalah salah seorang sahabat yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Rasulullah Saw Beliau pernah bersabda kepada Mu'âdz, "Wahai Mu'âdz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu." Pertanyaannya adalah, ketika Rasulullah mencintai Mu'adz apakah beliau mewasiatkannya hal-hal yang remeh dan sepele? Setiap orang tetunya akan memberikan wasiat yang paling berharga kepada orang yang dicintainya. Dan Rasulullah Saw telah bersumpah bahwa beliau mencintai Mu'âdz. Tentu wasiat yang diberikan kepadanya adalah wasiat yang sangat berharga. </div><div style="text-align: justify;">Mu'âdz bin Jabal adalah salah seorang pembesar sahabat, pemuka kaum dan sahabat yang paling alim tentang halal dan haram. Oleh karena itu Rasulullah Saw sering mengutus beliau ke berbagai tempat sebagai qadhi dan hakim. Di antaranya beliau dipercaya untuk menyampaikan risalah Islam kepada penduduk Yaman. Akan tetapi, meskipun sedemikian tinggi kedudukan Mu'adz, tetap saja Rasulullah berwasiat kepadanya: "Wahai Mu'adz, bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada." Hal ini menunjukkan bahwa semua orang memerlukan ketakwaan, tidak terkecuali para ulama. Karena setiap orang berpeluang mengalami kodisi iman yang fluktuatif. Terkadang kuat di suatu keadaan dan melemah pada keadaan yang lain.</div><div style="text-align: justify;">b. Takwa adalah sebaik-baik pakaian dan perhiasan. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)</div><div style="text-align: justify;">"Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan untukmu pakaian sebagai penutup aurat dan perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, agar mereka selalu ingat." (QS. Al-A'raf: 26)</div><div style="text-align: justify;">Fungsi utama pakian adalah sebagai penutup aurat dan perhiasan. Konteks ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah telah menurunkan bagi manusia pakaian sebagai alat penutup aurat, sekaligus perhiasan. Kata "menurunkan" mengandung makna imtinan (pemberian). Ketika konteks ayat adalah imtinan maka makna yang terkandung di dalamnya, adalah bahwa Allah telah memberikan kepada mahluk-Nya sesuatu yang boleh digunakan dan dimanfaatkan, karena Allah tidak memberikan hamba-Nya kecuali sesuatu yang halal dan baik. </div><div style="text-align: justify;">Namun ayat di atas tidak hanya sebatas pemberian, melainkan juga perintah kepada manusia untuk menutupi auratnya yang zahir. Selain itu Allah juga mengingatkan manusia dengan sesuatu yang lebih penting dari itu yaitu menutup aurat batin dengan menggunakan pakaian ketakwaan. Sebagaimana pakian zahir berfungsi untuk menutup aurat zahir dan perhiasan zahir, begitu pula dengan pakaian ketakwaan berfungsi sebagai penutup aurat batin dan perhiasan batin. Kalau pakaian zahir telah kita ketahui bersama maka pakaian ketakwaan adalah, amal shalih dalam segala bentuknya dan menjauhi keburukan apapun jenisnya. </div><div style="text-align: justify;">c. Takwa merupakan sebaik-baik bekal. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ (197)</div><div style="text-align: justify;">"Berbekallah, Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal." (QS. Al-Baqarah: 197)</div><div style="text-align: justify;">Sebab turun ayat di atas adalah, bahwa sekelompok penduduk Yaman datang ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi mereka tidak membawa bekal di dalam perjalanannya. Mereka hanya berkata, "Kami adalah orang-orang yang bertawakkal, kami datang ke Baitullah untuk melaksanakan haji, kami yakin Allah akan memberi kami makanan, dan Dia tidak akan menelantarkan kami sehingga harus menengadahkan tangan untuk meminta-minta kepada orang lain."</div><div style="text-align: justify;">Allah menurunkan ayat yang mulia ini sebagai jawaban atas perkataan mereka. Allah memerintahkan mereka untuk berbekal dalam perjalanan, dengan perintahnya "Berbekallah...!" Karena tawakkal yang sebenarnya adalah setelah bekerja atau melakukan sebab yang mengantarkan kepada tujuan, bukan tanpa berbuat. Yang penting kita perhatikan dalam ayat di atas adalah, bahwa di sela-sela perintah berbekal di atas, Allah Swt menyelipkan pesan yang lebih berharga dari sekedar bekal perjalanan di dunia yaitu, bekal menuju akhirat. "Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa."</div><div style="text-align: justify;">Dalam kitab Al-Tamhîd, karya imam Ibnu Abdil Barr, diriwayatkan bahwa suatu ketika Ali bin Abi Thalib ra masuk ke pekuburan kemudian berkata:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَهْلَ القُبُوْرِ مَا الخَبَرُ عِنْدَكُمْ؟ إِنَّ الخَبَرَ عِنْدَنَا أَنَّ أَمْوَالَكُمْ قَدْ قُسِّمَتْ، وَأَنَّ بُيُوْتَكُمْ قَدْ سُكِنَتْ، وَأَنَّ أَزْوَاجَكمْ قَدْ زُوِّجَتْ، ثمَّ بَكىَ، ثمَّ قَالَ: وَاللهِ لَوِ اسْتَطَاعُوْا أَنْ يُجِيْبُوْا لَقَالُوْا: إنَّا وَجَدْنَا أَنَّ خَيْرَ الزَّاد التَّقْوَى.</div><div style="text-align: justify;">"Wahai ahli kubur, ada berita apa pada kalian? Sesungguhnya berita dari kami adalah bahwa harta-harta kalian telah dibagi-bagi, rumah-rumah kalian telah ditempati, dan isteri-isteri kalian telah dinikahi." Kemudian beliau menangis tersedu-sedu, dan berkata: "Demi Allah, jika mereka bisa menjawab, mereka akan berkata: 'sesungguhnya kami menemukan bahwasanya sebaik-baik bekal adalah takwa'." </div><div style="text-align: justify;">d. Takwa merupakan ukuran penilaian di sisi Allah </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt telah menetapkan takwa sebagai ukuran derajat kemuliaan di sisi-Nya sebagaimana firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13) </div><div style="text-align: justify;">"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurât: 13) </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى</div><div style="text-align: justify;">"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian juga satu, sungguh tidak ada kelebihan orang Arab atas yang bukan Arab atau orang bukan Arab atas Arab, tidak juga orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, melainkan karena takwa." (HR. Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Derajat ketakwaan</div><div style="text-align: justify;">Dari hubungan antara makna takwa secara bahasa (sesuatu yang digunakan untuk menjaga diri) dan definisinya menurut istilah (Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya) kita dapat mengklasifikasi derajat ketakwaan menjadi tiga, yaitu: </div><div style="text-align: justify;">a. Takwa yang menjadikan seseorang menjaga diri dari sesuatu yang membuatnya kekal di dalam neraka yaitu kesyirikan dan kekufuran. Hal ini dilakukan tentunya dengan memurnikan ajaran tauhid. Oleh karena itu kalimat tauhid (Lâ ilâha Illalâh) di dalam Al-Quran juga disebut dengan kalimat takwa. Sebagaimana firman Allah :</div><div style="text-align: justify;">وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا... (25)</div><div style="text-align: justify;">"... Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa (kalimat tauhid), merekalah yang paling berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya." (QS. Al-Fath: 25)</div><div style="text-align: justify;">Memurnikan ajaran tauhid berarti memurnikan ibadah dan mengikhlaskannya hanya untuk Allah semata. Tidak ada Tuhan selain Dia, sehingga tidak ada yang patut disembah selain Dia. Kalimat Lâ ilâha Illalâh berarti tidak ada sesutu yang patut dipertuhankan atau disembah selain Allah. Kata ilâh dalam bahasa Arab berarti ma'lûh atau sesuatu yang disembah atau dipertuhankan, walaupun pada hakikatnya bukan Tuhan yang sebenarnya. Tidak semua orang yang mengakui bahwa Allah Swt adalah satu-satunya Rabb (pencipta dan pengatur alam semesta), lantas menyembah-Nya. Banyak mereka yang mengakui bahwa Allah satu-satunya Rabb, namun mereka menuhankan selain Dia ataupun menyembah Allah bersama dengan sesembahan yang lainnya. </div><div style="text-align: justify;">b. Takwa yang menjadikan seseorang menjaga diri dari segala sesuatu yang dapat menjerumuskannya ke neraka walaupun sebentar, yaitu maksiat (meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan) baik maksiat yang menimbulkan dosa besar ataupun kecil. Maksiat dapat menjadikan seseorang jauh dari Allah, dan bahkan dimurkai oleh-Nya. Orang yang bertakwa pada tingkatan ini tidak ingin jauh dari Rabb-Nya, apalagi sampai dimurkai. Ia akan selalu berupaya meninggalkan maksiat, demi mencapai ridha-Nya.</div><div style="text-align: justify;">c. Takwa yang menjadikan seseorang menjaga diri dari segala sesuatu yang dapat malalaikan diri dari mengingat Allah, memperlambat jalan menuju-Nya, walaupun sesuatu itu adalah perkara mubâh (kebolehan). Karena sesungguhnya sibuk dengan perkara mubah yang dapat melalaikan diri dari Allah akan berpengaruh pada hati dan menjadikannya qâsiyah (keras dan sulit menerima peringatan). Hati yang qâshiyah seringkali menggiring seseorang ke dalam perkara makruh, dan membiasakan perkara makruh juga dapat menggiring seseorang untuk melakukan perbuatan haram. Adapun perkara mubah yang tidak melalaikan, tentunya boleh saja, karena kita diperintahkan untuk tidak melupakan dunia. Yang terpenting adalah bagaimana menjadikan dunia hanya di tangan dan tidak di hati, karena hati hanya untuk Allah. "Allâhumma-j'ali-d-dunyâ fî aidînâ wa lâ taj'alhâ fi qulûbinâ." Ya Allah, jadikanlah dunia ini di tangan kami, dan jangan Engkau jadikan ia di dalam hati kami. </div><div style="text-align: justify;">Antara Manusia Dan Takwa</div><div style="text-align: justify;">Dari ketiga derajat ini dapat dilihat posisi ketakwaan manusia. Sebagian orang ada yang hanya menjaga dirinya agar tidak kekal di dalam neraka. Tetapi ia tidak menjaga dirinya dari dosa-dosa maksiat yang akan menjerumuskannya ke dalam neraka walau sebentar. Dia mengaku bertauhid, mengimani kebenaran para rasul, menjalankan rukun Islam, tetapi ia tetap melakukan perbuatan maksiat, lalai dalam menjalankan kewajiaban dsb. Orang seperti ini tidak bisa disebut bertakwa secara mutlak. Karena ia telah mengajukan dirinya untuk diazab, kecuali jika Allah berkehendak mengampuninya. Karena orang yang bertauhid termasuk ke dalam kehendak Allah. Jika berkehendak Allah mengampuninya dan jika berkehendak Dia mengazabnya.</div><div style="text-align: justify;">Sebagian orang ada yang menjaga dirinya dari kekufuran dan dosa-dosa besar dan melaksanakan kewajiban dan ketaatan. Akan tetapi ia tidak menjaga dirinya dari dosa-dosa kecil dan tidak juga memperbanyak ibadah nawafil. Orang ini lebih dekat dari keselamatan dari orang sebelumnya. Karena Allah berjanji untuk menghapus dosa-dosa kecil selama dosa-dosa besar ditinggalkan. Dia berfirman:</div><div style="text-align: justify;">إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا (31) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang atas kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (Al-Nisâ': 31)</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah juga bersabda:</div><div style="text-align: justify;">الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ</div><div style="text-align: justify;">"Shalat wajib yang lima, antara jumat dan jumat, Ramadan dan Ramadan adalah mukaffirat (penghapus dosa) selama dosa-dosa besar ditinggalkan."</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi semua itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tetap melakukan dosa kecil, karena pertama, kita tidak mengetahui perkara ghaib, kedua, kita tidak mengetahui kalau Allah benar-benar menghapus dosa-dosa kita, ketiga, belum tentu ibadah kita diterima di sisi-Nya sehingga dapat menghapus dosa-dosa kecil itu, keempat, dosa-dosa kecil jika sangat banyak akan menjadi dosa besar, dan kelima, perasaan mengentengkan dosa kecil terkadang menyeret seseorang melakukan dosa besar, baik secara sadar maupun tidak sadar. Oleh karena itu Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran: 102) </div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat di atas terdapat perintah untuk melakukan ketaatan dengan sebenar-benar ketaatan dan menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan yang akan menjerumuskan kepada neraka. Bukan hanya dosa-dosa besar, tetapi termasuk juga dosa kecil. Di dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk beristigfar dan bertaubat dari segala dosa. Dan tidak ada yang menjelaskan bahwa beristigfar dan bertaubat hanya dari dosa besar. Semua itu adalah perintah umum yang menyuruh kita untuk beristigfar dan bertaubat dari seluruh jenis dosa, baik besar maupun kecil. </div><div style="text-align: justify;">Masalah meremehkan dosa kecil ini sering kali terjadi. Padahal dalam riwayat Imam Bukhari, Ibnu Mas'ûd ra pernah berkata bahwa seorang muslim melihat dosa-dosanya, seakan-akan ia duduk di puncak gunung dan menggigil karena takut terjatuh. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang menempel di hidungnya kemudian terbang begitu saja. </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw, juga sangat mewanti-wanti umatnya agar tidak terjerumus ke dalam dosa-dosa kecil. Dalam hadis shahih riwayat imam Ahmad beliau bersabda: </div><div style="text-align: justify;">عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ لَهُنَّ مَثَلًا كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا أَرْضَ فَلَاةٍ فَحَضَرَ صَنِيعُ الْقَوْمِ فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَنْطَلِقُ فَيَجِيءُ بِالْعُودِ وَالرَّجُلُ يَجِيءُ بِالْعُودِ حَتَّى جَمَعُوا سَوَادًا فَأَجَّجُوا نَارًا وَأَنْضَجُوا مَا قَذَفُوا فِيهَا</div><div style="text-align: justify;">Dari Abdullah bin Mas'ûd, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: "Jauhilah kalian dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu akan berkumpul pada seseorang dan eapat menghancurkannya, dan sesungguhnya Rasulullah Saw mengumpamakannya dengan sekelompok orang yang musafir di padang pasir, seorang datang dengan sepotong kayu, seorang lain juga datang dengan sepotong kayu, hungga terkumpul banyak, dan mereka menyalakan api yang dapat membakar apapun yang mereka lemparkan kedalamnya." (HR. Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Intinya bahwa dosa-dosa kecil ini bagi seseorang, memungkinkan untuk menyulut api neraka yang dan dapat membakar dirinya. </div><div style="text-align: justify;">Derajat takwa yang paling tinggi adalah ketika seseorang telah melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, melakukan ibadah-ibadah nawafil, meninggalkan segala bentuk kemaksiatan baik yang besar atau yang kecil dan bahkan meninggalakan perbuatan mubah karena takut tergiring kepada kemaksiatan. Inilah yang disebutkan dalam sebuah hadis yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">لا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ</div><div style="text-align: justify;">"Seorang hamba tidak akan sampai sampai ke derajat orang-orang muttaqin hingga ia meninggalkan hal-hal yang dibolehkan karena takut terjerumus kedalam perkara yang dilarang." (HR. Tirmizi)</div><div style="text-align: justify;">Jalan Menuju Takwa</div><div style="text-align: justify;">Ada bebrapa hal yang dapat kita lakukan sebagai sarana meningkatkan ketakwaan kepada Allah beberapa hal di bawah ini terlihat mudah diucapkan, tetapi sulit diterapkan dan jarang sekali yang mampu istiqamah menjaganya. </div><div style="text-align: justify;">a. Mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain. Hal ini dapat dicapai melalui interaksi yang banyak dengan Allah dengan pola interaksi yang telah diajarkan melalui sunnah Rasulullah Saw Seperti memperbanyak banyak beribadah dan berdzikir kepada Allah . Ibadah merupakan gabungan dari puncak ketundukan dan kecintaan kepada Yang disembah (Allah). Tunduk dan pasrah di hadapan keagungan dan kemahabesaran-Nya, serta mempersembahkan diri atas dasar cinta kepada Dzat Yang Mahaindah yang memiliki segala sifat kesempurnaan, bukan atas dasar keterpaksaan dan ketidaksukaan. </div><div style="text-align: justify;">b. Murâqabatullah (merasakan kehadiran-Nya dalam setiap situasi dan kondisi). Jika seseorang yang melakukan perbuatan selalu merasa diperhatikan dan dikontrol oleh orang yang ia takuti, niscaya ia akan berbuat dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan kemarahan orang yang ditakutinya, dan berusaha bagai mana agar orang itu senang kepadanya. Tentunya orang yang merasakan kehadiran Allah, yang mengetahui segala yang tersembunyi dari dirinya, yang lebih dekat dari urat lehernya, akan sangat berhati-hati dalam berbuat. Ia akan berusaha sebisa mungkin mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangannya, demi mencapai keridhaan-Nya dan terhindar dari murka-Nya. Namun seringkali hal ini diremehkan sehingga tidak jarang membuat seseorang meninggalkan perintah Allah dan bahkan terjerumus ke lembah maksiat.</div><div style="text-align: justify;">c. Mengetahui balasan kebaikan bagi orang-orang yang bertakwa di dunia dan akhirat. Hal ini akan memotivasi seseorang untuk berbuat kebajikan. Karena telah menjadi tabiat manusia, melakukan sesuatu dengan mengharap imbalan. Oleh karena itu Allah menyiapkan segala bentuk pahala kebajikan, puncak kenikmatan dan kemuliaan berupa surga dan ridha-Nya bagi mereka yang bertaqwa, taat menjalankan perintah dan menjauhi larang-Nya. Tetapi Allah mengajarkan manusia agar tidak mengharap imbalan dari sesama makhluk, akan tetapi hendaklah ia mengharap kepada Sang Khaliq, yang ditangannya kerajaan langit dan bumi, kemuliaan dunia dan akhirat. Itu sebabnya kita diperintah untuk mengikhlaskan segala amal kebajikan hanya untuk-Nya.</div><div style="text-align: justify;">d. Mengetahui akibat buruk perbuatan maksiat baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana imbalan kebaikan merupakan motivasi dalam berbuat baik, tentunya balasan keburukan berupa siksa dan murka adalah zâjir (pencegah/penghalang) bagi sesorang untuk berbuat keburukan dan kejahatan. Sebab, tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghendaki penderitaan walaupun sesaat, apalagi penderitaan akhirat yang abadi tanpa bata.s. Walaupun banyak orang yang tidak sadar akan hal ini, baik karena ketidak tahuannya akan penderitaan yang tiada berakhir itu, atau karena kelengahan yang disebabkan oleh tipu daya setan dan nafsu syahwat duniawi. Maka, mengetahui akibat buruk perbuatan maksiat merupakan keharusan bagi setiap mereka yang ingin selamat di dunia dan akhirat. </div><div style="text-align: justify;">e. Menumbuhkan sifat wara' dalam diri dengan berusaha memerangi dan mengalahkan hawa nafsu, meninggalkan perkara haram, makruh dan syubhat, memperbanyak ibadah ketaatan berupa ibadah wajib dan sunnah, serta tidak berlebihan dalam perkara mubah. Ulama mengatakan bahwa sifat wara' adalah sifat yang bisa dilatih dan dibiasakan. Dalam latihan tentu akan mengalami banyak kesulitan dan hambatan. Maka diperlukan bimbingan dan nasehat dari ulama dan sahabat. Itu sebabnya di dalam surah Al-'Ashr, kita diperintah untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Agar bisa memposisikan diri pada kebenaran serta istiqamah dan sabar dalam jalan kebenaran itu, dan yang kedua ini tentu lebih berat dari sebelumnya. </div><div style="text-align: justify;">f. Mengetahui bentuk-bentuk makar dan tipu muslihat setan yang tidak pernah berhenti mempedaya manusia. Hal ini penting karena dengan demikian orang akan terhindar dari keburukan tersebut. Dengan syarat ia memang berniat untuk menghindari keburukan, bukan mengetahui keburukan untuk dilakukan. Dalam sebuah hikmah dikatakan, "Araftusy syarra lâ lisy syarri." Artinya, aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan itu, tetapi untuk menghindari diri darinya. Dalam sebuah pepatah juga disebutkan, "Man fahima lughata qaumin, amina min syarrihi." Artinya, orang yang mengerti bahasa suatu kaum, ia akan selamat dari keburukan yang datang dari kaum itu. Tentunya orang yang mengerti dan mengetahui dengan baik segala bentuk tipu daya dan makar setan, ia akan selamat dari keburukan akibat mengikuti langkah-langkah setan. </div><div style="text-align: justify;">g. Memohon kepada Allah agar diberikan taufik untuk bertakwa kepada-Nya, karena tidak ada daya upaya dari manusia kecuali atas izin Allah . Doa adalah silâh (senjata) orang mukmin, yang tidak boleh diremehkan, karena ia mempunyai kekuatan yang dahsyat dan pengaruh yang besar. Dengan doa, Allah akan memberikan seseorang segala permintaannya sebagaimana janji-Nya. Dengan doa dia akan diberi taufik untuk berbuat baik dan meninggalkan maksiat dan kejahatan. Doa adalah lambang ketundukan, kepasrahan dan ketidak berdayaan manusia di hadapan Rabb-nya. Oleh karena itu doa adalah mukh (otak) dari segala ibadah. </div><div style="text-align: justify;">Buah Ketakwaan, Bahaya Maksiat dan Tipu daya Setan</div><div style="text-align: justify;">Setelah kita memahami bahwa mengetahui manfaat bertakwa, bahaya berbuat maksiat, dan tipu daya setan merupakan faktor yang penting dalam menumbuhkan ketakwaan di dalam diri, tiba saatnya untuk mengetahui apa saja buah ketakwaan, bahaya berbuat maksiat dan tipu daya setan itu. Di bawah ini akan dijelaskan satu-persatu secara lebih terperinci.</div><div style="text-align: justify;">1. Buah Ketakwaan </div><div style="text-align: justify;">a. Takwa akan melapangkan setiap kesempitan dan jalan keluar dari setiap masalah, serta dengannya seseorang akan mendapatkan rezeki dari arah yang tidak terduga. Zaman sekarang adalah zaman yang penuh dengan fitnah dalam pekerjaan. Hendaknya kita meninggalkan segala perkara yang diharamkan, dan berhati-hati dalam perkara syubhat. Tetaplah bertakwa walaupun tidak mendapatkan sesuatu dari mahluk. Tetaplah jujur walaupun harus menerima cemoohan dari manusia. Sedikit tetapi berkah akan membahagiakan hidup kita di dunia dan akhirat. Sebaliknya walaupun banyak tapi tidak berkah, akan menyesakkan dada dan mendatangkan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">...وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ...(3)</div><div style="text-align: justify;">"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangkanya...." (QS. Al-Thalâq: 2-3)</div><div style="text-align: justify;">Dikisahkan bahwa seorang pedagang yang bekerja di sebuah toko barang-barang elektronik, sering kali menghadapi transaksi yang dipenuhi riba dan sogokan. Namun karena ia mengetahui bahwa semua itu adalah perbuatan haram, ia tidak pernah mau menerimanya karena takut kepada Allah Swt Akhirnya, setelah lama ia mengalami keadaan ini, datanglah janji Allah, barang-barangnya laris terjual. Banyak orang berdatangan kepadanya untuk membeli, karena mereka tahu kejujuran dan ketakwaannnya. </div><div style="text-align: justify;">Ternyata bermuamalah dengan jujur tidak akan mengurangi rezeki bahkan akan menambah keberkahannya. Sebaliknya bermuamalah dengan riba, korupsi dan sogokan tidak akan menambah rezeki, malah akan menghilangkan keberkahannya. Rezeki adalah jatah pasti yang telah ditetapkan oleh Allah untuk setiap mahluk-Nya. Seorang hamba tidak akan mati sebelum menghabiskan jatah rezeki yang telah ditentukan baginya.</div><div style="text-align: justify;">b. Allah berjanji akan memudahkan urusan orang-orang yang bertakwa, baik urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Dan jika Allah berjanji, Dia tidak akan mengingkari janji-Nya. Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (4)</div><div style="text-align: justify;">"...Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. Al-Thalaq: 4) </div><div style="text-align: justify;">c. Bashîrah, adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Bashîrah merupakan pengetahuan yang mendalam berupa pencerahan dari Allah di dalam hati orang yang bertakwa, untuk menerangi jalan hidupnya, dan menjadikannya dapat mengetahui mana kebaikan dan mana keburukan. Atau disebut juga dengan furqân, yang berarti kemampuan untuk membedakan antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah). Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظيمِ (29) </div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan kepadamu furqân, menutupi kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan sungguh Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfâl: 29)</div><div style="text-align: justify;">Dari ayat yang mulia di atas kita mengetahui bahwa Allah berjanji akan menutupi kesalahan orang yang bertakwa dan mengampuni segala dosanya. Dan sesungguhnya Allah Swt tidak akan pernah mengingkari janji-Nya. </div><div style="text-align: justify;">d. Takwa adalah sumber dari segala fadhilah dan akhlak mulia. Kasih sayang, menepati janji, kejujuran, keadilan, wara', suka berderma, dan akhlak terpuji lainnya merupakan buah dari pohon ketakwaan ini. Maka agar pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, perlu menanam benih yang baik, dan memeliharanya dengan baik. Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ فَإنَّهُ جُمَاعُ كُلِّ خَيْرٍ</div><div style="text-align: justify;">"Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah, Karena takwa adalah induk setiap kebaikan." (HR. Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">e. Takwa akan menjadikan seseorang dicintai oleh Allah Swt, para malaikat dan manusia di dunia. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (76) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janjinya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 76)</div><div style="text-align: justify;">Kemudian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari bahwa Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي جِبْرِيلُ فِي السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي أَهْلِ الْأَرْضِ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah Swt mencintai seorang hamba maka Dia memanggil Jibril: 'Sesungguhnya Allah telah mencintai seorang hamba, maka cintailah ia'. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru penghuni langit, bahwa Allah telah mencintai seseorang, maka mereka pun mencintainya, kemudian dijadikan hamba itu diterima (dicintai) di muka bumi."</div><div style="text-align: justify;">f. Orang-orang yang bertakwa akan diberikan keberkahan rezeki dari langit. Keberkahan berarti, memperbanyak yang sedikit, banyak, bertambah, bermanfaat, luasnya kebaikan dan keselamatan. Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96)</div><div style="text-align: justify;">"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…." (QS. Al-A'râf: 96)</div><div style="text-align: justify;">Tidak cukup untuk menuliskan faidah takwa dalam tulisan kecil ini, karena banyak sekali ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang hal ini. Tetapi yang penting kita ketahui bahwa takwa adalah induk segala kebaikan di dunia dan akhirat. </div><div style="text-align: justify;">2. Akibat Buruk Perbuatan Maksiat</div><div style="text-align: justify;">Setiap amal kebajikan pasti Islam mengajarkan dan memerintahkan umatnya untuk mengerjakannya, demikian juga segala bentuk keburukan dan kejahatan pasti Islam melarang umatnya untuk melakukannya. Setiap amalan yang diperintahkan oleh Islam pasti membawa keuntungan dan kebaikan bagi yang melaksanakannya baik di dunia maupun di akhirat, demikian juga setiap amalan yang dilarang oleh Islam pasti membawa kerugian dan kejelekan baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini merupakan suatu kaidah yang pasti dan tidak mungkin dipungkiri.</div><div style="text-align: justify;">Adapun bahaya dan kerugian perbuatan maksiat, manusia cukup mengambil pelajaran dari umat-umat sebelumnya. Apakah yang menyebabkan nenek moyang manusia (Nabi Adam a.s. dan Sayyidah Hawwa) dikeluarkan dari surga? Dari tempat yang penuh kebahagiaan menuju tempat yang dipenuhi segala macam kesulitan dan kesusahan? Apa juga yang menyebabkan Iblis diusir dari surga sehingga mendapat laknat Allah, dan kekal di neraka selama-lamanya? Berubah posisi dari yang semula mahluk mulia di surga kemudian menjadi mahluk yang paling hina? </div><div style="text-align: justify;">Apa yang menyebabkan kaum nabi Nuh a.s. dihancurkan oleh banjir bandang yang yang menenggelamkan gunung? Apakah yang menyebabkan kaum 'Âd, Tsamûd, kaum Nabi Luth a.s. dihancurkan oleh Allah? Apakah yang menyebabkan Fir'aun dan bala tentaranya ditenggelamkan di laut Merah? Semua pertanyaan-pertanyaan di atas jawabannya hanya satu, yaitu karena mereka memaksiati Allah Swt Tidak cukupkah semua itu menjadi pelajaran berharga bagi manusia? Perlukah mengalami sendiri segala bentuk azab Allah itu sehingga mereka mau percaya? Na'ûdzbillâhi min dzâlik. Cukuplah bagi orang yang berakal isyarat dan contoh nyata. Contoh azab dunia yang tidak ada apa-apanya dibanding azab akhirat.</div><div style="text-align: justify;">Renungkanlah betapa besar akibat buruk dari perbuatan maksiat! Kalaupun ada nikmat yang didapat, itu semua hanya sebentar. Akibat buruk yang ditimbulkan setelahnya tidak akan habis-habisnya. Seorang lelaki dan perempuan melakukan dosa besar karena berzina, kemudian si perempuan hamil, apa hendak dikata. Tidak tahu apa yang akan mereka perbuat. Apakah mereka berdua harus menikah, kemudian membawa aib dan mencoreng nama baik keluarga? Ataukah harus membunuh si bayi di dalam perut ibunya yang berarti menambah maksiat yang lebih besar lagi? Atau membiarkannya lahir kemudian membuangnya di tempat sampah, kolong jembatan dst.? Sungguh kenikmatan sesaat yang diiringi duka nestapa yang tiada kunjung reda. </div><div style="text-align: justify;">Kenikmatan yang diperoleh dari perbuatan haram akan segera hilang, setelah itu tinggal dosa dan aib yang selalu menghantui dan tak pernah pergi, sungguh tidak ada kebaikan pada kenikmatan yang berujung neraka. Begitu juga dengan kebaikan. Ia tidak akan pernah lekang dimakan zaman, dan ia akan dibalas dengan kabaikan yang tak akan terputus. Diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razzâq bahwasanya Rasulullah Saw mengingatkan hal ini melalui hadisnya:</div><div style="text-align: justify;">اَلْبِرُّ لَا يَبْلَى وَالْاِثْمُ لَا يُنْسَى وَالدَيَّانُ لَا يَمُوْتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ </div><div style="text-align: justify;">"Kebaikan tidak akan lekang, keburukan tidak akan dilupakan, Yang Mahamenuntut tidak akan mati (abadi), maka berbuatlah sekehendakmu, sebagaimana engkau berbuat begitulah engkau dibalas." (HR. Abdur Razzaq)</div><div style="text-align: justify;">Jika seseorang mentafakkuri semua ini kemudian menyadari akibat buruk perbuatan maksiat, niscaya tafakkurnya akan membawanya untuk lebih bertakwa kepada Allah. Maka manusia harus mengetahui bagaimana cara agar mereka dapat mengalahkan hawa nafsunya. Salah satu cara yang bisa dilakukan selain merenungkan akibat buruk maksiat di dunia dan akhirat adalah dengan memangkas segala pikiran buruk yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat maksiat. Setiap kali terdetik di dalam pikiran untuk berbuat maksiat, maka segeralah di-cut. Sebab api akan mudah di padamkan ketika ia masih kecil. Semakin api syahwat dibiarkan menyala, maka ia akan semakin membesar, apa lagi jika disiram dengan minyak tanah, niscaya ia akan bertambah besar dan susah dipadamkan. Selain itu kita perlu memohon bantuan kepada Dzat Yang Maha memberi pertolongan agar Dia menjaga kita dari perbuatan dosa dan maksiat. </div><div style="text-align: justify;">Sifat-sifat Orang Yang Bertakwa</div><div style="text-align: justify;">Sebagaimana Al-Quran banyak menyebut faidah dan buah ketakwaan, ia juga banyak memberi gambaran yang merupakan sifat dan ciri orang yang bertakwa. Di bawah ini adalah beberapa sifat dan ciri tersebut:</div><div style="text-align: justify;">1. Orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman dengan yang ghaib, mendirikan shalat, menunaikan zakat, suka berinfak, beriman kepada Al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta beriman kepada hari akhir, sebagaimana firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)</div><div style="text-align: justify;">"Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (2) (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (3) Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (4) merekalah orang-orang yang berada dalam hidayah Tuhannya dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Baqarah: 2-4)</div><div style="text-align: justify;">Secara bahasa ghaib berarti sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indra, termasuk di dalamnya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, masa yang akan datang dan ketidakhadiran sesuatu di sekeliling kita, seperti perkataan seseorang, "fulân ghâib", yang artinya, orang ini ghaib atau tidak hadir. Adapun menurut istilah, ketika menafsirkan makna ghaib dalam ayat surah Al-Baqarah di atas imam At-Thabari berkata: </div><div style="text-align: justify;">تَأْويْلُ قَوْلِ اللهِ تَعَالَى: (الَّذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ) إنَّمَا هُمُ الَّذيْنَ يُؤْمنُوْنَ بِمَا غَابَ عَنْهُمْ مِنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَِالثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَالْبَعْثِ، وَالتَّصْديْقِ بِاللهِ وَمَلَائكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَجَميْعِ مَا كَانَتِ الْعَرَبُ لَا تَدِيْنُ بِهِ فِيْ جَاهليِّتهَا، مِمَّا أَوْجَبَ اللهُ جَلَّ ثَناَؤُهُ عَلَى عِبَاده الدَّيْنُوْنَة بِهِ دُونَ غَيْرِهِمْ</div><div style="text-align: justify;">"Makna firman Allah Swt, 'Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib', adalah mereka yang beriman terhadap semua yang ghaib darinya, seperti surga, neraka, pahala kebaikan, siksa, hari kebangkitan, beriman kepada Allah dan malaikat-malaikatnya, kitab-kitab (yang pernah diturunkan)-Nya, dan para rasul (utusan)-Nya, serta semua perkara yang tidak diyakini oleh orang Arab pada zaman jahiliyah, yang diwajibkan oleh Allah--Yang Mahaterpuji terhadap hamba-Nya untuk diimani, bukan yang selain mereka (orang Arab). </div><div style="text-align: justify;">Kiranya sudah sangat jelas makna ghaib tersebut, dan yang perlu digarisbawahi adalah maksud kata beliau, "bukan yang selain orang mereka (orang Arab)" adalah, kita tidak boleh mempercayai hal-hal ghaib menurut kepercayaan umat-umat lain selain kepercayaan umat Islam. Beliau menyebutkan orang Arab, karena Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw muncul di bangsa Arab.</div><div style="text-align: justify;">Perkara ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari agama Islam. Ia adalah perkara yang wajib diimani oleh setiap muslim. Bahkan sebagian besar asas-asas keimanan seorang muslim adalah beriman kepada hal-hal yang ghaib, seperti iman kepada Allah, malaikat, para rasul, hari kiamat, takdir dsb. Oleh karena itu, Al-Quran menjelaskan bahwa ciri pertama dari orang yang bertakwa adalah beriman kepada hal-hal yang ghaib. Jika ini tidak ada pada diri seseorang, maka ciri-ciri berikutnya juga tidak akan terealisasi. Sebab seseorang tidak akan mau mendirikan shalat, menuniakan zakat, berinfak, beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dan nabi-nabi sebelum beliau, percaya kepada hari akhirat, kalau ia tidak mempercayai bahwa di sana ada Tuhan Yang Mahaagung (Allah Swt) yang akan membalas setiap perbuatan hamba, baik, buruk, besar ataupun kecil. </div><div style="text-align: justify;">Iman kepada Allah dan Rasul-Nya inilah yang akan menimbulkan al-dhamîr al-dîniy (naluri keberagamaan) yang melahirkan perasaan bahwa dia selalu diawasi oleh Allah Swt dalam setiap gerak-geriknya yang tampak dan tidak tampak. Kemudian ia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya baik yang terang-terangan atau yang tersembunyi. Kesadaran akan pengawasan dan rasa tanggung jawab inilah yang kemudian menjadi motivasi utama bagi seseorang dalam menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah definisi takwa itu sendiri.</div><div style="text-align: justify;">2. Sifat lain yang juga menjadi ciri orang bertakwa adalah bahwa mereka tidak berbuat dosa besar dan tidak terus menerus berbuat dosa kecil. Dan jika sesekali mereka terjatuh berbuat maksiat, mereka akan segera mengingat Allah dan bertaubat kepada-Nya. Allah menjelaskan hal ini dalam firman-Nya yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)</div><div style="text-align: justify;">"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (133) (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan suka mema'afkan (kesalahan) orang lain, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (144) Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan fâhisyah, atau menganiaya diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (145) (QS. Ali Imran: 133-135)</div><div style="text-align: justify;">3. Ciri orang bertakwa yang lain adalah, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat di atas yaitu, suka menahan marah dan memberi maaf. Hal ini karena orang yang bertakwa lebih suka untuk menyibukkan hatinya dengan berdzikir kepada Allah dari pada memenuhi hatinya dengan penyakit-penyakit hati seperti mudah melampiaskan kemarahan, rasa iri, dengki, pamer dan sebagainya. Selain itu karena pemaaf adalah perbuatan yang mendekatkan kita kepada ketakwaan. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى</div><div style="text-align: justify;">"… Dan berilah maaf, karena hal lebih dekat kepada takwa...." (QS. Al-Baqarah: 237)</div><div style="text-align: justify;">4. Sifat lain dari orang yang bertakwa adalah, selalu berkata benar dan berbuat yang benar. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (33)</div><div style="text-align: justify;">"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan melaksanakannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Zumar: 33)</div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Katsir meriwayatkan tafsir imam Mujâhid, Qatâdah, Al-Rabî' bin Anas dan Zaid, bahwa kata ganti yang dikandung oleh kata jâ'a bi al-shidqi (yang membawa kebenaran) dan kata shaddaqa bihî (yang melaksanakan kebenaran itu) dalam ayat di atas merujuk kepada nabi Muhammad Saw Kemudian beliau menyimpulkan bahwa kata ganti tersebut mencakup seluruh orang yang beriman, karena seorang mukmin akan berkata benar dan melaksanakan kebenaran itu, dan tentunya Rasulullah Saw orang paling pertama yang dimaksudkan oleh ayat ini. karena beliau adalah imam al-muttaqîn (imam orang-orang yang bertakwa).</div><div style="text-align: justify;">5. Sifat yang lain adalah, mengagungkan syariat Allah Swt Dalam surah Al-Hajj Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (32)</div><div style="text-align: justify;">"Demikianlah bahwa barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj: 32)</div><div style="text-align: justify;">Maksud dari mengagungkan syiar-syiar Allah di atas adalah bahwa seorang yang beriman akan mengagungkan semua syiar-syiar Allah dan tidak berani meremehkannya. Mengagungkan segala perintah Allah dan tidak berani melalaikannya, melakukannya dengan cara yang paling baik dan penuh ketundukan. Ketika diperintahkan untuk menyembelih kurban, maka ia akan segera melakukannya pada waktunya yang paling baik, cara menyembelih yang paling baik dan memilih hewan sembelihan yang paling baik. Inilah bentuk pengagungan syiar-syiar Allah. dan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat perintah Allah, maka itulah syiar Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">6. Sifat yang lain juga yaitu, selalu berbuat adil dan berhukum dengan keadilan terhadap siapapun, walaupun seorang kafir. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (8)</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Maidah: 8)</div><div style="text-align: justify;">Abu Na'îm meriwayatkan dalam kitabnya Hilyat al-Auliyâ' dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa suatu saat beliau memperkarakan baju besinya yang dicuri oleh seorang yahudi ke hadapan hakim. Namun beliau tidak mempunyai saksi kecuali kedua anaknya Hasan dan Husain. Sedangkan dalam hal ini anak tidak boleh menjadi saksi bagi bapaknya. Oleh karena itu sang hakim memutuskan bahwa pemilik baju besi itu adalah orang Yahudi. Orang Yahudi itu pun terperanjat, bagaimana mungkin ia dimenangkan dari Amirul mukminin Ali ra, padahal baju besi itu memang kepunyaan beliau. Melihat keadilan Islam itu akhirnya orang Yahudi itu berkata: "Wahai Amirul mukminin, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah, baju besi ini adalah milik anda, saya mencurinya ketika anda keluar ke Shiffin." Inilah sekelumit tentang sifat dan ciri orang yang bertakwa. Dan masih banyak lagi sifat lain yang dapat ditemukan di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.</div><div style="text-align: justify;">Penutup</div><div style="text-align: justify;">Tulisan yang sederhana ini tentunya tidak mampu untuk mengungkapkan kedalaman makna takwa ini. Namun semoga ia dapat memberi secercah cahaya penerang tentang samudra ketakwaan ini, dan dapat menjadi motivasi bagi kita untuk terus meningkatkan takwa kita kepada Allah Swt Takwa hanya bisa dirasakan dan dimaknai oleh mereka yang benar-benar mengalami dan menyelaminya. Kita memohon kepada Allah Swt agar memberikan kita taufik sehingga mampu melaksanakan proses bertakwa dengan baik dan meraih manzilah ktakwaan yang tinggi di sisi-Nya. Âmîn yâ Rabbal 'âlamîn. Wallâhu a'lamu bis shawâb.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">MAHABBATULLAH </div><div style="text-align: justify;">Oleh: Imam Suryansyah, Lc.</div><div style="text-align: justify;">Ibnu Al-Qayyim berkata: "Dan karena cintalah</div><div style="text-align: justify;">diciptakan langit dan bumi, karena cinta pula alam semesta</div><div style="text-align: justify;">bergerak, dan karena cinta gerakan-gerakan tersebut sampai kepada tujuannya..." </div><div style="text-align: justify;">(Raudhatul Muhibbîn wa Nuzhatul Muttaqîn)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mengapa alam semesta dicipta oleh Allah Swt? bukankah Dia adalah Al-Ghaniy, Sang Mahakaya yang tidak membutuhkan makhluk-Nya sedikitpun? Lalu, buat apa mencipta kalau tidak butuh? Bukankah hal itu merupakan perbuatan sia-sia? Padahal Allah Swt maha Suci dari perbuatan yang sia-sia. Semua perbuatannya bijak dan penuh hikmah karena Dialah Al-Hakîm (Sang Mahabijaksana). Jika demikian bagai mana menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Rahasia jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah mahabbah (cinta). Mengapa cinta? Karena cintalah Allah mencipta mahluk--Nya, karena cintalah Allah mencipta alam semesta beserta isinya. Dialah Al-Wadûd, Sang Mahamencinta. Kalau demukian, berarti Allah bukan Al-Ghaniy karena membutuhkan cinta? Cinta bukanlah kebutuhan Allah, tetapi merupakan salah satu sifat-sifat kemuliaan yang dimiliki Allah, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain. </div><div style="text-align: justify;">Itulah sekelumit tentang mahabbah sebagai pembuka kajian mahabbatullah kali ini. Mahabbatullah memiliki dua makna, (a) mencintai Allah yaitu dari hamba kepada Allah, dan (b) cinta Allah yaitu dari Allah terhadap hamba. Cinta Allah terhadap hamba inilah yang menjadi tujuan tertinggi cinta kepada Allah, dan cinta Allah ini tidak akan diraih kecuali dengan mencintai Allah. Mahabbatullah adalah tujuan yang utama dan puncak dari setiap maqâm yang dilewati oleh seorang sâlik menuju Allah Swt. Maqâm-maqam sebelum mahabbatullah seperti taubat, sabar, ridha dan lain sebagainya hanyalah mukadimah menuju mahabbatullah. Ahwâl seperti al-syauq, al-unas, al-ridha adalah buah dari mahabbatullah. Mahabbatullah ibarat kepala, khauf dan rajâ' bagaikan dua sayap yang dengannya seorang hamba berjalan menuju Allah. Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat. Mahabbah adalah buah dari khauf dan rajâ'. Sedangkan keduanya adalah penopang jalan menuju mahabbatullah. </div><div style="text-align: justify;">Mahabbatullah bagaikan sebuah pohon yang akarnya menghujam kokoh ke dalam tanah, pohonnya tinggi dan menghasilkan buah yang bermanfaat. Demikianlah perumpamaan seorang hamba muslim yang mencintai Rabb-nya. Keshalihan zahirnya menunjukkan menunjukkan keshalihan batinnya. Kebaikan pasti menelurkan kebaikan pula. Maka tidak tepat pernyataan yang mengatakan bahwa orang yang melakukan ritual ibadah zahir dan dilihat oleh orang lain belum tentu mahabbah-nya lebih sempurna dari pada orang yang tidak mau berbuat dan beramal dengan alasan takut riya karena dilihat orang. Mahabbatullah pasti memiliki bukti nyata baik berupa perkataan atau perbuatan. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (31) Katakanlah, 'Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (QS. Ali Imrân: 31-32)</div><div style="text-align: justify;">Menafsirkan ayat yang mulia di atas imam Al-Thabari meriwayat sebab turunya: "Dari Bakr bin al-Aswad berkata, "Saya mendengar Al-Hasan berkata: "Di zaman Rasulullah Saw ada suatu kaum yang berkata: 'Wahai Muhammad, kami mencintai Rabb kami! Kemudian Allah Swt menurunkan: Katakanlah! jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu', Allah menjadikan ittibâ' (mengikuti sunnah) nabi Muhammad Saw sebagai bukti cinta mereka kepada Allah dan mengazab siapa saja yang menyelisihinya." </div><div style="text-align: justify;">Coba kita perhatikan ayat 32 dari surat Ali Imrân di atas, bagaimana Allah Swt memerintahkan kita untuk menaati Allah dan Rasul-nya dan mereka yang tidak mau taat, dalam arti tidak mau mengerjakan perintah dan gemar melanggar larangan. Allah menggolongkan mereka ke dalam orang-orang yang kafir yang Dia tidak sukai. Karena orang yang beriman yang hakiki adalah yang mencintai kepada Rabb-nya dengan hati yang patuh, tunduk, taat dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt </div><div style="text-align: justify;">Dalam sebuah syair disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">تَعْصِي الْإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ** هَذَا لَعُمْرِي فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ</div><div style="text-align: justify;">لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ ** إنَّ المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ</div><div style="text-align: justify;">Engkau bermaksiat kepada Allah dan mengaku mencintai-Nya?</div><div style="text-align: justify;">Sungguh hal ini menurut qiyâs (logika akal) sangat aneh</div><div style="text-align: justify;">Jika cintamu jujur dan benar, niscaya engkau menaati-Nya</div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya orang yang mencintai terhadap yang dicintainya patuh </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu, melalui tulisan sederhana ini marilah kita mencoba menguak misteri mahabbatullah ini. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya agar kita dicintai oleh Allah Swt Mudah-mudahan dapat memberikan kata terang tentang sejauh mana mahabbah kita kepada Allah.</div><div style="text-align: justify;">Definisi Mahabbah </div><div style="text-align: justify;">Mahabbah dari kata hubb yang berarti putih dan jernih karena orang Arab menyebut gigi yang putih dan bersinar dengan kata hababu al-asnân. Atau dari kata hubâbu al-mâ' yang berarti gelembung muncul dipermukaan air ketika hujan deras, dengan makna ini mahabbah berarti gelora hati yang nampak ketika merindukan pertemuan dengan orang yang dicintai. Atau dari kata habba al-ba'îr idzâ baraka, unta yang teguh dan tidak bergerak ketika duduk, artinya bahwa ketika seseorang mencintai sesuatu maka hatinya akan teguh dan tidak mau berpindah dari yang dicintainya. Atau diambil dari kata habbatu al-qalb yang berarti inti hati yang murni. </div><div style="text-align: justify;">Tidak dipungkiri bahwa makna-makna tersebut merupakan kelaziman mahabbah. Mahabbah adalah kejernihan cinta, getaran dan gelora hati terhadap yang dicintai, pengejawentahannya sebagai bukti nyata bagi yang dicintai, keteguhan hati sehinnga tidak mau lepas atau pindah dari yang dicintai, memberikan ketulusan yang terdalam dari inti hatinya kepada yang dicintai. Semua makna ini berkumpul dalam hati seorang muhibb (pecinta) yang menunjukkan ketinggian dan keluhuran nilai mahabbatullah ini. Mahabbah bukanlah hawâ yang dalam bahasa Indonesia juga sering diartikan cinta. Mahabbah tidak mengandung nafsu birahi sebagaimana kata hawâ atau garâm. Untuk membedakan antara keduanya, dapat dibandingkan antara cinta anak kepada orang tua atau sebaliknya dengan cinta sepasang kekasih yang sedang bermesraan.</div><div style="text-align: justify;">Adapun mendefinisikan mahabbah dengan makna yang paten adalah hal yang sulit untuk dilakukan, karena kata-kata yang mengungkapkannya hanya akan mempersempit dan menggersangkan keagungan maknanya. Imam Ibnu Al-Qayyim berkata, "Definisi tidak akan menambahkan kepadanya kecuali keredupan (kesamaran) dan kejauhan (kedangkalan) makna, definisinya adalah wujudnya itu sendiri, mahabbah tidak bisa diungkapkan dengan ungkapan yang lebih terang dari kata mahabbah itu sendiri. Orang hanya bisa berbicara tentang sebab dan akibatnya, tanda dan buktinya, buah dan hukumnya." Namun demikian semoga paparan singkat mengenai mahabbatullah ini dapat mewakili walau sedikit dari keagungan maknanya. </div><div style="text-align: justify;">Tafsir Ayat-ayat Cinta </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (24)</div><div style="text-align: justify;">Katakanlah: "Jika orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(At-Taubah: 24)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat di atas Allah Swt menyebutkan delapan hal yang paling dicintai oleh manusia yaitu, orang tua, anak, saudara, isteri, karib kerabat, harta benda, bisnis dan tempat tinggal. Allah Swt tidak mencela mencintai semua itu selama tidak didahulukan dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Kata Ahabba ilaikum (lebih engkau cintai) dalam ayat yang mulia di atas mengisyaratkan bahwa kita diperintahkan untuk mencintai orang tua, anak, isteri, keluarga, harta dsb. Namun semua itu tidak boleh didahulukan dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang menguatkan makna ini adalah hadis Rasulullah Saw yang memerintahkan kita untuk mencintai mahluk karena Allah dan tidak mencintainya lebih dari cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menunjukkan bahwa manisnya iman akan dirasakan oleh seorang mukmin jika ia telah mencintai Allah dan Rasul-nya lebih dari segala-galanya. Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أن يكَونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وأن يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إلَّا لِلَّهِ وَ أن يَكْرَه أَنْ يَعود فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَه أَنْ يُقذف فِي النَّارِ</div><div style="text-align: justify;">"Tiga perkara yang apabila ada dalam diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; hendaknya ia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari yang selain keduanya, hendaknya ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan membenci kembali kepada kekufuran seperti bencinya ia dilemparkan kea pi neraka." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Abdullah Nashih Ulwan menyimpulkan dari ayat di atas bahwa cinta seseorang dapat dibagi menjadi tiga: pertama, cinta Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah yang merupakan cinta yang paling tinggi dan harus didahulukan dari cinta-cinta yang lain. Kedua, cinta orangtua, anak, saudara, istri, keluarga, harta, bisnis dan tempat tinggal adalah cinta tingkatan menengah yang diperbolehkan. Ketiga, mengedepankan cinta kepada keluarga dan harta benda dari pada cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya. Cinta ini adalah cinta yang tercela dan tidak diperbolehkan. </div><div style="text-align: justify;">Cinta terhadap hal-hal tersebut di atas tidak tercela, selama ia diposisikan setelah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah Swt yang telah menganugerahi perasaan cinta dalam diri kita, dan Dia juga yang memerintahkan kita untuk mencintai mereka. Mencintai sesuatu yang diperintah Allah untuk dicintai sama dengan menjalankan perintah-Nya, dan menjalankan perintah-Nya adalah bukti cinta terhadap Allah. Namun cinta terhadap hal-hal tersebut hendaknya disalurkan sesuai dengan perintah-Nya juga. Mencintai orang tua misalnya dengan berbakti kepadanya menghormati dan menyayanginya, mencintai istri dengan menyayanginya dan menunaikan haknya, saling mencintai sesama kaum muslimin dalam ikatan ukhuwwah islamiyah, mencintai harta dengan menginfakkannya di jalan Allah dan setersunya. Tetapi ketika cinta duniawi didahulukan dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti mencari harta sebanyak-banyaknya, tidak peduli halal atau haram, lengah terhadap hak-hak Allah dan Rasul-Nya, atau meneruti perintah orang tua, atau isteri untuk bermaksiat kepada Allah dan sebagainya. </div><div style="text-align: justify;">Ibnu Taimiyah berkata: "Adapun syirik terembunyi yang jarang sekali orang selamat darinya adalah seperti mencintai karena Allah dan karena yang selain-Nya. Jika cintanya kepada Allah seperti mencintai orang-orang shalih dan amal-amal shalih, maka hal ini tidak termasuk syirik tersembunyi tersebut. Cinta ini justeru merupakan hakikat mahabbatullah itu sendiri, karena hakikat mahabbatullah adalah mencintai Allah dan apa saja yang dicintai oleh-Nya; juga membenci apa saja yang dibenci oleh-Nya. Orang yang cintanya benar, tak mungkin membangkang, karena pembangkangan berarti ketidaktaatan, dan ketidaktaatan menunjukkan kurangnya mahabbah menunjukkan. Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">قُلْ إنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.'</div><div style="text-align: justify;">Pembicaraan kita bukan masalah cinta model ini. Akan tetapi pembicaraan kita adalah mencintai sesuatu bukan karena Allah. Cinta inilah yang jelas menunjukkan kurangnya pengesaan mahabbah untuk Allah, dan hal ini merupakan dalil kurangnya cinta kepada Allah. Karena orang yang sempurna cintanya kepada Allah, tidak akan mencintai selainnya. Ini tidak bertentangan dengan cinta yang kami sebutkan pertama tadi, karena cinta tersebut termasuk ke dalam mahabbatullah itu sendiri." </div><div style="text-align: justify;">Dalam bukunya Raudhatul Muhibbîn wa Nuzhatul Musytâqîn imam Ibnul Qayyim berkata: "Sesungguhnya mahabbah itu ada tiga jenis: pertama, Mahabbatullâh, kedua, Al-Mahabbah Lahû (lillâh) wa Fîhi (fillâh), ketiga, Al-Mahabbah Ma'ahu (Ma'allâh). Adapun Al-Mahabbah Lahû wa Fîhi adalah penyempurna atau kelaziman Mahabbatullah, bukan sesuatu yang akan memutuskannya. Karena sesungguhnya mencintai Allah berarti mencintai apa yang dicintai-Nya dan mencintai seuatu yang dapat membantu mendapatkan cinta-Nya dan menyampaikannya kepada ridha dan kedekatan dengan-Nya. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak mencintai sesuatu yang dapat membantunya menuju ridha, cinta dan kedekatan dengan Rabb-Nya? Adapun Al-Mahabbah Ma'allah, inilah yang merupakan kesyirikan, yaitu seperti cintanya orang musyrik terhadap tuhan-tuhan mereka, sebagaimana firman Allah:</div><div style="text-align: justify;">وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ … (165)</div><div style="text-align: justify;">"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah…. (QS. Al-Baqarah: 165)."</div><div style="text-align: justify;">Kemudian setelah itu imam Ibnu Al-Qayyim mengisahkan bahwa suatu ketika Al-Fudhail menjenguk putrinya yang sedang sakit. Putrinya berkata, "Wahai ayahku, apakah engkau mencintaiku? Al-Fudhail menjawab, "Ya." Putrinya berkata lagi, "Lâ Ilâha Illallâh, aku tidak pernah mengira hal ini ada padamu, dan aku tidak percaya kalau engkau mencintai sesuatu selain Allah, akan tetapi jadikan Allah satu-satunya yang engkau cintai, dan jadikan cintamu padaku hanya sebatas rahmah (kasih sayang)." Maksudnya—sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Al-Qayyim—"Jadikanlah cintamu padaku sebatas kasih sayang yang diciptakan Allah dalam hati setiap orang tua terhdap anaknya bukan mencintai sesuatu selain Allah, karena hanya Allah yang memiliki hak untuk dicintai yang tidak boleh diduakan dengan yang lain." </div><div style="text-align: justify;">Tanda-tanda Cinta Allah Terhadap Hamba</div><div style="text-align: justify;">Ada beberapa tanda hal yang bisa menjadi kabar gembira bagi seorang mukmin jika hal-hal tersebut ada dalam dirinya. Karena hal-hal tersebut merupakan ciri-ciri atau tanda bahwa Allah Swt mencintainya, diantaranya adalah: </div><div style="text-align: justify;">Pertama, orang yang dicintai Allah akan dibimbing dan dijaga oleh-Nya ia semenjak. Allah menjadikan iman di dalam dadanya, menyinari akalnya, memilihnya untuk menjadi hamba yang rajin beribadah, menyibukkan hati dan lisannya untuk berzikir, anggota badannya untuk melakukan ketaatan-ketaatan, menjadikannya mengikuti semua jalan yang mendekatkannya kepada Rabb-nya, menjadikannya membenci segala hal yang dibenci Allah dan mencintai segala hal yang dicintai-Nya, membenci segala perbuatan yang akan menjauhkannya dengan Rabb-nya, kemudian setelah itu hamba ini akan dumdahkan urusannya, tanpa harus menjadi hina di hadapan makhluk, dan dimuliakan di antara hamba-hamba yang lain. </div><div style="text-align: justify;">Kedua, penyayang dan lemah lembut terhadap hamba Allah, berbuat dengan ringan, tidak membuat-buat dan selalu berbuat kebajikan. </div><div style="text-align: justify;">Ketiga, ia diterima di hati manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Disenangi, dicintai dan dipuji dengan kebaikan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis, bahwa ketika Allah Swt menyukai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan mengabarkannya tentang hal itu, lemudian memrintahnya untuk memberitahukan hal itu kepada penghuni langit bahwa Allah mencintai hamba tersebut, sehingga semua penghuni langit mencintainya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَيَقُولُ إِنِّي أُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضْهُ قَالَ فَيُبْغِضُهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ فُلَانًا فَأَبْغِضُوهُ قَالَ فَيُبْغِضُونَهُ ثُمَّ تُوضَعُ لَهُ الْبَغْضَاءُ فِي الْأَرْضِ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, memanggil Jibril lalu berkata: "Aku mencintai seseorang maka cintailah ia", maka Jibril pun mencintainya. Kemudian jibril menyeru penghuni langit: "Sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah ia, maka mereka pun mencintainya. Lalu diletakkan baginya qabûl (diterima) di bumi. Dan apabila Dia membenci seorang hamba, memanggil Jibril lalu berkata: "Aku membenci fulan maka bencilah ia", maka Jibril pun membencinya. Kemudian menyeru penghuni langit: "Sesungguhnya Allah telah membenci fulan maka bencilah ia, maka mereka pun membencinya. Lalu diletakkan baginya kebencian di bumi." (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Keempat, Allah akan menguji hamba yang dicintai-Nya. Oleh karena itu orang mukmin tidak boleh berburuk sangka dengan ujian yang datang kepadanya jika memang ia tidak berbuat kesalahan. Jika suatu kaum taat kepada Allah, melakukan ibadah dan amala shalih dengan baik, kemudian diuji dengan beberapa cobaan , maka sesungguhnya hal itu merupakan bukti cinta Allah terhaedap kaum tersebut. Diriwayatkan dalam sebuah hadis hasan, dari Anas ra berkata, Rasulullah Saw. bersabda: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya pahala yang besar itu bersama dengan cobaan besar. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha maka baginya keridhaan dan barang siapa yang benci maka baginya kemurkaan."</div><div style="text-align: justify;">Ujian ini sesuai dengan kadar kekuatan iman dan mahabbah seseorang kepada Allah Swt. Sa'ad bin Abi Waqqâsh pernah bertanya kepada Rasulullah dalam sebuah hadis hasan:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ سَعْدٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً فَقَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ رَقِيقَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ وَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ قَالَ فَمَا تَزَالُ الْبَلَايَا بِالرَّجُلِ حَتَّى يَمْشِيَ فِي الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ</div><div style="text-align: justify;">"Sa'ad bin Abi Waqqâsh bertanya kepada Rasulullah Saw, 'Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya? Rasulullah menjawab, "Para nabi, kemudian yang lebih rendah lagi dan lebih rendah lagi, seorang hamba akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya, jika agamanya kuat maka ujiannya akan diperberat, dan jika agamanya lemah maka ia akan diuji sesuai kualitas agamnya, seorang hamba akan selalu diuji sampai ia berjalan dibumi tanpa memiliki dosa." (HR. Ahmad dan Tirmizi) </div><div style="text-align: justify;">Kelima, meninggal dalam keadaan melakukan kebaikan (amal shalih). Sering kita mendengar kejadian yang mengagumkan dari orang-orang shalih yang mengakhiri hayatnya dengan khusnul khatimah. Ada yang meninggal ketika sedang bersujud atau sedang membaca Al-Quran dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti bahwa Allah mencintai hamba tersebut. Sebagaimana dalam hadis shahih disebutkan: </div><div style="text-align: justify;">إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا عَسَّلَهُ قَالُوْا وَمَا عَسَّلَهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُ لَهُ عَمَلاً صَالِحًا بَيْنَ يَدَيْ أَجَلِهِ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ جِيْرَانُهُ أَوْ مَنْ حَوْلَهُ. </div><div style="text-align: justify;">"Apabila Allah mencintai seorang hamba Dia meng-'assal-kannya. Para sahabat bertanya: apa maksud meng-'assal-kannya? Nabi menjawab: memberikan taufik kepadanya berupa amal shalih ketika menemui ajalnya sampai para tetangga dan yang ada disekelilingnya ridha atas dirinya." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) </div><div style="text-align: justify;">Bukti Cinta Hamba Terhadap Allah Swt</div><div style="text-align: justify;">Telah disinggung sebelumnya, bahwa cinta Allah tidak akan diraih oleh haba kecuali hamba tersebut mencintai-Nya. Karena mahabbatullah itu adalah perkara yang tersembunyi di dalam hati manusia, maka wajar saja jika banyak orang yang menganggap bahwa dirinya adalah kekasih Allah atau orang yang dicintai-Nya. Diantara manusia ada yang merasa bahwa dirinya adalah pilihan Allah Swt, namun pada kenyataannya mereka adalah musuh-musuh-Nya. Sebagaimana perkataan kaum Yahudi dan Nasrani yang digambarkan dalam Al-Quran: </div><div style="text-align: justify;">وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (18)</div><div style="text-align: justify;">"Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi beserta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada-Nya lah kembali (segala sesuatu)." (QS. Al-Mâidah: 18)</div><div style="text-align: justify;">Mudah sekali kalau hanya mengucapkan "Aku mencintai Allah", tetapi betapa sulit merealisasikan mahabbatullah yang sebenarnya dalam diri kita. Maka tidak usah seseorang merasa bangga diri bahwa ia telah dicintai Allah Swt, lantaran tipu daya setan yang membisiki hati, sebelum menguji cintanya, agar ia mengetahui sejauh mana kadar kecintaan kita kepada Allah. Kita perlu mempertanyakan hal-hal berikut ini dan menjawabnya dengan jujur di hati masing-masing: </div><div style="text-align: justify;">1. Merindukan pertemuan dengan Allah, karena tidak mungkin seseorang mencintai sesuatu tanpa ingin bertemu dan melihat sesuatu dengan yang dicintainya. Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ </div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa yang cinta untuk bertemu dengan Allah Swt Allah akan cinta untuk bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci untuk bertemu dengan Allah, Allah benci untuk bertemu dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Orang yang sungguh-sungguh mencintai Allah, pasti akan selalu mengingat-Nya di manapun ia berada, dan mengingat kapan ia dapat bertemu. Namun, tidak berarti seorang hamba ingin segera mati dan berdoa agar kematian itu cepat menjemputnya, karena perjalanan menuju Allah membutuhkan bekal yang banyak. Maksud mencintai pertemuan dengan Allah adalah, kapanpun ajal datang dan ketika ajal itu sudah datang, ia rela dan merasa senang karena ia akan segera bertemu dengan Rabb-Nya dan akan segera menerima ganjaran atas amal shalihnya, berupa surga dengan segala nikmat yang ada di dalamnya. </div><div style="text-align: justify;">2. Menjadikan khalwat (menyendiri untuk mengingat Allah) dan munajat sebagai sarana meluapkan kerinduannya kepada Allah Swt. Kesemptan berkhalwat itu ia gunakan untuk banyak berzikir, membaca dan mentadabbur Al-Quran, memanfaatkan keheningan malam untuk shalat tahajjud dan bertafakkur. Barang siapa yang lebih suka tidur dan banyak berbicara yang tidak bermanfaat, maka hal itu menunjukkan kurangnya mahabbah terhadap Allah Swt. Seorang pecinta merasa nikmat untuk berkhidmat terhadap orang yang dicintainya. Namun bagaimana dengan seorang hamba yang masih merasa berat menjalan kan perintah Allah, seperti shalat, puasa dan sebagainya, apakah ia tidak dikatakan mencintai Allah? </div><div style="text-align: justify;">Orang yang menjalankan perintah Allah menunjukkan bahwa ia mencintai Rabb-nya, hanya saja jika ia merasa belum bisa menikmati ibadahnya, berarti kekuatan cintanya masih belum sempurna. Jangankan orang yang tetap beribdah dan berjuang menghadapi hawa nafsunya, orang yang bermaksiatpun terkadang masih memiliki cinta kepada Allah Swt. Maksiat tidak menafikan akar-akar mahabbah, namun hanya menunjukkan ketidak sempurnaannya. Mahabbah seperti iman, memiliki akar dan kesempurnaan. Sejauh ia bermaksiat, sejauh itu juga mahabbah dan keimanannya berkurang. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْعَنُوهُ فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ</div><div style="text-align: justify;">Dari Umar bin Al-Khaththâb ra bahwasanya seorang laki-laki di zaman Nabi Saw yang bernama Abdullah, ia diberi gelar keledai, ia juga pernah menertawakan Rasulullah Saw, Rasulullah Saw pernah menghukumnya dengan hukum cambuk karena ia meminum khamr, suatu hari ia dibawa ke hadapan Rasulullah, kemudian beliau memerintahkan untuk mencambuknya. Seseorang kemudian berkata, "Ya, Allah laknatilah orang ini, sering sekali ia diadukan (kepada Rasulullah). Kemudian nabi berkata, "Jangan kalian mencelanya, demi Allah, aku tidak mengetahui, kecuali ia mencintai Allahd an Rasul-Nya. (HR. Bukhari). </div><div style="text-align: justify;">Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa akar-akar mahabbah ada dalam dirinya, akan tetapi masih kurang sejauh ia bermaksiat. Tetapi apabila seseorang sampai ketingkat nifâq akbar (sifat munafiq yang paling tinggi), maka hilanglah pada dirinya akar-akar keimanan dan mahabbah-nya kepada Allah Swt. Dalam hadis ini disebut salah seorang sahabat yang bermaksiat. Bisa jadi sahabat tersebut bertaubat dan mendapat husnul khâtimah, sehingga hak-hak persahabatannya dengan Rasulullah masih tetap terjaga. Apalagi telah dimaklumi bahwa hukum hudûd menghapus dosa-dosa. Dan telah dimaklumi pula bahwa walaupun ada sebagian sahabat ada yang bermaksiat, tetapi mereka sangat antusias untuk berjihad, mengorbankan nyawa dan hartanya demi membela Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kita tidak boleh berkata tidak baik tentang mereka. Menyebut hadis ini hanya untuk berdalil saja bahwa walaupun seseorang bermaksiat, tidak berarti mahabbah-nya terhadap Allah dan Rasul-Nya hilang sama sekali. </div><div style="text-align: justify;">3. Sabar menrima ujian, karena dengan ujian cinta seorang hamba akan teruji, apakah cintanya benar-benar tulus atau hanya sebatas omongan saja. Dengan ujian akan terbukti bahwa, hanya pecinta sejatilah yang akan sabar dan teguh pendirian, seberat apapun ujian yang dihadapinya. Hanya orang yang paling cinta kepada Allah yang paling kuat dan sabar. Memang untuk mencapai kenikmatan dalam beribadah memang tidak cukup hanya dengan mulai menjalankan ibadah. Tetapi dibutuhkan kesabaran dan perjuangan melawan hawa nafsu, dan konsisten menjalankannya. Salah seorang ulama salaf berkata, "Aku telah bersusah payah melawan diriku untuk melakukan shalat malam selama dua puluh tahun, dan aku baru menikmatinya ketika akhir-akhir umurku ini." Dalam masa-masa itu ia akan terus diserang dengan perasaan bosan dan penat, sesaat merasa nikmat namun kemudian futur menyerang kembali, malakuan ketaatan terasa berat dan seterusnya, hingga pada akhirnya kenikmatan beribadah akan datang. </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw menjelaskan dalam sebuah hadisnya bahwa untuk menggapai surga, seseorang akan selalu berhadapan dengan hal-hal yang ditidak disukai, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketabahan. Dari Anas bin Malik meriwayatkan, Rasulullah Saw. bersabda:</div><div style="text-align: justify;">حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ </div><div style="text-align: justify;">"Surga dikelilingi oleh kebencian dan neraka dikelilingi oleh syahwat (hawa nafsu)." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran, Allah Swt menceritakan kepada kita tentang seorang hamba yang sangat sabar, yaitu nabi Ayyub As ketika diberi cobaan: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (44)</div><div style="text-align: justify;">"…Sesungguhnya kami mendapati ia (Ayyub) seorang yang sabar. Ialah sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhan-nya). (QS. Shâd: 44)</div><div style="text-align: justify;">4. Mendahulukan mahabbah Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya akan mendahulukan cinta terhadap sesuatu selain keduanya. Padahal Allah adalah yang telah menciptakannya, memberikan petunjuk dan hidayah-Nya, menjanjikannya surga, menganugerahkan kepadanya nikmat yang tiada terputus? Bagaimana mungkin ia akan mendahulukan yang lain, sedangkan Rasulullah Saw adalah orang yang berjasa pada dirinya dan umatnya, menyampaikan risalah Allah agar manusia selamat dari siksa neraka, membawa nikmat besar berupa iman dan Islam, menuntun manusia dari kesesatan menuju jalan yang lurus. Oleh karena itu, sanagat wajar jika Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ </div><div style="text-align: justify;">Katakanlah: "Jika orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. Al-Taubah: 24)</div><div style="text-align: justify;">5. Menyukai zikir kepada Allah. Lisannya tidak putus-putus berzikir, hatinya tidak pernah lepas dari mengingat-Nya, karena orang yang mencintai sesuatu akan selalu menyebut dan mengingat sesuatu yang dicintainya itu. Allah Swt memerintahkan kita untuk tetap berzikir, bahkan di waktu segawat apapun Allah tetap memerintahkan kita untuk berzikir, karena dengan demikian ia akan mendapat ketenangandan tidak takut kepada selain Allah Swt. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (45)</div><div style="text-align: justify;">Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan banyaklah berzikira agar kamu beruntung. (QS. Al-Anfâl: 45)</div><div style="text-align: justify;">Orang yang benar-benar mencintai Allah, tidak akan disibukkan nikmat dunia dan tidak pula merasa risau oleh kepayahan dan kesusahnnya. Suara pedang dan tombak yang beradu tidak membuatnya gentar, tetapi justeru membuatnya lebih dekat dengan Allah, berzikir dan berdoa agar mendapatkan pertolongan-Nya.</div><div style="text-align: justify;">6. Orang yang mencintai Allah, ketika berkhalwat mengingat-Nya dengan air mata berlinag karena takut kepada Rabb-nya.</div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya orang-orang yang sempurna imannya ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah, mereka bertawakkal". (QS. Al-Anfâl: 2)</div><div style="text-align: justify;">7. Mencintai kalam Allah (Al-Quran). Jika kita ingin mengetahui sejauh mana cinta kita kepada Allah, maka lihatlah hal itu dari sejauh mana cinta kita kepada Al-Quran. Sebab orang yang mencintai seseorang, pasti akan sangat senang dan sering membaca surat cintanya, dan hal itu merupakan tanda cintanya yang sangat mendalam. Demikian juga dengan orang yang cinta kepada Allah. Al-Quran lebih utama dan lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu, karena ia adalah kalam Allah, kalam yang merupakan hidayah bagi kaum muiminin, kalam yang membacanya saja merupakan ibadah, apalagi dibaca berdasarkan cinta yang juga merupakan ibadah. </div><div style="text-align: justify;">8. Merasa menyesal ketika menghabiskan waktu tanpa melakukan ketaatan kepada Allah dan berzikir kepada-Nya. Tetapi tidak hanya sebatas menyesal, ia akan berusaha menggantinya di kesempatan yang lain. Jadi seorang yang cinta kepada Allah adalah orang yang menghargai waktu. Karena waktu merupakan kehidupan itu sendiri, kehidupan yang harus diisi dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Al-Qayyim berkata: "Kehilangan waktu lebih celaka dari pada kehilangan nyawa. Karena menyia-nyiakan waktu memisahkan kamu dari ketaatan kepada Allah dan (mengingat) hari akhirat, sedangkan kematian hanya memisahkan kamu dari dunia dan penghuninya."</div><div style="text-align: justify;">9. Selalu merasa kurangan dalam menunaikan hak Allah, dan selalu takut kalau amal mereka tidak diterima. Sehingga dengan demikian ia akan berada pada posisi khauf dan rajâ'. Ia juga takut jika amalannya tersentuh riya' sebagaimana ia sabngat berharap untuk menjadi hamba Allah yang ikhlas. </div><div style="text-align: justify;">Agar Kita Dicintai Allah</div><div style="text-align: justify;">Pada pembahasan di atas telah disebutkan tanda-tanda cinta seorang hamba kepada Allah Swt. Maka dalam pembahasan ini akan disebutkan bebrapa amal ibadah praktis yang dapat dilakukan demi mencapai mahabbatullah. </div><div style="text-align: justify;">a. Membaca Al-Quran dengan memahami dan mentadaburinya maknanya. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (29)</div><div style="text-align: justify;">"Ini adalah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shâd: 29)</div><div style="text-align: justify;">b. Melaksanakan farîdhah (ibadah wajib) dengan sempurna dan memperbanyak ibadah nawafil (amalan-amalan sunah), sebagaimana firman Allah Swt dalam sebuah hadis Qudsi:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ ...</div><div style="text-align: justify;">Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah beirman: barang siapa yang memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya, dan Aku tidak mencintai sesuatu dari seorang hamba lebih dari apa-apa yang telah Kuwajibkan kepadanya. Hambaku akan selalu mendekatiku dengan amalan-amalan nawafil sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengannya ia memegang, Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Dan jika mereka meminta-Ku pasti Aku akan mengabulkannya, dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melidunginya…" (HR. Bukhari)</div><div style="text-align: justify;">Memaknai bahwa Allah sebagai pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki bagi para wali Allah adalah dalam hadis Qudsi di atas, imam Ibnu Hajar menukilkan setidaknya enam pendapat ulama dalm Fath Al-Bârî yang intinya hal tersebut merupakan perumpamaan atas pertolongan Allah terhadap para wali-Nya untuk selalu berada dalam ketaatan kepada-Nya. adalah sebagaimana yang beliau nukilkan dari Al-Fâkihâny:</div><div style="text-align: justify;">سَادِسُهَا قَالَ الْفَاكِهَانِيُّ: يَحْتَمِل مَعْنًى آخَرَ أَدَقَّ مِنْ الَّذِي قَبْلَهُ، وَهُوَ أَنْ يَكُون مَعْنَى سَمْعِهِ مَسْمُوعَهُ، لِأَنَّ الْمَصْدَر قَدْ جَاءَ بِمَعْنَى الْمَفْعُولِ مِثْل فُلَانٌ أَملى بِمَعْنَى مَأْمُولِي، وَالْمَعْنَى أَنَّهُ لَا يَسْمَعُ إِلَّا ذِكْرِي وَلَا يَلْتَذُّ إِلَّا بِتِلَاوَةِ كِتَابِي وَلَا يَأْنَسُ إِلَّا بِمُنَاجَاتِي وَلَا يَنْظُرُ إِلَّا فِي عَجَائِبِ مَلَكُوتِي وَلَا يَمُدُّ يَدَهُ إِلَّا فِيمَا فِيهِ رِضَايَ وَرِجْله كَذَلِكَ.</div><div style="text-align: justify;">"Pendapat yang ke enam adalah, Al-Fâkihany berkata, "Dapat juga mengandung makna yang lebih mendalam dari sebelumnya, yaitu makna sam'uhu (pendengarannya) adalah masmû'uhu (yang didengarnya), karena mashdar (asal kata)—dalam hal ini adalah kata sama'—sering kali berarti maf'ûl (obyek)—yaitu masmû' (yang didengar)—sebagaimana dalam kata fulân amalî (si Fulan adalah harapanku berarti fulân ma'mûlî (si Fulan yang diharapkan olehku). Jadi maknanya, seorang adalah orang yang tidak mendengar kecuali sebutan nama-Ku, tidak menikmati kecuali bacaan Kitab-Ku, tidak merasa tenang keculai dengan bermunajat kepada-Ku, tidak melihat kecuali untuk merenungkan keajaiban ciptaanku, tidak membentangkan tangannya kecuali di mana di sana ada ridha-Ku, demikian pula dengan kakinya." </div><div style="text-align: justify;">c. Memperbanyak dzikir kepada Allah Swt dengan lisan, hati dan perbuatan. Ukuran mahabbah-nya kepada Allah adalah sesuai dengan ukuran ia berzikir dengan hati, lisan dan perbuatannya. Orang yang mencintai sesuatu, pasti akan sering menyebut sesuatu yang dicintainya itu, baik menyebutnya dengan lisan, atau perbuatan (menaati yang dicintainya). </div><div style="text-align: justify;">d. Mendahulukan cinta kepada Allah ketika hawa nafsu cinta kepada yang lain bergolak walau terasa berat. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:</div><div style="text-align: justify;">- Menjalankan segala yang diperintah Allah walaupun diri merasa tidak suka</div><div style="text-align: justify;">- Meninggalkan segala yang tidak disukai Allah walaupun diri menyukainya.</div><div style="text-align: justify;">Beban mengedepankan mahabbatullah ini akan terasa berat sesuai degnan beratnya tekanan hawa nafsu pada diri seseorang. Tetapi jalan ini harus ditempuh oleh siapa saja yang ingin sampai kepada maqâm mahabbatullah. Semakin berat ujian yang ia rasakan semakin tinggi pula maqâm yang ia raih jika ia lulus uji. Ibnu Al-Qayyim berkata: "Allah Swt tidak menguji seorang hamba yang beriman dengan nafsu syahwat dan maksiat kecuali untuk menggiringnya menuju mahabbah yang lebih utama dari sebelumnya, lebih bermanfaat, lebih baik, lebih lama, dan agar ia bermujahadah terhadap dirinya untuk meninggalkan nafsu maksiat tersebut, sehingga mujahadah ini akan mewariskan mahabbatullah, sampai kepada mahbûb (Dzat yang dicintai) yang paling tinggi. Setiap kali nafsunya menggiringnya kepada syahwat semakin memuncak, maka kerinduan yang yang lebih besar dan agung akan menariknya menuju mahabbatullah azza wajaal." </div><div style="text-align: justify;">e. Selain cara-cara di atas, ia juga harus banyak bertafakkur tentang nikmat-nikmat Allah, berserah diri dan bertawakkal kepada-Nya, menyiapkan waktu yang cukup untuk ber-khalwat (berduaan dengan Allah yang dicintainya). Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6) إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا (7) وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (6) Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (7) Sebutlah nama Rabb-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (8)" (QS. Al-Muzzammil: 6-8)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat-ayat yang agung ini Allah Swt mengajarkankan kepada hamba-Nya bahwa waktu tengah malam adalah saat yang paling tepat untuk beribadah, mendirikan shalat malam, membaca dan mentadabburi Al-Quran. Karena hal itu akan menambah kekhusyukan kepada-Nya, dan bacaannya akan lebih mengena dan berkesan. Sehingga ketika siang hari yang merupakan waktu yang panjang untuk bekerja, ia bekerja dengan semangat ibadah malam yang ia lakukan. Ia bekerja untuk secara jujur dan amanah. Selesai bekerja, pada malam hari ia diperintah lagi untu tabattul. Makna tabattal dalam ayat di atas adalah, memutuskan diri dari segala urusan duniawi untuk menghadap kepada Allah dengan beribadah.</div><div style="text-align: justify;">Semoga Allah Swt memilih kita untuk menjadi orang-orang yang mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya. Dalam sebuah pepatah disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">لَيْسَ الشَأْنُ أَنْ تُحَبُّ وَلَكِنَّ الشَّأْنَ أَنْ تُحِبَّ</div><div style="text-align: justify;">"Tidak penting engkau dicintai, tetapi yang penting adalah bagaimana engkau mencintai."</div><div style="text-align: justify;">Menurut hemat penulis, pepatah ini hanya berlaku pada sesama makhluk. Tetapi kepada Allah pepatahnya akan berbunyi lain:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الشَّأْنَ أَنْ يُحِبُّكَ اللهُ </div><div style="text-align: justify;">"Yang penting adalah bagaimana engkau dicintai Allah." Karena tujuan hidup manusia adalah meraih ridha dan cinta Allah. Dan hal itu tidak akan tercapai tanpa kita mencintai-Nya terlebih dahulu dan meridhai segala ketetapan dan takdir-Nya. Wallâhu a'lam</div><div style="text-align: justify;">Meraih Ridha Allah Dengan Wara'</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.</div><div style="text-align: justify;">Allah Swt telah menciptakan manusia dan melebihkannya di antara mahluk-mahluk yang lain dengan memberinya fitrah, akal dan hawa nafsu. Fitrah dan akal cenderung mendorongnya menuju tujuan penciptaannya yaitu menyembah Allah Swt. Adapun hawa nafsu cenderung menggiringnya untuk memaksiati Allah Swt dan mengikuti perintah setan. Manusia bukanlah mahluk suci seperti malaikat, sehingga sangat wajar jika ia adalah tempat segala dosa dan kesalahan. </div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, wujud manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, ditambah lagi nafsu dan setan yang selalu menghalanginya taat kepada Allah Swt, tidak menjadikannya bebas tugas di muka bumi. Ia tetap diperintah untuk beribadah dan beramal shalih. Karena kekurangan bukanlah alasan untuk tidak berbuat baik. Justeru dengan kekurangan itu, manusia diperintah untuk menutupinya dengan amal shalih. Jika tidak ia akan tetap berada dalam kekurangan. Begitu juga dengan wujud hawa nafsu dan setan, keduanya merupakan tantangan dan ujian bagi manusia. Jika ia lulus menghadapinya, derajatnya ditinggikan, pahalanya dilipatgandakan dan dosanya diampuni.</div><div style="text-align: justify;">Hawa nafsu merupakan ciptaan Allah Swt. keberadaannya dalam diri manusia bukan untuk dihilangkan, melainkan untuk dikendalikan dengan baik. Manusia bagaikan penunggang kuda, dan nafsu adalah kuda itu sendiri. Jika manusia berhasil mengendalikan kudanya dengan baik, maka ia akan sampai ke tujuan dengan selamat. Malaikat dan setan adalah pelatih kudanya. Jika ia membiarkan kudanya dilatih oleh setan, maka ia akan kesulitan mengendalikan kudanya, bahkan bisa dicelakai oleh kudanya sendiri, sehingga ia tidak dapat sampai ke tujuan dengan selamat. Oleh karena itu, walaupun pada bulan Ramadan setan dibelenggu, tetap saja ada orang yang bermaksiat. Hal ini karena hawa nafsunya sudah terlatih untuk mengikuti ajaran setan. </div><div style="text-align: justify;">Salah satu cara membersihkan diri dari dosa dan kesalahan serta melatih diri mengendalikan hawa nafsu adalah mewujudkan sifat wara' di dalam diri. Wara' adalah salah satu mata rantai amalan hati yang akan mengantar kita menuju derajat ketakwaan yang tinggi. Dalam tulisan sederhana ini kita akan mencoba mengulas makna dan hakikat wara'. Semoga dapat memberikan konsepsi yang benar tentang salah satu ibadah hati ini. Amin.</div><div style="text-align: justify;">Definisi Wara'</div><div style="text-align: justify;">Secara bahasa, wara' berasal dari kata wa-ra-'a yang berarti mencegah diri. Ia juga berarti 'iffah yaitu mencegah diri melakukan sesuatu yang tidak pantas dikerjakan. Adapun menurut istilah syariat sebagaimana yang dipaparkan oleh syaikh Shalih Al-Munjid adalah:</div><div style="text-align: justify;">تَرْكُ مَا يَرِيْبُكَ وَتَرْكُ مَا يَعِيْبُكَ وَالْأَخْذُ بِالْأَوْثَقِ وَحَمْلُ النَّفْسِ عَلَى الْأَحْوَطِ</div><div style="text-align: justify;">"Meninggalkan hal-hal yang meragukan, membuang perkara yang dapat menjadi aib pada diri, mengerjakan hal-hal yang paling diyakini dan yang paling hati-hati." </div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendefinisikan wara' sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;">تَرْكُ مَا يُخْشَى ضَرَرُهُ فِى الْآخِرَةِ</div><div style="text-align: justify;">"Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan akan berbahaya di akhirat." </div><div style="text-align: justify;">Ibrahim bin Adham berkata:</div><div style="text-align: justify;">اَلْوَرَعُ تَرْكُ شُبْهَةٍ وَتَرْكُ مَا لَا يَعْنِيْكَ وَتَرْكُ الْفُضْلَاتِ</div><div style="text-align: justify;">"Wara' adalah meninggalkan syubhat, perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan segala sesuatu yang sifatnya lebih (dari mencukupi)." </div><div style="text-align: justify;">As-Sayyid al-Jurjâni mendefinisikan wara' sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">هُوَ اجْتِنَابُ الشُّبْهَاتِ خَوْفاً مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الْمُحَرَّمَاتِ</div><div style="text-align: justify;">"Meninggalkan perkara syubahat Karena takut terjerumus ke dalam perbuatan haram."</div><div style="text-align: justify;">Definisi-definisi yang disebutkan oleh para ulama di atas tidak bertentangan antara satu dengan yang lain, akan tetapi saling melengkapi. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa makna wara' adalah antisipasi diri terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat menjadi aib, memprioritaskan kehati-hatian dalam bertindak, meninggalkan perkara syubhat apa lagi yang sudah jelas haram, menjauhi perbuatan yang tidak bermanfaat, tidak berlebihan dalam mengerjakan hal-hal yang mubah, dengan kata lain meninggalkan segala hal yang dapat membahayakan diri di akhirat. </div><div style="text-align: justify;">Definisi imam Ibnu al-Qayyim di atas penting untuk dicermati. Bahwa bahaya di akhiratlah yang harus menjadi prioritas utama untuk ditinggalkan, bukan bahaya dunia. Karena tidak semua yang tampak berbahaya di dunia, akan menjadi bahaya di akhirat. Jihad melawan orang kafir di jalan Allah misalnya, sangat beresiko tinggi, karena taruhannya adalah nyawa. Tetapi hal ini adalah kebaikan yang tiada bandingnya di akhirat kelak. Begitu juga dengan berkata benar di depan penguasa zalim. Akan sangat berbahaya bagi keselamatan hidup di dunia, tetapi perbuatan ini akan mendatangkan keuntungan besar di akhirat.</div><div style="text-align: justify;">Selain itu tidak semua sikap mencegah diri dianggap prilaku wara'. Prilaku wara' yang benar adalah wara' yang disyariatakan oleh agama. Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan sifat wara' yang disyariatkan oleh agama, beliau berkata,"Wara' yang disyariatkan adalah, wara' (mencegah diri) dari perkara yang ditakutkan bahayanya, yaitu perkara yang telah diketahui keharamannya, dan perkara yang keharamannya masih samar, apabila ditinggalkan tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar dari pada mengerjakannya." </div><div style="text-align: justify;">Jadi, wara' yang disyariatkan adalah wara' yang berhubungan dengan perbuatan yang haram dan makruh atau tindakan isrâf (berlebihan) dalam perkara mubah, bukan pada perbuatan wajib dan sunnah. Ungkapan ini juga merupakan kaidah penting dalam menyikapi perkara-perkara syubhat. Adapun perkara haram, sudah pasti wajib dijauhi. Tetapi terdapat perbuatan yang masih diragukan keharamannya, yang jika dikerjakan akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dari pada meninggalkannya, di sinilah peranan sifat wara'. </div><div style="text-align: justify;">Sebagai contoh, mayoritas ulama kontemporer mengharamkan bunga Bank. Namun sebagian yang lain menghalalkannya dengan alasan-alasan tertentu. Seseorang yang akan mengambil bunga bank akan dihadapkan dengan harta yang hukumnya antara halal dan haram (syubhat), menurut kedua pendapat ulama tadi. Jika orang tersebut memiliki sifat wara' yang tinggi, ia tidak akan mengambil bunga uang tersebut, karena ia lebih memilih untuk berhati-hati. Sebab jika ia mengambilnya, dan ternyata pendapat yang mengharamkan benar, maka di akhirat ia akan rugi besar karena telah mengambil barang haram. Jika pendapat yang menghalalkan benar, tidak mengambilnya bukanlah sebuah kerugian bagi dirinya, karena uangnya tetap terjaga dan tidak berkurang. Kalaupun dikatakan sebagai kerugian, hanya sebatas kerugian duniawi yang tidak berimplikasi pada kerugian ukhrawi. </div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya, Rasulullah Saw. jauh-jauh sebelumnya telah menjelaskan definisi wara' dan merangkumnya dalam hadis beliau yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ</div><div style="text-align: justify;">"Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR.Tirmidzi)</div><div style="text-align: justify;">Hadis ini mencakup segala hal yang tidak bermanfaat, seperti berbicara, melihat, mendengar, memegang, berjalan, berfikir, dan semua perbuatan, baik yang zahir maupun yang batin. Jika hal yang tidak bermanfaat harus ditinggalkan, maka perkara yang sudah jelas keharamannya tentu lebih utama untuk ditinggalakan. Hadis Rasulullah ini sebenarnya telah cukup untuk mendefinisikan wara'.</div><div style="text-align: justify;">Antara Ilmu dan Wara'</div><div style="text-align: justify;">Karena wara' adalah ibadah, maka ia harus diwujudkan berdasarkan ilmu. Karena tidak mungkin ke-wara'an seseorang akan sempurna tanpa ilmu yang menyertainya. Imam Ibnu Taimiyah pernah berkata: "Kesempurnaan wara' adalah dengan mengetahui mana yang lebih baik di antara dua kebaikan, dan yang lebih buruk di antara dua keburukan. Juga mengetahui bahwa syariah dibangun di atas prinsip mewujudkan dan menyempurnakan kemaslahatan hamba, serta menghilangkan atau meminimalisir kerusakan. Jika tidak demikian maka, seseorang yang melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan tanpa menimbangnya dengan ukuran kemaslahatan dan kerusakan menurut syariat, bisa saja meninggalkan kewajiban atau mengerjakan yang dilarang karena menganggapnya sebagai perbuatan wara'. (Majmu' Fatâwa)</div><div style="text-align: justify;">Beliau mencontohkan dengan seseorang yang tidak mau ikut berjihad bersama pemimpinnya untuk melawan orang kafir dengan alasan wara' karena pemimpin yang mengajaknya berjihad adalah fasik dan zalim. Apa yang akan terjadi setelah itu? Kaum muslim akan mengalami kekalahan, sehingga musuh Islam menjajah negeri orang muslim, dan kezaliman akan merajalela lebih parah dari sebelumnya. </div><div style="text-align: justify;">Contoh lain adalah, seorang yang dengan alasan wara' tidak mau ikut shalat jamaah di belakang imam yang ia anggap pelaku bidah atau dosa. Demikian juga orang yang tidak menerima kebenaran atau tidak mau belajar ilmu yang benar dari seseorang yang ia anggap pelaku bid'ah tersembunyi. Jadi, kejahilan seringkali menjadikan seseorang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang dilarang dengan alasan wara'. </div><div style="text-align: justify;">Disamping mengetahui prioritas utama amalan yang harus dikerjakan atau ditinggalkan, seorang muslim juga harus mengetahui dimanakah prilaku wara' harus diposisikan. Dalam hal ini imam Ibnu Taimiyah menjelaskan: </div><div style="text-align: justify;">اَلْوَاجِبَاتُ وَالْمُسْتَحَبَّاتُ لَا يَصْلُحُ فِيْهَا زُهْدٌ وَلَا وَرَعٌ وَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ وَالْمَكْرُوْهَاتُ فَيَصْلُحُ فِيْهَا الزُّهْدُ وَالْوَرَعُ </div><div style="text-align: justify;">"Perkara wajib dan mustahab tidak berlaku padanya sifat zuhud dan wara', adapun perkara haram dan makruh berlaku padanya sifat zuhud dan wara'." </div><div style="text-align: justify;">Seorang hamba tidak boleh zuhud atau wara' dalam mengerjakan perbuatan wajib dan sunnah. Ia justeru diperintahkan untuk melaksanakan perintah wajib dan sunnah sebanyak-banyaknya. Adapun prilaku wara' berkaitan dengan perkara-perkara syubhat, makruh dan haram. Sedangkan dalam perkara mubah, ia dianjurkan untuk sederhana dan tidak berlebih-lebihan.</div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi bahwa prilaku wara' tidak boleh terlepas dari ilmu. Sebab kejahilan dapat membuat seseorang merasa tidak tenang ketika hendak melakukan sesuatu. Padahal kalau ia bertanya kepada ulama, ia akan merasa tenang mengerjakannya. Seperti para sahabat yang tidak mau memakan daging buruan karena mereka dalam keadaan berihram. Hal ini karena mereka menganggap bahwa jika berburu tidak diperbolehkan dalam keadaan berihram, maka memakan daging buruan juga tidak boleh. Padahal daging itu dibawa oleh seorang sahabat yang bernama Abu Qatadah yang ketika itu tidak dalam keadaan berihram. Akan tetapi Rasulullah Saw. memakannya dan memerintahkan para sahabat untuk ikut memakannya. </div><div style="text-align: justify;">Dari kisah ini para ulama membedakan antara daging buruan. Jika orang berihram sengaja menyuruh orang yang tidak berihram untuk berburu, maka hal ini jelas tidak diperbolehkan. Adapun jika orang yang tidak berihram datang memberi daging buruan kepada orang yang berihram tanpa disuruh sebelumnya, maka ketika itu orang yang berihram boleh memakan daging buruan itu. Kisah Abu Qatadah ini tergolong pembagian yang kedua. </div><div style="text-align: justify;">Macam dan Kedudukan Wara' </div><div style="text-align: justify;">Ulama membagi wara' menjadi tiga macam. Pertama, wara' wajib, yaitu: mencegah diri dari perbuatan haram, dan ini wajib dilaksanakan oleh setiap orang. Kedua, wara' mandûb (sunnah), yaitu: mencegah diri dari perkara-perkara syubhat, dan ini biasanya dilakukan oleh sebagian kecil orang. Ketiga, wara' dari mubâhât (perbuatan yang boleh dilakukan) yang tidak penting, dan ini sifat dan karakter pribadi para nabi, para syuhada dan orang-orang shalih. </div><div style="text-align: justify;">Perkara mubah yang dimaksud adalah perkara mubah yang dapat melalaikan diri dari Allah Swt. dan hari akhir. Tetapi jika seseorang melakukan perkara mubah dengan niat yang baik seperti, makan dengan niat agar kuat melaksanakan ibadah, tidur dengan niat bangun tengah malam untuk mendirikan shalat malam, maka perbuatan ini akan berubah menjadi ketaatan.</div><div style="text-align: justify;">Setiap kali seseorang melakukan perbuatan yang mencerminkan sifat wara', setiap kali itu juga ia telah mengurangi beban tanggung jawabnya dan mepercepat diri menyebrangi titian shirat di akhirat kelak. Kedudukan manusia di akhirat sesuai dengan kedudukan mereka dalam mewujudkan sifat wara' dalam diri mereka, yaitu mencegah diri dari segala macam keburukan, memperbanyak kebaikan, memelihara keimanan, dan mengontrol diri agar tidak melanggar hudud (batasan-batasan hukum) Allah Swt.. </div><div style="text-align: justify;">Hudud dapat berarti batas akhir kebolehan atau kehalalan, sehingga manusia dilarang mendekati batas itu. Allah Swt. berfirman: </div><div style="text-align: justify;">تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا</div><div style="text-align: justify;">"Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya." (QS. Al-Baqarah: 187)</div><div style="text-align: justify;">Hudud juga berarti awal mula keharaman. Oleh karena itu manusia dilarang melampaui batas akhir perkara mubah (halal) sehingga mendekati atau bahkan melanggar batas awal keharaman. Allah Swt. berfirman:</div><div style="text-align: justify;">تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا</div><div style="text-align: justify;">"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melampauinya (melanggarnya)." (QS. Al-Baqarah: 229)</div><div style="text-align: justify;">Kaidah dan Aturan Dalam Wara'</div><div style="text-align: justify;">Setiap muslim diharuskan untuk berlaku wara' dalam menyikapi setiap perbuatan yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kehancuran, baik yang datang melalui mata, lidah, telinga, perut, kemaluan, tangan, kaki, pikiran, hati dsb. Supaya dapat menghidari perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan itu, ia perlu mengetahui bebarapa kaidah dan aturan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. seperti hadis-hadis di bawah ini: </div><div style="text-align: justify;">Hadis pertama:</div><div style="text-align: justify;">اَلْإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ </div><div style="text-align: justify;">"Dosa adalah sesuatu yang terasa (bahwa perbuatan itu adalah dosa) di dalam hatimu, walaupun orang-orang memfatwakan kebolehannya." (HR. Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Hadis yang agung ini mengajarkan bahwa perbuatan dosa memiliki pengaruh-pengaruh tertentu yang dapat dirasakan oleh hati. Jika dikerjakan akan menimbulkan hal-hal seperti: perasaan bersalah, sedih, gelisah dan tidak tenang. Bahkan sebelum dikerjakan dhamîr (hati kecil) akan selalu berupaya mencegah diri melakukan perbuatan itu. Dalam hadis lain juga dijelaskan bahwa di antar ciri perbuatan dosa adalah, ketika perbuatan itu dilihat oleh orang lain, si pelaku merasa malu dan benci. </div><div style="text-align: justify;">اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ</div><div style="text-align: justify;">"Al-Birr (Kebaikan) adalah kemuliaan akhlak, dan dosa adalah sesuatu yang terasa (bahwa perbuatan itu adalah dosa) di dalam hatimu dan kamu tidak suka orang lain mengetahuinya." (HR. Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Hadis kedua:</div><div style="text-align: justify;">دَعْ مَا لَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ</div><div style="text-align: justify;">"Tinggalkan apa-apa yang meragukan bagimu dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu." (Hadis Tirmidzi)</div><div style="text-align: justify;">Hadis yang mulia ini juga mengajarkan bahwa dalam menyikapi setiap perbuatan, seorang muslim harus mengukurnya dengan hadis ini. Jika perbuatan itu mengandung keraguan, maka untuk menjaga kewara'an, perbuatan itu lebih baik ditinggalkan dan beralih mengerjakan perbuatan yang sudah jelas kebolehan dan kehalalnnya. Tindakan seperti ini lebih selamat dan menenangkan. Ketika seseorang meragukan perbuatan ini dibolehkan atau tidak, maka ia lebih baik meninggalkannya. Ketika ia hendak membeli daging, yang satu disembelih orang hindu dan yang lain disembelih orang Islam, namun ia tidak tahu mana hasil sembelihan masing-masing, maka ia lebih baik meninggalkannya. </div><div style="text-align: justify;">Ketika seseorang ingin menikahi salah satu dari dua perempuan bersaudara, kemudian datang seorang wanita tua yang dapat dipercaya mengatakan, "Aku pernah menyusuimu ketika kecil dengan salah satu dari perempuan yang ingin kau nikahi itu, tetapi aku tidak bisa membedakan mereka berdua." Maka, yang merupakan sikap wara' adalah tidak menikahi kedua perempuan yang bersaudara itu. Apa bila ia ragu dalam shalat zuhur apakah ia telah shalat tiga rekaat atau empat rekaat, maka ia harus meninggalkan keadaan yang diragukan yaitu bahwa ia telah sholat empat rakaat, dan menetapkan yang diyakini yaitu tiga rekaat, kemudian menambah rakaatnya yang keempat. </div><div style="text-align: justify;">Hadis ketiga: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فقداسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya perkara halal sangat jelas dan perkara haram juga sangat jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat, maka ia telah menjaga kehormatan dirinya dan agamanya. Barang siapa yang terjatuh kepada syubhat maka ia telah mendekatkan dirinya kepada perbuatan haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan piaraannya di sekitar tanah (ladang) yang terjaga, hampir dipastikan piaraannya akan memakan tanaman (milik orang) di tanah itu. Sesungguhnya setiap pemilik mempunyai batas kepemilikian (yang tidak boleh dilampaui orang lain), sesungguhnya batasan-batasan (hukum) Allah adalah perkara-perkara haram, dan sesungguhnya di dalam jasad ini ada gumpalan, apabila ia bagus maka baguslah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah bawa ia adalah hati." (HR. Buhkari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Hadis yang agung ini menerangkan bahwa di dalam agama kita ada perkara yang sudah jelas kehalalannya dan tidak diragukan lagi kebolehannya. Ada juga yang sudah jelas keharamannya dan tentu tidak boleh dilakukan. Namun, di antara perkara yang sudah jelas kehalalan dan keharamannya itu banyak hal yang syubhat. Dalam hal ini seorang muslim dituntut untuk berlaku wara', dalam menyikapai hal-hal syubhat. Karena perkara-perkara syubhat lebih mendekatkan seseorang kepada keharaman dari pada kehalalan. Apalagi melakukan perkara syubhat dapat menjauhkan seseorang dari prilaku wara' yang merupakan salah satu amalan hati yang sangat mulia. </div><div style="text-align: justify;">Cahaya Teladan Orang-Orang Wara' </div><div style="text-align: justify;">a. Rasulullah Saw. pernah bercerita tentang dua orang yang memiliki sifat wara'. Seorang laki-laki membali tanah dari orang laki-laki lain. Tak lama kemudian, Si pembeli tersebut menemukan emas di dalam tanah yang dibelinya. Kemudian ia pergi ke penjual tanah dan berkata: "Ambillah emasmu ini, karena aku hanya membeli tanah dan tidak pernah membeli emas." Si penjual tanah berkata: "Aku jual tanahku dengan segala yang ada di dalamnya." Kedua-duanya tidak mau mengambil emas itu. Akhirnya mereka berdua meminta seseorang untuk mengadili. Kemudian orang yang mengadili berkata: "Apakah kalian berdua mempunyai anak?" "Aku mempunyai anak lelaki." Kata salah seorang dari mereka. Seorang yang lain berkata: "Aku punya anak perempuan." Kemudian orang yang mengadili tadi berkata: "Nikahkan anak laki-laki dan perempuan kalian kemudian sedekahkanlah emas itu untuk mereka beruda." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">b. Rasulullah Saw. dan keluarganya tidak diperkenenkan menerima harta sedekah. Beliau dan keluarga hanya menerima hadiah. Hal ini merupakan kekhususan Rasulullah Saw. dan keluarga beliau. Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim di riwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw. pulang ke rumah, beliau menemukun sebutir korma di atas tempat tidur. Kemudian beliau mengangkat kurma itu untuk dimakan. Tetapi beliau kemudian tidak jadi memakannya karena takut kalau kurma itu adalah kurma sedekah yang terjatuh. Subhanallah, hanya sebutir kurma yang kemungkinan besar kurma milik beliau yang tercecer dan belum tentu kurma sedekah. Namun karena ke-wara'an beliau, kurma itu tidak jadi beliau makan. </div><div style="text-align: justify;">Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga disebutkan bahwa, suatu saat cucu Rasulullah Saw. yang masih kecil Hasan bin Ali, mengambil sebutir kurma sedekah di rumah beliau kemudian memasukkannya ke mulut. Ketika Rasulullah Saw. melihat hal itu, beliau langsung mengatakan kukh, kukh..., agar Hasan mengeluarkan kurma yang ada di mulutnya. Kemudian beliau bersabda: "Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak boleh memakan harta sedekah?" Dari hadis ini juga, kita dapat mengambil pelajaran bahwa orang tua harus melarang anakanya memakan seseuatu yang tidak boleh baginya untuk dimakan, walaupun anak itu masih kecil dan belum balig. </div><div style="text-align: justify;">c. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa suatu saat pembantu Abu Bakar ra. membawa makanan untuk beliau. Kamudian beliau memakannya. Setelah selesai makan si pembantu berkata: "Tahukah kamu apa yang engkau makan tadi?" Apa itu kata Abu Bakar ra.? Pembantu itu menjawab: "Aku pernah meramal bagi seseorang di zaman Jahiliyah. Aku sebenarnya tidak bisa meramal, aku hanya menipunya. Ketika dia menemuiku, dia memberikan sesuatu padaku, dan itulah yang engkau makan tadi." Seketika itu pula Abu Bakar ra. memasukkan tangannya ke dalam mulut, sehingga beliau memuntahkan semua isi perutnya.</div><div style="text-align: justify;">d. Imam bukhari meriwayatkan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab ra. membagi-bagikan masing-masing empat ribu kepada kaum muhajirin pertama. Tetapi ketika beliau membagikan buat anaknya (Abdullah bin Umar), beliau hanya memberinya tiga ribu lima ratus. Kemudian beliau ditanya: "Dia (Ibnu Umar) termasuk orang muhajirin, mengapa engkau mengurangi bagiannya?" Umar ra. menjawab: "Dia berhijrah bersama kedua orang tuanya, dan itu tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri." </div><div style="text-align: justify;">e. Ketika terjadi "Hadis al-Ifqi" (kisah dusta) yang disebarkan oleh kaum munafik di Madinah, tentang perselingkuhan ummul mu'minîn Sayyidah Aisyah ra. dengan Shofwan bin Muaththal ra., sebagian kaum muslimin ikut berbicara merendahkan kehormatan mereka berdua. Mereka tidak sadar bahwa tujuan kaum munafik sebenarnya adalah merendahkan kehormatan Rasulullah Saw.. </div><div style="text-align: justify;">Kisahnya bermula ketika Rasulullah Saw. kembali dari salah satu peperangan. Sayyidah Aisyah ikut menyertai Nabi Saw dalam peprangan itu. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Rasulullah Saw. dan pasukannya beristirahat di suatu tempat. Ketika akhir malam sayyidah Aisyah keluar dari tandunya hendak melakukan qadha' hajat tanpa sepengetahuan para pengusung tandu. Ketika itu juga pasukan bergerak pulang. Para pengusung tandu tidak menyangka kalau sayyidah Aisyah tidak ada di dalam tandu, karena ketika itu beliau masih kecil dan badannya ringan. Akhirnya Sayyidah Aisyah tertinggal sendiri. Sekembalinya dari qadha' hajat Sayyidah Aisyah tidak menemukan siapa-siapa. Akhirnya beliau hanya diam di tempat semula dan tertidur di sana. </div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi ada salah seorang di antara pasukan Rasulullah (Shafwan bin Mu'aththal) yang juga keluar jalan-jalan di akhir malam dan ketinggalan pasukan lain, menemukan sayyidah Aisyah tertidur sendiri. Sayyidah Aisyah kemudian terbangun karena istrija' (perkataan, Innâ lillâhi wainnâ ilahi râji'ûn) Shafwan. Ketika itu tanpa berkata apa-apa Shafwan langsung mendekatkan untanya untuk dinaiki sayyidah Aisyah, kemudian berjalan kaki menuntun unta sampai di Madinah pada siang hari. Orang-orang munafik menggunakan kesempatan ini untuk menebar fitnah di antara kaum muslimin. Sebagian kaum muslimin ada yang terjerumus ke dalam fitnah itu, dan ada juga mereka yang wara' dan hanya berkata, "Subhânallah, kami tidak mengetahui apa-apa tentang Aisyah kecuali kebaikan." Mereka tidak mau mengotori mulut mereka dosa. Mereka itulah orang-orang yang wara'. </div><div style="text-align: justify;">Faidah dan Fadhilah Wara'</div><div style="text-align: justify;">Wara' adalah inti sari agama. Suatu saat Al-Hasan al-Bashri pergi ke Mekah. Kemdian beliau melihat salah seorang dari keturunan Ali bin Abi Thalib sedang bersender di tembok Ka'bah sambil menasehati orang-orang. Al-Hasan al-Bashri kemudian bertanya: "Apakah inti sari dari agama ini? Beliau menjawab: "Al-Wara'." Al-Hasan bertanya lagi: "Apakah yang paling merusak bagi agama?" beliau menjawab: "At-Tham'a" (rakus dan tidak pernah merasa cukup). Al-Hasan kagum mendengar jawaban anak muda itu. (Risalah Al-Qusyairiyah)</div><div style="text-align: justify;">Wara' adalah salah satu di antara ibadah hati sangat agung dan mulia, sehingga orang yang wara' memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt., dan tidak akan hidup merugi di dunia. Sikap orang yang wara' akan tercemin dalam hadis nabi yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدَّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ وَصِدْقُ حَدِيْثٍ وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ وَعِفَّةٌ فِى طُعْمَةٍ </div><div style="text-align: justify;">Empat perkara yang jika ia ada dalam dirimu, engkau tidak rugi dengan apa-apa yang tidak kau dapatkan di dunia: menjaga amanat, berkata benar, berakhlak mulia, sedikit makan." (HR. Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Orang yang wara' akan selalu menjaga amanat, karena menyia-nyiakan amanat adalah perbuatan dosa, sedangkan orang yang wara' sangat jauh dari dosa. Orang wara' akan selalu berkata benar, karena dusta selain merupakan perbuatan dosa, juga merupakan kesia-siaan dan orang wara' sangat jauh dari dosa dan kesia-siaan. Berakhlak mulia adalah ciri hidup orang wara' karena mereka tidak akan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi berakhlak tercela yang merupakan larangan. Sedikit makan adalah kebiasaannya, karena berlebih-lebihan dalam makan dan berpakaian adalah perbuatan makruh, atau bahkan haram, karena sikap berlebih-lebihan adalah perbuatan setan. Dan orang yang wara' adalah orang yang sederhana, merasa cukup dengan sedikit yang ada, dan tidak akan mengikuti langkah-langkah setan.</div><div style="text-align: justify;">Wara' adalah buah dari khauf kepada Allah Swt., dan buah wara' adalah kezuhudan. Sikap wara' akan melindungi seseorang dari azab Allah Swt., melahirkan ketenangan dan ketentraman hati, mencegah melakukan perbuatan haram, menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, meraih kecintaan dan ridha Allah Swt., karena Allah mencintai dan meridhai orang-orang yang wara', dan derajat manusia di dalam surga sesuai dengan derajat kewara'an mereka di dunia. Orang yang wara' adalah hamba Allah yang paling utama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mâjah dengan sanad hasan, Raslulullah Saw. menasehati Abu Hurairah ra.:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرَعاً تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ </div><div style="text-align: justify;">"Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara', maka engkau akan menjadi sebaik-baik hamba." (HR. Ibnu Majah)</div><div style="text-align: justify;">Tidak sempurna ketaatan seseorang kepada Allah Swt. sampai ia memiliki sifat wara' dalam dirinya. Al-Hâfiz Ibnu Abi al-Dun'ya meriwayatkan dalam bukunya "Al-Wara'", dari Abdullah bin Sulaiman bahwasanya Umar bin Khattab berkata: "Siapakah orang yang paling utama?" Orang-orang menjawab: "Orang yang mendirikan shalat." Beliau berkata: "Orang yang shalat sebagian mereka ada yang baik dan ada yang buruk." Kemudian orang-orang berkata lagi: "Orang-orang yang berjihad di jalan Allah Swt.." Umar berkata lagi: "Orang yang berjihad juga ada yang baik dan ada yang buruk." Orang-orang berkata lagi: "Orang yang berpuasa." Umar berkata lagi: "Orang yang berpuasa juga ada yang baik dan ada yang buruk." Kemudian beliau berkata: "Tetapi orang yang wara' dalam agama Allah, dialah yang telah menyempurnakan ketaatan kepada Allah." </div><div style="text-align: justify;">Penutup</div><div style="text-align: justify;">Sifat wara' adalah intisari agama. Orang yang berilmu dan wara' yang setia membela sunnah Rasulullah Saw. akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar di sisi Allah Swt.. Setiap orang hendaknya menempatkan dirinya pada posisi yang benar dalam hal wara'. Imam Al-Auzâ'iy pernah berkata: "Dahulu kami suka tertawa dan bercanda... namun ketika orang-orang telah meneladani kami, saya takut senyum saja kami tidak boleh." </div><div style="text-align: justify;">Sifat wara' ini adalah sifat yang dapat dipelajari dan dibiasakan. Al-Dhahhâk bin Mazâhim berkata: "Orang-orang pendahulu kalian belajar untuk menjadi wara', namun di zaman kalian ini, orang-orang malah belajar untuk banyak bicara." Ketika seseorang berusaha bersikap wara', janganlah mengira ia akan kehabisan sesuatu yang halal, jangan pula menyangka bahwa ia telah mempersempit dirinya. Justeru ia telah melapangkan dada dan menenangkan hatinya. Rezeki Allah Swt. tidak akan habis-habisnya. Seseorang tidak akan meninggal sampai ia menghabiskan jatah rezekinya. Dalam sebuah pepatah disebutkan, "Aku mengetahui bahwa jatah rezekiku tidak akan pernah diambil orang lain, maka akupun menjadi tenang." Semoga Allah Swt. menjadikan kita orang-orang yang mendapat hidayah dan dapat memberi petunjuk bagi orang lain. Amin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Khauf Minallah, Benteng Keimanan </div><div style="text-align: justify;">Oleh: Akhyaruddin, Lc.</div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa yang takut kepada Allah Swt, niscaya Allah Swt akan membuat </div><div style="text-align: justify;">segala sesuatu takut kepadanya, dan barangsiapa yang takut kepada manusia, </div><div style="text-align: justify;">niscaya Allah Swt akan membuat dirinya takut kepada segala sesuatu"</div><div style="text-align: justify;">(Al-Hasan al-Bashri)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mukaddimah </div><div style="text-align: justify;">Semenjak Iblis diusir oleh Allah Swt dari surga, karena menolak sujud kepada Adam as, ia bersumpah di hadapan Allah akan menggoda manusia dari segala penjuru, sehingga hanya sedikit orang yang taat kepada Allah Swt, hal ini dijelaskan oleh Allah Swt dalam firmannya:</div><div style="text-align: justify;">قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (16) ثُمَّ لَآَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ (17) </div><div style="text-align: justify;">"Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum diriku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)'." (QS. Al-A'râf: 16-17) </div><div style="text-align: justify;">Terdapat beberapa pendapat ulama dalam menafsirkan kalimat, min baini aidîhim wa min khalfihim (dari muka dan dari belakang), dan kalimat wa 'an aimanihim wa 'an syamâilihim (dari kanan dan dari kiri). Salah satu riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan, dari muka berarti dari urusan dunianya, dari belakang berarti dari urusan akhiratnya, dari kanan berarti dari kebaikannya dan dari kiri berarti dari keburukannya. Sedangkan Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna 'arah-arah' tersebut adalah dari segala jalan, baik jalan kebaikan maupun jalan keburukan. Dari jalan kebaikan dengan menghalangi mereka dari jalan itu, dan dari jalan keburukan dengan membuat mereka cinta kepadanya. Dan terdapat juga pendapat yang lain selain pendapat di atas.</div><div style="text-align: justify;">Menghadapi serangan Iblis yang datang dari segala penjuru dan tiada henti-hentinya ini, tentu setiap orang memerlukan senjata ampuh agar bisa mengalahkannya. Karena berperang tanpa senjata sama artinya dengan bunuh diri. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya seorang prajurit maju ke medan pertempuran tanpa mempersiapkan senjata untuk melawan musuhnya. Akan tetapi, melawan Iblis bukanlah dengan pedang, karena ia memiliki karakter yang tersembunyi dan dapat mengair di dalam diri. Maka senjata yang dibutuhkan adalah senjata yang dapat menandingi karakter Iblis dan dapat membentengi diri dari serangannya. Senjata tersebut tiada lain adalah khauf minallah (takut kepada Allah Swt).</div><div style="text-align: justify;">Karena serangan setan datang tiada henti, maka kita membutuhkan khauf sifatnya permanen. Karena sedikit kita lengah dan kehilangan senjata khauf ini, maka serangan setan akan segera mendarat di hati kita. Kemudian sedikit demi sedikit kita akan mengikuti langkah-langkahnya dan akhirnya terjerumus ke lembah kenistaan. Oleh karena itu kita membutuhkan khauf merupakan salah satu maqâm dari maqâm-maqâm perjalanan kita menuju Allah Swt </div><div style="text-align: justify;">Makna Khauf dan Khasyah</div><div style="text-align: justify;">Kata Khauf dalam bahasa arab berarti ketakutan dan kekhawatiran. Khiftu minhu, artinya: aku takut kepadanya. Khawwafa ar-Rojulu an-Nâs, artinya: lelaki itu membuat orang lain takut. Dalam surat Ali Imran Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (175) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran:175)</div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Al-Qayyim dan mendefinisikan khauf sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">اِعْلَمْ أَنَّ الْخَوْفَ عِبَارَةٌ عَنْ تَالُّمِ الْقَلْبِ وَاحْتِرَاقِهِ بِسَبَبِ تَوَقَّعِ مَكْرُوْهٍ فِى الْاِسْتِقْبَالِ</div><div style="text-align: justify;">"Ketahuilah bahwa takut adalah ungkapan yang menunjukkan makna kesedihan dan kepedihan hati karena merasa akan terjadi sesuatu yang tidak disukainya pada masa mendatang." </div><div style="text-align: justify;">Ibnu Qudâmah juga mendefinisikan khauf seperti di atas. Syaikh Shalih al-Munajjid menegaskan makna ini, bahwa khauf adalah ibadah hati berupa ketakutan dan kecemasan karena meyakini hilangnya sesuatu yang diharapkan atau datangnya sesuatu yang tidak diharapkan. Ungkapan ini digunakan dalam masalah-masalah duniawi dan ukhrawi, lawannya adalah perasaan tentram dan damai. </div><div style="text-align: justify;">Mengibaratkan perasaan ini imam Ibnu Qudâmah dengan seseorang yang hendak membunuh raja. Tetapi sebelum ia sempat menikamnya, ia lebih dahulu tertangkap. Di sinilah perasaan takut itu muncul di dalam hatinya. Takut kalau sang raja menghukum mati terhadapnya. Tentunya tingkat ketakutan ini akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat keyakinan seseorang terhadap akibat yang akan diterima, karakter kesalahan yang diperbuat, dan pengaruhnya terhadap sang raja. Jika ia tidak yakin akan dihukum mati, karena menganggap kesalahannya ringan, maka ia tidak akan merasa terlalu takut. Demikian juga seseorang yang menjalankan perintah Allah Swt tidak sebagaimana mestinya atau meninggalkannya sama sekali, atau bahkan melanggar larangan-Nya, akan merasa takut kalau ia tidak mendapat ampunan dari Allah Swt dan takut jika ia kelak dimurkai dan dimasukkan ke dalam neraka. </div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, perasaan takut terkadang timbul bukan karena sebab meninggalkan perintah atau melakukan larangan, melainkan karena merasakan kesempurnaan dan kemuliaan Dzat dan sifat-Nya yang ditakuti. Ketika seseorang mengetahui bahwa Allah Swt adalah Rabb Yang Maha Perkasa, kekuasaan-Nya maha luas tanpa batas, jika berkehendak Dia sangat mampu menghancurkan alam semesta beserta isinya dalam sekejap, sementara tidak ada yang bisa mencegah atau membendung keinginan-Nya, menyadari semua itu ia akan tunduk dengan segala kepasrahan, takut dan malu melihat dirinya yang kerdil namun sering lancang kepada-Nya dengan berbuat nista, seakan menantang Tuhan Yang Mahaperkasa. Keagungan dan kemahabesaran Allah membuat ia merasa sangat takut dan bergetar mendengar ancaman-ancaman-Nya. Sebagaimana khauf yang merupakan sifat utama para nabi dan orang shalih. Khauf dalam hati mereka bukan karena telah melakukan maksiat atau lalai melakukan kewajiban. Tetapi khauf mereka adalah kelembutan dan kebersihan hati serta makrifatnya yang mendalam tentang Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Makna Khasyiah</div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran, penggunaan kata khasyiah lebih khusus dari kata khauf. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama." (QS. Fathir: 28). </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah saw juga bersabda:</div><div style="text-align: justify;">إِنِّى أَتْقَاكُمْ لِلَّهِ وَأَشَدُّكُمْ لَهُ خَشْيَةً</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya akulah yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, dan akulah yang paling takut kepada-Nya." (HR. Bukhari) </div><div style="text-align: justify;">Dalam membedakan antara makna khauf dan khasyiah ini Imam Ibnu al-Qayyim berkata: "Perumpamaannya adalah seperti orang yang tidak mengetahui sedikitpun tentang ilmu kedokteran dan seorang dokter yang sangat berpengalaman. Yang satu akan berusaha menolak dan lari (tidak mau mengobati) dan yang lain akan segera mencari obat." Hal ini karena orang yang pertama tidak mengetahui penyakit dan obatnya sehingga merasa takut untuk mengobati dan berusaha lari, adapun dokter tersebut, karena ia mengetahui jenis penyakit dan obatnya, maka ia akan segera mencari obat untuk mengobatinya. Maka khauf yang dimiliki oleh seseorang yang makrifat dan mengenal Allah Swt, berbeda dengan khauf seseorang yang tidak terlalu mengenal Allah Swt </div><div style="text-align: justify;">Syaikh Utsaimin berkata, "Khasyiah adalah rasa takut yang disebabkan oleh pengetahuan yang mendalam akan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan sesuatu yang ditakuti tersebut. Maka jika kau takut kepada orang yang tidak kamu ketahui apakah orang itu bisa mendatangkan hal buruk atas dirimu, maka perasaan takut ini disebut khauf. Tetapi jika kamu merasa takut pada orang yang kamu telah ketahui dengan pasti bahwa ia mendatangkan keburukan atas dirimu, maka rasa takut tersebut dinamakan khasyiah." </div><div style="text-align: justify;">Melihat makna ayat dan hadis di atas serta perkataan para ulama, dapat dimaklumi bahwa penggunaan kata khauf adalah untuk semua orang mukmin secara umum. Adapun kata khasyiah adalah ungkapan yang dikhususkan bagi para ulama yang mengenal Allah secara lebih mendalam, dengan kata lain takut mereka kepada Allah disertai makrifat yang mendalam tentang-Nya. Dengan demikian penggunaan istilah khauf dan khasyiah didasarkan pada tingkat keluasan ilmu dan makrifat seseorang terhadap Allah Swt </div><div style="text-align: justify;">Antara khauf dan Rajâ</div><div style="text-align: justify;">Seringkali kita menemukan kata al-khauf digandengkan dengan kata al-râja'. Hal ini karena kedua-duanya merupakan amalan hati yang tidak bisa terpisah antara yang satu dengan yang lain. Namun yang kemudian sering menjadi pertanyaan adalah manakah di antara kedua amalan hati tersebut yang lebih utama? Imam Al-Ghozali mengomentari pertanyaan di atas sebagai pertanyaan yang salah. Sama seperti orang yang menanyakan manakah yang lebih utama roti atau air? Kedua-duanya sama-sama dibutuhkan, dan sama-sama penting. Hanya saja terkadang roti lebih utama bagi orang yang kelaparan, dan air lebih utama bagi orang yang kehausan. Demikian juga dengan khauf dan râja.</div><div style="text-align: justify;">Di dalam Ihyâ' imam Al-Ghozali menjelaskan bahwa khauf dan râja keduanya merupakan obat hati. Keutamaan masing-masing sesuai dengan penyakit yang ada di dalam hati seseorang. Jika yang dominan dalam hatinya adalah penyakit merasa aman dari azab Allah Swt maka saat itu khauf adalah lebih utama baginya. Sebaliknya, jika penyakit yang dominan dalam hati adalah keputusasaan dari rahmat Allah Swt maka ketika itu râja' lebih utama.</div><div style="text-align: justify;">Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwas Ali r.a. berkata kepada sebagian anaknya: "Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah Swt, seperti takutnya kamu ketika datang kepada-Nya dengan membawa segala kebaikan penduduk bumi, sementara Dia menolaknya, dan berharaplah kepada-Nya, seperti harapanmu ketika datang kepada-Nya dengan membawa kejelakan penduduk bumi, kemudian Dia mengampunimu." Ibnu Umar r.a. berkata: "Seandainya semua manusia dipanggil untuk masuk neraka kecuali satu orang, maka aku akan berharap akulah orang itu, dan seandainya semua manusia dipanggil untuk masuk surga kecuali satu orang, maka aku takut jikalau akulah orang itu." </div><div style="text-align: justify;">Hukum takut kepada Allah Swt</div><div style="text-align: justify;">Melihat firman-firman Allah Swt yang banyak sekali menyeru kita untuk takut kepada-Nya dapat dimaklumi bahwa khauf merupakan sebuah kewajiban. Ibnu Al-Qayyim berkata: "Takut kepada Allah Swt adalah sebuah kewajiban, dan barangsiapa yang tidak takut kepada-Nya maka ia termasuk orang yang berdosa." Banyak sekali dalil yang menjadi dasar kewajiban takut kepada Allah Swt. Diantaranya adalah: </div><div style="text-align: justify;">1. Firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (175) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Ali Imran: 175) </div><div style="text-align: justify;">Dalam tafsirnya As-Sa'di berkata: "Ayat ini menjelaskan kewajiban khauf kepada Allah Swt yang juga merupakan salah satu kebutuhan iman, karena kadar khauf seorang hamba menunjukkan kadar keimanannya." Dengan kata lain, khauf adalah bukti konkret dari keimanan, karena dalam ayat yang mulia di atas, Allah menjadikan khauf sebagai syarat seseorang disebut beriman. "Jika kamu benar-benra beriman, maka takutlah kepada-ku." </div><div style="text-align: justify;">2. Firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ (40)</div><div style="text-align: justify;">"Dan hanya kepada-Ku lah kamu harus takut (tunduk)." (QS. Al-Baqarah: 40)</div><div style="text-align: justify;">Ushlûb (gaya bahasa) yang digunakan dalam ayat di atas adalah ushlûb al-hashr yang berarti penggkhususan bahwa hanya Dia yang berhak ditakuti dan yang lainnya tidak boleh sama sekali. Sebagaimana dalam firman Allah, "iyyâka na'budu wa iyyâka nasta'în", yang artinya: hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan. Menyembah kepada selain Allah Swt jelas tidak diharamkan. Jika takut kepada selain Allah tidak diperbolehkan, maka sebaliknya takut kepada Allah adalah perintah yang merupakan kewajiban. </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt memerintahkan manusia agar khauf kepada-Nya, karena khauf ini adalah sumber segala kebaikan. Orang yang memiliki khauf terhadap Allah akan selalu berbuat baik, menjalankan perintah Allah Swt, serta menjauhi larangannya. Sebaliknya prang yang tidak memiliki khauf terhadap Allah Swt, akan gemar melakukan maksiat dan tidak mau bahkan tidak suka melaksanakan perintah-Nya, na'ûdzubillah min dzâlik. </div><div style="text-align: justify;">3. Firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">...فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ...(44)</div><div style="text-align: justify;">"..Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kamu kepada-Ku...." (QS. Al-Mâidah: 44).</div><div style="text-align: justify;">Ayat di atas sangat jelas memerintahkan kita agar takut kepada Allah Swt dan melarang kita takut kepada manusia. Karena takut adalah di antara makna ibadah, sehingga orang yang takut kepada selain Allah berarti mempersembahkan kepadanya makna penyembahan atau peribadatan. Takut kepada selain Allah adalah salah satu bentuk syirik kecil yang menunjukkan ketidaksempurnaan tauhid, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini. Manusia memang sangat susah dan berat meninggalkan takutnya terhadap makhluk. Oleh karena itu Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk selalu bertaubat dan beristigfar dari segala dosa syirik baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui:</div><div style="text-align: justify;">اَللَّهُمَّ إِنِّى اَعُوْذُبِكَ مِنْ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا أَعْلَمُهُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُهُ</div><div style="text-align: justify;">"Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kesyirikan yang aku ketahui maupun, dan aku mohon ampun dari kesyirikan yang tidak ku ketahui." (HR. </div><div style="text-align: justify;">4. Allah Swt memuji ahli khauf di dalam Al-Quran, dan berjanji akan menyegerakan kabikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)</div><div style="text-align: justify;">"Sesunguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut terhadap Rabb mereka, orang-orang yang beriman terhadap ayat-ayat Rabb mereka, orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu apapun), orang-orang yang mempersembahkan segala yang mereka miliki, dengan hati yang takut, (karena mengetahui bahwa) mereka pasti akan kembali kepada Rabb mereka, Mereka itu orang-orang yang disegerakan untuk mendapat kebaikan-kebaikan (di dunia), dan merekalah orang-orang yang segera menerimanya (di akhirat)." (QS. Al-Mukminûn: 57-61)</div><div style="text-align: justify;">Maksud ayat di atas dijelaskan dalam sebuah hadis yang berbunyi: </div><div style="text-align: justify;">عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ {الَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا أَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ</div><div style="text-align: justify;">Dari Aisyah ra, ia bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah ayat: {Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka}, apakah ia adalah orang yang suka berzina, minum khamr dan mencuri? Rasulullah menjawab, 'Tidak, wahai putri Al-Shiddiq, tetapi mereka adalah orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah namun mereka takut semua itu tidak diterima". (HR. Imam Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">5. Memberikan peringatan kepada manusia agar mereka takut terhadap azab Allah Swt adalah salah satu misi para nabi dan rasul. Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ ...(48)</div><div style="text-align: justify;">"Dan tidaklah kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan...." (QS. Al-An'âm: 48). Kata mundzirîn dalam ayat di atas berasal dari kata indzar yang berarti menyampaikan berita yang tidak menggembirakan atau menakutkan. Dalam kitab Mufradat-nya Ar-Raghib al-Ashfahani menjelasakan bahwa indzâr berarti menyampaikan berita yang tidak menggembirakan atau menakutkan, dan lawannya adalah tabsyir yaitu menyampaikan berita di dalamnya terdapat hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan.</div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran Allah Swt menggambarkan azab di banyak tempat, supaya rasa takut kepada-Nya hadir dalam hati hamba-Nya, dan supaya mereka bertakwa kepada-Nya, seperti firman-Nya dalam surat Al-Zumar ayat 16: </div><div style="text-align: justify;">لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ (16)</div><div style="text-align: justify;">"Bagi mereka lapisan-lapisan api dari atas dan bawah mereka. Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku wahai hamba-hamba-Ku. (QS. Al-Zumar: 16)</div><div style="text-align: justify;">Allah Swt juga menjelaskan bahwa mukjizat-mukjizat yang Dia perlihatkan melalui tangan para nabi dan rasul, selain sebagai bukti kenabian dan kebenaran ajaran mereka, adalah juga untuk memberi peringatan supaya mereka takut kepada Allah Swt. Dalam surat Al-Isrâ' ayat 59 Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآَيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ وَآَتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا وَمَا نُرْسِلُ بِالْآَيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا (59)</div><div style="text-align: justify;">"Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasan kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu, dan kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti." (QS. Al-Isrâ': 59)</div><div style="text-align: justify;">Begitu juga dengan ayat-ayat kauniyah yang kita saksikan di alam semesta ini. Allah Swt berfirman mengenai kilat dan petir:</div><div style="text-align: justify;">هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنْشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ (12)</div><div style="text-align: justify;">"Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan takut (khauf) dan harapan (rajâ'), dan Dia mengadakan awan mendung." (QS. Al-Ra'd: 12) </div><div style="text-align: justify;">Ayat-ayat yang mulia di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa kita dituntut untuk khauf (takut) kepada-Nya. Karena khauf adalah ibadah dan oleh karenanya yang berhak ditakuti hanyalah Allah Swt. Khauf adalah perwujudan tauhid, kesempurnaan khauf merupakan sempurnanya tauhid, dan kekurangannya merupakan bentuk kurangnya tauhid. Begitu juga dengan amalan hati yang lainnya seperti Hubb (cinta), rajâ' (harap), ikhlas, syukur dan sebagainya. </div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Taimiyah berkata: "Jika sempurna khauf seorang hamba terhadap Rabb-Nya, maka ia tidak menakuti apapun selainnya. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إلَّا اللَّهَ (39)</div><div style="text-align: justify;">"Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah dan takut kepada-Nya serta tidak menakuti apapun selain-Nya...." (QS. Al-Ahzâb: 38) Jika khauf-nya kurang terhadap Allah, maka ia akan menakuti makhluk. Khauf-nya kepada makhluk sesuai dengan kadar kurang atau lebih khauf-nya kepada Allah. Demikian halnya dengan mahabbah, rajâ' dan yang lainnya. Dan hal ini adalah syirik kecil yang jarang sekali orang selamat darinya, kecuali mereka yang dijaga oleh Allah Swt. Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa syirik dalam umat ini lebih tersembunyi dari suara langkah semut. Dan jalan untuk membebaskan diri dari semua penyakit ini adalah dengan ikhlas kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;">فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)</div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia melakukan amal shalih dan tidak menyekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun." (QS. Al-Kahfi: 110)</div><div style="text-align: justify;">Dan tidak akan tercapai sebelum zuhud, tidak ada zuhud tanpa taqwa dan taqwa adalah menjalankan perintah dan damnjauhi larangan." </div><div style="text-align: justify;">Adapun mencintai sesuatu yang dicintai Allah seperti cinta terhadap orang tua, anak, keluarga, sahabat dan lain sebaginya, tidaklah bertentangan dengan cinta terhadap Allah Swt. Karena mencintai hal-hal yang yang dicintai Allah merupakan perwujudan cinta kepada Allah itu sendiri. Mencintai semua yang dicintai-Nya, dan benci terhadap segala yang dibenci-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Faidah Takut Kepada Allah.</div><div style="text-align: justify;">Khauf adalah cambuk yang dengannya Allah Swt mendorong hamba-Nya untuk tekun dan disiplin dalam menunaikan ibadah dalam segala bentuknya. Mencari nafkah, menuntut ilmu untuk diamalkan, supaya mereka meraih kedekatan di sisi Allah Swt. Anak akan taat berbakti kepada orangtuanya lantaran khauf kepada Allah Swt. Ahli ibadah akan selalu menangis karena khauf kepada-Nya. Orang yang sedang musafir kepada Allah Swt akan selalu ditemani khauf kepada-Nya dalam perjalanannya. Khauf adalah pelita hati yang dengannya seseorang dapat melihat baik dan buruknya sesuatu. Seseorang takut kepada sesuatu akan lari menjauhinya, kecuali takut kepada Allah Swt, ia akan berusaha mendekati-Nya, memohon agar dikasihani, diampuni dan diridhai, karena tak satupun mahluk yang mampu berlari dari-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Khauf kepada Allah yang tertancap dalam hati seorang hamba akan membakar bibit-bibit maksiat yang ada di dalamnya, serta mengurangi cinta yang berlebih terhadap dunia. Menuruti hawa nafsu terasa manis semanis madu, namun orang yang khauf kepada Allah mengerti bahwa manisnya syahwat bagaikan manisnya madu yang mengandung racun. Ia tidak ingin dan takut meminumnya. Karena di belakang kenikmatan sementara memperturutkan nafsu dan syahwat duniawi, terdapat azab yang dahsyat tak terhingga. </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt mencipta makhluk dan memerintahkan mereka untuk mengenal, menyembah dan takut kepada-Nya. Dia memperlihatkan tanda-tanda keagungan dan kebesaran-Nya agar mereka takut dan memuliakan-Nya; Dia menggambarkan pedihnya azab neraka yang telah disiapkan bagi orang yang melanggar perintah-Nya, supaya mereka bertakwa, melakukan amal shalih serta menjauhi kemaksiatan dan kejahatan. Di dalam Al-Qur'an berulang kali disebutkan neraka dengan azab dan siksaan di dalamnya, diperuntukkan kepada para pelaku maksiat dan musuh-musuh Allah. Demikianlah Allah Swt mengajak hamba-Nya untuk takut dan bertakwa kepada-Nya, bersegera mengerjakan perintah-Nya yang dan menjauhi larangan </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt telah menguji para sahabat Nabi Saw agar terbukti siapa yang memiliki rasa khauf kepada-Nya dan yang tidak memilikinya. Di dalam masalah berburu misalnya, Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (94)</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu, supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih." (QS. Al-Mâidah: 94)</div><div style="text-align: justify;">Mengapa pelarangan berburu merupakan suatu ujian? Karena dengan pelarangan ini akan tampak siapa yang tahan uji dan sabar menjalankan perintah Allah Swt. Dengan larangan ini akan tampak perbedaan orang yang takut kepada Allah dan orang yang tidak takut. Orang yang memiliki khauf kepada Allah tidak berani berburu karena takut melanggar perintah-Nya, sedangakan orang yang tidak takut kepada Allah, sangat mudah baginya melakukan apapun yang diinginkannya walaupun perbuatannya melanggar larangan Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Adapun para sahabat Rasulullah Saw, mereka lulus dalam ujian itu, bahkan dalam ujian yang lebih besar pun mereka selalu lulus dengan baik. Rahasia kelulusan ini adalah karena mereka memiliki khauf yang luar biasa kepada Allah Swt. Mereka sangat tunduk dan patuh terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, sekecil apapun perintah itu. Hal ini sangat berbeda dengan sekelompok orang Yahudi zaman dahulu di sebuah perkampungan di pesisir pantai. Mereka tidak lulus uji ketika Allah Swt melarang mereka berburu pada hari sabtu. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt dengan hîlah (muslihat) yang tercela. Mereka mengatakan bahwa yang dilarang itu adalah berburu, adapun mengambil hasil buruan tidak mengapa. Mereka kemudian menebar jaring ikan pada hari Jum'at dan mengangkatnya pada hari sabtu penuh dengan ikan laut. Mereka berkata: "Kami tidak berburu pada hari sabtu." Mereka melakukan hal ini karena tidak takut Allah Swt, tidak meyakini janji dan ancaman-Nya. Hingga Allah membinasakan mereka.</div><div style="text-align: justify;">Selain khauf yang tinggi, rahasia kelulusan mereka ini adalah kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya yang sangat tulus. Mereka lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari diri mereka sendiri. Mereka dengan seng hati menyumbangkan harta, jiwa dan raga mereka demi meninggikan kalimat Allah. Mereka rela mengorbankan nyawa demi membela Rasulullah Saw dan risalahnya. Dalam perang Uhud tujuh orang sahabat menjadi perisai Rasulullah Saw. Mereka tidak peduli berapa anak panah yang tertancap di badan, berapa pedang yang menembus jasad, karena mereka tidak ingin Rasulullah Saw terluka sedikit pun. </div><div style="text-align: justify;">Seorang budak bernama Zaid bin Al-Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuh karena mengikuti agama yang dibawa Rasulullah Saw dan menjadi sahabat beliau. Zaid digiring menuju Tan'îm di luar kota mekah, diikuti oleh sekelompok orang Quraisy, di antaranya Abu Sufyan. Sebelum dibunuh Abu Sufyan berkata, "Demi Allah wahai Zaid, apakah kamu ingin kalau yang mengganti posisimu sekarang adalah Muhammad untuk kami penggal lehernya sedang kamu berada bersama keluargamu?" Zaid menjawab dengan lantang, "Demi Allah, aku tidak ingin Muhammad sekarang ini, di tempat ia berada, merasa sakit karena tertusuk duri, sedang aku duduk santai bersama keluargaku." Mendengar jawaban ini Abu Sufyan berkata, "Aku tidak pernah melihat orang yang mencintai seseorang seperti cintanya sahabat Muhammad terhadap Muhammad." </div><div style="text-align: justify;">Khauf kepada Allah adalah salah satu sifat ulul albab. Ulul albâb adalah orang yang berpikir cerdas dan pandai mengambil pelajaran dari setiap kejadian. Allah menjelaskan hal dalam firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;">أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (19) الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ (20) وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ (21)</div><div style="text-align: justify;">"Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (19) (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (20) Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Al-Ra'd: 19-21).</div><div style="text-align: justify;">Di dunia, Allah berjanji akan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada orang-orang yang takut kepada-Nya. Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ (13) وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ (14)</div><div style="text-align: justify;">"Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, 'Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka "Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim itu. Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan) menghadap kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku." (QS Ibrahim: 13-14)</div><div style="text-align: justify;">Khauf kepada Allah akan membangkitkan semangat untuk melakukan amal shalih dan keikhlasan dalam melakukannya, serta tidak meminta imbalan dari manusia di dunia, dan mengharap ganjarannya di akhirat kelak tidak berkurang. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9) إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (10)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami suatu hari yang di hari itu orang-orang bermuka masam penuh kesulitan." (QS. Al-Insân: 9-10) </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt juga berfirman: </div><div style="text-align: justify;">فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ (36) رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (37)</div><div style="text-align: justify;">"Bertasbih kepada Allah di masjid yang telah diperihtahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu siang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 36-37)</div><div style="text-align: justify;">Khauf kepada Allah memotivasi mereka untuk melakukan amal sholih. Perniagaan, harta dan godaan-godaan duniawi tidak membuat mereka lalai untuk pergi ke masjid dan mendirikan sholat, serta berdzikir kepada-Nya.</div><div style="text-align: justify;">Di hari kiamat kelak, Allah Swt akan menaungi orang-orang yang selalu menangis dalam kesendiriannya karena takut kepada Allah. Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ</div><div style="text-align: justify;">Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw beliau bersabda: "Tujuh orang yang dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya di hari yang tiada tempat bernaung keculai naungan Allah; imam yang adil, pemuda yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang diajak (berzina) oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan namun ia berkata, 'Aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah kemudian menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan pemuda yang mengingat Allah dalam kesendirian kemudian air matanya berlinang." (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Tanda-tanda takut kepada Allah Swt</div><div style="text-align: justify;">Diriwayatkan dari Malik bin Dînâr bahwa ia berkata, "Apabila seseorang mengaetahui dari dirinya tanda-tanda khauf dan rajâ', maka ia telah berpegang pada sesuatu yang kokoh, adapun tanda khauf adalah menjauhi larangan Allah Swt, dan tanda rajâ' adalah melaksanakan perintah Allah." lebih rincinya imam Abu al-Laits al-Samarqandi mengatakan: "Tanda-tanda khauf kepada Allah Swt tampak pada tujuh hal: </div><div style="text-align: justify;">1. Menjaga lisannya. Orang yang takut kepada Allah Swt akan mencegah lidahnya berbohong, ghibah dan banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Ia menjadikan lisannya sibuk berzikir kepada Allah Swt, membaca Al-Qur'an serta untuk mudzkarah ilmu.</div><div style="text-align: justify;">2. Menjaga perutnya, dengan tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali yang yang halal dan baik, dan juga tidak makan makanan yang halal kecuali secukupnya dan sesuai keperluannya.</div><div style="text-align: justify;">3. Menjaga pandangannya, dengan tidak melihat perkara-perkara yang diharamkan, tidak pula memandang dunia dengan hasrat ingin meraupnya, melainkan dengan pandangan 'ibrah (memperhatikan dan mengambil pelajaran).</div><div style="text-align: justify;">4. Menjaga tangannya, dengan tidak mengulurkannya untuk berbuat sesuatu yang diharamkan, tetapi mengulurkannya ketempat-tempat di mana ada ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">5. Menjaga kakinya, dengan tidak melangkahkannya untuk melakukan maksiat kepada Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">6. Menjaga hatinya, dengan menghilangkan segala permusuhan, kebencian dan kedengkian terhadap saudara-saudaranya, dan menanamkan sifat menerima nasihat dan simpati terhadap saudara-saudaranya sesama muslim.</div><div style="text-align: justify;">7. Menjaga seluruh perbuatan ketaatannya agar semuanya ditujukan hanya untuk Allah dan takut terhadap sifat riya dan nifâq (munafiq). </div><div style="text-align: justify;">Demikianlah sekilas tanda-tanda yang merupakan indakator terwujudnya khauf dalam diri seorang hamba. Jika hal-hal tersebut tidak ada dalam diri kita, maka segeralah sadar sebelum Allah Swt bertindak menghentikan nafas kita. </div><div style="text-align: justify;">Hal-hal yang dapat menghadirkan khauf</div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Qudâmah menjelaskan bahwa terdapat dua maqâm khauf seseorang hamba kepada Allah Swt. Pertama, khauf terhadap azab-Nya, dan ini adalah khauf umumnya makhluk. Hal ini akan terwujud dengan keimanan terhadap surga dan neraka yang merupakan dua balasan bagi pelaku ketaatan atau kemaksiatan. Khauf ini dapat melemah karena lemahnya iman atau kuatnya kelalaian. Kalalaian ini dapat dihilangkan dengan banyak berzikir dan bertafakkur tentang azab akhirat, dan bertambah dengan melihat kehidupan orang-orang yang khauf kepada Allah, bermuamalah dengan mereka atau mendengarkan kabar tentang mereka. Kedua, khauf terhadap Allah Swt sendiri. khauf ini adalah khaufnya orang-orang yang memiliki makrifat dan kedekatan dengan Allah Swt. Nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt mengandung kehebatan, keagungan dan kemuliaan yang menjadikan hati mereka kecut, sehingga mereka takut jauh dari-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Di antara hal-hal yang dapat menghadirkan khauf adalah mentadabburi ayat-ayat penggugah hati seperti ayat-ayat azab dan takdir di dalam Al-Quran. Misalnya adalah surat Al-'Ashr. Surat mulia yang seringkali dibaca oleh generasi Salaf Al-Shâlih setiap kali selesai pertemuan, sebagai muhasabah terhadap amalan yang telah dilakukan sekaligus motivasi meniti umur agar lebih semangat beramal shalih. Surat yang senantiasa mengingatkan manusia bahwa hidupnya hanyalah kumpulan detik-detik, dimana setiap detik yang hilang berarti kehilangan bagian dari hidupnya. Detik-detik yang jika tidak dimanfaatkan dalam kebaikan, akan lenyap dalam kesia-siaan, apalagi jika dihabiskan dalam kemaksiatan, tentu merupakan kerugian yang tiada terhingga. Detik-detik yang mustahil kembali, yang memustahilkan harapan untuk memperbaiki kesalahan, detik-detik yang pasti berakhir pada batas termaktub, untuk kemudian dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah Swt. Surat yang mengingatkan manusia, bahwa mereka hidup benar-benar dalam kerugian, jika tidak menghiasi diri dengan empat perkara yaitu, iman, amal shalih, nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. </div><div style="text-align: justify;">Ayat yang lain adalah firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">وَلَوْ شِئْنَا لَآَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (13)</div><div style="text-align: justify;">"Dan jika kami menghendaki niscaya kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah keputusan-Ku: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." (QS. Al-Sajadah: 13)</div><div style="text-align: justify;">Kalaulah perbuatan manusia tidak ditakdirkan, niscaya banyak orang yang akan akan bersenang-senang menikmati kehidupannya dalam kelalaian dan menunggu tua untuk bertaubat. Tetapi segala sesuatu telah ditentukan dan tak mungkin bisa diubah, maka tidak ada cara lain kecuali menyerahkan diri, dan tetap memohon hidayah-Nya. Abu Darda r.a. berkata, "Tak seorangpun yang aman akan dicabutnya iman dari hatinya ketika menghadapi maut." Ketika Sufyan Al-Tsauri akan wafat beliau menangis tersedu-sedu. Seseorang kemudian bertanya keheranan, "Apakah anda banyak berdosa?" Beliau kemudian berkata, "Demi Allah, dosa-dosaku tidak ada apa-apanya dibanding hal ini, aku hanya takut kalau imanku dicabut ketika mati." Beliau sangat takut kalau kalau takdir menentukan beliau mati dalam keadaan iman telah dicabut. </div><div style="text-align: justify;">Meneladani kisah orang-orang yang khauf</div><div style="text-align: justify;">Manusia yang paling takut kepada Allah Swt tentulah para nabi dan rasul-Nya. Dan di antara para nabi dan rasul yang paling takut tentulah nabi yang paling utama, nabi yang pernah bertemu langsung dengan Allah dalam peristiwa Isrâ' Mi'râj, beliaulah nabi Muhammad Saw. Nabi yang telah diperlihatkan kepadanya surga dan neraka, beliau bersabda: </div><div style="text-align: justify;">عُرِضَتْ عَلَيَّ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا</div><div style="text-align: justify;">"Aku telah diperlihatkan Surga dan Neraka, maka aku tidak pernah melihat sebelumnya kebaikan dan keburukan seperti pada hari itu, kalau kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa." (HR. Bukhari)</div><div style="text-align: justify;">Sayyidah Aisyah r.a. berkata: </div><div style="text-align: justify;">عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَاحِكًا حَتَّى أَرَى مِنْهُ لَهَوَاتِهِ إِنَّمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ</div><div style="text-align: justify;">"Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw tertawa sampai aku dapat melihat gusinya, beliau hanya tersenyum." (HR. Bukhari dan Muslim) </div><div style="text-align: justify;">إِنِّى أَتْقَاكُمْ لِلَّهِ وَأَشَدُّكُمْ لَهُ خَشْيَةً</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya akulah yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, dan akulah yang paling takut kepada-Nya." (HR. Bukhari)</div><div style="text-align: justify;">عن عَبْد اَللَّه بْن الشِّخِّير: رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُصَلِّي بِنَا وَفِي صَدْرِهِ أَزِيز كَأَزِيز الْمِرْجَل مِنْ الْبُكَاءِ </div><div style="text-align: justify;">Dari Abdullah bin Al-Syikhîr ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Saw shalat bersama kami dan dari dadanya terdengar desahan nafas seperti air yang mendidih di dalam panci, karena menangis." (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)</div><div style="text-align: justify;">Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw: </div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (15) مَنْ يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمَهُ وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ (16)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku. (15) Barang siapa yang dijauhkan azab dari padanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. dan Itulah keberuntungan yang nyata'." (16) (QS. Al-An'âm 15-16)</div><div style="text-align: justify;">Ibadah khauf ini juga diwarisi oleh sahabat Nabi Saw dan oleh para tabi'în setelah mereka. Karena takut kepada Allah Swt, diriwayatkan dalam sebuah hadis hasan dari Abu Bakar r.a., Abu Dardâ' dan Abu Dzarr, bahwa mereka berkata:</div><div style="text-align: justify;">يَا لَيْتَنِى كُنْتُ شَجَرَةً تُعْضَدُ ثُمَّ تُؤْكَلُ</div><div style="text-align: justify;">"Aduhai, andai saja kau adalah dedaunan yang dipetik kemudian dimakan." (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)</div><div style="text-align: justify;">Umar bin Khathâb r.a. pernah mendengar beberapa ayat yang membuatnya sakit berhari-hari dan dijenguk orang. Suatu hari beliau mengambil segenggam tanah dan berkata, "Aduhai, andai saja aku adalah debu ini, andai saja aku tidak pernah ada, andai saja ibuku tidak melahirkan aku", di wajah beliau terlihat du garis hitam karena seringnya menangis. Abu Ubaidah bin Jarrâh r.a. berkata: "Aduhai andai saja aku adalah seekor domba kemudian disembelih oleh keluargaku dan memakan dagingku dan meminum kuahku." </div><div style="text-align: justify;">Demikianlah khauf-nya para nabi, sahabat dan orang-orang shalih. Kita seharusnya lebih utama takut dari pada mereka, karena maksiat yang kita lakukan sangat banyak sekali. Setiap kebaikan yang kita kita perbuat, ada saja maksiat yang mengotorinya, padahal mungkin kita lebih sering bermaksiat dari pada melakukan perbuatan baik. Adapun mereka kekasih dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah, khauf mereka bukanlah karena maksiat atau banyak dosa, akan tetapi karena kesucian jiwa, kejernihan dan kelembutan hati serta kesempunaan makrifat mereka tentang Allah Swt. Sedikit saja mendengar nasihat, air mata mereka mengalir tak dapat dibendung. Namun kita merasa santai saja karena makrifat kita yang sangat kurang tentang Allah, keras dan kotornya hati oleh lumpur dosa yang berkarat. Mereka menangis hanya dengan nasihat yang sedikit, tetapi hati kita tidak juga tergetar walau mendengar seribu nasihat. </div><div style="text-align: justify;">Khauf kepada Allah Swt adalah benteng keimanan, dalam arti bahwa orang yang tidak mempunyai rasa khauf, tidak ada yang menghalanginya dari melalaikan kewajiban sebagai hamba dan melakukan kemaksiatan, bahkan pada keadaan tertentu ia bisa degnan mudah mengubah keimanannya--na'ûdzubillâhi min dzâlik. Kita berdo'a kepada Allah semoga Dia menggolongkan kita ke dalam orang-orang dianugerahi khauf yang istimewa, sehingga kita mendapatkan apa yang telah dijanjikan Allah Swt di akhirat kelak. Dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang didekatkan dengan Allah Swt. Amin. Wallahu a'lam bis showab </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menyibak Tirai Rajâ'</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Lalu Heri Afrizal</div><div style="text-align: justify;">Harapan adalah ruh dan penyemangat hidup setiap insan. Orang yang semangat mengerjakan sesuatu, tentu karena ia memiliki harapan di balik pekerjaannya itu. Tanpa harapan, seseorang tidak akan memiliki semangat dan kesungguhan dalam bekerja. Tanpa harapan, hidup hanyalah keputusasaan, ketersiksaan, penyesalan dan kehampaan. Laksana seorang nara pidana yang esok ia harus terpidana mati. Tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri. Sementara ia tidak mungkin mengharapkan kebaikan dari kehidupan dunianya yang penuh maksiat dan dosa, ia tidak mempunyai bekal untuk menempuh hidup setelah mati. Maka sisa-sisa hidup itu baginya hanya kehampaan, penyesalan dan keputusasaan. Begitulah kira-kira gambaran orang yang tidak memiliki harapan. </div><div style="text-align: justify;">Dalam bahasa Indonesia rajâ' diartikan dengan “harapan”, baik yang bersifat duniawi atau ukhrawi. Dalam pembahasan kali ini kita akan mencoba menggali makna rajâ' yang bukan sekedar harapan duniawi semata. Melainkan rajâ' yang berdimensi ukhrawi, rajâ' yang merupakan ibadah. Rajâ' yang merupakan salah satu maqâm dari maqâm ibadah hati. Rajâ' adalah kebutuhan hidup seorang mukmin yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah Swt menjadikannya salah satu bentuk ibadah hati yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang beriman. </div><div style="text-align: justify;">Namun, apakah definisi rajâ' yang merupakan ibadah hati itu? Apa bedanya dengan angan-angan atau khayalan? Apakah ia memiliki karakteristik dan cara-cara tertentu sebagaimana ibadah-ibadah lahiriah? Rajâ' (harapan) seperti apakah yang sebenarnya dituntut oleh Allah Swt dari pribadi setiap muslim? Untuk menjawabannya, tulisan sederhana mencoba mengulas hakikat ibadah ini. Semoga dapat memberikan penjelasan yang semestinya. Wallahul musta'ân.</div><div style="text-align: justify;">Defenisi Rajâ' Dan Perbedaannya Dengan Tamanni</div><div style="text-align: justify;">Menurut bahasa rajâ' berarti menunggu kehadiran sesuatu yang disukai. Adapun menurut istilah, dalam kitab Madârij al-Sâlikîn, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan beberapa definisi rajâ, diantaranya:</div><div style="text-align: justify;">حَادٍ يَحْدُوْ الْقُلُوْبَ إِلَى بِلَادِ الْمَحْبُوْبِ—وَهُوَ الدَّارُ الْآخِرَةُ—وَيُطَيِّبُ لَهَا السَّيْرَ</div><div style="text-align: justify;">Kekuatan yang menggiring hati menuju negeri yang dicintai (negeri akhirat) dan membuat perjalannya menjadi baik.</div><div style="text-align: justify;">اَلثِّقَةُ بِجُوْدِ اللهِ تَعَالَى</div><div style="text-align: justify;">Keyakinan akan kemurahan Allah Swt</div><div style="text-align: justify;">اَلنَّظَرُ إِلَى سَعَةِ رَحْمَةِ اللهِ</div><div style="text-align: justify;">Melihat keluasan rahmat Allah Swt</div><div style="text-align: justify;">حُسْنُ الظَّنِّ بِاللهِ تَعَالَى فِي قَبُوْلِ طَاعَةٍ وُفِّقْتَ لَهَا أَوْ مَغْفِرَةِ سَيِّئَةٍ تُبْتَ مِنْهَا</div><div style="text-align: justify;">Berbaik sangka kepada Allah, bahwa Dia akan menerima ketaatan dan mengampuni kesalahan. </div><div style="text-align: justify;">Setelah mengetahui makna rajâ' melalui definisi di atas, kita harus dapat membedakan antara makna rajâ' dan tamanni (berangan-angan dan berkhayal). Karena sebagian orang mengira bahwa dirinya telah melakukan ibadah rajâ' ini. padahal sebenarnya hanya berangan-angan dan berkhayal saja. Mengapa demikian? Karena rajâ' yang hakiki adalah rajâ' yang diiringi dengan amal perbuatan yang dapat mengantar seseorang menuju harapannya. Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)</div><div style="text-align: justify;">“Maka Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahf: 110)</div><div style="text-align: justify;">Adapun jika seseorang berharap sesuatu tanpa berusaha melakukan amalan yang dapat mengantarnya menuju harapannya, maka harapan itu bukanlah rajâ', melainkan tamanni atau angan-angan dan khayalan belaka. Seperti orang yang berharap dapat memanen buah tanpa mau bercocok tanam. Orang yang melakukan ibadah rajâ' secara hakiki perumpamaannya seperti seorang petani yang berharap mendapat hasil panen yang baik setelah sebelumnya bersusah payah mencangkul sawah, mengairinya, menabur benih kemudian memberi tanamannya pupuk, merawat dan menjaganya dari hama penyakit dst. </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt mencela orang-orang yang hanya ber-tamanni sebagaimana tertera dalam firmannya:</div><div style="text-align: justify;">فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا ... (169)</div><div style="text-align: justify;">"Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun...." (QS. Al-A'râf: 169)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat ini Allah menyifati orang-orang Yahudi dengan khalf, sebuah kata yang berkonotasi negatif, maknanya adalah generasi jahat. Imam Ibnu Katsir menafisrkan ayat di atas, bahwa setelah perginya generasi yang di dalamnya terdapat orang shalih dan jahat, datanglah generasi berikutnya yang sebagian besarnya adalah jahat. Kemudian beliau menukil tafsir imam Mujahid, mereka adalah orang-orang yang mengambil harta dunia tanpa menghiraukan halal dan haram. Mereka hanya ber-tamanni ketika berkata, "Kami akan diampuni." Mereka mengharap ampunan namun tetap berbuat maksiat. </div><div style="text-align: justify;">Orang yang beramal shalih di dunia dengan ikhlas, kemudian mengharapkan pahala, rahmat dan ampunan Allah Swt, dialah orang yang benar-benar telah menunaikan ibadah rajâ'. Dialah orang yang selalu bredisiplin dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt, sebagai bukti keimanannya. Dia mengharap kepada Allah Swt, untuk memberikannya taufik agar tidak melenceng dari kebenaran, memohon agar amal ibadahnya diterima dan mendapat rahmat-Nya. Bukan orang yang hanya bermalas-malasan, enggan beramal shalih, mengisi hidupnya dengan amalan yang tidak bermanfaat, bahkan selalu bermaksiat kepada Allah Swt, kemudian setelah itu mengharap ampunan dan pahala yang besar. </div><div style="text-align: justify;">Dari definisi-definisi para ulama di atas, dan perbedaan makna rajâ' dan tamanni, kita dapat menyimpulkan bahwa ibadah rajâ' adalah sebuah maqâm ibadah hati berupa keyakinan--bahwa Allah Swt akan menerima semua ketaatan dan mengampuni segala kesalahan karena kemurahan dan keluasan rahmat-Nya--yang mendorong hati untuk selalu mengharap kebaikan hidup di negeri akhirat dengan disertai amalan yang dapat mengantarkan seorang menuju harapannya. Jika seseorang telah menghabiskan waktunya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan banyak melakukan amal shalih, maka baginya tiada yang tertinggal kecuali mengharap ganjaran yang berada di luar kemampuannya yaitu turunnya rahmat, ampunan, anugerah, pahala dan ridha Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Urgensi Ibadah Rajâ'</div><div style="text-align: justify;">Ibadah rajâ' ini merupakan salah satu wasilah utama yang dapat membantu manusia dalam perjalanannya menuju Allah Swt, memantapkan hatinya dalam menjalankan ajaran agama Islam, terutama di zaman modern yang bergelimang fitnah, syubhat dan syahwat. Rajâ' merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Swt. Kebalikannya yaitu ya's adalah salah satu hal yang dilarang. Ya's adalah berputus asa dari rahmat Allah Swt. Karena ya's merupakan hal yang dilarang, maka ia tergolong maksiat. Allah Swt melarang manusia berputus asa dari rahmat-Nya, karena hal ini merupakan perbuatan orang-orang kafir. Allah Swt berfirman dengan wasiat Nabi Ya'qub as. kepada putra-putranya: </div><div style="text-align: justify;">وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ (87)</div><div style="text-align: justify;">"Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidaklah berputusa asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir." (QS. Yusuf: 87)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat lain Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya berputus asa, yang berarti sebaliknya, yaitu memarintahkan mereka untuk selalu mengharap kepada-Nya. Dia berfirman:</div><div style="text-align: justify;">لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)</div><div style="text-align: justify;">"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (QS. Al-Zumar: 53)</div><div style="text-align: justify;">Rajâ' Di Dalam Al-Quran Dan Sunnah</div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran dan Sunnah terdapat banyak nash-nash tentang rajâ'. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan rajâ antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1. Dalam surat Al-Baqarah ayat 218, Allah Swt menerangkan makna rajâ' yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Rajâ' yang dibarengi dengan amal perbuatan: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (218)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 218)</div><div style="text-align: justify;">Sangat jelas diterangkan dalam ayat di atas, bahwa orang yang mengharapkan rahmat Allah (melakukan rajâ') adalah mereka yang berjuang, berjihad dan bersusah payah beramal shalih, dan bukan sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berhijrah meninggalkan kampung halaman mereka, kemudian ikut serta berjihad dengan harta dan nyawa, menahan pedihnya luka, letihnya perjalanan, menusuknya rasa lapar, mencekiknya dahaga, demi membela dan meninggikan agama Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat dan surga Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">2. Allah Swt tetap membuka pintu rajâ' bagi hamba-Nya, yang mengharap rahmat dan ampunan, walaupun dalam bentuk pengampunan dosa syirik bagi mereka yang bertaubat. Adapun firman Allah yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (48)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS. Al-Nisa': 48)</div><div style="text-align: justify;">Diriwayatkan bahwa ayat ini turun setelah firman Allah yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (QS. Al-Zumar: 53)</div><div style="text-align: justify;">Para sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw, "Bagaimana dengan dosa syirik?" Namun Rasulullah tidak menyukai mereka banyak bertanya, sehingga beliau tidak menjawab sampai turunlah ayat di atas, "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya." Dengan demikian dapat dipahami bahwa, maksud tidak diampuninya dosa syirik adalah, bahwa Allah Swt tidak akan mengampuni seseorang yang mati dalam keadaan syirik, adapun jika sebelum mati ia sempat bertaubat, kemudian meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan kembali ke jalan Allah yang lurus, maka Allah Swt akan mengampuninya. Sebelum Islam datang, rata-rata para sahabat adalah orang-orang penyembah berhala, tetapi setelah mereka masuk Islam, Islam menutupi segala bentuk kesyirikan dan dosa sebelumnya. </div><div style="text-align: justify;">Beda dosa syirik dengan dosa yang lainnya adalah, dosa-dosa tersebut kadang diampuni oleh Allah Swt dengan banyak beramal shalih melakukan ibadah wajib dan sunnah, sebagaimana Firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (114)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (QS. Hûd: 114)</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw juga bersabda:</div><div style="text-align: justify;">اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا</div><div style="text-align: justify;">"Bertakwalah kepada Allah di mana pun engaku berada, dan sertakanlah perbuatan buruk dengan kebaikan, kaena hal itu akan menghapusnya." (HR. Tirmidzi)</div><div style="text-align: justify;">Dan telah menjadi ijma' (konsensus) umat dan tsâbit dalam Al-Quran dan hadis Rasulullah Saw bahwa seseorang yang dihatinya ada setitik keimanan, dia tidak akan kekal di dalam neraka. Artinya, bahwa suatu saat ia akan diampuni dan akan dikeluarkan dari neraka kemudian dimasukkan ke dalam surga, walaupun ia memiliki banyak dosa besar dan tidak sempat bertaubat. </div><div style="text-align: justify;">3. Firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (QS. Al-Zumar: 53)</div><div style="text-align: justify;">Ayat yang mulia di atas merupakan busyrâ (kabar gembira) yang paling memberi harapan dan menguntungkan (arjâ âyatin) bagi umat Islam. Apapun jenis dosa yang dilakukan baik dosa kecil, sedang maupun besar selain syirik, semuanya akan diampuni hingga tidak ada yang tersisa. Sekaligus perintah yang menunjukkan kewajiban rajâ' dan ketidakbolehan putus asa. Ayat di atas tidak ditujukan kepada orang yang mempunyai dosa-dosa kecil. Tetapi ditujukan kepada mereka yang telah melampaui batas dalam melakukan segala macam perbuatan dosa baik besar maupun kecil, karena kata "asrafû" dalam ayat di atas berarti melampaui batas. Kemudian Allah Swt melarang mereka berputus asa dari rahmat-Nya dan memerintahkan mereka untuk selalu mengharap kepada-Nya, berupaya sekuat tenaga untuk meninggalkan maksiat, dan menjalankan perintah Allah Swt semampu mereka.</div><div style="text-align: justify;">Adapun hadis-hadis Rasulullah Saw, yang berkaitan dengan rajâ' di antaranya adalah sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;">1. Allah berfirman dalam sebuah hadis Qudsi:</div><div style="text-align: justify;">يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً</div><div style="text-align: justify;">"Wahai ibnu Adam, sesungguhnya jika engkau memohon dan me-rajâ' kepada-Ku, Aku akan mengampuni semua dosa-dosamu dan aku tidak peduli (terhadap dosa-dosa itu). Wahai ibnu Adam walaupun dosamu telah mencapai puncak langit, kemudian kau memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai ibnu Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan kesalahan sebesar bumi, kemudian engkau mendatangi-Ku sedangkan engkau tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sebesar kesalahanmu."</div><div style="text-align: justify;">2. Dalam hadis qudsi yang lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab Shahih-Nya Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semua berbuat kesalahan siang dan malam, dan Aku mengampuni semua dosa-dosa. Maka mohon ampunlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Hadis ini dan hadis sebelumnya menunjukkan betapa luas rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya. Dia Mahamengampuni segala dosa dan kesalahan. Allah Swt tidak menghiraukan besar-kecilnya dosa hamba, asal ia beristigfar dan bartaubat dengan sungguh-sungguh. </div><div style="text-align: justify;">3. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis qudsi bahwa Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي</div><div style="text-align: justify;">"Allah Swt berfirman: 'Aku adalah sebagaimana zhann hamba-Ku terhadap-Ku'." </div><div style="text-align: justify;">Di dalam kitab Fath al-Bârî, imam Ibnu Hajar menjelaskan maksud hadis di atas, sesungguhnya Allah Swt sangat mampu melakukan apa yang diyakini oleh seorang hamba bahwa Allah melakukannya. Jika seorang hamba meyakini bahwa Allah mengampunianya, maka Allah sangat mampu untuk mengampuninya. Hadis ini mengisyaratkan bahwa kita diperintah untuk selalu mengharap kebaikan kepada Allah, karena Dia akan mengabulkan segala harapan baik kita. Dan tentunya dengan syarat harapan yang dibarengi usaha. Karena tanpa usaha, harapan hanyalah tamanni, angan-angan belaka, seperti yang telah dijelaskan.</div><div style="text-align: justify;">Manusia Antara Rajâ' dan Tamanni</div><div style="text-align: justify;">Berangkat dari ayat-ayat dan hadis-haids tentang rajâ' di atas, dapat disimpulkan bahwa, manusia terbagi menjadi dua kelompok. </div><div style="text-align: justify;">Pertama, sekelompok orang yang ketika mendengar ayat dan hadis di atas, mereka menjadi semakin tenang dan senang melakukan maksiat. Semakin meremehkan perintah dan larangan Allah Swt karena mengira bahwa Allah akan menghapus segala dosa mereka. Orang yang seperti ini adalah orang yang sangat merugi, sebagaimana firman Allah Swt </div><div style="text-align: justify;">أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99)</div><div style="text-align: justify;">"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'râf: 99)</div><div style="text-align: justify;">Kedua, sekelompok orang yang ketika mendengar ayat dan hadis di atas, hatinya luluh mengharapkan rahmat dan ampunan Allah Swt. Hal ini timbul karena rasa malu yang sangat mendalam kepada Allah Swt. Bagaimana tidak, nikmat Allah tidak pernah terlepas dari dirinya barang sedetik pun, namun ia merasa dirinya selalu meninggalkan perintah Allah, mengerjakan larangan-Nya dan mengabaikan nasehat-Nya. Ia yakin dengan taubat yang sungguh-sungguh kepada Allah Swt, ia akan diampuni dan dikasihi. </div><div style="text-align: justify;">Ia mengetahui bahwa taubat yang sungguh, adalah taubat yang benar-benar menjadikan seseorang meninggalkan maksiat, kemudian membawanya untuk giat beramal shalih. Ia yakin harapannya akan di-ijabah oleh Allah, sebab ia telah berusaha beramal shalih dan mengikhlaskannya karena Allah Swt. Karena orang yang rajâ'-nya benar adalah mereka yang disebutkan oleh Allah dalam ayat 18 surat Al-Baqarah yang telah dijelaskan di atas. Dan dalam hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmizdi bahwa beliau bersabda:</div><div style="text-align: justify;">الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ</div><div style="text-align: justify;">"Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengevaluasi dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya kemudian mengharapkan (kebaikan) dari Allah." (HR. Ahmad dan Tirmizi). Intinya bahwa, rajâ' dalam seluruh ayat dan hadis yang menganjurkan untuk rajâ', diikat oleh sebuah syarat yaitu, amal shalih. Jika tidak maka dia adalah tamanni atau angan-angan belaka. (HR. Ahmad dan Tirmidzi) </div><div style="text-align: justify;">Cara Melakukan Dan Meningkatkan Kualitas Rajâ' </div><div style="text-align: justify;">Kita mungkin sering kita mengharap kebaikan kepada Allah Swt. Tetapi, hanya orang yang menyertai harapannya dengan amal shalih lah yang telah merealisasikan ibadah rajâ' dalam dirinya. Jika kita telah berbuat amal shalih, maka tugas selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas rajâ' tersebut. Maka dua hal ini perlu diketahui agar kita dapat melakukan ibadah ini dengan baik dan dapat meningkatkan kualitasnya.</div><div style="text-align: justify;">Rajâ' dapat dilakukan dengan berbagi cara diantaranya: </div><div style="text-align: justify;">(a) melakukan amal ibadah dengan mengharap diterimanya amal ibadah tersebut dan mengharap pahalanya dari Allah Swt, </div><div style="text-align: justify;">(b) memohon dan mengharap ampunan Allah Swt terhadap dosa-dosa yang telah diperbuat, ketidaksempurnaan dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan kelancangannya karena melanggar larangan-Nya.</div><div style="text-align: justify;">(c) menjadikan hati selalu bergantung dan mengeluhkan segala kesediahan dan kesusahan hanya kepada Allah, </div><div style="text-align: justify;">(d) memohon pertolongan dan berdoa kebaikan dunia dan akhirat yang dingingkan dari Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Adapun hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas rajâ' diantaranya sbb:</div><div style="text-align: justify;">1. Aktif bertafakkur, menghadirkan di dalam hati bahwa kita telah menikmati nikmat Allah yang tiada terkira Dia telah memberikan kita pendengaran, penglihatan, hati, kesehatan, rezeki dll. Dia telah menghamparkan bumi agar layak kita tempati. Dialah sang Mahapengasih yang telah menurunkan kitab suci sebagai hidayah, serta mengutus para nabi sebagai penuntun jalan hidup yang lurus dan benar. Dialah yang telah memberi hidayah kepada kita untuk memeluk agama Islam, sementara banyak orang lain yang masih belum merasakan indahnya Islam. Dengan banyak bertafakkur tentang nikmat Allah ini, kualitas rajâ' akan terus meningkat. Karena tabiat manusia selalu menginginkan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. </div><div style="text-align: justify;">2. Mengingat janji-janji kabaikan Allah Swt, seperti besarnya pahala bagi mereka yang berbuat baik, luasnya rahmat dan ampunan-Nya, nikmat-Nya yang tiada henti walau tidak diminta sebelumnya, bahkan telah mengalir sebelum kita mengetahui bagaimana cara memohon nikmat, padahal hamba pendosa seperti kita sangat tidak layak mendapatkan nikmat sebesar itu. Kemudian mengingat bahwa Dia adalah Rabb yang maha menepati janji. Dia pasti akan menunaikan janji kebaikannya bagi hambanya yang beriman dan beramal shalih.</div><div style="text-align: justify;">3. Mengingat ampunan-Nya yang maha luas bagi para pendosa yang bertaubat. Rahmat dan ampunan-Nya lebih luas dari dosa-dosa seluruh manusia, sekalipun telah memenuhi langit dan bumi. Selain itu, adalah merupakan sebuah ketetapannya bahwa, Rahmat-Nya mengalahkan murka-Nya. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي </div><div style="text-align: justify;">"Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia menulis di kitab-Nya bahwa Dia mewajibkan (tulisan itu) pada Diri-Nya dan menempelnya di 'Arsy, 'Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku'." (HR. Bukhari) </div><div style="text-align: justify;">4. Menyadari bahwa hati manusia bagaikan sepetak tanah, yang harus ditebari dengan benih keimanan dan disirami dengan air ubudiyah agar menghasilkan buah keridhan Allah Swt. Kesuburan tanah itu harus dipelihara dan dijaga dari berbagai jenis penyakit hati, syubhat dan syahwat. Karena iman tidak akan tumbuh bersemi pada hati yang penuh penyakit dan kemaksiatan, sebagaimana tanaman tidak akan tumbuh dengan baik pada tanah yang tandus dan mengandung zat penyakit bagi tanaman. Jika seseorang dengan seluruh kemampuannya merawat dan memelihara tanamannya, kemudian ia mengharap tanamannya tumbuh bersemi dan membuahkan hasil yang baik, maka dialah yang telah berhasil mewujudkan ibadah rajâ'dalam dirinya.</div><div style="text-align: justify;">Manfaat Dan Keuntungan Rajâ'</div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya banyak sekali manfaat dan keuntungan orang yang selalu melakukan ibadah rajâ' kepada Allah Swt. Hal ini tentu dapat dirasakan oleh mereka yang benar-benar mengamalkannya. Syaikh Shalih al-Munajjid menyebutkan beberapa diantara keuntungan rajâ' yaitu:</div><div style="text-align: justify;">1. Menumbuhkan kekuatan mujahadah dalam malakukan amal shalih, karena mengharap ganjaran yang besar dari Allah Swt di dunia dan akhirat. </div><div style="text-align: justify;">2. Menumbuhkan kedisiplinan dan keteguhan dalam melakukan ketaatan walau dalam keadaan bagaimanapun. </div><div style="text-align: justify;">3. Menjadikan seorang hamba menikmati ibadahnya serta istiqamah dan teguh dalam manjalankannya.</div><div style="text-align: justify;">4. Menumbuhkan kekuatan ubudiyah pada diri seorang hamba dan kebergantungan (tawakkal) penuh terhadap sang Khaliq, bahwa ia tak pernah lepas dari perhatian dan penjagaan (murâqabah) Allah walau sekejap mata. </div><div style="text-align: justify;">5. Sesungguhnya Alah Swt mencintai hamba-Nya yang selalu memohon kepada-Nya, mengharap rahmat dan ampunan-Nya, serta tidak henti-hentinya berdoa. Sebab Allah Swt Mahapengasih, yang menyukai untuk selalu dimohon dan dipinta. </div><div style="text-align: justify;">6. Allah Swt justru murka terhadap hamba yang tidak mau memohon dan berdoa kepada-Nya. Jadi, dengan ibadah rajâ' seorang hamba dapat terhindar dari murka Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">7. Rajâ' adalah pemandu yang menuntun hati dalam perjalanannya menuju Allah, mendorong semangat untuk tetap teguh dan sabar dalam berjalan hingga sampai pada tujuan yang dinanti. Kalaulah bukan karena mengharap besarnya pahala, limpahan karunia dan surga Allah Swt di negeri akhirat, maka semua orang akan berputus asa. Sebab hati tergerak oleh cinta, terusik oleh Khauf dan dituntun oleh rajâ'. </div><div style="text-align: justify;">8. Sesungguhnya Allah Swt menghendaki agar setiap hamba berusaha menyempurnakan ubudiyah mereka dengan memunculkan rasa kehinaan dan kerendahan diri, kemudian menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, bertawakkal, memohon pertolongan, takut terhadap murka dan azab-Nya, sabar terhadap ujian dari-Nya, bersyukur terhadap nikmat-Nya dst. Sehingga Allah memberi cobaan kepada manusia berupa perbuatan dosa, agar tingkatan ubudiyah menjadi sempurna dengan selalu beristigfar dan bertaubat. Kalaulah bukan karena dosa, maka penyesalan dan taubat tidak akan terjadi. Padahal dengan istigfar dan taubat itulah makna ubudiyah seseorang menjadi lebih sempurna. </div><div style="text-align: justify;">Hubungan Antara Khauf Dan Rajâ'</div><div style="text-align: justify;">Bagi seorang mukmin, Khauf terhadap Allah Swt dan ancaman-Nya haruslah disertai dengan rajâ' terhadap janji kebaikan-Nya. Khauf dan rajâ' adalah dua hal yang sangat berhubungan erat. Kedua hal ini harus seimbang pada diri seorang mukmin. Sebab dengan kahuf dan rajâ', seorang hamba yang mengharap sesuatu, takut kalau harapannya itu tidak ia dapatkan. Dan sebaliknya, jika ia takut terhadap sesuatu, ia sangat mengharap belas kasih dan kebaikan yang sesuatu ditakutinya. Artinya, orang yang mengharap kepada Allah sangat takut jika ia tidak mendapat rahmat dan ampunan-Nya, dan orang yang takut kepada Allah sangat mengharap rahmat dan ampunan-Nya agar ia tidak mendapat murka dan azab. </div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu sebagian ulama mengumpamakan hubungan antara rajâ' dan khauf sebagai berikut, "Seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah Swt bagaikan seekor burung yang terbang dengan kedua sayapnya. Apabila kedua sayapnya mengepak seimbang maka ia akan terbang dengan baik dan selamat, tetapi jika sayapnya hanya sebelah atau salah satunya bekerja tidak seimbang maka burung itu telah mendekati kematiannya." Yang dimaksud denga kedua sayap tersebut adalah kahuf dan rajâ'. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُواْ الألْبَابِ (9)</div><div style="text-align: justify;">"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. Al-Zumar: 9). </div><div style="text-align: justify;">Manfaat rajâ' tidak berbeda dengan manfaat khauf. Keduanya merupakan motivator bagi seseorang dalam usaha meraih keridhaan Allah Swt melalui ibadah, ketaatan dan segala bentuk perbuatan baik. Selain manfaat yang sama, keduanya juga memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai obat bagi setiap hamba yang tidak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain bahwa ulama menjadikan kedua ibadah ini sebagai resep yang harus digabungkan. Mereka mengobati khauf dengan rajâ' dan mengobati rajâ' dengan khauf. </div><div style="text-align: justify;">Diriwayatkan bahwa Luqman Al-Hakim pernah menasehati anaknya: "Wahai anakku takutlah kepada Allah tanpa ada rasa putus asa dari rahmat-Nya, dan berharaplah kepada-Nya tanpa merasa bahwa engkau aman dari makar-Nya." Dengan demikian, khauf adalah obat yang paling utama bagi mereka yang telah merasa aman dari makar Allah Swt. Karena Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99)</div><div style="text-align: justify;">"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'râf: 99)</div><div style="text-align: justify;">Dan rajâ' merupakan obat yang paling utama bagi mereka diliputi rasa putus asa, karena Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (QS. Al-Zumar: 53) </div><div style="text-align: justify;">I. Macam dan Ciri Rajâ </div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa rajâ' memiliki tiga macam. Dua diantaranya terpuji dan satu lagi tercela. </div><div style="text-align: justify;">1. Rajâ' seseorang yang menjalankan ketaatan kepada Allah, berarti ia mengharap ketaatannya diterima dan mendapat pahala dari Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">2. Rajâ' seseorang yang melakukan perbuatan maksiat kemudian bertaubat darinya, berarti ia mengharap ampunan dan kasih sayang Allah Swt. Kedua macam rajâ' di atas tergolong rajâ' yang terpuji.</div><div style="text-align: justify;">3. Seseorang yang tenggelam dalam kemaksiatan dan larut dalam ketidaktaatan kepada Allah Swt kemudian mengharap rahmat dan ampunan-Nya tanpa melakukan amal shalih dan meniggalkan perbuatan maksiatnya, sesungguhnya ia tidak me-rajâ', malainkan tamanni. Dan jika hal ini dinamakan rajâ', maka inilah rajâ' yang tercela.</div><div style="text-align: justify;">Dalam perjalanannya menuju Allah Swt seorang mukmin bercermin pada dua hal. Pertama, melihat dirinya yang penuh aib dan dosa serta amal ibadahnya yang sangat jauh dari kesempunaan. Keadaan ini akan menjadikannya takut kepada Allah Swt. Takut jika aibnya tidak ditutupi, amalnya tidak diterima, dosanya tidak diampuni dan akhirnya dimurkai Allah Swt kemudian dimasukkan ke neraka. Inilah adalah pintu Khauf itu sendiri. Kedua, menyadari luasnya rahmat, karunia, pahala dan ampunan Allah Swt. Sehingga kemudian, dengan kebulatan hatinya ia mengharap rahmat dan ampunan itu. Mengharap agar ia tergolong orang-orang ahli surga. Inilah yang merupakan pintu rajâ'. </div><div style="text-align: justify;">Ahmad bin 'Ashim rahimahullah pernah ditanya: "Apakah tanda-tanda rajâ' pada diri seorang hamba?" Beliau menjawab: "Apa bila orang yang selalu berbuat kebaikan, selalu bersyukur dan mengharap kesempurnaan nikmat Allah Swt dan ampunan-Nya di dunia dan akhirat." </div><div style="text-align: justify;">Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang manakah di antara kedua rajâ' yang lebih utama. Rojâ seorang yang berbuat baik terhadap pahala Allah Swt ataukah rojâ seorang yang bermaksiat kemudian bertaubat terhadap ampunan-Nya? Sebagian mereka menguatkan pendapat yang pertama. Hal ini karena kuatnya sebab-sebab rojâ yang ada pada dirinya yaitu ketaatan yang penuh kepada Allah Swt. Sebagian yang lain berpendapat bahwa rojâ orang yang bermaksiat kemudian bertaubat. Karena rojânya datang dari penyesalan yang mendalam, diiringi dengan kerendahan hati melihat aib dan kehinaan diri. Rojânya murni tanpa dicemari rasa ujub dan bangga dengan amalannya. </div><div style="text-align: justify;">Walhasil, kedua pendapat di atas masing-masing memiliki sisi kebenaran. Karena kedua rojâ terpuji tersebut yang harus dimiliki. Karena setiap muslim berada dalam dua keadaan: ketaatan dan mengharap ketaatannya diterima, atau berdosa dan mengharapkan dosanya diampuni. </div><div style="text-align: justify;">Faktor-Faktor Yang Memperkuat Kualitas Rajâ'</div><div style="text-align: justify;">Kualitas rajâ pada diri seseorang sesuai dengan kedalaman makrifatnya dan keyakinannya kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt, dan bahwasanya rahmat-Nya mendahului murka-Nya, kesungguhan mahabbah-nya kepada Allah. Jika seseorang telah sampai pada derajat makrifat dan mahabbah (cinta) yang tinggi terhadap Allah Swt, maka kualitas rajâ'-nya akan tinggi. Jika tidak ada makrifat dan mahabbah kepada Allah, maka rajâ-nya pun tidak akan ada. Jika rûh rojâ ini tidak ada, maka ubudiah badan tidak tidak akan terwujudkan dan tiada lagi yang akan mengisi rumah-rumah Allah Swt dengan ibadah. Kalau bukan karena rojâ, badan manusia tidak akan tergerak untuk melakukan ibadah dan ketaatan. </div><div style="text-align: justify;">Setiap hamba yang mencintai Rabb-nya dan memiliki rajâ, pasti memiliki Khauf. Di sini juga terlihat kaitan yang erat antara rajâ' dan khauf. Dia mengharap Rabb-nya memberikan semua yang bermanfaat bagi dirinya, ia juga sangat takut tergelincir dari jalan-Nya, yang akan menjadikannya terusir dan jauh dari-Nya. Oleh karena itu rajâ' dan khauf dalam diri orang yang cinta terhadap Allah sangat tinggi. </div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi apakah jika harapan telah terkabulkan, apakah rajâ' akan hilang ataukah bertambah? Apa yang akan terjadi jika seorang hamba yang mencintai Rabb-nya telah meninggal kemudian bertemu dengan-Nya? Seorang hamba yang sebelum meninggal memiliki khauf dan rajâ' yang tinggi, bagaimana keadaannya jika ia telah meninggal? Para ulama mengatakan bahwa rajâ'-nya akan bertambah kuat dengan semakin bertambahnya nikmat yang ia temukan dalam kehidupan setelah kematiannya. Karena ketika ia benar-benar telah mengalami sendiri nikmat-nikmat di alam kubur, maka ia akan semakin yakin dan mengharap nikmat surga yang telah menantinya. </div><div style="text-align: justify;">Demikian juga dengan khauf, karena kematian telah membawanya lebih dekat kepada neraka, sebab alam barzah (alam kubur) adalah alam pertama dari silsilah alam akhirat. Ditambah lagi dengan nikmat yang ia saksikan dan alami sendiri di alam barzakh. Kenikmatan alam barzah yang benar-benar telah ia rasakan, menjadikannya semakin yakin dengan nikmat surga dan azab neraka, sehingga ia ingin segera menuju surga dan sangat takut terjerumus ke neraka. </div><div style="text-align: justify;">Bahkan di alam kubur, setiap orang akan dibukakan pintu surga dan neraka baginya. Jika ia beriman, ketika dibukakan pintu neraka, dikatakan kepadanya, "Jika kamu kafir, maka disinilah tempatmu." Kemudian dibukakan baginya pintu surga, sehingga ia ingin naik, namun dikatakan kepadanya, "Tinggal dan tidurlah layaknya pengantin baru." Tidak ada yang membangunkannya kecuali keluarga yang paling dicintainya. Demikian juga dengan orang kafir dan munafik, dibukakan baginya pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya, "Disinilah tempatmu jika dahulu kamu beriman." Kemudian dibukakan pintu neraka baginya dan diperlihatkan azab neraka. Setelah itu ia disiksa dengan siksaan yang didengarkan oleh seluruh mahluk kecuali jin dan manusia.</div><div style="text-align: justify;">Derajat Dan Tingkatan Rajâ'</div><div style="text-align: justify;">Dalam bukunya Madârij Al-Sâlikîn, Imam Ibnu Al-Qayyim menjelaskan tingkatan-tingkatan rajâ' yang dapat dilalui oleh setiap mukmin: </div><div style="text-align: justify;">Derajat pertama, rajâ' yang menjadikan seseorang lebih giat, semangat dan dapat menikmati ibadahnya walaupun terasa berat dan payah. Demikian juga dalam meninggalkan larangan Allah Swt. Hal ini mirip seorang yang pergi musafir untuk berdagang. Ia menikmati kepayahan dalam safar, demi meraih keuntungan dalam jual beli sesampainya di tempat tujuan. Demikian juga dengan seorang yang pecinta Allah yang jujur yang berusaha untuk meraih keridhaan Rabb-nya. </div><div style="text-align: justify;">Kesulitan bangun pagi untuk shalat subuh berjamaah, kesulitan berwudhu dengan air dingin, beratnya menghadapi resiko dan tantangan jihad, beratnya mengeluarkan sebagian hartanya untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, beratnya menuntut ilmu, susahnya bangun malam untuk shalat tahajjud, payah dan letihnya berpuasa, semua ia jalani dengan senang hati dan kerelaan yang penuh, sehingga lama-kelamaan menjadi terasa nikmat baginya. Tsabit bin al-Banâni, seorang ulama salaf berkata, "Aku bersusah payah bangun untuk shalat malam selama dua puluh tahun, hingga aku menikmatinya dua puluh tahun berikutnya." Jadi kenikmatan beribadah itu akan datang setelah melewati berbagai kepayahan dan kesulitan.</div><div style="text-align: justify;">Derajat kedua, rajâ' para mujahid yang memerangi hawa nafsu mereka dengan meninggalkan suatu kebiasaan dan menggantinya dengan kebiasaan yang lebih baik. Rajâ' mereka untuk sampai kepada tujuannya adalah dangan himmah (semangat yang tinggi). Hal ini harus dibarengi dengan ilmu, yaitu mengetahui dengan baik hukum-hukum agama. Karena rajâ' pada derajat ini mengharuskan mereka untuk mengetahui hukum-hukum itu. Sebab bersusah payah dalam beribadah haruslah disertai dengan ilmu dan terus menuntut ilmu, sehingga melakukan dan meninggalkan sesuatu berdasarkan dengan ilmu dan tujuan yang jelas. </div><div style="text-align: justify;">Dengan ilmu mereka akan mengetahui keagungan hikmah syariat Allah Swt, kebesaran dan kekuasaan-Nya, sehingga hal ini akan mendorongnya untuk beribadah dengan rasa syukur, rajâ' dan khauf yang tinggi. Tidak terasa lagi olehnya kesusahan dalam melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangannya, karena semua itu untuk kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Dengan ilmu, tingkat khauf-nya menjadi khsyiah, yaitu tingkatan khauf bagi orang yang berilmu, sebagaimana firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">...إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)</div><div style="text-align: justify;">"…Sesungguhnya yang khasyiah (takut) kepada Allah di antara hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahapengampun. (QS. Fathir: 28)</div><div style="text-align: justify;">Derajat ketiga, rajâ' orang-orang yang hatinya hanya terpaut dan rindu untuk bertemu dengan Rabb-nya. Rajâ' inilah yang dapat menjadikan seseorang menjadi zuhud di dunia. Derajat ini merupakan derajat rajâ' yang tertinggi. Allah brfirman: </div><div style="text-align: justify;">...فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)</div><div style="text-align: justify;">“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf : 110)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat lain: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآَتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (5)</div><div style="text-align: justify;">“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Angkabût : 5)</div><div style="text-align: justify;">Rajâ' bertemu Allah inilah yang merupakan intisari iman yang menjadi harapan tetinggi orang-orang yang mujtahid (berjuang keras) dalam beribadah. Orang yang memiliki derajat rajâ' seperti ini, hatinya selalu bergetar karena kerinduaan yang mendalam. Rindunya tidak akan terobati sampai ia benar-benar bertemu dengan Allah Swt. Bagi mereka nikmat bertemu dengan Allah Swt jauh lebih besar dari segala macam nikmat yang ada di surga. Bagai seorang yang memasuki istana dan tepana melihat keindahannya. Namun ketika ia bertemu dengan sang raja, maka lupalah ia akan keindahan istana.</div><div style="text-align: justify;">Ketika Rasulullah Saw Menyeru kaum muslimin untuk bengkit berjihad, "Bangkitlah untuk menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi," sahabat Umair bin Al-Humâm Al-Anshori ra tidak sabar lagi ingin bertemu dengan Allah. Beliau berkata: "Jika aku masih hidup (setelah pertempuran ini) sehingga aku dapat makan kurma ini lagi, sungguh itu adalah kehidupan yang sangat panjang." Beliau ingin segera syahid untuk bertemu dengan Allah Swt, sampai-sampai beliau tidak tahan hidup berlama-lama di dunia. Padahal hidup dalam sela waktu peperangan itu hanya sebentar saja. </div><div style="text-align: justify;">Terapi Masyarakat Dengan Rajâ'</div><div style="text-align: justify;">Seyogyanya para da'i harus pandai mendiagnosa terlebih dahulu penyakit yang timbul di dalam masyarakat, agar mereka dapat memberikan obat yang tepat bagi penyakit tersebut. Di zaman sekarang, menggunakan wasilah rajâ' untuk mengobati penyakit masyarakat terkadang tidak terlalu efektif. Hal ini karena banyak orang pada zaman ini memiliki kualitas keberagamaan yang minim karena pengaruh dunia sekularisme. Rutinitas agama terkadang hanya sebatas formalitas semata, tidak dianggap sebagai kebutuhan primer yang wajib dipenuhi. Padahal manusia terdiri dari unsur rohani dan jasmani yang membutuhkan menu makanan tersendiri sesuai dengan karakter masing-masing. Jasmani membutuhkan menu yang sifatnya matrealistik, sedangkan rohani membutuhkan menu ibadah yang sesuai dengan keluhuran fitrahnya. </div><div style="text-align: justify;">Rajâ' mengandung obat yang sangat dibutuhkan oleh seorang yang hatinya tertutup rasa putus asa, sehingga meninggalkan ibadah sama sekali, karena menganggap bahwa ibadah tidak mempan lagi menutupi dosanya. Rasa putus asa ini sering muncul di hati para pemuda yang merasa diri sudah terlanjur jauh dari Allah Swt, terlanjur terperosok ke jurang kenistaan. Ketika diberitahukan kepadanya tentang ampunan dan rahmat Allah Swt yang luas, terkadang hal itu menjadi obat baginya. Jika kemudian ia benar-benar bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, memperbaiki hubungannya dengan Allah Swt, sungguh Allah maha penyayang bagi hamba-hamba-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt berfirman dalam sebuah hadis qudsi:</div><div style="text-align: justify;">قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً (رواه الترميذي)</div><div style="text-align: justify;">Allah Swt berfirman: "Wahai anak Adam, jikalau engkau berdoa dan mengharap kepadaku, niscaya aku akan mengampuni segala dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, walaupun dosa-dosamu telah mencapai langit, kemudian engkau memohon ampun kepad-Ku, niscaya aku akan mengampunimu dan aku tidak peduli. Wahai anak adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan dosa seperti bumi, niscaya Aku akan mendatangkan bagimu ampunan seperti itu juga." (HR. Tirmidzi) </div><div style="text-align: justify;">Seorang da'i haruslah pandai-pandai menggunakan wasilah rajâ' dalam berdakwah, sehingga tidak salah menempatkannya. Karena jika hanya menggunkan washilah ini mungkin saja menyebabkan timbulnya sifat meremehkan pada diri seseorang, yang membuatnya semakin sesat dan jauh dari Allah Swt. Bagi orang tertentu terkadang obat yang lebih mujarab bagi mereka adalah menekankan khauf kepada Allah, mengingatkan azab-Nya yang pedih, setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah Swt, setiap amalan sekecil apapun akan dibalas, baik kebaikan maupun keburuakan dst. Namun tetap resep rajâ' ini tidak boleh juga ditinggalkan sama sekali, agar mereka yang ditakut-takuti tidak sampai putus asa dari rahmat Allah. Ali bin Abi Thalib ra Pernah berkata, "Sesungguhnya orang yang berilmu adalah mereka yang tidak menjadikan orang putus asa dari rahmat Allah, namun tidak juga menjadikan mereka aman dari makar Allah." Jadi haruslah terdapat keseimbangan antara penggunaan resep Khauf dan rajâ', sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang didakwahi. </div><div style="text-align: justify;">Setiap orang yang sungguh-sungguh dalam bertaubat, akan diampuni oleh Allah Swt walaupun dosa itu berulang-ulang. Karena hak hamba terhadap Rabb-nya adalah diampuni dan tidak diazab selama ia tidak menyekutukan Allah Swt. Ketika Mu'âdz bin Jabal mendengar hal ini dari Rasulullah Saw beliau lansung berkata: "Apakah aku harus memberi mereka kabar gembira tentang hal ini?" Rasulullah Saw menjawab, "Jangan dulu memberi tahu mereka agar mereka tidak bergantung dengan amalannya." </div><div style="text-align: justify;">Demikianlah mudah-mudahan dengan sekilas penjelasan tentang ibadah hati yang satu ini, kita tergerak untuk berusaha mendekatkan diri dengan Allah Swt. menghadapi kehidupan dunia yang semakin gemerlap ini, semoga kita tidak melalaikan ibadah hati kita. Karena hatilah sebenarnya yang dinilai oleh Allah Swt. Jika hati seseorang baik maka perbuatannya akan baik dan demikian sebaliknya seperti sabda Rasulullah Saw:</div><div style="text-align: justify;">أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ</div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya, di dalam jasad ada segumpal daging yang apabila ia baik niscaya baik pula seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahua'lam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Implementasi Syukur Dalam Dunia Nyata</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Muhammad Edwin</div><div style="text-align: justify;">وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (78)</div><div style="text-align: justify;">"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, </div><div style="text-align: justify;">penglihatan dan hati agar kamu bersyuur." </div><div style="text-align: justify;">(Al-Nahl: 78)</div><div style="text-align: justify;">Menyimak ayat di atas kita mengetahui bahwa manusia terlahir ke alam dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui apapun, dan tidak mengenal apa yang ada di sekelilingnya. Dengan kata lain bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian Dia melengkapi kehadiran manusia ke alam ini dengan perlengkapan yang sempurna untuk dapat berinteraksi dengan alam di sekelilingnya. Dia menganugerahkan kepadanya naluri fitrah), akal dan indra dengan dengan segala fungsinya yang menakjubkan. </div><div style="text-align: justify;">Tidak hanya sampai disitu, Allah Swt juga membimbing manusia menuju hidayah dengan mengutus para nabi dan rasul yang mengajarkan kepada mereka hakikat hidup ini, dari mana ia berasal, apakah misi yang diemban dan kemana setelah kehidupan dunia ini. Bahkan alam semesta yang luas ini diciptakan dan diperuntukkan bagi dirinya. Maka apakah yang paling layak dilakukan oleh manusia selain bersyukur atas semua nikmat itu kecuali bersyukur kepada Sang Mahapemberi?</div><div style="text-align: justify;">Namun, bagaimanakah cara seseorang bersyukur kepada Tuhannya? Apakah makna dan hakikat syukur itu sendiri? Untuk dapat mempersembahkan kesyukuran yang baik, tentu kita harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan syukur. Tentunya hakikat syukur yang dituntut adalah sesuai dengan kehendak yang yang memerintahkan untuk bersyukur Allah Swt. Dan dalam hal ini Allah Swt telah memberi kita bimbingan bagaimana seharusnya bersyukur kepada-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Definisi Syukur</div><div style="text-align: justify;">Menurut bahasa syukur berarti mengakui perbuatan baik, seperti dalam perkataan, "Aku bersyukur kepada Allah", yakni bahwa aku mengakui dengan sepenuh hati bahwa segala nikmat yang aku dapatkan ini semata-mata adalah pemberian dan kemurahan Allah Swt. Makna lain dari syukur dalam bahasa adalah, tampaknya pengaruh makanan pada badan hewan. Dalam bahasa Arab, hyawan syakûr berarti hewan yang cukup dengan makanan yang sedikit atau terlihat gemuk walau dengan makanan yang sedikit. Dari makna ini dapat dipahami bahwa orang yang bersyukur adalah mereka yang membuktikan kesyukuran itu dengan perbuatan yang menunjukkan perasaan bersyukur. </div><div style="text-align: justify;">Makna lainnya juga menurut bahasa, syukur adalah pujian yang ditujuakan terhadap orang yang memberi kebaikan. Oleh karena itu kita sering mendengar perkataan asykuruka, yakni aku memujimu atas perbuatan ini. Selain itu ada juga makna-makna yang lainnya, namun yang telah disebutkan cukup mewakili.</div><div style="text-align: justify;">Adapun menurut istilah, definisi syukur adalah:</div><div style="text-align: justify;">ظُهُوْرُ أَثَرِ النِّعَمِ الْإِلَهِيَّةِ عَلَى الْعَبْدِ فِى قَلْبِهِ إِيْمَانًا وَفِى لِسَانِهِ حَمْدًا وَثَنَاءً وَفِى جَوَارِحِهِ عِبَادَةً وَطَاعَةً</div><div style="text-align: justify;">Tampaknya pengaruh nikmat Allah Swt dalam diri seorang hamba, berupa bertambahnya iman dalam hati, puji-pujian dengan lisan serta ibadah dan ketaatan dengan anggota badan.</div><div style="text-align: justify;">Jadi, syukur bukan lah suatu yang ringan. Dia bukanlah sekedar ucapan lisan, melainkan harus diimplementasikan melalui hati lisan dan perbuatan. Maka tidak heran jika Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13) </div><div style="text-align: justify;">"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang benar-benar bersyukur." (QS. Saba': 13)</div><div style="text-align: justify;">Sesedikit apapun nikmat yang kita rasakan haruslah tetap disyukuri, apa lagi kita merasa mendapat nikmat yang banyak tentu kesyukurannya harus lebih maksimal. Merasa mendapat nikmat sedikit sebenarnya disebabkan karena lemahnya iman. Sebab nikmat Allah Swt sebenarnya sangat banyak bahkan tiada terbatas. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ... (34) </div><div style="text-align: justify;">"Jika engkau menghitung nikmat Allah niscaya engkau tidak dapat menghitungnya." (QS. Ibrahim: 34) </div><div style="text-align: justify;">Orang mukmin menyadari bahwa tak sedetikpun dari hidupnya terlepas dari nikmat Allah Swt. Bahkan perasaan bersyukur terhadap nikmat itu sendiri juga merupakan nikmat lain yang sangat besar dan harus disyukuri kembali. Sebab, betapa banyak orang di dunia ini yang tidak tahu atau tidak mau bersyukur terhadap nikmat Allah Swt. Musibah dan cobaan baginya adalah nikmat yang besar. Sebab musibah hanya dapat merusak badannya atau hal-hal yang bersifat fisik dan tidak dapat merusak jiwa dan keimanannya. Hal ini karena ia menyadari bahwa di balik cobaan dan bencana tersebut terdapat ganjaran yang besar.</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ</div><div style="text-align: justify;">"Tidak satupun yang menimpa seorang muslim, dari kepenatan, penyakit, keresahan, kesedihan, perasaan disakiti, kesusahan, sampai duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah mengampuni dosa-dosanya. " (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Dengan musibah Allah Swt akan mengampuni dosa hamba, memberi pahala yang banyak, meninggikan derajatnya dan Allah akan mencintainya. Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya, musibah yang besar membawa pahala yang besar, dan sesungguhnya Allah jika mencintau suatu kaum Dia mengujinya dengan bala' (musibah), barang siapa yang ridha maka Allah akan meridhainya dn barang siapa yang beci, maka Allah akan membencinya." (HR. Tirmizi) </div><div style="text-align: justify;">Kedudukan Syukur di Dalam Agama</div><div style="text-align: justify;">Dengan mentadabburi Al-Quran kita akan menemukan beberapa hal yang mengagumkan dari ibadah syukur ini. hal ini tidak lain kecuali karena kedudukan ibadah syukur yang tinggi di dalam Islam.</div><div style="text-align: justify;">a. Allah Swt menggandengkan antara syukur dengan zikir, di mana keduanya merupakan tujuan penciptaan, dalam arti bahwa manusia dicipta untuk berzikir kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta mensyukuri nikmat-Nya. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (152)</div><div style="text-align: justify;">"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (QS. Al-Baqarah: 152)</div><div style="text-align: justify;">Lawan kata syukur adalah kufur yang dalam bahasa arab berarti menutupi atau mengingkari. Maka seringkali kita mendengar istilah kufur nikmat yang berarti tidak mensyukuri nikmat atau menutupi dan mengingkari nikmat Allah. Kata kufur jika disambung dengan huruf bâ' (ب) menunjukkan makna ketiadaan iman seperti dalam kata (كفربالله) yang berarti kafir atau tidak beriman kepada Allah Swt. Dan ketika tidak disambung dengan huruf (ب) seperti dalam kata (كفر النعمة) berarti mengingkari atau menutupi nikmat.</div><div style="text-align: justify;">Makna ayat di atas adalah Allah memerintahkan kita untuk bersyukur terhdap nikmatnya dengan mempergunakan nikmatnya sesuai dengan perintah-Nya. Sebagai tanda bahwa seseorang telah bersyukur adalah terealisasinya makna syukur menurut istilah di atas yaitu: Tampaknya pengaruh nikmat Allah Swt dalam diri seorang hamba, berupa bertambahnya iman dalam hati, puji-pujian dengan lisan serta ibadah dan ketaatan dengan anggota badan. </div><div style="text-align: justify;">b. Allah Swt menggandengkan antara syukur dengan iman, dan bahwasanya Dia tidak akan mengazab makhluk selama mereka bersyukur dan beriman.</div><div style="text-align: justify;">مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآَمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا (147) </div><div style="text-align: justify;">"Apakah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman? Sungguh Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Nisa: 147)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa tidak ada gunanya Allah mengazab hamba-Nya yang telah patuh dan taat untuk beriman dan bersyukur. Jika iman dan syukur telah ditunaikan maka Allah maha mensyukuri hamba-Nya, dengan menganugerahkan kepadanya pahala amal kabaikannya, mema'afkan kesalahannya dan menambah nikmat-Nya. Dan Allah Maha mengetahui siapa yang bersyukur terhadap nikmat-Nya. Dalam kehidupan bernegara, rakyat harus pandai berterimakasih terhadap pemimpinnya dengan mendukung dan menaati peraturannya, tidak hanya pandai protes dan menyalahkan. </div><div style="text-align: justify;">Begitu juga dengan pemimpin, jika rakyat telah mendukung dan patuh terhadap peraturan, maka selayaknya mereka harus berterimakasih terhadap rakyatnya, mengayomi mereka menunaikan hak-hak mereka, tidak malah menghianati dan menyalahi amanat, korupsi dan menghambur-hamburkan uang rakyat dan sebagainya. Sebagaimana Allah mensyukuri hambanya yang pandai bersyukur. </div><div style="text-align: justify;">c. Allah Swt berkehendak menciptakan orang kaya dan miskin atau kuat dan lemah untuk menguji mereka, siapakah di antara mereka yang bersyukur. Dan Allah Swt akan mengistimewakan dan menganugerahkan pemberian khusus bagi para ahli syukur. Dia berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ (53)</div><div style="text-align: justify;">"Dan demikianlah telah kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang Allah beri anugerah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" (QS. Al-An'âm: 53)</div><div style="text-align: justify;">Pertanyaan "Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" dalam ayat di atas mengisyaratkan bahwa ukuran kemulian di sisi Allah bukanlah kekayaan, kehormatan dan kekuatan di dunia, melainkan tingkat kesyukuran mereka terhadap nikmat Allah Swt, dan Allah maha mengetahui siapa saja di antara mereka yang bersyukur.</div><div style="text-align: justify;">d. Allah Swt mengklasifikasi manusia menjadi dua, yaitu syakûr (ahli syukur) dan kafûr (ahli kufur). Yang paling tidak disukai Allah adalah kufur dan ahli kufur, dan yang paling disukai Allah adalah syukur dan ahlu syukur.</div><div style="text-align: justify;">إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (QS. Al-Insân: 3)</div><div style="text-align: justify;">e. Allah Swt menguji hambanya dengan nikmat, apakah ia pandai bersyukur ataukah malah menjadi kufur. Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (40)</div><div style="text-align: justify;">"Ia (nabi Sulaiman as) berkata: 'Ini adalah kurnia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia'." (QS. Al-Naml: 40)</div><div style="text-align: justify;">Ketika nabi Sulaiman memerintahkan rakyatnya, siapakah di antara mereka yang bisa mendatangkan singgasana ratu Balqis, kehadapan beliau sebelum ia dan kaumnya datang dalam keadaan muslim. Ifrit berkata, "Aku akan mendatangkannya untukmu sebelum engkau selesai dari majlismu ini, penafsiran lain mengatakan sebelum berdiri dari tempat dudukmu. Namun salah seorang dari umat beliau yang juga menetri beliau, yaitu Ashif bin Barkhiya berkata, "Saya akan mendatangkannya kepadamu sebelum engkau berkedip." </div><div style="text-align: justify;">Ketika beliau berkedip, singgasana ratu Balqis sudah berada di hadapan beliau. Seketika itu juga beliau berkata, "'Ini adalah kurnia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)...." Beliau tidak takabur dengan nikmat-nikmat tersebut, tetapi beliau menyadari bahwa semua nikmat itu tidak lain adalah ujian Allah Swt, apakah beliau termasuk hamba Allah yang bersyukur atau malah kufur. Nikmat dan kesengsaraan kedua-duanya adalah ujian dari Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">f. Syukur adalah wasiat agung dari Allah kepada manusia, untuk ia haturkan kepada Allah dan kedua orang tuanya. Dia berfiraman:</div><div style="text-align: justify;">وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)</div><div style="text-align: justify;">"Dan kami mewasiatkan kepada manusia—terhadap kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun—hendaknya ia bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kembalimu." (QS. Luqman: 14)</div><div style="text-align: justify;">g. Orang yang bersyukur adalah orang yang benar-benar beribadah kepada Allah. orang yang ibadahnya belum sempurna menunjukkan syukurnya juga belum sempurna. Orang yang menyembah Allah dengan ikhlas, merekalah orang-orang yang bersyukur. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172)</div><div style="text-align: justify;">"Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kamu menyembah kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah: 172)</div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran sangat banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang syukur, yang tidak dapat kita telusuri satu persatu dalam tulisan ini. yang terpenting adalah bahwa semua itu menunjukkan ketinggian manzilah syukur dalam Islam. </div><div style="text-align: justify;">Syukur Hati, Lisan dan Anggota Badan</div><div style="text-align: justify;">Telah dijelaskan dalam definisi syukur makna syukur meliputi tiga hal yaitu, syukur dengan hati, syukur dengan lisan dan syukur dengan perbuatan. Aplikasi dari ketiga syukur tersebut adalah dengan mewujudkan hal-hal sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">1. Mengetahui dan mengenali nikmat (ma'rifat al-ni'mah)</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud dengan mengetahui dan mengenali nikmat ini adalah menghadirkannya di dalam hati dan pikiran, kemudian menelisik, merenungkan dan mentafakkurinya guna mengetahui bentuk-bentuk keagungan nikmat tersebut, yang nantinya dapat menyampaikan seseorang menuju pengetahuan yang lebih mendalam tentang Sang Pemberi nikmat. Karena keagungan nikmat membuktikan keagungan pemberi nikmat, sebagaimana canggihnya sebuah ciptaan menunjukkan kecanggihan pembuatnya. Dengan melakukan hal ini, seorang mukmin telah berupaya untuk bersyukur kepada Rabbnya. Karena dengan mengenal lebih banyak mengenal suatu nikmat, ia akan lebih mengenal Rabbnya, lebih mencintainya dan mensyukurinya. </div><div style="text-align: justify;">2. Menerima dan mengakui nikmat (qabûl al-ni'mah)</div><div style="text-align: justify;">Menerima nikmat dengan senang hati apapun bentuknya, dan mengakui sepenuh hati bahwa nikmat itu adalah pemberian dari Allah Swt semata. Allah Swt memberikannya semata-mata karena kemuliaan dan kemurahan-Nya, bukan karena Dia harus melakukannya atau kita berhak mendapatkannya.</div><div style="text-align: justify;">3. Memuji Sang Pemberi nikmat atas nikmat tersebut. Cara memuji ini dengan dua hal:</div><div style="text-align: justify;">a. Mengucapkan puji-pujian bahwa Allah adalah Mun'im (Sang Pemberi nikmat), Karîm (Maha Mulia dan Pemurah), Rahmân dan Rahîm (Maha Pengasih dan Penyayang), Dzu al-Fadhli al-'Azhîm (Yang memiliki pemberian tak terbatas) dan seterusnya.</div><div style="text-align: justify;">Tahadduts bi al-Ni'mah, yaitu memperlihatkan bahwa ia telah mendapat nikmat dari Allah Swt, dan Allah menyukai kita memperlihatkannya selama tidak di niatkan untuk pamer dan riya'. Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah menyukai melihat pengaruh nikmat-Nya pada hamba-Nya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)</div><div style="text-align: justify;">Kemudian, memperlihatkan nikmat ini dilakukan dengan dua cara: </div><div style="text-align: justify;">i. Menyebutnya dengan mengatakan, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan saya ini dan itu, misalnya seperti yang biasa dilakukan oleh khatîb di awal khotbahnya. </div><div style="text-align: justify;">ii. Menggunakan nikmat itu untuk melakukan ketaatan kepada Allah Swt, seperti pesan Rasulullah untuk menggunakan masa muda sebelum datang masa tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, kesempatan sebelum kesempitan, hidup sebelum mati.</div><div style="text-align: justify;">Tentang tahadduts bi al-ni'mah ini Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ </div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa yang tidak bersyukur tehadap nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan bisa mensyukuri yang banyak, barang siapa yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia berarti ia belum bersyukur kepada Allah, dan tahadduts bi al-ni'mah itu adalah bentuk kesyukuran, dan meninggalkannya adalah kekufuran (kufur nikmat), jamâ'ah (persatuan umat) adalah rahmat, dan perpecahan adalah azab." (HR. Ahmad).</div><div style="text-align: justify;">Syaikh Shalih Al-Munajjid menekankan bahwa bahwa tahadduts bi al-ni'mah ini dilakukan kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Akan tetapi tidak melakukannya kepada orang yang hasud dan dengki tidak termasuk kufur nikmat. Akan tetapi merupakan bentuk tindakan antisipasi trehadap kerusakan dan bahaya yang mungkin terjadi, baik terhadap nikmat itu, orang yang diberi nikmat atau orang yang hasud itu sendiri. Dan raf'u al-dharar (menghilangkan bahaya) merupakan salah satu bentuk maqâshid (tujuan) syariat. Wallahu a'lam. </div><div style="text-align: justify;">Syukur Hati</div><div style="text-align: justify;">Syukur hati adalah dengan mengetahui bahwa yang memberikan nikmat ini adalah Allah Swt. pengetahuan ini bukan sekedar pengetahuan akal saja, melainkan juga pengetahuan hati berupa perasaan dan keyakinan. Dan ini sangat penting untuk di dakwahkan terutama dalam mendidik anak-anak. Dari mana semua nikmat ini datang? Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ (3)</div><div style="text-align: justify;">"Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)? (QS. Fâthir: 3)</div><div style="text-align: justify;">Nikmat yang pertama adalah nikmat diciptakan, kemudian disusul dengan nikmat-nikmat yang lain. Di dalam Al-Quran disebutkan nikmat-nikmat yang banyak sekali, seperti, makan, minum, bekerja, tidur, berjalan, safar (perjalanan jauh), kesehatan, umur, waktu, harta, anak, ilmu, tempat tinggal, keamanan, kebahagiaan, dan sebagainya. Nikmat-nikmat ini juga dapat kita klasifikasikan menjadi nikmat, keberadaan karena dicipta dari ketiadaan:</div><div style="text-align: justify;">وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ (11) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud." (QS. Al-A'râf: 11)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian nikmat kehidupan, karena sebagian makhluk benda mati:</div><div style="text-align: justify;">وَهُوَ الَّذِي أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ (66) </div><div style="text-align: justify;">Dan dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat." 66. (QS. Al-Hajj: 66) </div><div style="text-align: justify;">Kemudian nikmat kemanusiaan, karena manusia adalah makhluk yang dimuliakan di antara makhluk-makhluk yang lain. </div><div style="text-align: justify;">وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (70) </div><div style="text-align: justify;">"Dan sesungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan. (QS. Al-Isrâ': 70)</div><div style="text-align: justify;">Dan nikmat yang paling tinggi yaitu keimanan dan keislaman—melalui perantara nikmat diutusnya nabi Muhammad Saw—yang menyelamatkan hidup kita di dunia dan akhirat dan membedakan kita dengan manusia yang tidak mendapat hidayah Allah. </div><div style="text-align: justify;">... بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ ... (17)</div><div style="text-align: justify;">" ... Sebenarnya Allah-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan...." (QS. Al-Hujurât: 17)</div><div style="text-align: justify;">Kemudian yang lebih khusus dari nikmat di atas adalah nikmat ketakwaan dan kedekatan (muqarrabîn) dengan Allah, karena tidak semua muslim terpilih menjadi hamba Allah yang benar-benar bertaqwa dan didekatkan kepada-Nya. Dalam surat Al-Wâqi'ah Allah Swt mengklasifikasi manusia menjadi tiga kelompok yaitu, Muqarrabûn (hamba yang didekatkan kepada Allah), Ashhâb al-Yamîn (hamba yang kedudukannya di bawah muqarrabîn), Al-Mukadzdzibîn al-Dhâllîn (yang mendustakan ayat-ayat Allah dan tersesat). </div><div style="text-align: justify;">فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ (88) فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ (89) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (90) فَسَلامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (91) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ (92) فَنزلٌ مِنْ حَمِيمٍ (93) وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ (94)</div><div style="text-align: justify;">"Adapun jika ia termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), (88) Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga Na'îm. (89) Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, (90) Maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan. (91)Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, (92) Maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, (93) Dan dibakar di dalam Jahannam." 94. (QS. Al-Wâqi'ah: 88-94) </div><div style="text-align: justify;">Maha benar Allah yang berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ (34)</div><div style="text-align: justify;">"Dan dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. Ibrâhîm: 34)</div><div style="text-align: justify;">أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ (20)</div><div style="text-align: justify;">"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Namun sebagian manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqmân: 20)</div><div style="text-align: justify;">أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (65)</div><div style="text-align: justify;">"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. 65. (QS. Al-Hajj: 65)</div><div style="text-align: justify;">Di antara nikmat yang besar seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas adalah ni'mat al-taskhîr bahwa semua yang ada di bumi ini ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan manusia. Coba bayangkan kalau semua hewan tidak ada yang mau tunduk kepada manusia, semuanya mau menyerang dan memangsa manusia, maka tidak akan ada keamanan di dunia ini. Bagaimana kalau angin tidak mau dihirup, bagaimana kalau air tidak mau keluar ke atas permukaan bumi, bagaimana kalau bumi tidak mau mengeluarkan gaya gravitasinya, apa yang akan terjadi di dunia ini? Lâ ilâha illallâh, kami bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Engkau yâ Allah. Syukran yâ Rabb! Terimakasih wahai tuhan kami, kami tidak bisa berbuat apa-apa selain memuji keagungan-Mu. Bahkan pujian kami adalah pemberian-Mu.</div><div style="text-align: justify;">Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (14) وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (15) وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ (16) أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لَا يَخْلُقُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (17) وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (18)</div><div style="text-align: justify;">Dan Dia-lah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar. Kamu dapat mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu juga melihat bahtera dapat berlayar di atasnya, dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. (14) Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar tidak mengoncangmu, menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. (15) Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk (mengetahui arah dsb). (16) Maka apakah (Allah) Yang Mahamencipta itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. (17) Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (18) (QS. Al-Nahl: 14-18) </div><div style="text-align: justify;">Syukur Lisan</div><div style="text-align: justify;">Lidah manusia merupakan pengungkap keyukuran hati. Apabila hati dipenuhi oleh kesykuran kepada Allah, niscaya lisan tak akan berhenti memuji, bertahmid dan berucap syukur. Coba kita merenungkan ucapan Rasulullah Saw setiap harinya untuk mengungkapkan kesyukurab kepada Allah swt.</div><div style="text-align: justify;">- Ketika bangun dari tidur beliau berucap: </div><div style="text-align: justify;">اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَمَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُشُوْرُ</div><div style="text-align: justify;">- Ketika akan kembali tidur beliau berucap: </div><div style="text-align: justify;">اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَنْ لَا كَافِيَ لَهُ وَلَا مُؤْوِيَ</div><div style="text-align: justify;">- Di antara zikir pagi dan petang yang beliau lantunkan adalah:</div><div style="text-align: justify;">اَللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ فَلَكَ الْحَمْدُ وَالشُّكْرُ</div><div style="text-align: justify;">- Di antara isi Syyaidul Istigfâr yang beliau ajarkan adalah:</div><div style="text-align: justify;">أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِي</div><div style="text-align: justify;">- Setiap kali berkhutbah dan berdoa beliau membukanya dengan bertahmid.</div><div style="text-align: justify;">- Doa iftitah dalam sholat: </div><div style="text-align: justify;">اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً</div><div style="text-align: justify;">- Surat Al-Fatihah:</div><div style="text-align: justify;">اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ </div><div style="text-align: justify;">- Bangun dari rukuk: </div><div style="text-align: justify;">رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ</div><div style="text-align: justify;">- Doa setelah shalat:</div><div style="text-align: justify;">اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ </div><div style="text-align: justify;">- Doa shalat Tahajjud:</div><div style="text-align: justify;">اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ ...</div><div style="text-align: justify;">- Doa makan, minum, bersin, ditanya tentang keadaan, pergi bersafar, hendak berkhutbah dan berdoa, semuanya beliau mulai dengan bertahmid. </div><div style="text-align: justify;">Dan masih banyak lagi doa-doa beliau yang merupakan ungkapan-ungkapan pujian dan kesyukuran kepada Allah Swt. Maka kita sebagai umat beliau yang berlumur dosa dan kesalahan, tentunya lebih pantas untuk mengikuti sunnah beliau dalam hal banyak bersyukur kepada Rabb semesta alam yang maha pemurah dan Pemberi.</div><div style="text-align: justify;">Syukur Aggota Badan</div><div style="text-align: justify;">Yaitu syukur yang dilakukan selain oleh hati dan lisan. Syukur dengan lisan saja tidaklah cukup hingga dilengkapi dengan syukur anggota badan. Semua ibadah yang dilakukan oleh anggota badan manusia sebenarnya merupakan bentuk kesyukurannya terhadap Rabb-nya. Dalam surat Al-Naml Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">...وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ (19)</div><div style="text-align: justify;">"…Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada orang tuaku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih." (QS. Al-Naml: 19)</div><div style="text-align: justify;">Ayat di atas mengisyaratkan bahwa bersyukur dengan lisan saja tidak cukup, tetapi harus diungkapkan juga dengan amal perbuatan. Karena setelah memohon untuk dapat mensyukuri nikmat, Nabi Sulaiman memohon untuk diberi taufik untuk beramal shalih yang Allah ridhai. Tentunya amal shalih yang di maksud adalah ibadah badaniah dan ibadah sosial lainnya.</div><div style="text-align: justify;">Di antara wasilah bersyukur dengan anggota badan adalah seperti yang di sebutkan oleh Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi' al-ulûm wa al-hikam di antaranya: ibadah-ibadah badaniah (ibadah degnan anggota badan), ibadah mâliah (ibadah dengan harta berupa zakat dan sedekah), ibadah dengan kepandaian dan pengalaman seperti, mengajar, memahamkan ilmu yang bermanfaat, sedekah waktu dan kesempatan. </div><div style="text-align: justify;">Diantara bentuk bersyukur juga adalah, bersyukur (berterimakasih) kepada manusia. Berterimakasih kepada manusia tidak bertentangan dengan syukur kepada Allah Swt, karena Allah yang memerintahkan untuk berterimakasih kepada manusia. Allah Swt bahkan berwasiat kepada manusia dalam firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;">وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)</div><div style="text-align: justify;">"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah kembalimu. (QS. Luqmân: 14)</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw juga bersabda:</div><div style="text-align: justify;">وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ</div><div style="text-align: justify;">"...Barang siapa yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia berarti ia belum bersyukur kepada Allah..." (HR. Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Bersyukur kepada Allah berbeda dengan bersyukur kepada manusia, dari segi penghambaan dan derajat. Syukur kepada Allah adalah penghambaan, sedangkan syukur kepada manusia adalah bentuk berinteraksi dengan sesama makhluk. Walaupun itu juga termasuk amal shalih yang diperitnah Allah Swt dan Rasul-Nya. Ketika seseorang tidak mampu bersyukur kepada manusia yang kedudukannya lebih rendah, tentu saja ia belum bisa bersyukur kepada Allah yang tingkatnya tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah Saw di atas.</div><div style="text-align: justify;">Perkara-perkara yang mendorong untuk bersyukur</div><div style="text-align: justify;">1. Melihat kepada orang yang diberi nikmat lebih sedikit. Melihat orang yang di bawah akan mendorong seseorang untuk bersyukur dan mengingat nikmat-nikmat Allah yang ada pada dirinya, sedangkan melihat ke atas akan menjadikan orang lupa dengan nikmat Allah yang diberikan kepada diri sendiri, sehingga tidak bersyukur dan tidak ridha dengan apa yang dibagi oleh Allah kepadanya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis shahih:</div><div style="text-align: justify;">انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kamu, dan jangan melihat kepada orang yang di atas kamu, karena hal ini akan membantumu untuk tidak meremehkan dan mendustakan nikmat Allah kepadamu." (HR. Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Majah) </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Menyadari bahwa segala nikmat, besar atau kecilnya akan dihisab oleh Allah Swt. Jika berbentuk harta akan, di hari kiamat akan ditanya dari mana mendapatkannya dan di mana dipergunakan. Ali bin Abi Thalib ra berkata menyifati harta duniawi: "Halâluhâ hisâb harâmuhâ 'iqâb" (Yang halal akan dihisab dan yang haram akan menyebabkan azab). Jika berbentuk waktu, maka akan ditanya seperti dalam hadis Nabi Saw "Wa 'an al-'umri fî mâ afnâhâ ([ditanyakan] tentang umurnya, di mana ia habiskan). Dengan merenungkan hal ini maka kita akan berusaha mensyukuri nikmat Allah apapun bentuknya, sedikit atau banyak. Karena boleh jadi dengan kesyukuran ini Allah akan meringankan hisab dan menghalangi kita dari neraka, karena Dia meridhai kita dengan kesyukuran itu. Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنْ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا </div><div style="text-align: justify;">Dari Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah sangat meridhai seseorang hamba yang memuji Allah dengan sesuap makanan yang ia makan atau seteguk minuman yang ia minum." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">3. Memohon kepada Allah untuk menolong kita dalam bersyukur kepadanya seperti sabda Rasulullah Saw:</div><div style="text-align: justify;">عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ</div><div style="text-align: justify;">Dari Mu'âdz bin Jabal ra, bahwasanya Rasulullah Saw mengambil tangannya dan bersabda: "Wahai mu'âdz sungguh aku mencintaimu, demi Allah aku sangat mencintaimu," kemudian beliau berkata: "Aku mewasiatkan kepadamu wahai Mu'âdz, jangan sampai engkau meninggalkan di penghujung setiap shalatmu untuk berdoa, 'Ya, Allah tolonglah aku untuk berzikir kepada-Mu dan mensyukuri-Mu, dan kebaikan ibadahku kepada-Mu." (HR. Abu Dâwûd) </div><div style="text-align: justify;">Hikmah Bersyukur</div><div style="text-align: justify;">Dalam sebuah kisah imajinatif diceritakan bahwa ketika seorang direktur memasuki mobil mewahnya, ia bertanya pada supir pribadinya, ''Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?'' Si supir menjawab, ''Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai.'' Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, ''Bagaimana kamu bisa begitu yakin?'' Supirnya menjawab, ''Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan.'' Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia. </div><div style="text-align: justify;">Ada dua hal yang sering kali membuat seseorang tak bersyukur. Pertama, sering memfokuskan diri pada apa yang ia inginkan, bukan pada apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. Umpama ia sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Namun ia tetap merasa kurang karena pikirannya dipenuhi berbagai target dan keinginan. Ia begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan uang lebih banyak. Ia tetap tak puas dan selalu menginginkan yang lebih lagi. Sehingga betapapun banyaknya harta yang dimiliki, ia tak pernah merasa puas dan cukup. </div><div style="text-align: justify;">Cobalah lihat keadaan di sekeliling kita, renungkan yang kita miliki kemudian bersyukurlah kepada Allah, niscaya kita akan merasakan nikmatnya hidup. Pusatkanlah perhatian nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita. Terutama nikmat iman dan islam, kemudian nikmat kesehatan lahir dan batin, nikmat memiliki organ tubuh yang lengkap, harta benda yang cukup, pasangan hidup yang baik, anak yang patuh dan taat beragama, tetangga yang menyenangkan, orang-orang yang baik di sekeliling kita dan lain sebagainya. Semua nikmat itu sungguh tidak ternilai harganya. </div><div style="text-align: justify;">Coba saja merenungkan nikmat-nikmat yang ada pada diri kita terlebih dahulu. Allah Swt berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21)</div><div style="text-align: justify;">"Dan dalam dirimu apakah engkau tidak memperhatikan?" (QS. Al-Dzâriyât: 21)</div><div style="text-align: justify;">Pernahkah kita berfikir bagaimana kesusahan yang dihadapi orang yang buta, bisu atau tuli? Jika ingin merasakannya, coba pejamkan mata dan berjalanlah di jalanan. Apa yang kita rasakan? Gelap, begitulah kira-kira yang dirasakan oleh orang buta, gelap yang tiada bertepi. Ingin merasakan penderitaan orang yang tuli. Tutuplah rapat-rapat telinga anda dengan kapas. Apa yang terjadi? Sunyi, demikianlah kira-kira yang dirasakan orang yang tuli, kesyunyian yang tiada bertepi. Demikianlah kita mencoba setiap organ tubuh yang lain. Kita tidak pernah membeli semua organ tubuh itu, kita hanya tinggal menikmati. Maka apakah kita tidak mau bersyukur kepada sang Pemberi nikmat itu? </div><div style="text-align: justify;">Hal kedua yang juga sering membuat kita tidak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita selalu merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita. Padahal perasaan-perasaan seperti inilah yang sebenarnya membuat kita selalu merasa resah dan gelisah. Hidup di dunia akan lebih bahagia kalau kita dapat mensyukuri dan menikmati apa yang Allah berikan kepada kita. Demikian juga hidup di akhirat adalah milik orang-orang yang ibadah syukurnya tidak pernah terputus. Semoga Allah menggolongkan kita kedalam golongan hambanya yang sedikit sebagaimana firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;">وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13) </div><div style="text-align: justify;">"…Sedikit sekali di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur." (QS. Saba': 13) </div><div style="text-align: justify;">Ikhtitam</div><div style="text-align: justify;">Menutup pembahasan tentang syukur kali ini marilah kita menyimak petuah-petuah ulama Salaf tentang Syukur. Hasan Al-Bashri berkata:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللهَ لَيُمَتِّعُ بِالنِّعْمَةِ مَاشَاءَ فَإِذَا لَمْ يُشْكَرْ عَلَيْهَا قَلَّبَهَا عَذَاباً وَلِهَذَا كَانُوْا يُسَمُّوْنَ الشُّكْرَاَلْحَافِظَ لِأَنَّهُ يَحْفَظ النِّعَمَ الْمَوْجُوْدَةَ وَ الْجَالِبَ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النِّعَمَ الْمَفْقُوْدَةَ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah benar-benar akan memberi kenikmatan dengan nikmat-nikmat sekehendak-Nya. Jika tidak disyukuri, Dia akan membaliknya menjadi azab. Oleh karena itu mereka menyebut syukur dengan sebutan al-hâhiz (penjaga), karena ia menjaga nikmat yang ada, dan menamakannya al-jâlib (pendulang), karena ia mendulang rezeki yang belum didapat."</div><div style="text-align: justify;">Umar bin Abdul Aziz berkata:</div><div style="text-align: justify;">قَيِّدُوْا نِعَمَ اللهِ بِشُكْرِ اللهِ</div><div style="text-align: justify;">"Ikatlah rezeki dengan bersyukur kepada Allah."</div><div style="text-align: justify;">Dan cukuplah firman Allah Swt sebagai nasihat:</div><div style="text-align: justify;">وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)</div><div style="text-align: justify;">"Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrâhîm: 7). Wallahu A'lam</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">SABAR KUNCI SUKSES DI DUNIA DAN AKHIRAT </div><div style="text-align: justify;">Oleh: Imam Suryansyah, Lc.</div><div style="text-align: justify;">Mukaddimah </div><div style="text-align: justify;">Imam Ahmad menyebutkan bahwa Allah Swt menggunakan kata sabar di dalam Al-Quran sebanyak sembilan puluh kali. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah hati yang satu ini. Demikian juga dengan ibadah-ibadah hati yang lainnya. Sebab ibadah-ibadah hati di dalam Al-Quran seperti tawakkal, syukur, sabar dan sebagainya, jauh lebih sering disebutkan dari pada ibadah wudhu’ misalanya, yang hanya disebutkan di dalam Al-Quran dalam dua ayat saja. Hal ini tidak lain karena ibadah hati adalah ibadah yang paling mulia dan pondasi bagi ibadah-ibadah badan. Sebut saja ikhlas, ibadah apapun yang dilakukan oleh seorang muslim tidak akan diterima oleh Allah, tanpa dilandasi oleh keikhlasan ini. </div><div style="text-align: justify;">Shobr (sabar) adalah temannya nashr (kemenangan). Keduanya akan selalu bersama dan bergandengan. Para mujahid akan mendapatkan kemenangan selama mereka bersabar di medan jihad. Para pelajar akan berhasil jika mereka sabar dalam belajar, memerangi rasa malas, menahan penat dan susahnya bergumul dengan buku. Seorang mukmin akan menjadi ahli ibadah yang dekat dengan Rabb-nya selama ia sabar dan gigih memerangi hawa nafsunya, berusaha semampunya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Seorang dai akan berhasil mengajak orang yang ia dakwahi selama ia sabar menghadapi segala macam tantangan dan cobaan dalam berdakwah, demikian seterusnya. Maka benarlah sabda Rasulullah Saw bahwa sabar selalu bersama dengan kemenangan.</div><div style="text-align: justify;">الصَّبْرُ مَعَ النَّصْرِ</div><div style="text-align: justify;">“Sabar menyertai kemenangan” (HR. Ahmad)</div><div style="text-align: justify;">Sabar adalah modal utama mencapai kesuksesan di dunia dan akhirat. Menurut sebagian ulama sabar adalah setengah keimanan. Hal ini karena hakikat iman ialah taat kepada Allah baik dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan tugas hidup manusia tidak terlepas dari dua perkara tersebut; sabar dalam menjalankan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan, sabar menjalani qadar (takdir) Allah dan sabar untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya. Jika semua tugas hidup tidak terlepas dari sabar, maka sabar adalah kewajiban hidup manusia sepanjang hayatnya. </div><div style="text-align: justify;">Kehidupan dunia dan akhirat akan menjadi baik selama sabar menjadi bagian dari sifat dan prilaku hidup manusia. Umar bin Khattab r.a. pernah berkata: “Kami telah menemukan kebaikan hidup kami dengan sabar.” Sabar adalah obat segala kesulitan hidup. Sabar adalah bekal seorang mujahid ketika kemenangan terlambat datang, bekal para da'i ketika orang-orang tidak mau menerima seruan dakwah, bekal ulama di zaman kerterasingan manusia dari ilmu agama. </div><div style="text-align: justify;">Di dalam Al-Quran Allah Swt menyebut sabar kurang lebih sembilan puluh kali. Hal ini membuktikan bahwa sifat sabar mempunyai kedudukan istimewa di hadapan Allah Swt. Selain itu, setiap amalan baik yang dikerjakan seseorang, pahalanya akan dilipatgandakan olah Allah Swt dengan bilangan yang telah ditentukan, sepuluh, dua puluh, tiga puluh sampai tujuh ratus kali lipat. Tetapi bagi mereka yang bersabar Allah telah menyiapkan pahala yang tak terhingga. Dia berfirman:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukpkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Al-Zumar: 10) </div><div style="text-align: justify;">Maka tidaklah berlebihan ketika Amr Khalid dalam bukunya Al-Dzauq wa Al-Shabr, mengawali tulisannya tentang sabar ini dengan kata-kata ‘Ashabru min Ummahati al-Akhlak’. Sabar adalah salah satu induk dari semua akhlak mulia. Di dalam Al-Quran Allah Swt menyipati orang-orang yang bersabar dengan sifat-sifat terpuji dan mengistimewakan mereka dengan banyak kelebihan. Bagi orang yang bersabar adalah ma'iyyatullah, yang dengannya mereka mendapat kebaikan dan kenikmatan dunia akhirat. Dia juga menjadikan sabar dan keyakinan sebagai syarat untuk mendapatkan imamah (kepemimpinan) dalam agama. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ (24)</div><div style="text-align: justify;">"Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan meyakini ayat-ayat kami." (QS. As-Sajdah: 24) </div><div style="text-align: justify;">Hakikat Sabar</div><div style="text-align: justify;">Kata sabar sering dimaknai dengan keteguhan dalam menghadapi musibah. Padahal sebenarnya, ia lebih tepat jika diartikan dengan keteguhan menghadapi fitnah (cobaan). Karena fitnah memiliki makna yang lebih umum dari musibah. Sebab fitnah berarti cobaan, yang dapat berupa kenikmatan dan dapat berupa kesedihan atau musibah. </div><div style="text-align: justify;">Pada hakikatnya sabar terhadap musibah, merupakan derajat sabar yang paling rendah. Hal ini karena sabar menghadapi musibah sifatnya memaksa. Artinya sabar atau tidaknya seseorang, tidak akan menjadikan musibah hilang. Adapun sabar dalam menjauhi larangan, yang merupakan derajat yang lebih tinggi, sifatnya pilihan. Seseorang dapat memilih untuk bersabar atau tidak. Jika ia bersabar maka akan ia akan tetap berada pada jalan yang benar, dan jika ia tidak bersabar, maka ia akan terjerumus ke lembah maksiat. Tentang derajat sabar ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya. </div><div style="text-align: justify;">Sabar menurut bahasa berarti menahan atau mencegah. Di dalam surat Al-Kahf ayat 28, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk tetap bertahan bersama mereka yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari. </div><div style="text-align: justify;">وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ...</div><div style="text-align: justify;">"Dan bersabarlah (bertahanlah) kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari karena dengan mengharap keridhaan-Nya...." (QS. Al-Kahf: 28). </div><div style="text-align: justify;">Dari pengertian bahasa di atas kita dapat memahami bahwa sabar berarti menahan dan mencegah diri menjadi lemah, menahan dan mencegah lidah dari keluh kesah dan kata-kata kotor, menahan dan tangan mencegah untuk menampar pipi dan menyobek baju ketika berduka, atau menampar orang lain ketika marah, dsb. Makna sabar menurut bahasa di atas singkron dengan maknanya menurut Syara', yaitu, mengekang diri untuk tetap menjalankan perintah Allah Swt, menahan diri untuk menjauhi segala larangan-Nya, menahan diri agar tetap ridha dalam menjalani takdir-Nya, semata-mata karena mengharap ridha-Nya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menjalani takdir Allah….”</div><div style="text-align: justify;">Dari pemaknaan sabar secara bahasa dan istilah syara' di atas kita mendapat satu makna yang penting yaitu bahwa di dalam kata sabar terdapat makna ketahanan dan kekuatan, dan bukan kelemahan. Maka ketika dikatakan seseorang bersabar, berarti orang itu tahan dan kuat dalam menerima musibah, kuat menahan beban menjalankan perintah, kuat menahan diri dalam menjauhi larangan, kuat menahan diri dalam melawan hawa nafsunya, kuat menahan diri untuk tetap istiqamah dalam beragama, dst. Oleh karena itu, ulama mengumpamakan sabar laksana kuda perang yang tangguh, prajurit yang gagah berani dan benteng yang kokoh. Jadi sabar adalah kekuatan, dan bukan kelemahan. </div><div style="text-align: justify;">Al-Quran memerintahkan untuk bersabar dan menjanjikan keberuntungan bagi mereka yang melakukannya. Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (200)</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS. Al-Imran : 200) </div><div style="text-align: justify;">Dalam surat Al-Ahqâf ayat 35, Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw untuk bersabar sebagaimana sabarnya rasul-rasul Ulul 'Azmi (yang mempunyai keteguhan hati yang istimewa) yang lain. Kemudian Allah menyindir bahwa tidak bersabar adalah ciri-ciri orang fasik yang akan binasa dan celaka hidupnya. Kebalikan orang yang beruntung adalah mereka yang tidak bersabar sebagaimana sabarnya para Ulul 'Azmi itu. Simaklah firman Allah dibawah ini:</div><div style="text-align: justify;">فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ (35)</div><div style="text-align: justify;">"Maka Bersabarlah kamu sebagaimana kesabaran para Ulul 'Azmi di antara rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang telah dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tidak pernah hidup (di dunia) melainkan hanya sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqâf: 35) </div><div style="text-align: justify;">Kalaulah Allah Swt telah menentukan pahala untuk setiap amalannya dengan pahala atau balasan yang jelas. Maka Allah Swt membalas pahala sabar dengan tidak ada batasannya. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah! "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabb-mu. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Al-Zumar: 10) </div><div style="text-align: justify;">Sulaiman bin Al-Qasim berkata: "Setiap amalan diketahui jumlah pahalanya kecuali sabar, karena adanya ayat ini, "Innamâ yuwaffa al-shâbirûn ajrahum bighairi hisâb." Allah Swt akan selalu bersama orang-orang yang bersabar, menolong, memelihara dan memberkahinya. </div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (153)</div><div style="text-align: justify;">“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al-Baqarah: 153)</div><div style="text-align: justify;">Allah Swt berjanji akan memberikan tiga hal yang selalu menjadi doa orang muslim di dalam setiap shalatnnya yaitu: maghfirah (ampunan), rahmat dan hidayah. Allah berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)</div><div style="text-align: justify;">“Sungguh kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila mereka tertimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesunggunya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepadaya’.” Bagi merekalah shalawat (ampunan) dan kasih sayang dari Rabb mereka mereka, dan mrekalah orang-orang yang mendapat hidayah.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Imam Al-Thabari menafsirkan kata shalawat di atas dengan maghfirah (ampunan).</div><div style="text-align: justify;">Allah menjadikan sabar sebagai penolong dalam setiap urusan. (QS. Al-Baqoroh: 45) maka barang siapa yang tidak bersabar, tidak ada pertolongan baginya. </div><div style="text-align: justify;">Sabar Adalah Kunci Surga</div><div style="text-align: justify;">Begitu tinggi kedudukan sabar dihadapan Allah Swt dan begitu nikmat orang yang telah merasakan akhlak yang terpuji ini, sehingga Allah memberikan balasan yang lebih daripada amalan-amalan yang lain berupa “ajrohum bighairi hisab” (balasan yang tak terhingga). Maka, beruntunglah orang-orang yang selalu bersabar dalam hidupnya. Karena hanya merekalah yang akan mampu menempuh segala ujian dalam hidup, sehingga berhasil menuju cita-cita abadi di akhirat kelak. </div><div style="text-align: justify;">Surga terlalu mahal untuk dibayar hanya dengan ibadah yang dilakukan dalam sisa-sisa umur yang hanya beberapa puluh tahun, dan itupun dilaksanakan sangat jauh dari kesempurnaan. Kalaulah Allah berkehendak menghukumi manusia dengan kemahaadilan-Nya—bukan dengan rahmat-Nya—niscaya, tak seorangpun yang berhak mendapatkan surga. Namun Dia berkehendak memberikan surga bagi orang-orang yang bersabar di jalan-Nya. Oleh karena itu Allah kehandak menguji setiap mahluknya, apakah tergolong hamba-Nya yang pandai bersyukur atau tidak. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (214)</div><div style="text-align: justify;">"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw juga bersabda: </div><div style="text-align: justify;">الجَنَّةُ حُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ وَالنَّارُ حُفَّتْ بِالشَّهَوَاتِ</div><div style="text-align: justify;">“Jalan menuju surga dipenuhi dengan hal-hal yang tidka disukai dan neraka dipenuhi dengan hal-hal yang mengandung syahwat”. (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud dengan makârih dalam hadis di atas adalah segala hal yang tidak disukai oleh nafsu berupa mujâhadah yang konsisten dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangnnya. Seperti, sulitnya mendirikan shalat subuh berjamaah di masjid secara berjamaah, sedihnya hati menghadapi musibah, beratnya jiwa menjalankan jihad, susahnya menundukkan nafsu syahwat dan sebagainya. Hadis yang mulia di atas menggambarkan dengan jelas bahwa jalan menuju surga akan selalu dihalangi oleh hal-hal yang tidak disukai oleh hawa nafsu, sebagaimana halnya jalan menuju neraka, yang pastinya tak akan sepi dari rayuan setan dan buaian syahwat duniawi. Tentunya, hanya kesabaran yang akan menjadikan seseorang bertahan menerjang segala hambatan menuju surga, dan mengokohkan kaki agar tidak terjerumus ke lembah yang dipenuhi oleh maksiat. </div><div style="text-align: justify;">Keutamaan Sabar dan Ahlinya</div><div style="text-align: justify;">Selain disebut berulangkali dalam Al-Quran, di dalam hadis fadhilah sabar juga tidak kalah banyak disebutkan. Rasulullah menerangkan dalam sunnahnya bahwa sabar adalah kebaikan bagi setiap muslim, ketika mereka mendapat musibah. Sabda beliau:</div><div style="text-align: justify;">عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلُّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمْنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ ؛ فَكَانَ خَيْراً لَهُ</div><div style="text-align: justify;">“Sungguh menkjubkan keadaan seorang mukmin, setiap urusannya adalah kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapat kebahagiaan kemudian bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya, dan jika ia ditimpa kesengsaraan kemudian bersabar, maka hal itu adalah juga kebaikan baginya.” (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Prilaku seorang mukmin memang sungguh menakjubkan. Nikmat tidak membuatnya terlena dan terpedaya, musibah dan bencana tidak melemahkannya atau menjadikannya kafir. Dalam keadaan mendapat nikmat ia bersyukur kepada Allah, ketika ditimpa musibah ia bersabar sambil mengharap pahala dari Allah. Inilah cirri khas baik orang-orang yang ridha dengan takdir Allah, dan ciri ini tidak akan terwujud kecuali pada diri seorang mukmin yang kokoh imannya. Adapun orang yang lemah imannya, mereka akan selalu mengeluh, putus asa, lemah dan marah ketika ditimpa musibah. Tapi bila mereka mendapat kenikmatan, mereka berbuat kerusakan di atas dunia. </div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw juga menyatakan dalam sabdanya bahwa sabar adalah pelita. Tentunya pelita yang dimaksud adalah penerang dalam kehidupan dunia dan akhirat. </div><div style="text-align: justify;">وَالصَّلَاةُ نُوْرٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ </div><div style="text-align: justify;">“Shalat adalah nur (cahaya), sedekah adalah petunjuk, dan sabar adalah pelita...” (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Dalam hadis yang diriwayatkan imam Bukhari dalam Shahihnya disebutkan bahwa, ketika Rasulullah Saw lewat di sebuah pekubuaran, di sana ada seorang wanita yang sedang menangis. Beliau kemudian menasehatinya, “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.” Perempuan itu menjawab, “Menjauhlah engkau dariku, karena engkau tidak pernah ditimpa oleh musibah seperti musibah yang menimpaku.” Ia berkata demikian karena tidak mengetahui siapa yang menasehatinya. Rasulullah hanya bersabar dan tidak mengingkari jawaban perempuan itu. Dan sikap inilah yang seharusnya menjadi prilaku seorang da’i dalam keadaan seperti itu. Ketika Rasulullah berlalu, dikatakan kepada perempuan itu, “Dia itu Nabi Saw.” Perempuan itu sangat terkejut, karena telah menjawab tidak senonoh kepada seorang nabi Allah. Ia kemudian mendatangi Rasulullah untuk minta maaf dan baerkata, “Saya belum mengetahui anda.” Rasulullah kemudian menjawab: “Innama ‘sh-shabru inda ‘sh-shadmati ‘l-ûla,” (Sesungguhnya sabar adalah ketika "hantaman" pertama kali) </div><div style="text-align: justify;">Sabar adalah pemberian Allah yang paling baik dan paling luas. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:</div><div style="text-align: justify;">وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ وًمًا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْراً وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ </div><div style="text-align: justify;">“Barang siapa yang menguatkan dirinya untuk bersabar, maka Allah menjadikan ia bersabar, dan Allah tidak memberikan pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari sabar.” (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Apa di antara hikmah mengapa sabar adalah pemberian yang paling baik dan luas? Karena seorang hamba terkadang tidak mampu untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah dengan amal ibadahnya. Tetapi Allah Swt mengujinya dengan musibah atau ujian-ujian lainnya, kemudian ia bersabar menghadapinya, sehingga Allah menyampaikannya kepada kedudukan yang tinggi itu. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الرَّجُلَ لَتَكًوْنُ لَهُ عِنْدَ اللهِ الْمِنْزِلَةُ فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ، فَلَا يَزَالُ اللهُ يَبْتَلِيْهِ بِمَا يَكْرَهُ حَتَّى يُبَلِّغُهُ إِيَّاهَا</div><div style="text-align: justify;">“Sesungguhnya seorang hamba dianugerahi kepadanya manzilah di sisi Allah, ia tidak mampu mencapainya dengan amal ibadah, namun Allah selalu mengujinya dengan hal-hal yang ia tidak sukai sampai Allah menyampaikannya kepada manzilah itu.” </div><div style="text-align: justify;">Hukum Bersabar </div><div style="text-align: justify;">Asal hukum sabar adalah wajib, sebagaimana dalam perintah-perintah Al-Quran berikut. Allah memerintahkan kita untuk bersabar sebagaimana firman-Nya: </div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (200) </div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah berisap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 200)</div><div style="text-align: justify;">وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)</div><div style="text-align: justify;">“Dan minta tolonglah engkau dengan sabar dan shalat...” (QS. Al-Baqarah: 45)</div><div style="text-align: justify;">Namun, secara lebih rinci hukum sabar bertingkat-tingkat. Ada sabar yang wajib, dimana seseorang akan berdosa jika tidak bersabar, dan ada pula sabar yang mustahab, boleh dilakukan atau ditinggalkan. Sabar yang wajib adalah sabar dalam menjalankan perintah-perintah wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Sabar yang mustahab adalah sabar dalam menjalankan perintah-perintah mustahab dan dalam meninggalkan hal-hal yang makruh. </div><div style="text-align: justify;">Adapun dalil yang menunjukkan bahwa hukum sabar tidak selamanya wajib adalah firman Allah Swt: </div><div style="text-align: justify;">وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ (126)</div><div style="text-align: justify;">“Dan jika engkau membalas (terhadap kezaliman yang dilakukan kepadamu), maka balaslah seperti kezaliman yang mereka perbuat terhadapmu. Tetapi jika engkau bersabar, sesungguhnya ia lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” (An-Nahl: 126) </div><div style="text-align: justify;">Ayat yang mulia turun sehabis perang Uhud. Ketika itu Rasulullah sangat bersedih melihat paman beliau Hamzah bin Abdul Muththalib yang dibunuh secara khianat. Dadanya terbelah, hatinya tercabik-cabik dimakan oleh Hindun binti Umayyah. Akhirnya beliau berniat untuk membalas perbuatan kejam ini. Namun, petuah langit segera turun untuk menegur beliau. Akhirnya dengan segara kebesaran hati dan keluasan jiwa, ketika beliau menerima ayat di atas, beliau bersabda: “Ashbir yâ Rabb.” (Aku bersabar wahai Rabb-ku). </div><div style="text-align: justify;">Ayat di atas mengisyaratkan bahwa membalas orang yang berbuat zalim hukumnya boleh, tetapi jika orang yang dizalimi memilih untuk bersabar dan tidak membalas, maka itu lebih baik baginya, sehingga ia tergolong orang-orang yang bersabar. Tetapi jika ia tidak bersabar dan memilih untuk membalas sesuai dengan kezaliman yang dilakukan kepadanya, maka hal itu boleh saja ia lakukan, dan ia dalam hal ini tidak berdosa. Namun bersabar tetap lebih baik baginya. </div><div style="text-align: justify;">Macam-macam Sabar</div><div style="text-align: justify;">Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid membagi sabar menjadi dua macam yaitu, sabar yang berhubungan dengan raga/badani dan yang sabar berhubungan dengan jiwa/rohani. Kedua macam sabar ini masing-masing mencakup dua bagian yaitu, sabar yang bersifat pilihan dan sabar yang bersifat paksaan (terpaksa). Dengan penjabaran ini beliau menjadikan sabar ada empat macam yaitu: sabar badani yang bersifat pilihan, sabar badani yang bersifat paksaan, sabar rohani yang bersifat pilihan dan sabar rohani yang bersifat paksaan</div><div style="text-align: justify;">Untuk lebih memperjelas pembagian ini dapat diilustrasikan dalam contoh-contoh berikut. Membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan berat adalah bentuk dari sabar ragawi yang sifatnya pilihan, karena ia bisa memilih untuk melakukan pekerjaan tersebut atau meninggalkannya. Sedangkan sabar menahan rasa sakit karena pukulan adalah bentuk dari sabar ragawi paksaan, sebab rasa sakit karena dipukul tidak akan hilang darinya baik ia bersabar atau tidak. </div><div style="text-align: justify;">Adapun sabar jiwa yang bersifat pilihan adalah seperti kesabaran dalam menjaga diri dari perbuatan yang dilarang oleh syariat, yang tidak diharamkan tetapi tidak baik dilakukan seperti berlebihan dalam mengkonsumsi hal-hal yang mubah. Dalam hal ini ia bisa bersabar dengan memilih untuk tetap sederhana ataupun tetap melakukannya dengan alasan bahwa hal itu hanya perbuatan makruh saja. Sedangkan sabar jiwa yang bersifat keterpaksaan adalah sabarnya seseorang yang mendapat musibah seperti kehilangan orang yang dicintainya. Sebab, baik ia bersabar atau tidak, ia tidak akan terlepas dari bencana tersebut. </div><div style="text-align: justify;">Manusia sama dengan hewan dalam hal sabar terpaksa baik yang badani ataupun rohani. Akan tetapi sabar yang bersifat pilihan lah yang membedakan manusia dengan hewan. Seorang ahli hikmah berkata: “Aku tidak pernah dikalahkan sebagaimana aku dikalahkan oleh seorang pemuda dari Muruw. Suatu saat ia bertanya kepadaku, ‘Apa definisi sabar menurut anda? Saya jawab, ‘Kalau kami mendapatkan makanan, maka kami akan memakannya dan kalau tidak kami akan bersabar.’ Pemuda itu menyanggahku: ‘Kalau hanya seperti itu, maka tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh anjing-anjing di daerah kami.’ Akhirnya aku bertanya kepadanya, ‘Kalau demikian apa definisi sabar menurut anda? Ia menjawab, ‘Kalau kami tidak mendapatkan makanan, maka kami akan bersabar, dan kalau kami mendapatkannya, kami akan mendahulukan orang lain dan memberikannya mereka.” </div><div style="text-align: justify;">Manusia dan Sabar</div><div style="text-align: justify;">Manusia dalam kesabaran terbagi menjadi empat golongan: Pertama, mereka yang mendapatkan nikmat Allah berupa kebahagiaan dunia dan akhirat, lantaran mereka adalah ahli sabar dan ahli takwa. Mereka sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan agama. </div><div style="text-align: justify;">Kedua, orang yang memiliki ketakwaan namun tidak memiliki kesabaran kesabaran. Terkadang seseorang taat beribadah, ahli zuhud, rajin berpuasa, bersedekah dan sebagainya. Namun tatkala ia diuji dengan musibah, ia ambruk dan putus asa bahkan membenci takdir sehingga terungkap perkataan-perkataan kotor. Dia berprasangka buruk pada Allah Swt tidak menerima cobaan yang dihadapinya. Imam Ibnul Jauzi pernah berkata, “Saya pernah melihat seorang yang tua, umurnya mendekati delapan puluh tahun, ia sangat rajin shalat berjamaah. Suatu ketika anaknya meninggal dunia, lantas ai berkata, ‘Tidak layak seseorang untuk berdoa kepada-Nya, karena Dia tidak akan pernah mengabulkannya’.” </div><div style="text-align: justify;">Ketiga, manusia yang mempunyai kesabaran namun tidak memiliki takwa. Seperti para pelaku dosa dan maksiat. Seperti para pemabuk, perokok, pencuri dan sebagainya. Mereka tahan merasakan sakit dan penat akibat perbuatan mereka, demi meraih kepuasan sementara. Demikian juga para pencari kedudukan dan jabatan, mereka bersabar menjalani rasa sakit, penat, cercaan, penderitaan, kesusahan dan sebagainya demi mencapai tujuannya. Orang-orang kafir juga bersabar dan bersusah payah dalam kekafirannya. Bahkan mereka berusaha sekuat mungkin untuk menghalau kaum muslimin dari jalan Allah. Namun mereka tidak mendapatkan apapun dari uapaya susah payah mereka. Merka malah akan mendapatkan siksa yang pedih. </div><div style="text-align: justify;">Keempat, orang orang yang tidak bertakwa dan tidak juga bersabar atas ujian yang ditimpakan kepadanya. Golongan ini adalah golongan yang paling buruk di sisi Allah. Golongan inilah yang disindir oleh Allah dalam firman-Nya: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21)</div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (19) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, (20). Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,( 21). (Al-Ma’arij: 19-21). </div><div style="text-align: justify;">Derajat Kesabaran</div><div style="text-align: justify;">Sabar dalam diri seorang hamba bertingkat-tingkat. Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah tingkat sabar yang paling tinggi, lebih tinggi dari sabar meninggalkan maksiat. Sabar meninggalkan maksiat juga lebih tinggi dari pada sabar menghadapi musibah. Sabar menjalankan kewajiban adalah tingkat kesabaran yang tinggi, karena melaksanakan kewajiban lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dari pada meninggalkan maksiat. Oleh karena itu, orang yang melaksanakan perintah Allah dengan hati yang ikhlas walaupun masih berbuat maksiat, lebih mulia dari pada orang yang tidak bermaksiat, namun tidak mau menjalankan perintah Allah. Demikian juga, pahala sabar meninggalkan perbuatan haram lebih besar dari pahala sabar menghadapi musibah. Hal ini karena sabar dalam menjalankan kewajian dan meninggalkan kemaksiatan bersifat ikhtiyariyah (bebas dilakukan). </div><div style="text-align: justify;">Setiap orang bebas untuk taat beribadah atau tidak taat, dan juga bebas untuk bermaksiat atau tidak bermaksiat. Sehingga ketika ia sabar untuk tetap taat beribadah dan meninggalkan kemaksiatan, maka di sana ada nilai lebih, yaitu ia mampu istiqamah dalam beribadah dan menjauhi maksiat. Padahal bisa saja ia tidak taat perintah atau bermaksiat. Hal inilah yang menjadikan ibadah sabar dalam hal ini bernilai besar di sisi Allah. Bersabar ditimpa musibah juga memiliki pahala yang besar. Hanya saja musibah adalah perkara yang berada di luar kehendak manusia, sehingga ia terpaksa untuk bersabar. Musibah tidak akan hilang dengan ia bersabar atau tidak. </div><div style="text-align: justify;">Sabar meninggalkan larangan juga bernilai lebih besar dari pada sabar menghadapi musibah. Imam Ibnu Taimiyah berkata tentang nabi Yusuf A.s.: “Kesabaran nabi Yusuf menghindari maksiat berzina dengan isteri pejabat pemerintah, ketika beliau diajak untuk melakukan perbuatan haram tersebut, lebih sempurna dari sabar beliau menghadapi musibah ketika dibuang saudara-saudaranya ke dalam sumur. Sabar beliau menjauhi maksiat lebih sempurna, lebih agung dan lebih besar pahalanya dari pemenjaraan dan pembuangan beliau ke sumur. Karena kesabaran yang pertama adalah sebuah pilihan, sabar yang lahir dari keridhaan, sabar yang merupakan upaya memerangi hawa nafsu, dalam suatu kondisi yang mestinya mendorong beliau untuk melakukan perbuatan haram itu. </div><div style="text-align: justify;">Beliau adalah seorang pemuda, belum menikah, jauh dari daerah asal di mana seseorang biasanya tidak takut melakukan kemaksiatan. Apalagi beliau juga adalah seorang hamba sahaya yang tidak akan dihina kalaupun melakukan kemaksiatan, wanita yang mengajak beliau bermaksiat adalah majikannya dan seorang perempuan yang cantik dan terhormat. Perempuan itu sendiri juga yang mengajakknya bermaksiat, bukan beliau. Dalam keadaan seperti ini biasanya sudah tidak ada lagi kekuatan diri untuk menolak hawa nafsu yang menggejolak dan membara, ditambah lagi dengan ancaman penjara kalau tidak mau melakukannya. </div><div style="text-align: justify;">Suami si perempuan juga tidak punya rasa cemburu, hanya menyuruh Yusuf untuk menghindari permasalahan ini dan menyuruh istrinya untuk beristigfar dari dosanya, ia tidak memberikan keputusan yang tepat dan tidak juga memberi solusi bagi masalah. Ketika "paksaan" bermaksiat itu dilakukan, pintu-pintu rumah terkunci rapat, tidak ada penjaga atau orang lain yang melihat. Dalam kondisi seperti ini tidak ada lagi orang yang akan ditakuti, sehingga fator-faktor yang mendorong untuk bermaksiat sangat kuat sekali. Tetapi nabi Yusuf A.s. memilih untuk bersabar menahan diri dalam menjauhi larangan Allah Swt. Maka kesabaran ini lebih tinggi dari sabar beliau ketika dibuang oleh saudara-saudaranya di sumur dan sabar beliau ketika di dalam penjara." </div><div style="text-align: justify;">Medan-medan Kesabaran</div><div style="text-align: justify;">Medan yang dimaksud adalah kondisi-kondisi di mana seorang mukmin dituntut untuk bersabar. Medan tersebut adalah sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;">1. Ketika ditimpa musibah dan bencana</div><div style="text-align: justify;">Sudah menjadi ketetapan Allah Swt, bahwa Dia mencipta manusia dan akan mengujinya dengan ketakutan, kelaparan, kepayahan, kepenatan dan kesusahan. Tidak peduli orang beriman atau tidak. Masing-masing akan bersusah payah untuk mendapatkan keinginanya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus bersusah payah demi mencapai targetnya, ia harus bekerja sekuatnya untuk menjaga kepentingannya, ia harus berlelah-lelah mengurusnya. Bagi orang yang beriman, ia harus tahan ujian baik lahir maupun batin demi menjaga dan membela keimanannya. Begitu juga dengna orang kafir yang hendak menghalangi orang beriman menyembah Rabb-nya, mereka harus bersusah payah siang dan malam, dengan menggunakan segala cara. Intinya bahwa, susah payah, beban hidup dan bencana memang telah menjadi ketentuan yang harus dijalani manusia, dan semuanya akan berjalan sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Dia berfirman:</div><div style="text-align: justify;">لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ (4) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (QS. Al-Balad: 4)</div><div style="text-align: justify;">Inilah yang menjadikan seorang mukmin tetap tabah dan sabar memegang teguh dan membela agamanya, tidak akan gentar dengan segala tantangan kesusahan dan kesulitan hidup, tekanan dari musuh-musuh Allah atau bencana yang menguji keimanan. Karena mereka menyadari, dimanapun posisinya, baik beriman atau tidak beriman, selama ia mansuia, ia tidak akan pernah lepas dari segala macam kesusahan dan kesulitan tersebut. Karena manusia memang telah digariskan untuk menjalani yang demikian itu. Akan tetapi mereka merasa bangga dan bahagia, sebab mereka dikaruniai iman. Suatu nikmat yang paling mahal yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir. Mereka tetap tabah walaupun seringkali ujian pada posisi iman, lebih berat dari pada ujian pada posisi tidak beriman. </div><div style="text-align: justify;">2. Ketika nafsu membara</div><div style="text-align: justify;">Pada hakikatnya nafsu syahwat adalah fitrah yang diletakkan Allah dalam setiap jiwa. Ia bukan untuk dihilangkan melainkan untuk dikendalikan, dilatih dan disalurkan pada tempatnya dengan benar. Oleh karena itu Islam melarang pengebirian dan mensyariatkan pernikahan. Nafsu memiliki potensi positif jika digunakan pada tempatnya. Artinya bahwa seseorang akan mendapat pahala besar ketika ia mampu menahan nafsunya dengan tidak menyalurkannya pada hal-hal yang haram. Kalau ia tidak punya nafsu, maka maksiat yang ia tinggalkan tidak akan mendatangkan pahala yang besar, karena tidak ada ujian bagi dirinya ketika itu, dan tidak ada nilai lebih karena memang tidak ada tantangan. </div><div style="text-align: justify;">Sebaliknya nafsu memiliki potensi negatif ketika ia selalu diperturutkan dan tidak disalurkan pada tempatnya. Dapat diilustrasikan bahwa nafsu bagaikan kuda tunggangan bagi manusia. Jika si penunggang kuda tidak mengekang dan melatih kudanya dengan baik, maka akan membahyakan dirinya sendiri. Sebab menunggang kuda liar akan mengakibatkan seseorang terombang-ambing, bahkan terpental dan akhirnya terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Tetapi kalau ia dapat dikendalikan dengan baik dan telah terlatih, maka ia akan membantu manusia dalam perjalan hidupnya menuju Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">3. Ketika kenikmatan dunia begitu menggiurkan</div><div style="text-align: justify;">Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (9)</div><div style="text-align: justify;">"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. Al-Munafiqun: 9)</div><div style="text-align: justify;">Manusia terkadang mampu bersabar ketika ditimpa musiabah. Akan tetapi ia takluk dan tidak mampu menahan diri untuk bersabar ketika mendapat kenikmatan besar. Sebagian orang ketika diuji dengan penjara mampu bersabar. Tapi ketika ia diuji setelah itu dengan kesenangan, dibukakan kepadanya dunia berupa harta, keturunan yang banyak, jabatan yang tinggi, posisi yang terhormat, ia malah tidak mampu bersabar. Oleh sebab itu sebagian ulama Salaf mengatakan: </div><div style="text-align: justify;">اُبْتُلِيْنَا بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا وَابْتُلِيْنَا بِالسَّرَّاءِ فَلَمْ نَصْبِرْ</div><div style="text-align: justify;">"Kita terkadang mampu bersabar ketika diuji dengan kesusahan dan tidak mampu bersabar ketika diuji dengan kesenangan." </div><div style="text-align: justify;">Mungkin seseorang akan bertanya, bagaimana kita bersabar dengan perhiasan dunia seperti harta benda dan keturunan? Jawabannya adalah seperti yang diungkapkan oleh imam Ibnul Qayyim, bahwa sabar menghadapi kehendak nafsu harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (a) tidak menjadikannya segala-galanya dan tidak tertipu karenanya, (b) tidak tenggelam dalam mengejarnya dan tidak berlebihan dalam mencarinya, (c) sabar dalam menjalankan hak Allah yang ada padanya, (d) tidak menggunakannya dalam perkara-perkara haram. </div><div style="text-align: justify;">Yang dimaksud dengan tidak tenggelam dalam mengejarnya dan tidak berlebihan dalam mencarinya adalah sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang dimana sebagian orang sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk beribadah, bahkan sampai untuk shalat atau zikir kepada Allah mereka tidak punya waktu. Hidup hanya untuk kunjungan kerja, lawatan, bisnis, tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk mengingat Allah. Sebagian pegawai saking tamaknya dengan pekerjaannya, meninggalkan kewajiban-kewajiban agama, bahkan ada yang sampai bermakisat di kantornya, korupsi, menerima suap dan sebagainya. Mereka tenggelam dalam pekerjaannya. Pekerjaan adalah segala-segalanya seakan-akan dijadikan sebagai Tuhan. </div><div style="text-align: justify;">Adapun sabar dalam menjalankan hak Allah yang ada padanya, berarti menjalankan perintah Allah yang berhubungan dengan harta kekayaan dan keluarga. Misalnya, Allah mewajibkan agar kita mengeluarkan zakat harta, menganjurkan banyak bersedakah dengnan menginfakkannya di jalan-jalan kebaikan, tidak terlena dengan harta sehingga ia lalai menunaikan kewajiban-kewajiban yang lain. Begitu juga dengan hak Allah pada keluarga. Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk menjaga keluarganya dari api neraka. Tentunya dengan menunaikan tanggung jawab terhadap keluarga, berupa nafkah lahir dan batin. Terutama pendidikan dan bimbingan agar mereka mengenal Tuhannya, dapat menjalankan hak dan kewajiban sebagai hamba. Melakukan sebaliknya dalam arti tidak menyalurkan hak Allah pada harta dan kekayaannya atau tidak membimbing dan mendidik keluarga ke jalan Allah, berarti melanggar keriteria yang ke empat di atas, yaitu tidak menggunakannya pada perkara-perkara haram. </div><div style="text-align: justify;">4. Sabar dalam ketaatan kepada Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah derajat sabar yang paling tinggi, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun yang perlu diperhatikan bahwa sabar menjalankan perintah tidak hanya sebatas menjalankan begitu saja, melainkan ada tahapan-tahapan yang harus dilewati. Tahapan-tahapan tersebut adalah: </div><div style="text-align: justify;">Pertama, sabar sebelum menjalankan perintah, dengan cara memperbaiki niat, berusaha sekuat mungkin untuk mengikhlaskan ibadah hanya demi Allah semata, menghilangkan segala gangguan riya atau ingin dilihat atau dipuji orang. </div><div style="text-align: justify;">Kedua, sabar ketika menjalankan perintah, dengan tidak lengah mengingat Allah, tidak bermalas-malasan dalam menyempurnakannya, memperhatikan kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnahnya. </div><div style="text-align: justify;">Ketiga, sabar setelah selesai menjalankan perintah. Yaitu dengan selalu menjaga diri agar tidak mengumbar-umbar ibadah yang dilakukannya, tidak merasa ujub atau bangga diri dengan amalannya. </div><div style="text-align: justify;">Sabar dalam tiga hal tersebut jika tidak terpenuhi akan berakibat batalnya pahala amalan kita. Oleh karena itu Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (33) </div><div style="text-align: justify;">"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian membatalkan amalan-amalan kalian." (QS. Muhammad: 33)</div><div style="text-align: justify;">Lebih jelas lagi Allah menegaskan dalam surat Al-Baqarah:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (264) </div><div style="text-align: justify;">"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membatalkan (menghilangkan pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. Al-Baqarah: 264)</div><div style="text-align: justify;">5. Sabar dalam mengemban dakwah dijalan Allah </div><div style="text-align: justify;">Berdakwah di era dimana manusia jauh dari agama adalah tugas yang berat. Akan banyak rintangan dan hambatan yang akan menghalangi dan tentunya keadaan ini membutuhkan kesiapan lahir dan batin dari seorang dai. Apalagi untuk mengubah sebuah tradisi dimana anak-anak tumbuh dewasa dan tua berada dalam tradisi itu, sehingga seolah-oleh telah menjadi agamanya. Mengubah tradisi itu tentu bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan kesabaran yang ekstra dan prima, guna menghadapi segala rintangan dengan lapang dada. </div><div style="text-align: justify;">Penutup</div><div style="text-align: justify;">Agar ibadah sabar dalam diri kita dapat tumbuh, maka hendaknya kita harus lebih memahami tabiat kehidupan dunia beserta kesusahan dan rintangan yang ada didalamnya. Manusia dicipta memang untuk diuji. Dengan ujian ini ia akan terseleksi apakah tergolong orang yang lulus atau tidak. Dengan memahami bahwa dunia beserta isinya adalah milik Allah, pahala dan balasan yang baik disiapkan untuk orang-orang yang sabar, kemudahan akan datang bersama kesabaran, maka akan bersemi dalam hati ibadah sabar ini. Semoga juga, bahsan singkat tentang hakikat sabar ini dapat membantu kita untuk mengoptimalkan ibadah sabar dalam diri kita.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menikmati Hidup Bahagia Dengan Ibadah Ridha</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Umarulfaruq Abubakar, Lc.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Alangkah indahnya kehidupan bila ibadah ridha telah bersemayam di dalam jiwa. Apa saja ketentuan Allah menjadi selalu dapat diterima dengan hati yang lapang. Ucap kesyukuran dan desah kesabaran telah menjadi pengiring kehidupannya. Tidak ada penyesalan terhadap segala apa yang telah terjadi, tidak ada kekesalan, tidak ada caci maki, yang ada hanya kerelaan dan kepasrahan hati, sehingga seluruh sisi hidupnya menjadi detik-detik penghambaan yang utuh kepada tuhannya, dan akhirnya Tuhannya pun akan meridhainya disebabkan keridhaannya terhadap segala takdir-Nya.</div><div style="text-align: justify;">Ridha adalah buah dari mahabbah seorang mukmin terhadap Allah Swt. Ridha adalah menerima dengan senang hati dan keluasan dada segala kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang mukmin yang hakiki akan selalu berusaha memurnikan ibadah ridha ini di dalam sanubarinya.</div><div style="text-align: justify;">وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ (207)</div><div style="text-align: justify;">"Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba- Nya." (QS. Al-Baqarah: 207) </div><div style="text-align: justify;">Keridhaannya Begitu Menakjubkan</div><div style="text-align: justify;">Hari itu dunia bergetar. Sebuah senandung doa penuh ketulusan dari sang pembawa risalah bergema memenuhi lembah Nakhlah, dekat perkampungan bani Tsaqif. </div><div style="text-align: justify;">“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya upayaku dan lemahnya diriku menghadapi manusia. Wahai Tuhan Yang Mahapenyayang, Engkaulah Rabb orang–orang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku. </div><div style="text-align: justify;">Kepada siapakah Engkau serahkan diriku ini? Kepada orang jauh yang senantiasa memerangiku atau kepada musuh yang mau menangkapku?Selama tidak ada kemurkaan-Mu terhadap diriku ini atas semua itu, niscaya aku tidak peduli (akan ku teruskan perjuangan ini). </div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi ampunan-Mu sangat aku harapkan. Aku berlindung dengan cahaya keridhaan-Mu—yang telah menerangi kegelapan dan dengannya seluruh perkara dunia dan akhirat menjadi lebih baik—dari turunnya azab-Mu kepadaku. Engkaulah puncak segala pengharapan dan keridhaan. Tidak ada daya, upaya dan kekuatan kecuali atas kehendak-Mu.” </div><div style="text-align: justify;">Di saat-saat seperti itu, Allah mengutuskan malaikat penjaga bukit datang mengadap Nabi Saw untuk memohon izin menghempaskan bukit Thaif ke atas seluruh penduduknya yang telah menyakiti Rasulullah Saw. Namun Nabi Saw menjawab: “Demi Allah , bahkan apa yang aku berharap dari sulbi–sulbi mereka bakal lahir generasi yang mengabdikan diri kepada Allah Rabb Yang Mahaesa. Ya Allah tunjukilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”</div><div style="text-align: justify;">Sungguh sebuah gambaran budi pekerti yang teramat tinggi, sebuah gambaran akan kesabaran sang Nabi yang penuh kasih. Ia tidak hanya membalas lemparan batu, tapi justru mendoakan kebaikan bagi mereka dengan penuh ikhlas. Doa yang keluar dari hati yang suci dan penuh pengharapan agar semua manusia ini dapat bersamanya menuju jalan kebahagiaan. Sungguh sebuah cinta yang amat dalam dari sang Rasul pilihan Tuhan semesta alam. Dengan penuh keridhaan beliau lalui segala rintangan dalam menjalankan tugas kenabian, sehingga titik terang hidayah itupun bersinar memenuhi semesta dunia.</div><div style="text-align: justify;">Episode-episode kehidupan Nabi Saw sungguh adalah serial kehidupan yang sangat menakjubkan. Ketegaran beliau di masa-masa sulit, saat boikot ekonomi di Mekah, menghadapi cacian dan siksaan dari kaum Quraisy, penentangan bangsa Yahudi pengkhianat di Madinah dan berbagai kejadian yang ada, baliau hadapi dengan penuh keridhaan. Beragam ujian dan cobaan yang dihadapi dalam rangka menyebarkan kebenaran, beliau terima dengan penuh keridhaan, kesabaran, tawakkal dan pengharapan yang tinggi kepada Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Takdir Allah Sudah Selesai</div><div style="text-align: justify;">Tidak ridha menghadapi kenyataan sama sekali tidak dapat mengubah takdir yang sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Segala yang telah ditakdirkan pasti akan menimpa seseorang, sebagaimana juga sesuatu yang tidak ditentukan tidak akan menimpa seseorang. Pena takdir sudah diangkat dan tintanya sudah kering. Si A ingin begini, si B ingin begitu, tetapi yang akan terlaksana tetap saja keinginan Allah Swt. Allah telah mengatur segalanya berdasarkan perhitungan-Nya yang maha teliti dari ilmu-Nya yang maha luas, kebijaksanaan yang maha sempurna dan kekuasaan yang tiada batasnya.</div><div style="text-align: justify;">Takdir Allah pasti berlaku dalam diri setiap hamba. Dalam munajatnya Rasulullah bersabda:</div><div style="text-align: justify;">اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ...</div><div style="text-align: justify;">”Wahai Allah, sungguh aku ini hanyalah hamba-Mu, anak seorang hamba laki-laki dan perempuan-Mu, ubun-ubunku berada ditangan-Mu, ketentuan-Mu telah berlaku pada diriku dan takdir-Mu adil pada diriku….” (HR. Ahmad) </div><div style="text-align: justify;">Walaupun segala sesuatu berada di tangan-Nya, namun Allah adalah Hakim Yang Mahabijaksana. Dia menentukan takdir setiap hamba berdasarkan kemahaadilan-Nya yang tiada batas. Dia telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Nya dan tidak pula berlaku zhalim terhadap hamba-Nya. Maha suci Allah dan akan terhindar dari melakukan kezaliman kepada umat manusia. Tapi justru manusia itu sendirilah yang menzalimi diri mereka sendiri. </div><div style="text-align: justify;">Sabda Nabi Saw:”… ketentuan-Mu adil pada diriku…,” mencakup ketentuan dosa dan ketentuan konsekuensi atau balasan perbuatan dosa. Kedua hal itu adalah wilayah takdir Allah. Allah menentukan dosa atas hamba-Nya karena Dia Mahamengetahui segala perbuatan yang akan diperbuat oleh hamba-Nya di muka bumi. Kemudian Dia menjalankan kekuasaan-Nya pada pengetahuan yang Dia ketahui tentang diri hamba-Nya. Dia tahu bahwa seorang hamba akan melakukan perbuatan dosa, kemudian Dia pun menakdirkan perbuatan itu pada hambanya dan akan memberikan balasannya. Dia tidak menggantinya walaupun Dia Mahakuasa melakukannya, sehingga hamba lah yang sebenarnya berbuat zalim pada dirinya sendiri, bukan dizalimi Allah Swt, karena dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman bahwa Dia telah mengharamkan Diri-Nya berlaku Zalim.</div><div style="text-align: justify;">Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, Rasulullah Saw pernah bersabda:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يُصْلحُ إِيْمَانَهُ إِلاَّ الفَقْر ، وَإِنْ بَسَطْتُّ عَلَيْهِ أَفْسَدَه ذَلِكَ ، وَإِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يُصْلِح إيْمانَه إلَِّا الْغِنَى ، وَلَوْ أَفْقَرْتُه ، لَأَفْسَدَه ذَلكَ ، وَإنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يصْلِح إيْمَانَه إلاَّ الصِّحَّة ، وَلَوْ أَسْقَمْته ، لَأَفْسَدَه ذَلِكَ ، وَإِنَّ مِنْ عِبَادِيْ مَنْ لَا يصْلح إِيمَانه إلَِّا السُّقْم ، وَلَوْ أَصْحَحْتُه ، لَأفْسَدَه ذَلكَ ، وَإنَّ مِنْ عباديْ مَنْ يَطلب بَاباً من العبَادة ، فَأَكُفُّه عَنْه ، لكَيلَا يَدْخله العُجْبُ ، إني أُدبِّر عبَاديْ بعلْمي بمَا فيْ قلوْبهمْ ، إني عَليْمٌ خَبيْر </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya dari diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan kefakiran, sekiranya Aku beri dia kekayaan, maka itu akan merusak imannya. Diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik dengan kecuali dengan kekayaan, sekiranya Aku beri dia kefakiran, maka itu akan merusak imannya. Diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik dengan kecuali dengan kesehatan, sekiranya Aku beri dia penyakit, maka itu akan merusak imannya. Diantara hamba-hambaku ada yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan sakit, sekiranya Aku beri dia sehat, maka itu akan menghancurkannya. Diantara hamba-hambaku ada yang mengetuk pintu ketaatan namun Aku tak membukakannya untukknya agar di hatinya tidak menyelinap perasaan ujub. Sesungguhnya Aku mengatur hamba-hamba-Ku dengan pengetahuan yang aku miliki tentang apa yang di hati mereka. Sesungguhnya Aku Mahamengetahui."</div><div style="text-align: justify;">Kesadaran akan hal itu semua menjadi sebuah syarat utama untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Kesadaran itu kemudian diiringi oleh keridhaan dan usaha untuk berbuat yang terbaik di setiap edisi kehidupan. Usaha itu kemudian diiringi dengan doa yang tulus agar dimudahkan untuk meniti titian takdir yang berliku. Allâhumma ya lathîf ulthuf binâ fîmâ jarat bihil maqâdîr. (Wahai yang Maha Lembut, berilah kami kelembutan di setiap ketentuannmu) </div><div style="text-align: justify;">Pengertian Ridha</div><div style="text-align: justify;">Secara bahasa ridha (rela dan pasrah) adalah lawan dari shukht (murka dan tidak menerima). Dalam hadits disebutkan: </div><div style="text-align: justify;">اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ</div><div style="text-align: justify;">"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan keridhaanmu dari kemurkaan-Mu dan dengan keafiatan-Mu dari hukuman-Mu" (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Secara istilah, ridha seorang hamba terhadap Tuhannya berarti penerimaannya atas segala ketentuan yang berlaku pada dirinya. Sementara ridha Tuhan kepada hamba adalah ketika Dia merestui, menyayangi dan menerima hamba-Nya serta tidak memurkainya, karena melihat si hamba melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan ikhlas dan istiqamah. </div><div style="text-align: justify;">Titik Keridhaan</div><div style="text-align: justify;">Kehidupan seorang mukmin, seperti kata syeikh Abdul Qadir al-Jailani yang dikutip di kitab Nashaihul Ibad, tidak pernah keluar dari tiga hal: amrun yamtatsiluhu (perintah yang harus ia kerjakan), nahyun yajtanibuhu (larangan yang mesti ia jauhi), dan qadarun yardha bihi (ketentuan yang mesti ia terima). Dalam lingkup segitiga inilah kehidupan seorang mukmin beredar. </div><div style="text-align: justify;">Dalam hal perintah, dalam setiap waktu ada perintah yang mesti ia laksanakan baik amalan anggota tubuh, seperti shalat, puasa, berlaku jujur, membantu orang lain, menundukkan pandangan, menepati janji, maupun amalan-amalan hati, seperti kasih sayang, setia, yakin, tawakkal, sabar, syukur, dan lain sebagainya. Dalam hal larangan, ia juga senantiasa dituntut untuk meninggalkan hal-hal yang di larang Allah baik itu pekerjaan anggota tubuh, seperti, mencuri, membunuh, menyakiti hati orang lain, berkata kasar, mencuri, merampok dan lainnya, maupun maksiat hati, seperti dengki, iri hati, buruk sangka, riya, dan lain sebagainya. Adapun ketentuan Allah, itu selalu melingkupi hidupnya, kapan dan dimana pun. Semua hal yang menimpa, baik atau buruk, adalah bagian dari ketentuan Allah.</div><div style="text-align: justify;">Dalam tiga hal inilah seorang yang beriman berusaha untuk menyikapinya dengan penuh keridhaan. Ia ridha dengan perintah shalat lima waktu sehari semalam, ia ridha dengan kewajiaban puasa, ia ridha dengan kewajiban membayar zakat, naik haji dan amalan lainnya, kemudian mewujudkan perasaan ridha itu dengan mengerjakan amal-amal tadi dengan sebaik-baiknya. Segala larangan Allah, walaupun ia merasa seakan itu nikmat baginya, tak akan ia sentuh. Ia ridha dengan penuh kepasrahan atas segala undang-undang yang telah Allah tetapkan yang tentunya kebaikan itu akan kembali kepada dirinya. Sementara dalam qadha dan qadar, ia menerimanya dengan hati yang lapang dada dan hati yang ikhlas. Ia senantiasa berusaha untuk berbuat maksimal dalam episode-episode kehidupannya sambil senantiasa berharap ridha dari Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">Ridha kepada tiga hal ini adalah konsekuensi dari pengakuan ridha kepada Allah Swt. sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah. Pernyataan "Radhitu billahi Rabba, wabil islami diina, wa bi muhammadin nabiyyan wa rasuulan", menjadi sebuah pengakuan yang berarti dan benar-benar terpatri jika bisa dipahami dan dijiwai dengan baik. Maka tidak heran bila Nabi Muhammad menganjurkan untuk selalu mengulangi iqrar ini setiap pagi dan sore, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi:</div><div style="text-align: justify;">مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ</div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa yang ketika sore hari mengucapkan, 'Aku ridha Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabiku, niscaya Allah pasti meridhainya." (HR. Tirmizi)</div><div style="text-align: justify;">Makna "Radhitu billahi Rabba, wabil Islami Dina wabi Muhammadin nabiyyan wa rasula."</div><div style="text-align: justify;">Makna dari pengakuan radhitu billahi rabba mencakup keridhan dengan hanya mencintai-Nya semata, beribadah kepada-Nya semata, merasa takut hanya kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya dan bertawakkal hanya kepadanya. Pengakuan keridhaan kepada Allah ini juga berarti pengakuan keridhaan atas segala perintahnya, ketentuannya, dan kesediaan untuk meninggalkan segala apa yang dilarangnya.</div><div style="text-align: justify;">Makna dari keridhaan terhadap Muhammad Saw sebagai nabi dan utusan Allah adalah tunduk kepada segala perintah yang dibawanya dari Allah Swt dan meneladani segala kehidupannya serta melaksanakan sunah-sunnahnya. Pengakuan ini juga mengharuskan seorang mukmin untuk menjadikan nabinya lebih utama dan lebih dicintainya dari dirinya sendiri.</div><div style="text-align: justify;">Adapun makna ridha kepada Islam sebagai agama ialah, benar-benar menjadikannya sebagai pedoman hidup. Mengikuti ajaran dan petunjukkan serta keberanian menolak segala hal yang tidak sesuai dengan ajarannya. </div><div style="text-align: justify;">Ridha antara Karunia dan Usaha</div><div style="text-align: justify;">Ibadah ridha pada hakikatnya adalah karunia dari Allah, namun ia bisa didapatkan dengan segenap usaha dan kesungguhan. Keridhaan ini adalah penghujung tawakkal, artinya setelah ada tawakkal barulah datang keridhaan. Ridha tak kan ada tanpa adanya tawakkal dan penyerahan diri kepada Allah Swt. Seorang hamba dapat mencapai maqâm ridha, seperti kata Yahya bin Mu'adz, apabila dalam interaksi dengan tuhannya ia bisa melaksanakan empat hal: bila saya diberi saya menerima, bila saya tidak diberi maka saya pasrah, bila saya ditinggalkan saya tetap menghamba dan bila saya dipanggil saya menjawab dengan segera. </div><div style="text-align: justify;">Dalam kitab La Tahzan, Dr. Aidh Al-Qarni menyatakan bahwa seorang hamba dapat merasakan nikmatnya keridhaan dan merasakan segala persoalan terasa lebih mudah apabila setiap menghadapi takdir Allah, dalam hatinya selalu terbesit tiga hal:</div><div style="text-align: justify;">Pertama: Mengetahui hikmah yang dirahasiakan oleh Pe,ilik takdir dan menyadari bahwa Dia lebih mengetahui kemaslahatan hamba dan apa saja yang bermanfaat baginya.</div><div style="text-align: justify;">Kedua: Menyadarkan diri untuk menunggu pahala yang besar dan ganjaran yang banyak, sebagaimana janji Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang sedang ditimpa musibah dan bersabar.</div><div style="text-align: justify;">Ketiga: Menyadari bahwa semua keputusan dan semua permasalahan itu adalah wewenang mutlak Rabbul Âlamîn, sedangkan tugas hamba adalah berserah diri dan tunduk kepada kehendak-Nya.</div><div style="text-align: justify;">أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّك (32)َ</div><div style="text-align: justify;">"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu?" (QS. Az-Zukhruf: 32).</div><div style="text-align: justify;">Syekh Muhammad Shalih al-Munajjid juga turut memberikan resep keridhaan. Beliau berkata, "Untuk mendapatkan keridhaan hendaklah dalam dirimu ada perasaan tawakkal yang benar dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, karena dari sinilah keridhaan itu tumbuh." </div><div style="text-align: justify;">Buah Keridhaan </div><div style="text-align: justify;">Sungguh nikmat hidup seorang hamba yang hatinya selalu beribadah dengan keridhaan. Banyak keutamaan dunia dan khirat yang bisa dicapainya. Ibadah ridha memiliki buah yang melimpah. Orang yang ridha akan terangkat derajatnya hingga tempat yang paling tinggi, melahirkan keyakinannya yang kokoh dan mendalam, yang tentunya berpengaruh pada kejujuran dalam berucap, berbuat dan berperilaku. </div><div style="text-align: justify;">Dalam buku Silsilah A'malil Qulub dan La Tahzan, Syekh Muhammad Shlaih Al-Munajjid dan Dr. Aidh Al-Qarni banyak menguraikan indahnya keridhaan dan buruknya perasaan tidak menerima takdir. Dintara manfaat keridhaan yang bisa didapatkan oleh seorang hamba adalah:</div><div style="text-align: justify;">• Ridha dibalas ridha</div><div style="text-align: justify;">Dalam Al-Quran Allah menyatakan:</div><div style="text-align: justify;">رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ (8)</div><div style="text-align: justify;">"Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya." (QS. Al-Bayyinah: 8) </div><div style="text-align: justify;">Satu hal yang harus disadari adalah bahwa ridha hamba kepada Allah akan dibalas dengan ridha Allah kepada hamba-Nya. Ketika seorang hamba ridha dengan rezeki yang sedikit, maka Rabb-nya akan ridha kepadanya dengan amal sedikit yang ia persembahkan. Ketika hamba itu ridha kepada Rabbnya dalam segala keadaan yang melingkupinya dan tetap mempertahankan kualitas keridhaannya itu maka Allah akan cepat meridhainya ketika dia meminta keridhaan-Nya.</div><div style="text-align: justify;">Dengan kacamata ini, coba kita melihat orang-orang yang ikhlas. Walaupun ilmu mereka tidak banyak, hanya saja Allah meridhai semua usaha mereka karena memang mereka ridha kepada Allah dan Allah meridhai mereka. Apalagi kalau ilmu dan amalnya banyak. Tentu Allah akan lebih ridha lagi terhadapnya. Berbeda dengan orang-orang munafik yang amalannya selalu ditolak oleh Allah, sedikit ataupun banyak. Hal ini karena mereka tidak ridha apa yang telah Allah turunkan dan tidak suka terhadap keridhaan-Nya, maka Allah pun menyia-nyiakan amalan mereka.</div><div style="text-align: justify;">• Ketenangan dan kebahagiaan yang melimpah</div><div style="text-align: justify;">Keridhaan akan melahirkan ketenangan hati, tidak tertipu menghadapi syubhat, kekuatan dalam menghadapi berbagai permasalahan seberat apapun masalah itu. Hati yang ridha akan yakin sepenuhnya dengan janji Allah dan Rasul-Nya. Hati orang seperti ini seakan selalu dibisikan oleh firman Allah yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (22)</div><div style="text-align: justify;">"Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu tidak menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al-Ahzab: 22)</div><div style="text-align: justify;">Sementara sikap tidak menerima akan selalu melahirkan kegoncangan hati, keraguan, kecemasan, kegalauan, kelemahan dan sakit hati, seakan selali dibisiki dengan firman Allah: </div><div style="text-align: justify;">وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا (12)</div><div style="text-align: justify;">"Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan pada kami melainkan tipu daya." (QS. Al-Ahzab: 12)</div><div style="text-align: justify;">Keridhaan sungguh suatu karunia yang sangat berharga yang akan memberikan ketenangan dan ketentraman. Sementara sikap tidak menerima hanya menjauhkannya dari ketenangan, sejauh besar kecilnya ketidakridhaan terhadap takdir Allah. Ketika ketentraman hilang, maka dengan serta merta kegembiraan, rasa aman, dan kedamaian hidup juga akan lenyap. </div><div style="text-align: justify;">• Keridhaan adalah Kekayaan dan Rasa Aman</div><div style="text-align: justify;">Barangsiapa memenuhi hatinya dengan keridhaan terhadap takdir Allah, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan kekayaan hati, ketentraman jiwa dan qana’ah (merasa cukup dan puas dengan pemberian Allah). Selanjutnya, Allah akan menjadikan hatinya penuh dengan mahabbah dan tawakkal kepada-Nya. Sebaliknya, orang yang tidak ridha, hatinya akan dipenuhi dengan hal-hal sebaliknya. Ia akan disibukkan oleh hal-hal yang melawan kebahagiaan dan keberuntungannya.</div><div style="text-align: justify;">Tak akan menikmati kehidupan orang yang selalu mengeluh karena tidak menerima takdir Allah. Di matanya yang tampak hanyalah rezekinya yang selalu kurang, nasibnya selalu menyedihkan dan musibah yang menimpanya berlipat-lipat. Padahal ia merasa bahwa dirinya berhak mendapatkan yang lebih. Di matanya, Tuhan selalu berbuat tidak adil, selalu menghalanginya dari keuntungan, selalu memberikan ujian, selalu membebaninya dan seterusnya. Mengapa hal ini terjadi padanya? Allah Swt menjawab:</div><div style="text-align: justify;">ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ (28)</div><div style="text-align: justify;">"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menjadikan sirna (pahala) amal-amal mereka." (QS. Muhammad: 28).</div><div style="text-align: justify;">• Keselamatan Bersama Keridhaan</div><div style="text-align: justify;">Keridhaan akan mengantarkan seorang hamba dan membukakan baginya pintu keselamatan. Hal ini karena ridha akan membuat hati menjadi terbebas dan bersih dari tipu daya, kebusukan dan kedengkian. Dan hanya orang yang berhati bersihlah yang selamat dari adzab Allah. Dalam hati seperti ini hanya ada satu: Allah. Allah berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (87) يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (88) إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)</div><div style="text-align: justify;">"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (87) (yaitu) di hari harta dan keturunan tidak berguna lagi (88) Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (89). (QS. Al-Syu'ara': 87-89) </div><div style="text-align: justify;">Hati yang bersih adalah hati yang bersih kesyirikan, perkara-perkara syubhat, jauh dari keraguan, jauh dari hasad dan dengki dan jauh dari jerat-jerat Iblis yang menyesatkan. Hati yang bersih adalah hati yang ridha terhadap Allah. Semakin hamba ridha kepada Allah, maka semakin bersih hatinya. Diibaratkan keridhaan itu dengan sebuah pohon yang baik, disirami dengan air keikhlasan dan ditanam di kebun tauhid. Akarnya keimanan, dahan-dahannya adalah amal shaleh, dan buahnya sangat manis. Disebutkan dalam hadits: </div><div style="text-align: justify;">ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا</div><div style="text-align: justify;">“Orang yang merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabinya.” (HR. Muslim). </div><div style="text-align: justify;">Demikianlah bahwa ibadah hati berupa ridha ini begitu indah. Dengannya lah kita bisa menikmati indahnya hidup di dunia dan indahnya hidup di akhirat. Semoga Allah menjadikan kita ridha terhadap-Nya dan Dia ridha terhadap kita. Hanyalah kepadanya kita berharap dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolognan. Amin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">MENYELAMI SAMUDRA TAFAKKUR</div><div style="text-align: justify;">Oleh: Ruhyana </div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَى وَفُرَادَى ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا </div><div style="text-align: justify;">Katakanlah: "Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja,</div><div style="text-align: justify;">yaitu supaya kamu menghadap Allah, berdua-dua atau sendiri-sendiri; </div><div style="text-align: justify;">kemudian bertafakkurlah... (QS. Saba': 46)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tafakkur adalah amalan hati yang sangat agung dan mulia, karena memiliki keutamaan dan faidah yang besar. Tafakkur merupakan sarana mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, sumber pencerahan, pemahaman dan ilmu pengetahuan yang apabila dibukakan pada diri seseorang, akan melahirkan ketenangan hati, kepuasan jiwa dan kesungguhan dalam beramal, aktif, kreatif dan efektif dalam melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Itu semua dapat diawali dengan bertafakkur. Maka beruntunglah orang yang diberikan taufik oleh Allah Swt untuk bisa bertafakkur.</div><div style="text-align: justify;">Telah banyak diketahui fadhilah dan keutaman bertafakkur. Akan tetapi tidak banyak orang yang benar-benar memahami hakikat dan manfaatnya, sehingga masih jarang yang benar-benar mengkhusukan waktunya untuk bertafakkur menyelami dan menghayati tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Padahal Allah Swt telah membari perintah kepada manusia untuk selalu bertafakkur, baik dalam kaeadaan berdiri, duduk atau berbaring. Bertafakkur menghayati ayat-ayat keesaan dan kebesaran-Nya, baik yang maqrû’ah-masmû’ah (dapat dibaca dan didengar yaitu Al-Quran), maupun yang mar’iyyah/kauniyah (dapat diindera, berupa alam semesta seperti langit, bumi, pepohonan, binatang ternak, pergantian siang dan malam, penciptaan diri kita, dsb). </div><div style="text-align: justify;">Tafakkur adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, karena Di dalam Al-Quran, Allah Swt seringkali memerintahkan kita untuk aktif berfikir. Dalam salah satu kaidah disebutkan bahwa, "Al-Ashlu fil Amri lil Wujûb illâ Mâ dalla ad-Dalîl 'alâ khilâfihi". Maksudnya, jika Allah Swt dan Rasul-Nya memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan, maka perbuatan yang diperintah tersebut wajib dilaksanakan, kecuali ada dalil lain yang menerangkan bahwa perbuatan itu tidak wajib. Dalam perintah tafakkur ini tidak ditemukan dalil yang menerangkan bahwa tafakkur hukumnya tidak wajib. Justeru dalam sunnah Rasulullah Saw, ditemukan hadis-hadis yang menguatkan kewajiban perintah bertafakkur ini. </div><div style="text-align: justify;">Berangkat dari pemahaman di atas, kita hendaknya memiliki waktu khusus setiap hari untuk bertafakkur. Karena dengan demikian, selain kita telah menjalankan perintah, kita juga akan mendapat keuntungan besar dari tafakkur ini. Diantaranya Allah Swt akan menguatkan keimanan kita, menganugerahkan cahaya-cahaya pemahaman, pencerahan dan ilmu pengetahuan kepada kita. Sebab ulama-ulama kita terdahulu dapat mewariskan turats ilmu pengetahuan yang sangat menakjubkan, tidak lain karena kuantitas dan kualitas tafakkur mereka yang prima. Imam Ibnu Al-Jauzi dalam mukaddimah bukunya Shaid al-Khâthir berkata: "Aku melihat diriku bahwa setiap kali aku membuka mata hati tafakkur, diperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban alam ghaib yang sebelumnya tak pernah terduga, sehingga mengalirlah kapadanya lautan pemahaman yang dan tak boleh dilewatkan." </div><div style="text-align: justify;">Definisi Tafakkur </div><div style="text-align: justify;">Tafakkur berasal dari kata fakkara yang berarti kegiatan berfikir, merenung, dan tadabbur. Menurut Ibnu Faris, seorang ulama ahli bahasa: “Tafakkur adalah aktifitas hati dalam memikirkan dan menghayati sesuatu." Artinya bahwa makna tafakkur lebih dalam dari aktifitas berpikir biasa, karena tafakkur menggunakan hati dan otak sedangkan berpikir hanya menggunakan otak. Tafakkur juga bermakna perenuangan dan penghayatan, bukan menghayal, karena menghayal dilakukan dengan tanpa memfokuskan otak dan hati. </div><div style="text-align: justify;">Tafakkur Adalah Ibadah</div><div style="text-align: justify;">Mengapa tafakkur adalah ibadah? Sebagaimana sebelumnya dijelaskan bahwa tafakkur merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Jika perintah itu adalah perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, maka perintah tersebut tentunya adalah ibadah. Imam Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Ubudiyah mendefinisikan ibadah sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">العِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ</div><div style="text-align: justify;">"Ibadah adalah nama bagi seluruh amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt baik berupa ucapan atau perbuatan, yang batin maupun yang zahir." </div><div style="text-align: justify;">Dari definisi ibadah di atas kita dapat menyimpulkan bahwa tafakkur merupakan amalan batin yang sangat dianjurkan, dan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Swt. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa tafakkur adalah ibadah sebagai berikut: </div><div style="text-align: justify;">1. Perintah Allah Swt. Untuk Bertafakkur </div><div style="text-align: justify;">Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan kita untuk berfikir tentang ciptaan Allah, sebab semua ciptaan itu mengandung bukti kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. Selain itu Allah Swt memuji hamba-Nya yang selalu bertafakkur tentang ciptaan-Nya kapan dan di mana saja ia berada serta dalam keadaan bagaimanapun. Dia berfirman: </div><div style="text-align: justify;">الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)</div><div style="text-align: justify;">"(Yaitu) orang-orang yang selalu berzdikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan (bertafakkur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'." (Al-Imran: 191) </div><div style="text-align: justify;">Ayat di atas mengisyaratkan bahwa tafakkur merupakan salah satu ibadah yang utama. Karena ketika dzikir merupakan ibadah secara umum yang meliputi semua perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perbuatan lahir maupun batin. Maka penyebutan tafakkur--yang merupakan salah satu bentuk dzikir--setelah dzikir, menunjukkan penyebutan khusus yang mengisyaratkan bahwa amalan itu adalah salah satu bentuk dzikir yang sangat diutamakan dan dianjurkan. </div><div style="text-align: justify;">Ayat-ayat yang memerintahkan untuk berfikir dan merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah Swt banyak sekali di dalam Al-Quran. Sebagai contoh, dalam surat Yunus ayat 101, Allah Swt memerintahkan hamba-Nya untuk merenungkan penciptaan langit dan bumi:</div><div style="text-align: justify;">قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ... (101)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi'." (QS. Yunus: 101)</div><div style="text-align: justify;">Bertafakkur adalah memikirkan semua ciptaan Allah di langit dan di bumi, termasuk memikirkan tentang penciptaan diri kita sendiri. Dalam surat Al-Dzariat ayat 21, Allah Swt memerintahkan berfirman:</div><div style="text-align: justify;">وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21) </div><div style="text-align: justify;">"Dan (juga) pada dirimu sendiri (ada tanda-anda kekuasaan Allah), apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS. Al-Dzariât: 21)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat yang lain Allah Swt mencela orang yang berpaling dan tidak mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, seperti ciptaan-Nya yang menunjukkan kesempurnaan dzat dan sifat-Nya, hikmah syariat-Nya, dsb. Dia berfirman: </div><div style="text-align: justify;">وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105)</div><div style="text-align: justify;">"Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya." (Qs. Yûsuf: 105) </div><div style="text-align: justify;">2. Seruan Rasulullah Untuk Bertafakkur</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw menyuruh kita untuk selalu bertafakkur. Suatu hari Ibnu Umair berkata kepada 'Aisyah istri Nabi Saw: "Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang menakjubkan yang pernah engkau lihat dari Rasulullah Saw." Ibnu Umair melanjutkan perkataannya: "Maka menangislah 'Aisyah sambil berkata: "Semua perkaranya sangat menakjubkan. Suatu malam beliau (Rasulullah Saw) bersamaku kemudian berkata: "Tinggalkan aku sendiri untuk beribadah kepada Rabb-ku Yang Mahaperkasa dan Mahaagung." Maka berdirilah beliau menuju kamar mandi untuk berwudlu dan membersihkan gigi, lalu beliau mendirikan shalat. Tiba-tiba beliau menangis hingga air matanya membasahai jenggot, lalu beliau bersujud dan menangis hingga air matanya membasahi tempat sujud, kemudian beliau berbaring sampai Bilal datang untuk mengumandangkan adzan shubuh seraya berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang engkau tangisi padahal Allah Swt telah mengampuni dosa-dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang? Maka bersabdalah Rasulullah Saw: "Sesungguhnya telah turun kepadaku beberapa ayat: </div><div style="text-align: justify;">(إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ)...إلى قوله... (فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ) </div><div style="text-align: justify;">dan celakalah bagi orang yang membacanya akan tetapi tidak menghayati isi di dalamnya." </div><div style="text-align: justify;">Dalam hadis di atas Rasulullah Saw menjelaskan bahwa orang yang hanya membaca ayat di atas tanpa menghayati maknanya akan celaka dan merugi, apa lagi orang yang tidak mengerjakan ajaran yang terkandung di dalamnya. Sebab, tujuan perintah beliau untuk menghayati ayat tersebut tiada lain agar orang yang mau membacanya dan kemudian menjalankan pesan yang terkandung di dalamnya. </div><div style="text-align: justify;">3. Anjuran Ulama Salaf Untuk Bertafakkur </div><div style="text-align: justify;">Riwayat-riwayat dari ulama generasi salaf tentang anjuran untuk bertafakkur banyak sekali. Hal ini menunjukkan betapa agungnya ibadah ini, dan betapa ia sangat penting bagi mereka, walaupun orang sekarang banyak yang melipakannya. Diriwayatkan dari Muhammad bin Wasi', bahwasannya seorang lelaki dari penduduk Bashrah datang kepada Ummu Dzarr ra. setelah wafatnya Abu Dzarr ra.. Ia datang untuk menanyakan ibadah yang dilakukan Abu Dzarr ra. sehari-hari. Ummu Dzarr menjawab: "Seluruh siangnya ia habiskan untuk bertafakkur di pojok rumah."</div><div style="text-align: justify;">Imam Hasan berkata: "Bertafakkur sejenak lebih baik dari shalat malam." Beliau juga berkata: </div><div style="text-align: justify;">مَنْ لَمْ يَكُنْ كَلَامُهُ حِكْمَةً فَهُوَ لَغْوٌ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ سُكُوْتُهُ تَفَكُّرًا فَهُوَ سَهْوٌ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ نَظْرُهُ اعْتِبَارًا فَهُوَ لَهْوٌ </div><div style="text-align: justify;">"Barang siapa yang perkataanya tidak berhikmah maka perkataannya sia-sia, barangsiapa yang diamnya tidak bertafakkur maka ia telah lalai, dan barang siapa yang melihat sesuatu tanpa mengambil pelajaran maka sia-sia."</div><div style="text-align: justify;">Al-Fudhail bin 'Iyâdh berkata: </div><div style="text-align: justify;">اَلْفِكْرُ مِرْآةٌ تُرِيْكَ حَسَنَاتِكَ وَسَيِّئَاتِكَ</div><div style="text-align: justify;">"Berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan dan keburukanmu."</div><div style="text-align: justify;">Sufyan bin Uyainah seringkali mengucapkan perkataan seseorang:</div><div style="text-align: justify;">إِذَا الْمَرْءُ كَانَتْ لَهُ فِكْرَةٌ ... فَفِى كُلِّ شَيْئٍ لَهُ عِبْرَةٌ</div><div style="text-align: justify;">"Apabila sesorang memiliki fikrah (perenungan) ... Maka segala sesuatu baginya mengandung 'ibrah (pelajaran)." </div><div style="text-align: justify;">Bisyr berkata: "Sekiranya manusia berfikir tentang keagungan dan kebesaran Allah Swt, niscaya ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya." Suatu ketika Abu Syuraih sedang berjalan, tiba-tiba ia terduduk dan menangis. Kemudian beliau di tanya, "Apa yang membuat engkau menangis?" Beliau menjawab: "Aku bertafakkur tentang hilangnya umurku, sedikitnya amalku dan dekatnya ajalku." Abu Sulaiman Al-Dârani berkata: "Biasakanlah matamu dengan menangis dan hatimu dengan tafakkur." Beliau juga berkata: "Berpikir tentang kehidupan dunia merupakan pengghalang dari akhirat dan siksaan bagi pelakunya, sedangkan berpikir tentang kehidupan akhirat akan mewariskan hikmah dan menghidupkan hati. Berdzikir akan menambah cinta kepada Allah dan tafakkur akan menambah khauf kepada-Nya."</div><div style="text-align: justify;">Ibnu Abbas ra berkata: "Bertafakkur dalam kebaikan akan memotivasi seseorang untuk melakukannya, menyesali segala keburukan dan mendorongnya untuk meninggalakannya." Ibnu Ishak seorang ulama salaf berkata: "Suatu malam ketika terang bulan Dawud At-Thâ'i berada di atap rumah. Ia menatap ke langit, bertafakkur tentang keagungan penciptaan langit dan bumi. Kemudian ia menangis tersedu-sedu, sehingga tanpa sadar ia terjatuh ke rumah tetangganya. Maka loncatlah pemilik rumah dari tempat tidurnya dan segera mengambil pedang karena menyangka ada pencuri, ketika ia mengetahui bahwa orang itu adalah Dawud, ia kembali dan menaruh pedangnya kemudian bertanya: "Siapa yang melemparmu dari atap rumah?" Daud menjawab: "Aku tidak merasakan apa-apa."</div><div style="text-align: justify;">Imam syafi'i adalah orang yang sangat jenius dan sangat cerdas dalam mengambil kesimpulan hukum. Beliau pernah berkata: "Kebenaran dalam melihat permasalahan akan menyelamatkan seseorang dari tipu daya, kecermatan dalam berpendapat akan menyelamatkan seseorang dari sikap berlebihan, penyesalan dan berpikir akan membuka pintu keteguhan dan kecerdasan, bermusyawarah dengan ahli hikmah merupakan keteguhan dan pencerahan hati. Maka berpikirlah sebelum bertindak, atur langkah sebelum menyerang, dan bermusyawarahlah sebelum mengerjakan sesuatu." Dan masih banyak lagi riwayat lain tentang keutamaan tafakkur yang tidak dapat dituliskan di sini. </div><div style="text-align: justify;">Apa saja yang harus ditafakkuri?</div><div style="text-align: justify;">Dalam bukunya Al-Fawâid imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran Allah Swt menyeru hamba-Nya untuk bertafakkur tentang dua hal, yaitu: </div><div style="text-align: justify;">Pertama, merenungkan ayat-ayat-Nya yang kauniyah/mar'iyyah (ciptaan-Nya yang terlihat). Sebagai contoh, firman Allah Swt sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ... (101)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi'." (QS. Yunus: 101)</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. Al-Baqarah: 164)</div><div style="text-align: justify;">Ayat yang pertama dengan jelas memerintahkan kita untuk melihat segala ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi untuk dijadikan bahan renungan dan tafakkur. Ayat kedua bahkan langsung memberikan contoh apa saja model ciptaan di langit dan di bumi yang perlu ditafakkuri. Setiap obyek dari pembuatan menunjukkan adanya proses perbuatan, dan setiap perbuatan menunjukkan ada yang berbuat, karena tidak mungkin ada perbuatan tanpa ada yang melakukannya, tidak mungkin ketiadaan akan melahirkan keberadaan, karena ketiadaan bukan apa-apa dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Begitu juga dengan ciptaan, pasti menunjukkan adanya penciptaan dan Pencipta. Selain itu, ciptaan yang menakjubkan bahwa Penciptanya adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, maha Berkehendak dan Maha Berkuasa, karena tidak mungkin suatu wujud dicipta oleh Pencipta yang tidak memiliki ilmu dan kemampuan. </div><div style="text-align: justify;">Segala kemaslahatan dan hikmah yang terdapat dalam penciptaan itu menunjukkan kemahabijaksanaan Penciptanya. Setiap keluasan manfaat, anugerah dan kebaikan yang ada di dalamnya menunjukkan keluasan rahmat Penciptanya. Setiap pembalasan, hukuman, kehinaan dan kerugian yang ada di dalamnya menunjukkan kemurkaan Penciptanya, begitu juga dengan kemuliaan dan penjagaan membuktikan mahabbah (cinta) Penciptanya. Perubahan makhluk dari ketiadaan menjadi ada membuktikan kepastian hari kebangkitan. Fenomena perubahan dari kecil menjadi besar, sedikit menjadi banyak, kurang yang menjadi sempurna menjukkan bahwa yang memberi kesempurnaan tentulah memiliki kesempurnaan, karena Fâqidu al-syai'i lâ yu'thîhi, seseorang tidak bisa memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya. </div><div style="text-align: justify;">Bertafakkur seperti ini akan membuahkan keimanan yang mendalam serta pengetahuan dan penghayatan terhadap makna nama-nama dan sifat-sifat Allah yang mulia. Hal ini akan pengagungan yang penuh dalam diri, dan pengagungan yang penuh akan melahirkan penghambaan yang utuh. </div><div style="text-align: justify;">Kedua, merenungkan ayat-ayat-Nya yang matluwwah/masmu'ah (yang dibaca dan didengar, yaitu Al-Quran). Sebagai contoh adalah firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ …(82)</div><div style="text-align: justify;">"Maka apakah mereka tidak mentadabbur Al-Quran,..?" (QS. Al-Nisa: 82). Dan firman Allah Swt:</div><div style="text-align: justify;">كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (29)</div><div style="text-align: justify;">"Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabbur ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai berakal." (QS. Shâd: 29). Dan banyak lagi ayat-ayat lain tentang hal ini.</div><div style="text-align: justify;">Ayat-ayat di atas dengan tegas memerintahkan kita untuk mentadabbur Al-Quran. Karena mereka yang mentadabbur Al-Quran itulah orang-orang ulul albab (yang berakal). Ayat di atas juga mengandung makna bahwa orang yang tidak mau mentadabburinya berarti mereka adalah orang yang tidak berakal. Berakal tidak selamanya berarti cerdas. Karena, banyak orang yang cerdas, namun perbuatannya lebih parah dari orang gila. Salah satu makna 'aqala dalam bahasa arab adalah "mengikat". Sehingga orang yang berakal maksudnya adalah orang yang mengikat dirinya dari perbuatan buruk walaupun ia tidak cerdas. Semua orang kafir, walaupun mereka cedas, sebenarnya tidak berakal. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (22)</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang bisu (tidak mau mengakui kebenaran) dan tuli (tidak mau memahami kebenaran) yang tidak berakal." (QS. Al-Anfâl: 22)</div><div style="text-align: justify;">Jadi setiap orang yang berperilaku buruk bukanlah orang yang berakal. Orang yang berakal sebenarnya adalah orang yang menerima dan mengamalkan kebenaran, dan suka bertafakkur merenungi keagungan ciptaan Allah, menjadikan segala yang ia lihat, dengar dan rasakan sebagai pelajaran yang berharga, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat di atas. Tadabbur Al-Quran berarti menajamkan mata hati dan memfokuskan pikiran untuk menyelami makna dan kandungan Al-Quran. Dan untuk inilah Al-Quran diturunkan, bukan sekedar membaca tanpa berusaha memahami apalagi dengan hati yang lengah. </div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu al-Qayyim berkata: "Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba dalam hidupnya di dunia dan akhirat dan lebih mendekatkannya kepada keselamatan, selain mentadabburi, memanjangkan perenungan dan memfokuskan pikiran terhadap makna ayat-ayat Al-Quran. Karena amalan ini akan menunjukkannya kepada rambu-rambu kebaikan dan keburukan, jalan, tujuan dan buah keduanya (kebaikan dan keburukan), tempat kembali bagi pelakunya. </div><div style="text-align: justify;">Dengan amalan ini (tadabbur) ia telah menaruh di tangannya kunci kebahagiaan dan ilmu-ilmu yang bermanfaat, menguatkan pondasi keimanan di dalam hatinya, menghadirkan dirinya seolah-olah berada di antara orang-orang terdahulu dan menyaksikan apa yang Allah perbuat terhadap mereka, menunjukkannya tempat-tempat ibrah, membuatnya melihat keadilan dan kemurahan Allah Swt, mengenalkannya dengan dzat, nama-nama, sifat-sifat, dan af'âl (perbuatan) Allah Swt, apa-apa yang dicintai dan dibenci oleh-Nya, jalan yang menyampaikan kepada-Nya, dan apa saja yang diperuntukkan bagi orang yang menapaki jalan itu, apa saja yang memutuskan jalan menuju-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Amalan ini juga mengenalkannya tentang jiwa dan sifat-sifatnya, jalan ahli surga dan neraka serta perbuatan-perbuatannya, keadaan dan ciri-ciri mereka, amalan baik dan buruk, tingkatan orang yang mendapatkan kebahagiaan dan kesengsaraan, pembagian makhluk dalam hal apa saja mereka bersatu dan dalam hal apa saja mereka berpecah. Ringkasnya, amalan ini akan mengenalkannya dengan Rabb yang ia sembah, jalan untuk sampai kepada-Nya dan kemuliaan apa saja yang akan ia dapatkan jika telah sampai kepada-Nya. Dan mengenalkannya tiga hal sebaliknya yaitu, apa saja seruan setan, jalan yang menyampaikannya kapada seruannya dan balasan yang akan diterima oleh orang yang mengikuti seruannya berupa azab yang pedih" </div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya, Al-Quran adalah samudra ilmu dan hikmah yang tiada bertepi. Semakin kita menyelaminya, semakin terlihat kedangkalan pengetahuan kita serta kedalaman makna dan kandungannya. Bayangkan saja, puluhan ribu buku telah ditulis untuk mengungkapkan ilmu dan hikmah yang ada di dalam Al-Quran. Namun, para ulama dari dahulu sampai sekarang dan yang akan datang, tidak pernah kehabisan bahan untuk mengkaji Al-Quran. Bahkan semakin dalam ilmu seseorang semakin ia melihat bukti kebenaran Al-Quran. </div><div style="text-align: justify;">Allah Swt juga berjanji akan membuktikan kebenaran Al-Quran dengan ayat kauniyah, terhadap mereka yang tidak mau mengimaninya. Dan hal ini telah terbukti dengan kebenaran Al-Quran yang mendahului penemuan-penemuan ilmiah modern. Allah Swt berfirman:</div><div style="text-align: justify;">سَنُرِيهِمْ آَيَاتِنَا فِي الْآَفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ... (53)</div><div style="text-align: justify;">"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar...." (QS. Fushshilat: 53)</div><div style="text-align: justify;">Tafakkur Yang Disyariatkan </div><div style="text-align: justify;">Ada satu hal lagi yang perlu kita ketahui untuk menambah pemahaman kita tentang ibadah tafakkur ini, yaitu perkara apa saja yang harus ditafakkuri. Pembahasan ini penting, karena akan membantu kita dalam melaksanakan ibadah ini, selain itu ada beberapa hal yang tidak boleh dijadikan obyek tafakkur. Imam Al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal Ihyâ' Ulûm Al-Dîn, memetakan perkara-perkara yang harus kita tafakkuri. Beliau menjelaskan bahwa seseorang bertafakkur tidak lebih dari dua perkara: </div><div style="text-align: justify;">Pertama: Berhubungan dengan dirinya sendiri, sifat, dan keadaannya. Bertafakkur tentang diri ini ada empat macam, yaitu: bertafakkur ketaatan, kemaksiatan, hal-hal yang dapat menghancurkannya, dan hal-hal yang dapat menyelematkannya. Kedua: Berhubungan dengan Dzat Allah, sifat, nama dan bukti-bukti kekuasan dan kebesaran-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Untuk lebih jelasnya mari kita simak penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim dalam bukunya Al-Fawâid. Beliau berkata: "Adapun tafakkur yang paling bermanfaat adalah tafakkur tentang maslahat ukhrawi dan jalan untuk mendapatkannya, kemudian tafukkur tentang bahaya akhirat dan jalan untuk menghindarinya. Empat perkara inilah yang merupakan bahan tafakkur yang paling utama. Di bawah itu ada empat perkara yang lain yaitu: tafakkur tentang maslahat duniawi dan jalan untuk meraihnya, kemudian tafakkur tentang mafsadah duniawi dan jalan untuk menghindarinya. </div><div style="text-align: justify;">Delapan perkara inilah yang mesti menjadi bahan renungan bagi orang yang berfikir. Empat yang pertama adalah tafakkur tentang nikmat dan pemberian Allah Swt, perintah dan larangan-Nya, jalan untuk mengenali dan mendekati-Nya, memahami makna nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia melalui Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Perenungan seperti ini akan melahirkan mahabbah kepada Allah dan makrifat tentang-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Jika seseorang bertafakkur tentang akhirat dengan segala kemuliaan dan keabadiannya, bertafakkur tentang dunia dengan segala kehinaan dan kefanaannya, merenungi terbatasnya cita-cita--yang dapat dicapai--serta sempitnya waktu yang dimiliki, semua ini akan menimbulkan kesungguhan dalam memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Lawan dari pikiran seperti di atas adalah pikiran-pikiran tercela yang ada dalam hati kebanyakan orang, seperti berpikir tentang hal-hal tidak dibebankan untuk memikirkannya, tidak juga diberikan ilmu tentangnya seperti, berpikir tentang hakikat dzat dan sifat Allah Swt yang tidak mungkin dicapai oleh akal."</div><div style="text-align: justify;">Bertafakkur tentang hakikat dzat dan sifat Allah Swt merupakan sesuatu yang sangat dilarang, sebagaimana Rasullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">تَفَكَّرُوْا فِى خَلْقِ اللهِ وَلَا تَفَكَّرُوْا فِى الْخَالِقِ </div><div style="text-align: justify;">"Bertafakkurlah tentang makhluk Allah, dan jangan bertafakkur tentang dzat Allah."</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw melarang hal ini karena akal manusia tidak akan mampu memikirkan hakikat dzat Allah Swt. Jika manusia bersikeras melakukakannya, maka perbuatannya ini tidak akan membuahkan hasil, dan bahkan akan membawanya berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Karena Allah Swt tidak memberikan pengetahuan tentang hakikat dzat-Nya. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dosa besar sebagaimana firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;">قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (33)</div><div style="text-align: justify;">"Katakanlah: 'Bahwa Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji yang tampak dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata atas nama Allah apa yang tidak kamu ketahui'." (QS. Al-A'râf: 33)</div><div style="text-align: justify;">Jelas dalam ayat di atas bahwa mengatakan sesuatu atas nama Allah adalah perbuatan yang di sandingkan langsung dengan kesyirikan, perbuatan keji, dan kezaliman, yang semua itu adalah dosa-dosa besar. Hal ini mengisyaratkan bahwa berbicara atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dosa besar. Mengatakan sesuatu atas nama Allah, termasuk di dalamnya sumpah palsu atas nama Allah, berfatwa tentang hukum Allah tanpa ilmu, dan berbicara tentang hakikat dzat dan sifat Allah. </div><div style="text-align: justify;">Kita beriman kepada Allah sebagaimana Dia dan Rasul-Nya berbicara tentang diri-Nya. Kita tidak boleh mendahului keduanya. Karena dalam hal ini, tidak ada yang mempunyai otoritas berbicara kecuali Allah sendiri dan Rasul-Nya. Cukuplah bagi kita dengan mengatakan sesuatu tentang Allah sebagaimana Allah dan Rasul-Nya berbicara tentang diri-Nya. Jika di dalam ungkapan Allah dan Rasul-Nya terdapat semacam tasybîh (penyerupaan), sebelum kita berpikir tasybîh, Allah Swt telah memberikan kaidah umum untuk memahami ungkapan itu melalui firman-Nya yang berbunyi: </div><div style="text-align: justify;">لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)</div><div style="text-align: justify;">"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Mahamendengar dan Mahamelihat."</div><div style="text-align: justify;">Yang disyariatkan dalam bertafakkur adalah merenungi kebesaran dan keagungan Allah Swt, kekuasaan-Nya, dan segala ciptaan-Nya. Adapun bertafakkur tentang Allah, dalam arti mempelajari dan memahami makna nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt (bukan berusaha menyelami hakikatnya), guna menambah keimanan dan pengagungan kita kepada-Nya, maka hal ini sangat dianjurkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama—seratus kurang satu—barang siapa yang menghitungnya, maka ia akan masuk surga." </div><div style="text-align: justify;">Penyebutan 99 nama dalam hadis di atas tidak berarti bahwa asmâ' al-husnâ (nama-nama kemuliaan Allah) terbatas pada 99 saja. Asmâ' al-husnâ bagi Allah tidak terbatas pada jumlah tertentu. Hanya Dia sendiri yang tahu hakikat jumlahnya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis shahih:</div><div style="text-align: justify;">أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي</div><div style="text-align: justify;">"Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang Kau miliki yang Engkau gunakan untuk menamai diri-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada siapa saja di antara hamba-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada pada-Mu, agar Engaku menjadikan Al-Quran bersemi di dalam hatiku, sebagai cahaya di dalam dadaku, yang menghilangkan kesedihan dan keresahanku..." (HR. Ahmad, Ibnu Hibbân dan Hâkim)</div><div style="text-align: justify;">Jadi, agar makna hadis di atas selaras dengan hadis yang lain, maka ungkapan tersebut tidak boleh berhenti pada kata "99 nama", tetapi hari harus diteruskan dengan kalimat berikutnya, karena merupakan satu kesatuan kalimat yang tidak terputus. Dengan demikian makna hadis tersebut adalah, Allah memiliki 99 nama yang jika seseorang dapat menghitungnya maka ia akan masuk surga. Ungkapan di atas jelas tidak berarti bahwa nama Allah hanya 99. Sama seperti perkataan kita, "Aku memiliki uang 100 ribu yang kugunakan untuk bersedekah." Jelas bahwa kalimat di atas tidak berarti bahwa aku hanya memiliki uang 100 ribu. Aku bisa saja memiliki banyak uang, namun yang kugunakan untuk bersedekah hanya 100 saja. Demikian juga Allah Swt memiliki banyak nama-nama kemulian, namun siapa saja yang dapat menghitung 99 dari nama tersebut, maka ia akan masuk surga. </div><div style="text-align: justify;">Adapun makna "ahshâha" (menghitung nama-nama Allah), dalam kitabnya Fath Al-Bârî Imam Ibnu Hajar menukilkan banyak penafsiran para ulama. Diantaranya adalah, menghafalnya, memahami maknanya, mengamalkannya, dalam arti mengamalkan sifat-sifat Allah yang layak bagi hamba seperti rahmân, rahîm, dsb., bukan sifat-sifat yang khusus bagi Allah yang tidak boleh ditiru seperti, Jabbâr (Mahamemaksa), mutakabbir (Mahasombong), dsb. Di antara artinya juga adalah mengamalkan muqtadhâ (konsekuensi) dari nama-nama dan sifat-sifat itu. Jika Allah adalah jabbâr maka hamba harus banyak memohon keridhaan-Nya, jika Allah adalah mutakabbir, maka hamba harus tunduk dan merendahkan diri dihadapannya, jika Allah adalah rahmân, maka hamba harus banya memohon kasih sayang kepada-Nya, jika Allah adalah Gaffâr, maka hamba harus banyak memohon ampun kepada-Nya dst. </div><div style="text-align: justify;">Bertafakkur Tentang Kehidupan Akhirat</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Saw pernah bersabda mengingatkan kita: </div><div style="text-align: justify;">الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ</div><div style="text-align: justify;">"Orang yang cerdas adalah orang yang selalu bermuhasabah (mengevaluasi) terhadap dirinya, dan berbuat untuk sesuatu setelah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah." (HR. Ahmad dan Tirmizi)</div><div style="text-align: justify;">Hadis yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa orang yang cerdas adalah mereka yang selalu mengevaluasi dirinya agar mengetahui sisi-sisi kekurangannya sehingga dengan itu ia termotivasi untuk beramal shalih demi keselamatannya di hari setelah kematiannya. Hadis ini juga mengajak kita untuk bertafakkur tentang limâ ba'da al-maut (sesuatu setelah kematian) yaitu kehidupan akhirat. Memikirkan tentang prahara hari akhirat, mulai dari azab kubur, padang mahsyar, pengadilan Allah, nikmat surga, azab neraka, apakah kita kelak tergolong orang yang bernasib baik atau buruk, dsb.. </div><div style="text-align: justify;">Ulama-ulama generasi salaf memiliki perhatian besar dalam bertafakkur tentang kehidupan akhirat. Hari-hari mereka banyak disibukan untuk merenungkan nasib diri di kehidupan akhirat nanti. Mereka banyak menangis apabila diingatkan dengan akhirat. Dikisahkan pada suatu hari seorang ulama salaf melewati tempat pembakaran api tiba-tiba berhenti kemudian langsung menangis, dikatakan kepadanya, mengapa engkau menangis? Beliau menjawab: "Aku teringat api neraka." Pada suatu hari Abdullah bin Al-Mubarak berkata kepada Sahal bin Ali saat beliau melihatnya diam bertafakkur: "Sudah sampai dimana engkau? Sahl menjawab: "Sudah sampai titian shirat." Akan tetapi yang terjadi pada zaman sekarang, manusia lebih banyak lalau dan lengah oleh kehidupan dunia. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk meneladani keshalihan ulama generasi Salaf. </div><div style="text-align: justify;">Manfaat Bertafakkur</div><div style="text-align: justify;">Syariat agama adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt terhadap hamba-Nya. Pengutusan para rasul dan penurunan kitab-kitab suci adalah demi keselamatan dan kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat. Maka pensyariatan ibadah tafakkur, juga untuk kepentingan manusia. Tafakkur akan membuka kesadaran mereka, bahwa kedudukan manusia hanyalah sebatas mahluk yang sangat membutuhkan kasih sayang Rabb-nya. Bahwa dunia yang fana ini tiada lain merupakan ladang beramal untuk bekal hidup di hari akhirat yang kekal. Itulah salah satu dari sekian manfaat ibadah tafakkur. Di bawah ini akan di jelaskan beberapa manfaat lain yang bisa didapatkan dari ibadah ini, dan tentunya masih banyak manfaat dan keuntungan yang belum sempat disebutkan di sini: </div><div style="text-align: justify;">1. Memperteguh Keimanan Dan Menambah Kecintaan</div><div style="text-align: justify;">Tafakkur merupakan salah satu wasilah untuk meneguhkan keimanan. Dengan selalu bertafakkur merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya yang tiada tara, akan timbul di dalam diri kita kekaguman dan pengagungan terhadap Sang Pencipta serta keikhlasan menyembah kepada-Nya. Kemudian akan timbul perasaan betapa kerdilnya diri ini, betapa kita hanya mahluk kecil yang tidak memiliki apa-apa, tidak bisa terlepas dari nikmat dan penjagaan Allah Swt. Betapa kita sangat membutuhkan petunjuk dan hidayah-Nya. </div><div style="text-align: justify;">Dengan banyak mentafakkuri betapa luasnya nikmat, kasih sayang dan ampunan Allah Swt, aktifitas ini akan menambah mahabbah kita kepada Allah Swt, karena seseorang akan mencintai orang yang suka memberinya, apalagi Dzat yang tidak pernah putus pemberian-Nya. Dengan banyak bertafakkur tentang nikmat dan anugrah Allah Swt, hati akan tergerak untuk menjalankan perintah Allah Swt atas dasar mahabbah kepada-Nya, tidak karena terpaksa.</div><div style="text-align: justify;">Manfaat khusus dari tafakkur ini adalah ilmu. Jika ilmu telah menghias hati, maka kondisinya akan berubah. Perubahan dalam hati tentunya akan berpengaruh pada perubahan dalam amal perbuatan. Perubahan dalam hati ini dapat berupa, khasyah (takut kepada Allah), rajâ' (mengharap rahmat dan ampunan-Nya), perasaan bahwa diri ini sangat kurang dalam menunaikan hak-hak Allah, bahkan sangat sering melanggar hudud-Nya (batasan-batasan hukum-Nya). Semua itu akan menimbulkan perubahan dalam amal perbuatan berupa semangat dan usaha untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya, dengan segala bentuk amal ibadah zahir. Dan jika kita benar-benar telah menunaikan hak-hak Allah maka itulah tanda bertambahnya iman. </div><div style="text-align: justify;">2. Tafaqquh Fi al-Dîn </div><div style="text-align: justify;">Tafakkur merupakan wasilah untuk memahami secara lebih mendalam ajaran-ajaran agama, seperti memahami hikmah dan tujuan pensyariatannya. Pemahaman yang mendalam terhadap syariat akan membuahkan kecintaan terhadapnya, serta semangat untuk membela dan mendakwahkannya kepada orang lain. Selain itu, pemahaman yang baik terhadap agama merupakan anugrah Allah yang sangat agung, dan salah satu tanda bahwa Allah Swt menjamin kebaikan hidup seseorang di dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda:</div><div style="text-align: justify;">مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ </div><div style="text-align: justify;">"Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka Dia memahamkannya dalam agamanya." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Untuk menguatkan makna ini mari kita lihat makna yang terkandung dalam ayat berikut. Allah Swt Berfirman: </div><div style="text-align: justify;">سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ... (146)</div><div style="text-align: justify;">"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku…." (QS. Al-A'râf: 146)</div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat di atas, bahwa orang-orang yang berlaku sombong; tidak mau taat kepada Allah di muka bumi, Allah Swt akan memalingkan mereka dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, dari hukum-hukum syariat-Nya. Artinya, sebagaimana mereka berlaku sombong tanpa alasan yang benar, Allah menjadikan akbiat perbuatannya itu kejahilan. </div><div style="text-align: justify;">Tafakkur tentang keagungan Allah Swt akan melahirkan kerendahan hati dan kehinaan diri di hadapan Allah Swt. Sedangkan orang yang rendah hati (tidak sombong) akan mendapat taufik dari Allah untuk memahami dan menghayati ayat-ayat kekuasaan-Nya dan hikmah syariatnya, sebagaimana maksud ayat yang mulia di atas. Dengan kata lain bahwa orang yang rajin bertafakkur akan mendapatkan anugrah cahaya-cahaya ilmu dan pemahaman. Ia akan diajarkan dan dipahamkan langsung oleh Allah Swt ilmu-ilmu yang sebelumnya ia tidak ketahui.</div><div style="text-align: justify;">Namun, fenomena yang terjadi sekarang, pemahaman manusia tentang agama semakin menurun. Dan bahkan banyak pemahaman yang justru semakin hari semakin menyesatkan banyak orang. Hal ini selain diakibatkan karena kurangnya minat orang belajar agama sehingga mengakibatkan kejahilan tehadap agama, dan penafsiran terhadap teks-teks agama berdasarkan hawa nafsu yang dilakukan oleh sebagian kaum intelek, juga karena kurangnya kemampuan dan aktivitas manusia untuk bertafakkur menyelami hikmah dan tujuan syariat agama yang hanif ini. Seandainya meraka menyempatkan diri untuk banyak bertafakkur niscaya mereka tidak akan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang sesat. </div><div style="text-align: justify;">Fenomena jauhnya manusia dari agama ini sebenarnya telah diperingatkan oleh Nabi Saw empat belas abad silam. Beliau menjelaskan bahwa Islam suatu saat akan menjadi aneh. Hal ini tidak terjadi kecuali karena orang-orang telah sangat jauh dari Islam. Di Zaman sekarang keadaan ini sudah mulai tampak dari prilaku masyarakat yang jauh terhadap agama, kejahilan mereka terhadap agama, anti terhadap hukum agama sendiri, maksiat dan kemungkaran yang merajalela dsb. Semua itu membuktikan mukjizat Nabi Saw ketika beliau bersabda dalam hadis riwayat imam Muslim:</div><div style="text-align: justify;">بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ</div><div style="text-align: justify;">"Islam datang sebagai suatu yang aneh, dan ia akan kembali aneh sebagaimana datangnya pertama, maka beruntunglah orang-orang yang aneh (karena berpegang teguh terhadap ajaran Islam)." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">3. Menyadari Akibat Sebelum Bertindak </div><div style="text-align: justify;">Imam Ibnu Al-Jauzi berkata: "Barang siapa yang bertafakkur tentang segala akibat yang ditimbulkan oleh dunia, maka ia akan berhati-hati. Barang siapa yang yakin penjangnya perjalanan, maka ia akan bersiap-siap. Sungguh aneh dirimu yang meyakini sesuatu kemudian melupakannya, melihat bahaya sesaat namun sangat menakutinya. Engkau menakuti manusia, padahal Allah lah yang paling pantas engkau takuti. Dirimu dipenuhi oleh hal-hal yang masih engkau ragukan, tetapi tidak menghiraukan hal-hal yang engkau yakini." </div><div style="text-align: justify;">Beliau menasehati kita bahwa orang yang bertafakkur tentang resiko dan akibat kehidupan dunia ini. Setiap detik dari hidup ini akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt, dan akan menerima balasan baik atau buruk. Orang yang rajin bertafakkur akan mempersiapkan dirinya agar tidak terkena akibat buruk dunia di akhirat dan berusaha agar dapat meraih kebaikannya. Selain itu di dunia manusia juga akan mendapat ajrun mu'jjal (persekot kebaikan) bagi orang yang berbuat baik, dan juga keburukan bagi orang yang berbuat buruk. </div><div style="text-align: justify;">Banyak manusia yang yakin dengan adanya hari akhir di mana mereka akan diberi ganjaran terhadap seluruh perbuatan mereka di dunia, baik atau buruk, besar atau kecil, semuanya akan diperhitungkan, tidak akan ada yang terlewatkan dalam pengadilan Allah Swt. Tetapi kebanyakan mereka melupakan semua itu. Mereka hanya takut terhadap bahaya duniawi yang hanya sesaat. Mereka lebih menakuti sesama manusia dari pada menakuti Allah Yang Mahaperkasa dan maha membalas segala amal perbuatan. </div><div style="text-align: justify;">Kemudian beliau melantunkan sebuah syair:</div><div style="text-align: justify;">كَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ بِأَخْبَارِ مَنْ مَضَى وَ لَمْ تَرَ فِي الْبَاقِيْنَ مَايَصْنَعُ الدَّهْرُ </div><div style="text-align: justify;">فَإِنْ كُنْتَ لَا تَدْرِي فَتِلْكَ دِيَارُهُمْ مَحَاهَا مَجَالَُ الرِّيْحِ بَعْدَكَ وَ الْبَقَـرُ </div><div style="text-align: justify;">Seakan engkau tidak pernah mendengar kabar orang-orang terdahulu</div><div style="text-align: justify;">Dan belum pernah melihat apa yang dilakukan zaman terhadap mereka yang masih hidup. </div><div style="text-align: justify;">Jika memang engkau tidak mengetahuinya, maka lihatlah itu rumah-rumah (kuburan) mereka. Disapu bersih oleh desiran angin dan telapak kaki sapi </div><div style="text-align: justify;">4. Motivasi Amal Shalih</div><div style="text-align: justify;">Orang yang aktif bertafakkur akan lebih banyak merenungi nasibnya, di akhirat kelak. Merenungi nasibnya ketika tiba saatnya ia sampai di halte akhir kehidupannya di dunia. Di saat kebanyakan orang terlena oleh masa muda yang indah, gelamor dunia yang megah, mereka melupakan teman-temannya yang telah mendahuluinya meninggalkan dunia, karena terpedaya oleh thûl al-amal (panjang angan-angan). Sebagian yang lain mengatakan, "Sekarang waktunya menuntut ilmu dan besok kita beramal." Membiarkan diri terlena dengan alasan istirahat, "Nanti kita bertaubat kalau sudah tua", lupa bahwa kematian tidak kenal usia. Mengakhirkan taubat, padahal maut sering menjegal tanpa permisi. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi orang yang menjadikan tafakkur sebagai kebiasaannya, akan menyadari semua itu. Tafakkur akan membuahkan qashr al-amal (pendek angan-angan). Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan maksud qashr al-amal yaitu, menyadari dekatnya waktu berpulang, cepatnya perjalanan waktu, sehingga menjadikan seseorang lebih memfokuskan diri untuk memanfaatkan waktu dengan bersegera menggelar lembaran amal shalih, menyiapkan bekal safar yang panjang dan melengkapi kekurangan-kekurangan diri. Sebab ia tidak tahu kapan Rabb-nya akan menjemput dirinya secara tiba-tiba, dan ia tidak tahu akan bagaimana nasibnya ketika itu. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">5. Meluaskan Cakrawala Ilmu dan Pengetahuan</div><div style="text-align: justify;">Faidah dan manfa'at yang pertama dari tafakkur adalah menambah dan memperbanyak ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Dari mana para ulama terdahulu menghasilkan ilmu yang luas dan melimpah? Bagaimana mereka bisa menulis buku-buku turats yang demikian menakjubkan? Tidak diraguikan lagi bahwa, selain kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu, sebagian besar hasil tesebut bersumber dari hasil perenungan mereka terhadap ayat-ayat Allah yang tersurat maupun tersirat.</div><div style="text-align: justify;">Tabiat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang. Semakin lama akal manusia semakin maju. Apabila dalam akal seseorang terdapat sepuluh maklumat, maka elaborasi maklumat yang sepuluh ini, akan menghasilkan seratus maklumat lainnya dan yang seratus akan menghsilkan seribu maklumat dan seterusnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern saat ini. Manusia yang hidup seribu tahun lalu tidak mengetahui kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai manusia sekarang. </div><div style="text-align: justify;">Ayat-ayat Al-Quran yang menyerukan untuk bertafakkur:</div><div style="text-align: justify;">Selain menganjurkan kita untuk bertafakkur, Allah Swt di dalam Al-Qur'an memberi kita contoh beberapa ayat yang merupakan perumpamaan yang mengajak kita untuk bertafakkur. Sebagai contoh adalah ayat-ayat berikut ini: </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">1. Surat Al-Baqarah ayat 266 :</div><div style="text-align: justify;">أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (266)</div><div style="text-align: justify;">"Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Tiba-tiba kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, hingga terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya." (QS. Al-Baqarah: 266)</div><div style="text-align: justify;">Dalam ayat ini diperumpamakan seorang tua yang sangat mencintai kebunnya. Hatinya sangat bergantung pada kebun itu disebabkan karena beberapa hal, antara lain: Sesungguhnya kebun tersebut adalah kebun yang besar. Di dalamnya terdapat berbagai jenis pepohonan yang banyak dan sangat berharga, diantaranya adalah kurma dan anggur. Sumber air bagi kebun itu tidaklah sulit, karena air mengalir dari sungai yang ada di dalam kebun tersebut. Pemilik kebun itu adalah seorang yang sudah sangat tua, sehingga ia tidak bisa lagi bekerja mencari nafkah untuk keluarganya kecuali dengan mengharapkan hasil panen dari kebun itu. Keturunan pemiliki kebun itu masih Mempunyai kecil-kecil, kalau ia mati tidak ada sumber rezeki bagi anak-anaknya kecuali kebun itu. Jadi, ketergantungan hatinya terhadap kebun itu sangat besar. </div><div style="text-align: justify;">Maka akan seperti apa perasaan orang tua tersebut apabila kebunnya itu hancur begitu saja, karena diterpa badai yang mengandung api dan membakar seluruh isi kebun itu? Demikianlah Allah memberi perumpamaan bagi orang-orang yang beramal shalih, bersedekah, dan sebagainya, akan tetapi semua yang ia lakukan tidak diniatkan ikhlas karena Allah. Ia hanya mengaharapkan pujian dan sanjungan orang lain. Maka pada hari kiamat kecemasan-kecemasan akan mendatanginya dari segala penjuru, padahal ia sangat membutuhkan pahala kebaikannya di dunia, yang akan menyelamatkannya dari api nereka, terik matahari yang panas membara, titian shirat yang membentang di hadapannya, dan huru-hara hari kiamat yang lainnya. Tidak ada keselamatan baginya kecuali dengan amal shalih yang dilakukan ikhlas karena Allah Swt. Namun pahala amalannya hangus dan hancur karena riya dan ingin disanjung orang. </div><div style="text-align: justify;">2. Surat Yunus ayat 24: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (24) </div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti hujan yang kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan subur tanam-tanaman bumi karena air hujan itu, yang kemudian dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu menjadi indah dan terhiasi (dengan gunung, lembah dan tanaman yang menghijau), dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti dapat memetik hasilnya, tiba-tiba datanglah kepadanya urusan kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir." (QS. Yûnus: 24)</div><div style="text-align: justify;">Ayat di atas menggambarkan hakikat kehidupan dunia yang diumpamkan seperti air hujan yang turun dari langit dan menyatu dengan tumbuhan yang ada di bumi, kemudian tumbuhan tersebut menjadi indah dan enak di pandang bagi penghuninya. Namun ketika suatu waktu pemiliknya ingin menperoleh hasilnya, Allah Swt menetapkan hancurnya alam semesta ini. Demikianlah kehidupan dunia yang sifatnya penuh dengan kenikamatan dan kelezatan, keindahan kegemerlapan yang pada akhirnya akan hancur dan tiada tersisa. Allah menjelaskan perumpaan ini untuk kita, supaya bisa memikirkannya dan mengambil ibarat darinya sehingga tidak terjerumus dan terpedaya oleh gemerlap dunia yang semu dan sementara. </div><div style="text-align: justify;">Demikialan sekelumit tentang samudra Al-Quran yang perlu ditafakkuri. Siapa saja dapat menyelaminya semampunya. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk melakukannya dan menganugerahkan kepada kita hikmah hidup yang dapat menjadi penerang jalan menuju-Nya. Wallâhu A'lam </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Muhâsabah; Kunci Kemuliaan Diri</div><div style="text-align: justify;">Oleh; Umarulfaruq Abubakar, Lc.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Memulai pembahasan kali ini mari sejenak kita merenungi firman Allah Swt yang berbunyi:</div><div style="text-align: justify;">الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى </div><div style="text-align: justify;">“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan- kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Mahaluas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”(QS.Al-Najm: 32)</div><div style="text-align: justify;">Ayat Allah Swt tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa dan yang tidak. Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Dia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.</div><div style="text-align: justify;">Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan setan yang gencar dari segala penjuru. Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan setan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran untuk selalu murâqabah dan muhâsabah adalah satu kemestian.</div><div style="text-align: justify;">Pengertian Muhâsabah</div><div style="text-align: justify;">Secara bahasa muhâsabah berasal dari kata hâsaba-yuhâsibu yang berarti menghitung. Jadi muhâsabah merupakan usaha seorang muslim untuk menghitung dan mengevaluasi diri, berapa banyak dosa yang telah ia kerjakan dan apa saja kebaikan yang belum ia lakukan. Muhâsabah juga merupakan sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan 'Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.</div><div style="text-align: justify;">Sebagian ulama menyatakan bahwa muhâsabah adalah kesiapan akal untuk menjaga dirinya dari perbuatan khianat, dan senantiasa bertanya dalam setiap perbuatan yang ia lakukan; mengapa ia melakukannya dan untuk siapa ia lakukan? Apabila ternyata perbuatannya itu karena Allah, maka ia melanjutkannya. Namun bila ia berbuat karena selain Allah maka segera ia menghentikannya,dan menyalahkan dirinya atas kekurangan dan kesalahan yang ia lakukan. Bila mungkin, hendaknya ia berusaha untuk menghukum dirinya atau memalingkannya ke arah kebaikan.</div><div style="text-align: justify;">Urgensi Muhâsabah</div><div style="text-align: justify;">Muhâsabah adalah kewajiban yang sangat penting dilakukan. Ia adalah kunci kemuliaan dan kebersihan diri seorang muslim. Banyak ayat Al-qur'an yang menyiratkan perintah muhâsabah ini, antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1) Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Mujâdalah; 6</div><div style="text-align: justify;">يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ</div><div style="text-align: justify;">”Pada hari ketika Allah Swt. membangkitkan mereka semuanya, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkannya sementara mereka melupakannya. Dan Allah Swt. Maha Menyaksikan atas segala sesuatu"</div><div style="text-align: justify;">(QS. Al-Mujâdalah; 06)</div><div style="text-align: justify;">2) Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Zilzalah; 8-6</div><div style="text-align: justify;">يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتاً لِّيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ {6} فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ {7} وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ {8{</div><div style="text-align: justify;">”pada hari itu manusia berbangkit berpisah-pisah untuk diperlihatkan amalam mereka. Maka barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarrah maka dia akan melihat balasannya dan barang siapa yang berbuat kejahatan sebesar zarrah dia pun akan melihat balasannya" (QS. Al-Zilzalah; 8-6)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">3) Firman Allah Swt. dalam Surat Ali Imran; 30</div><div style="text-align: justify;">يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَراً وَمَا عَمِلَتْ مِن سُوَءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَداً بَعِيداً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَاللّهُ رَؤُوفُ بِالْعِبَادِ {30{</div><div style="text-align: justify;">"Pada hari kiamat tiap-tiap diri memperoleh segala kebajikan yang telah ia lakukan dihadirkan kepadanya, begitu pula dengan kejahatan yang ia kerjakan. Ia ingin agar kejahatan itu dijauhkan darinya. Dan memperingatkanmu terhadap siksa diri (siksa)-Nya. Dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya (Ali Imran; 30)</div><div style="text-align: justify;">4) Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Baqarah; 281</div><div style="text-align: justify;">وَاتَّقُواْ يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ {281{</div><div style="text-align: justify;">"Dan takutlah dengan suatu hari, yang dihari itu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudia akan disempurnakan (ganjaran) tiap-tiap orang (menurut) apa yang telah ia kerjakan, sedangkan mereka tidak dianiaya (QS. Al-Baqarah; 281)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selain ayat-ayat yan tersebut diatas, banyak lagi ayat lainnya yang menyiratkan perintah agar setiap muslim senantiasa melakukan muhâsabah untuk menghadapi kematian yang datangnya tiba-tiba.</div><div style="text-align: justify;">Muhâsabah adalah jalan orang-orang yang beriman. Seorang mukmin yang bertakwa kepada Rabb-nya akan selalu memuhâsabahi dirinya. Ia menyadari bahwa hawa syahwatnya tidak akan pernah membiarkan dirinya berjalan menuju kebaikan. Banyak cara yang digunakan nafsu syahwat untuk menggelincirkan manusia dari jalan kebenaran. Maka evalusi diri menjadi suatu yang penting untuk tetap menjaga keseimbangan diri agar selalu berada di jalan yang benar.</div><div style="text-align: justify;">Al-Hasan Al-Bashri berkata saat mengomentari firman Allah, walâ uqsimu binnafsillawwâmah, "Seorang mukmin akan selalu bertanya kepada dirinya; Apa tujuan dari pembicaraanku ini? Apa tujuan dari makanku ini? Apa tujuan dari minumku ini? Sementara seorang fâjir (pendosa) terus melangkah dan tidak pernah bertanya kepada dirinya." Dalam kitab Ighâtsatullahfân, Ibnul Qayyim menyatakan; "Sesungguhnya seluruh penyakit hati berasal dari dorongan nafsu, yang pada gilirannya penyakit ini akan berpengaruh kepada anggota tubuh yang lain." </div><div style="text-align: justify;">Oleh karena itu, seringkali dalam pembukaan pidatonya Rasulullah Saw memohon kepada Allah: </div><div style="text-align: justify;">الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا </div><div style="text-align: justify;">"Segala puji bagi Allah, kami mohon pertolongan, mohon petunjuk dan mohon ampun kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kami dan keburukan amalan kami." (HR. Ahmad, Tirmizi, Nasai dan Abu Daud) </div><div style="text-align: justify;">Beliau berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu dan amal-amal buruk yang disebabkan olehnya. Seorang mesti bersungguh-sungguh mencontoh hal ini dan berjuang menghadapi nafsunya dengan senantiasa melakukan muhâsabah. Sebab banyak sekali kebaikan yang akan luput dari orang yang tidak melakukan muhâsabah. Seorang muslim hendaknya memelihara dirinya dari perkara yang haram dan menjauhi dirinya dari perkara syubhat. Apalagi bagi penuntut ilmu. Sebab bila ia tidak menjaga dirinya maka ilmunya tidak akan bermanfaat. Bahkan akan menjadi saksi yang buruj di hadapan Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">Penjagaan diri adalah pokok segala keutamaan. Sementara kelalaian akan menjauhkan seseorang dari kebenaran. Orang yang berilmu seharusnya melakukan muhâsabah dengan sungguh-sungguh terhadap dirinya. Hal ini dapat memberikan manfaat kepada dirinya dan orang-orang yang disekitarnya. Sebaliknya kelalaiannya dalam hal ini akan menyesatkan dirinya dan menyesatkan orang-orang disekitarnya. Disisi lain, kebiasaan melakukan muhâsabah dalam segala hal dapat meminimalisir terjadinya kesalahan yang berulang. Kebiasaan ini juga menjadikan seseorang produktif dalam berkarya dan meningkatkan kualitas amal perbuatannya.</div><div style="text-align: justify;">Dalam sebuah kesempatab Umar bin Khattab pernah berpesan:</div><div style="text-align: justify;">حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَزِنُوْا أَعْمَالَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا فَإِنَّهُ أَهْوَنُ فِى الْحِسَابِ غَدًا أَنْ تُحَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ</div><div style="text-align: justify;">"Hisablah diri kalian sebelum kelak di hisab di akhirat dan timbanglah amalan kalian sebelum nantinya ditimbang di hari kiamat. Sungguh lebih mudah kamu menghisab dirimu sekarang daripada nanti besok dihisab di padang mahsyar." </div><div style="text-align: justify;">Apa Yang Harus Dimuhâsabah dan Kapan Dilakukan?</div><div style="text-align: justify;">Seorang pedagang yang cerdas akan menghitung laba setiap hari agar mengetahui untung-rugi perdagangannya. Seorang mukmin ibarat pedagang yang selalu mengontrol modal, keuntungan, dan kerugian, agar dapat diketahui apakah dagangannya itu untung atau rugi. Modal seorang mukmin adalah Islam yang mencakup segala perintah, larangan, tuntutan, dan hukum-hukumnya. Keuntungan akan diperoleh bila kita melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya. Dan kerugian akan didapat bila kita melakukan perbuatan dosa dan maksiat.</div><div style="text-align: justify;">Ketika kita selalu memperhatikan modal, memperhitungkan keuntungan dan kerugian, bertobat dikala melakukan kesalahan dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan, Insya Allah kita termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari penghisaban, yaitu hari kiamat. Maka kita pun hendaknya menghitung dan memuhâsabah diri kita, karena pada dasarnya kita sedang melaksanakan perdagangan dengan Allah Swt. atas diri dan harta kita. Allah Swt. telah membelinya dengan surga sebagaimana firman Allah Swt., “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS.Al-Taubah: 111)</div><div style="text-align: justify;">Ibnul Qayyim menyatakan bahwa waktu muhâsabah itu ada dua; muhâsabah yang dilakukan sebelum melaksanakan sesuatu dan muhâsabah yang dilakukan setelah melakukan sesuatu. Berikut ini adalah penjelasan waktu muhâsabah yang dimaksud.</div><div style="text-align: justify;">Pertama; Muhâsabah sebelum melakukan sesuatu</div><div style="text-align: justify;">Ialah dengan memperhatikan niat dan keinginan diri sebelum melakukan suatu hal. Muhâsabah ini hendaklah dilakukan sejak munculnya lintasan hati (khawâthîr) dalam diri. Hal ini dilakukan dengan bertanya kepada diri; apakah pekerjaan ini karena Allah atau tidak? Bila pekerjaan tersebut karena Allah, maka silahkan melanjutkannya, namun bila bukan karena Allah, hendaklah ia secepat mungkin meninggalkannya.</div><div style="text-align: justify;">Al-Hasan berkata: "Sungguh Allah merahmati seorang hamba yang memperhatikan keinginannya dan melakukan muhâsabah terlebih dahulu. Apabila pekerjaan itu karena Allah dia segera melaksanakannya, namun bila perbuatan itu bukan karena-Nya dia meninggalkannya secepatnya"</div><div style="text-align: justify;">Dalam proses muhâsabah sebelum melakukan suatu pekerjaan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:</div><div style="text-align: justify;">1. Apakah ia mampu melakukannya?</div><div style="text-align: justify;">2. Apakah melaksanakannya lebih baik dari meninggalkannya?</div><div style="text-align: justify;">3. Apakah perbuatan ini dilakukannya karena Allah?</div><div style="text-align: justify;">4. Apa saja sarana yang akan ia gunakan dalam hal ini?</div><div style="text-align: justify;">Kedua; Muhâsabah Setelah Melakukan Suatu Kegiatan</div><div style="text-align: justify;">Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan: </div><div style="text-align: justify;">Pertama; memuhâsabah diri atas ketaatan yang kurang maksimal dilakukan. Seperti kurangnya khusyu' ketika shalat, atau rusaknya nilai puasa karena maksiat yang dilakukan atau tidak sempurnanya haji karena beberapa pelanggaran. Perlu juga ditanyakan kepada diri sendiri; apakah saya telah melakukan ketaatan ini dengan sempurna? Apakah sudah sesuai dengan tuntunan sunnah? Apakah ada yang kurang? </div><div style="text-align: justify;">Dalam melakukan ketaatan ada enam hak Allah yang harus dipenuhi oleh seorang hamba. Enam perkara inilah yang harus sering kali dipertimbangkan dan dievaluasi olehnya. </div><div style="text-align: justify;">1. Keikhlasan melaksanakannya</div><div style="text-align: justify;">2. Walâ' (loyalitas) kepada Allah</div><div style="text-align: justify;">3. Sesuaikah dengan sunnah Rasulullah Saw?</div><div style="text-align: justify;">4. Apakah telah diupayakan untuk membaguskan dan menyempurnakannya</div><div style="text-align: justify;">5. Pengakuan bahwa ketaatan ini adalah nikmat dari Allah</div><div style="text-align: justify;">6. Pengakuan tentang kekurangan diri dalam melaksanakan ibadah</div><div style="text-align: justify;">Bila muhâsabah itu perlu dilakukan ketika melaksanakan ketaatan maka muhâsabah ketika melakukan kemaksiatan tentunya lebih perlu lagi. Evaluasilah segala pelanggaran yang dilakukan oleh mata, telinga, lidah, tangan, kaki, perut, kemaluan dan anggota tubuh lainnya. Sebab maksiat dan dosa berdatangan dari semua itu. Rasulullah Saw bersabda: </div><div style="text-align: justify;">إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ</div><div style="text-align: justify;">"Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina; ia akan pasti akan menemukan hal itu. Zina mata adalah pandangan, zina lidah adalah ucapan, zina jiwa adalah khayalan dan syahwat dan kemaluan akan membuktikan hal itu atau menafikannya." (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Dalam Shahih imam Muslim dari sanad yang lain ditambahkan:</div><div style="text-align: justify;">وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِي فَزِنَاهُ الْقُبَلُ </div><div style="text-align: justify;">"Dan kedua tangan berzina, zinanya adalah pegangan, kedua kaki berzina, zinanya adalah langkah, bibir berzina, zinanya ciuman." (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Dari riwayat imam Muslim juga dengan sanad yang lain ditambahkan: </div><div style="text-align: justify;">وَالْأُذُنُ زِنَاهَا الِاسْتِمَاعُ</div><div style="text-align: justify;">"Dan telinga, zinanya adalah pendegnaran." (HR. Muslim) </div><div style="text-align: justify;">Kedua; memuhâsabah diri atas segala perbuatannya yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan, bila ia melalaikan dari ibadah yang utama. Seperti seorang yang sibuk dengan shalat malam sementara shalat shubuhnya terlewatkan. Disini kita dituntut merenung dan berfikir untuk melakukan amal yang terbaik, dan meninggalkan amalan lain yang kurang utama atau dapat menghalangi diri untuk melaksanakan amalan terbaik tadi.</div><div style="text-align: justify;">Ketiga; memuhâsabahi diri atas pekerjaan-pekerjaan yang mubah. Untuk apa hal ini saya lakukan, apakah saya melakukan ini karena mengharap ridha Allah, apakah hal ini ada manfaatnya bagi diri saya di dunia dan akhirat, adakah pekerjaan lain yang bisa saya lakukan yang lebih bermanfaat dari pekerjaan ini? Dan seterusnya. Dengan selalu bertanya seperti ini, maka keuntungan yang akan didapatkan semakin berlipat ganda. Seluruh amal perbuatan akan lebih berkualitas dan bernilai ibadah di sisi Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">Cara Mengevalusi dan Mengetahui Kekurangan Diri</div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya bila Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah akan memberikan kesempatan kepada hamba tersebut untuk mengetahui aib dan kekurangannya untuk diperbaiki di kemudian hari. Dalam kitab Ihya 'Ulum Ad-dîn, Imam Al-Ghazali menyebutkan empat cara yang bisa digunakan untuk mengetahui kekurangan diri sendiri:</div><div style="text-align: justify;">Pertama; duduk di hadapan seorang syekh yang bisa melihat aib dan kekurangan diri, minta pengarahan darinya untuk menunjukkan kekurangan yang ada sekaligus meminta solusi bagaimana menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Kedua; meminta kepada kawan yang jujur dan baik dalam beragama untuk mengawasi dan mengingatkannya serta menunjukkan kepadanya kekurangan dirinya. Demikianlah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang shaleh dan para ulama. Umar bin Khattab pernah berkata; "Semoga Allah merahmati orang-orang yang mau menunjukkan kepadaku akan aib dan kekuranganku". Dalam sebuah pepatah dikatakan; temanmu adalah orang yang berkata benar tentangmu, bukan orang yang selalu membenarkanmu.</div><div style="text-align: justify;">Ketiga; memanfaatkah lidah para musuh. Orang yang dihatinya ada kedengkian dan permusuhan akan selalu mencari-cari kekurangan orang yang dimusuhinya. Hal ini ini bisa dimanfaatkan untuk mengetahui celah-celah diri dan kemudian memperbaikinya. Musuh yang selalu dapat menunjukkan dan memberikan masukan tentang kekurangan diri jauh lebih bermanfaat daripada kawan yang hanya bisa memuji dan membenarkan kita dalam setiap tindakan. </div><div style="text-align: justify;">Keempat; memperluas pergaulan dan interaksi. Seorang mukmin adalah cermin dari saudaranya. Ia dapat memperhatikan tingkah laku orang-orang yang ada di sekitarnya untuk memperbaiki dirinya. Apa yang baik dicontohnya dan apa yang buruk dari perilaku mereka segera ditinggalkannya. Nabi Isa a.s. pernah ditanya; siapakah yang mendidikmu (sehingga engkau bisa memiliki akhlak yang mulia)? Nabi Isa menjawab; "Tidak seorang pun yang mendidikku. Hanya saja bila aku melihat perbuatan yang tidak terpuji dari seseorang, maka aku menjauhi perbuatan itu. </div><div style="text-align: justify;">Tahapan-Tahapan Peningkatan Diri</div><div style="text-align: justify;">Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.</div><div style="text-align: justify;">Dalam Al-Quran Allah befirman:</div><div style="text-align: justify;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ </div><div style="text-align: justify;">Hai orang-orang yang beriman, sabarlah kamu dan teguhkanlah kesabaranmu dan bersiap-siagalah (QS. Ali-Imrân: 200)</div><div style="text-align: justify;">Keinginan untuk menata diri menjadi lebih baik tidak cukup sekedar keinginan dan hanya berakhir dengan ucapan. Keinginan mulia yang ada di hari ini mesti ditindaklanjuti dengan proses yang nyata dalam kehidupan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam usaha peningkatan diri, para ulama menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang mesti dilalui. </div><div style="text-align: justify;">Tahapan-tahapan tersebut adalah Musyârathah (berjanji dengan diri sendiri) kemudian diikuti oleh Murâqabah (merasa diawasi Allah) yang disertai dengan Mujahadah (bersungguh-sungguh). Setelah perjuangan yang sungguh-sungguh itu lakukanlah Muhâsabah (evaluasi) dan Mu'atabah (mencela diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan). Bila ternyata diri ini banyak berbuat kelalaian dan tidak sesuai dengan perjanjian awal yang sudah dibuat, maka lakukanlah Mu'aqabah (menghukum diri sendiri), dan bila ternyata dia mampu berbuat sesuai harapan atau lebih dari apa yang diinginkan maka berikanlah ia Mukafa'ah (memberi hadiah). </div><div style="text-align: justify;">• Musyarathâh atau Mu'ahadah (Berjanji dengan diri sendiri) </div><div style="text-align: justify;">Musyarathâh atau Mu'ahadah berarti mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah Swt di alam ruh. Di sana sebelum menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi atas hal itu.” (QS. Al-A'râf:172). Musyarathâh atau Mu'ahadah juga sebuah bentuk perjanjian dengan diri sendiri untuk berbuat yang terbaik di hari ini sesuai dengan apa yang Allah perintahkan.</div><div style="text-align: justify;">Kegiatan berjanji dengan diri sendiri ini bisa dilakukan setiap bulan, setiap minggu atau setiap hari. Semakin sering dilakukan maka kesadaran akan tugas dan tanggung jawab diri ini semakin tinggi. Hanya perlu meluangkan sedikit waktu untuk melakukannya. Setelah shalat shubuh misalnya, duduk sejenak sekitar lima belas menit untuk mengevaluasi hubungannya dengan Allah dan mengigat-ingat kewajiban yang Allah tetapkan kepadanya. Setelah ingat akan kewajiban kepada Allah, mulailah mengingat-akan kewajiban dan tugas yang diamanahkan kepadanya, baik menyangkut urusan ruamh tangga, kerja, karir, studi, sosial dan lain sebagainya. </div><div style="text-align: justify;">Perlu terus diingatkan kepada diri bahwa kehidupan ini begitu singkat. Waktu akan cepat berlalu. Bila hari ini dia tidak berbuat yang terbaik maka kesempatan untuk berbuat itu akan berlalu begitu saja. Buat perjanjian dengan diri sendiri bahwa hari ini saya akan berbuat yang terbaik, hari ini sekian tugas akan saya selesaikan, sekian amanah akan saya tunaikan, dan sekian kewajiban akan saya selesaikan sepenuh hati. Dengan ber-mu'ahadah, kesadaran diri lebih meningkat, perencaanan lebih matang, hidup lebih terarah, lebih disiplin, tertib dan efisien dalam menggunakan waktu. Detik demi detik bisa dilalui dengan penuh produktifitas dan menjadi sebuah rangkaian ibadah kepada Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">• Murâqabah (Merasa diawasi Allah)</div><div style="text-align: justify;">Setelah perjanjian ini dilakukan, maka mulailah memperhatikan dan mengawaasi janji yang dilakukan. Sebab diri ini ingin bersenang-senang dan berlepas dari kewajiban dan amanah yang harus ia laksanakan. Hal ini untuk menjaga agar perjanjian yang dilakukan sebelumnya bisa dipenuhi dan diwujudkan dengan baik. Setiap ingin melakukan sesuatu, dalam diri berusaha dihadirkan perasaan merasa diawasi oleh Allah Swt. Allah Maha Melihat dan memperhatikan segala gerak-gerik dengan teliti. Dia tahu tentang gerak-gerak itu ketika baru sebagai lintasan pikiran bahkan jauh sebelum itu. </div><div style="text-align: justify;">Perasaan selalu diawasi oleh Allah adalah perasaan yang patut ditumbuhkan dalam hati seorang mukmin. Sebuah keyakinan bahwa seluruh gerak-geriknya disaksikan oleh Allah. Keyakinan kuat yang menjadikannya selalu merasa malu dan takut kepada Allah, baik karena tidak sempurna melaksanakan perintah dan banyak melanggar larangan. Orang yang dapat mencapai derajat ini, berarti telah mencicipi derajat Ihsân. Derajat di mana menyembah Allah, seolah-oleh ia melihatnya. Rasulullah Saw bersabda ketika ditanya malaikat jibril tentang Ihsân ini: </div><div style="text-align: justify;">مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ</div><div style="text-align: justify;">"Engkau menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jikapun kamu tidak melihat-Nya maka Dia pasti melihatmu" (HR. Bukhari dan Muslim)</div><div style="text-align: justify;">Adanya keyakinan seperti ini mendorong setiap orang untuk selalu mengikhlaskan hati dalam berbuat. Sebab, kesalahan dalam berniat dapat menyebabkan rusaknya amal. Allah meliahat gerak-gerik makhluk-Nya, termasuk kita, manusia. Getaran-getaran maksiat yang terdetik di hati seluruhnya diketahui oleh Allah. Disaat sendiri, godaan untuk berbuat maksiat itu biasanya lebih kuat. Baik itu zina mata, telinga, zina hati, dan berbagai bentuk maksiat lainnya. Padahal saat itu kita tidak sendiri. Ada satu Zat yang selalu memperhatikan;</div><div style="text-align: justify;">وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ</div><div style="text-align: justify;">"Dan Dia selalu bersama kamu dimana saja kamu berada" (QS. Al-Hadîd: 04)</div><div style="text-align: justify;">Suatu saat Khalifah Umar menguji seorang penggembala untuk menjual seekor anak kambingnya dan mengatakan kepada tuannya bahwa anak kambing itu dimakan serigala. "Fa ainallah?" (lalu, dimanakah Allah)?" Tanya si penggembala kepada Umar. Jawaban anak gembala ini membuat Umar r.a. menangis tersedu-sedu. Dimanakah Allah? Memang saat ini hanya kita berdua, ataupun sendiri, tapi dimanakah Allah? Bukankah Dia selalu menatap makhluk-Nya? Orang yang selalu merasakan hadirnya pengawasan Allah akan memegang teguh janji dan amanah yang dibebankan kepadanya sebagai makhluk. </div><div style="text-align: justify;">Tingkatan Murâqabah</div><div style="text-align: justify;">Menurut Imam Al-Ghazali, murâqabah itu mempunyai dua tingkatan. Tingkatan tersebut adalah:</div><div style="text-align: justify;">Pertama, tingkatan orang-orang yang dekat degnan Allah (Al-Muqarrabûn). Dalam tingkatan ini, seorang hamba merasakan kebesaran Allah dalam setiap detik hidupnya. Ia seakan tenggelam dalam samudra keagungan-Nya. Sehingga kehadiran manusia, setinggi apapun kedudukannya, tidak lagi berpengaruh di hatinya. Sebab keyakinannya akan kehadiran Allah telah kuat terpatri di lubuk hatinya. </div><div style="text-align: justify;">Kedua, tingkatan orang-orang yang zuhud. Dalam tingkatan ini seorang hamba merasa malu dengan pengawasan Allah. Ia merasa malu kepada Allah yang selalu hadir dalam setiap geraknya. Perasaan malu ini mengontrol dirinya untuk selalu berada di jalan kebenaran.</div><div style="text-align: justify;">Menumbuhkan Murâqabah </div><div style="text-align: justify;">Dalam buku Taujîhât Nabawiyyah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh menyebutkan bahwa perasaan murâqabah ini bisa ditumbuhkan dengan keyakinan bahwa Allah mengetahui apa yang dilakukan setiap manusia, sebagimana firmannya:</div><div style="text-align: justify;">وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ (3)</div><div style="text-align: justify;">"Dan Dia-lah Allah (yang disembah) di langit dan di bumi; dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, serta mengetahui semua yang kamu usahakan." (QS. Al-An'âm: 3). </div><div style="text-align: justify;">Dan keyakinan bahwa Allah akan memperhitungkan dan membalas segala perbuatan manusia, sebagaimana firmannya:</div><div style="text-align: justify;">وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا (49)</div><div style="text-align: justify;">"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang durhaka dan pendosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Alangkah celakanya kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya, dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan di hadapannya (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun." (QS. Al-Kahf: 49)</div><div style="text-align: justify;">Untuk melestarikan perasaan murâqabah ini, ada dua cara yang dapat dilakukan; pertama, selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah. Kedua, tidak memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin. </div><div style="text-align: justify;">• Mujâhadah (berjuang sungguh-sungguh)</div><div style="text-align: justify;">Mujahadah adalah upaya keras untuk berjuang melawan diri sendiri, dengan bersungguh-sungguh melaksanakan perintah kepada Allah serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka'ab bin Malik r.a. sehingga tidak ikut serta dalam perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang ber-mujahadah dan terlena menikmati hawa kebunnya yang sejuk di kota Madinah. Ka'ab bin Malik r.a. akhirnya harus membayar mahal kelalaian ini dengan pengasingan atau pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya. Ka'ab r.a. mengakui dengan jujur kelalaian dirinya, sehingga kejujurannya inilah yang menyebabkan beliau diampuni oleh Allah Swt.</div><div style="text-align: justify;">Rasulullah Muhammad Saw terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Afalâ akûnu 'abdan syakuran?" (tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur).</div><div style="text-align: justify;">Diri ini memang perlu dipaksa untuk melakukan hal-hal yang baik dan meniggalkan hal-hal yang buruk. Sebab sudah menjadi tabiat nafsu cenderung bersenang-senang dan bermalas-malasan. Dia hanya suka kepada kenikmatan-kenikmatan tanpa memperhatikan apa dibalik kenikmatan yang semu itu. Maka perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk membawa nafsu, mendidik dan mengarahkannya ke hal-hal yang diridhai Allah Swt. Allah berjanji:</div><div style="text-align: justify;">وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ</div><div style="text-align: justify;">"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" (Q.S. Al-Ankabut: 69)</div><div style="text-align: justify;">• Muhâsabah (Evaluasi diri)</div><div style="text-align: justify;">Tentang muhâsabah ini telah dijelaskan di atas. Intinya bahwa setiap orang harus melalui proses mu'ahadah, muraqabah dan mujahadah. Setelah itu, yang penting dilakukan selanjutnya adalah melakukan evaluasi atau muhasabah atas apa yang telah dilakukan. Muhâsabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengevaluasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Cukup meluangkan waktu sejenak sebelum tidur, sekitar lima sampai sepuluh menit, untuk mengingat kehidupan yang dilalui pada hari ini, sejak bangun pagi hingga hendak tidur. </div><div style="text-align: justify;">Bila ternyata ada kesalahan dalam perjalanan hari ini, atau ada kewajiban yang belum tertunaikan, atau ada kelalaian yang dilakukan maka segera ucapkan 'Astghfirullah' seraya memohon kepada Allah agar diampuni kesalahan-kesalahan ini dan diberi taufiq agar dapat melakukan kebaikan-kebaikan di hari-hari selanjutnya. Bila ada perbuatan baik yang dilakukan, ucapkan 'Alhamdulillah' sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah sembari memohon agar diberikan keteguhan dalam melaksanakan kebaikan. Bela berhubungan dengan hak manusia, maka beristigfarlah kepada Allah, kemudian mintalah kerelaan orang itu keesokan harinya. Kalaupun tidak bisa, gantilah dengan memintakan ampun terhadap orang itu dan mendoakan untuknya kebaikan dunia dan akhirat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">• Mu'atabah (Mencela diri sendiri)</div><div style="text-align: justify;">Abu Bakar Al-Siddiq pernah berkata; "Barang siapa yang memarahi dirinya karena Allah maka ia akan aman dari kemarahan Allah." Hawa nafsu memang perlu terus didik dan dilatih untuk selalu berada di jalan yang benar. Sebab ia adalah musuh yang paling berbahaya jika diperturutkan. Sejak awal ia diciptakan dengan sifat ammaratun bissû', yaitu senantiasa memerintah untuk berbuat kejelekan dan cenderung kepada kejahatan. Bila ia tidak dipaksa dan diarahkan menuju kebaikan, maka ia sendiri yang akan menggiring manudia kepada kejahatan.</div><div style="text-align: justify;">Hawa nafsu perlu untuk terus di'marahi', dicela dan diajak kepada cahaya kebenaran sampai dia benar-benar cinta kepada kepada kebenaran itu. Nafsu ini bila tidak disibukkan dengan kebenaran maka ia akan menyibukkan kita dengan kebatilan. Dalam sebuah pepatah disebutkan: </div><div style="text-align: justify;">نَفْسُكَ إِنْ لَمْ تُشَغِّلْهَا بِالْحَقِّ شَغَّلَتْكَ بِالْبَاطِلِ</div><div style="text-align: justify;">"Nafsumu jika kau tidak menyibukkannya dengan kebenran niscaya ia akan menyibukkan dirimu dengan kebatilan." </div><div style="text-align: justify;">Berbahagialah seorang hamba yang mengenal dirinya dan selalu berusaha untuk mempebaikinya. Dialah hamba beruntung karena semakin ia bersungguh-sungguh menata dirinya dan membersihkannya dari segala kotoran yang melekat, semakin dekat pula ia kepada ampunan dan kasih saying Allah Swt. </div><div style="text-align: justify;">Ketika lima hal ini sudah dilakukan, maka ada dua berikutnya yang perlu diperhatikan, yaitu mu'âqabah dan mukâfa'ah.</div><div style="text-align: justify;">• Mu'aqabah (Menghukum diri sendiri)</div><div style="text-align: justify;">Bila ia melihat dirinya banyak melakukan kelalaian, maka perlu diberikan hukuman kepada diri ini, sebab bila tidak ia akan terus berulang melakukan kesalahan sebelumnya. Proses menghukum diri ini tidak sampai membuat dia payah sehingga tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Penghukuman ini juga tidak dilakukan terus menerus sehingga diri menjadi terbiasa dengan hukuman yang ada dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap perbaikan diri. Yang perlu untuk terus diusahakan adalah menyempurnakan segala apa yang sudah ditetapkan dalam perjanjian sebelumnya. </div><div style="text-align: justify;">Amirulmukminin Umar bin Khaththab r.a. terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu'aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Hukumlah dirimu sebelum kelak engkau dihukum”. Umar r.a. sendiri pernah terlalaikan dari menunaikan shalat Zuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun itu beserta isinya untuk keperluan fakir miskin. </div><div style="text-align: justify;">Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau lupa berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya. Ibnu Umar melaksanakan qiyam sepanjang malam bila ia tidak sempat melaksanakan shalat berjamaah. Hukuman kepada diri bisa juga dilakukan dengan melarangnya melakukan beberapa hal mubah yang ia sukai sementara waktu, seperti tidak menuruti keinginannnya untuk datang ke tempat-tempat tertentu, tidak makan makanan tertentu yang sangat ia sukai, atau mengurangi jatah tidur dan istirahat yang seharusnya dengan melakukan hal-hal lain yang bermanfaat dengan menegaskan kepada diri, bahwa semua ini saya lakukan karena kesalahan yang telah dilakukannya.</div><div style="text-align: justify;">• Mukâfa'ah (Memberi hadiah)</div><div style="text-align: justify;">Mukâf'ah ini adalah kebalikan dari mua'qabah. Ketika diri ini bisa melaksanakan segala apa yang telah direncanakan sebelumnya atau berbuat yang lebih baik dari pada apa yang dipikirkan sebelumnya, atau bisa melaksanakan target yang sudah dicanangkan dengan sebaik-baiknya, maka tidak ada salahnya kita memberinya hadiah. </div><div style="text-align: justify;">Diri yang patuh, taat dan cinta kebaikan sudah sepantasnya kita beri dia hadiah, agar terpacu semangatnya untuk melakukan kebaikan-kebaikan berikutnya. Hal ini juga adalah salah satu cara menyayangi, mencintai dan menghargai diri sendiri. Hadiah yang diberikan bisa bermacam-macam, seperti membawanya untuk sedikit rehat dan menikmati tempat-tempat yang indah, membelikannya makanan yang ia sukai, membelikannya sebuah barang yang berharga dan lain sebagainya. </div><div style="text-align: justify;">Keuntungan Ber-muhâsabah</div><div style="text-align: justify;">Seseorang yang rajin ber-muhâsabah akan mudah melakukan perbaikan pada dirinya. Ia juga akan rajin meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisa baik dan buruk dirinya. Sehingga ia mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan, serta kekurangan yang harus diperbaiki, ditutupi dengan kebaikan atau dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.</div><div style="text-align: justify;">Jika dirinci, paling tidak ada lima keuntungan yang akan diraih orang yang rajin melakukan muhâsabah:</div><div style="text-align: justify;">1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.</div><div style="text-align: justify;">2. Istiqamah di atas syari'at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak, maka cobaan sebesar apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah Saw sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).</div><div style="text-align: justify;">3. Aman dari berat dan sulitnya hisab Allah di hari kiamat nanti </div><div style="text-align: justify;">4. Disisi lain, kebiasaan melakukan muhâsabah dalam segala hal dapat meminimalisir terjadinya kesalahan yang berulang. Kebiasaan ini juga menjadikan seseorang produktif dalam berkarya dan meningkatkan kualitas amal perbuatannya.</div><div style="text-align: justify;">5. Masuk surga tanpa hisab. Dalam sebuah Hadis Rasulullah Saw. bersabda: “Ada tujuhpuluh ribu orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do'akan aku termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, engkau kudo'akan termasuk di antara mereka”, sahut Nabi Saw. Ketika ada sahabat lain meminta hal yang serupa, Nabi Saw. menjawab dengan singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?” Tanya seorang sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat.” </div><div style="text-align: justify;">Fenomena muhâsabah merupakan sifat dan kebiasaan Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Karenanya, kebiasaan baik ini jangan sampai hilang dari kehidupan umat ini. Rasulullah Saw bersabda, </div><div style="text-align: justify;">اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ</div><div style="text-align: justify;">”Orang yang cerdas adalah orang yang melakukan muhasabah terhadap dirinya dan beramal untuk kepentingan akhiratnya.” (HR. Ahmad dan Tirmizi). Wallahu a'lam bishshawab</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Daftar Pustaka</div><div style="text-align: justify;">1. Ikhlas</div><div style="text-align: justify;">- Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Al-Musnad, Dar el-Hadits, Kairo, 2005</div><div style="text-align: justify;">- Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahîh Bukhari, Dar es-Salam, Riadh, 1998, </div><div style="text-align: justify;">- Imam Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Dar es-Salam, Riadh, 1998,</div><div style="text-align: justify;">- Imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fathul Bâri, Dar et-Taqwa, Kairo, 2000</div><div style="text-align: justify;">- Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Al-Mathba'ah al-Mishriyyah, Kairo</div><div style="text-align: justify;">- Taqiuddin Ibnu Daqiq al-'Ied, Ihkâmul Ahkâm Syarh Umdatul Ahkâm, Dar el-Fikr, Beirut </div><div style="text-align: justify;">- Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al-Baghdadi ad-Dimasyqi (Ibnu Rajab al-Hanbali), Jami'ul 'Ulûm wal Hikam, Dar el-'Aqidah, Kairo, 2002</div><div style="text-align: justify;">- Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, Silsilatu A'mâlil Qulub, Dar el-Fajr lit Turâts, Kairo, 2005 </div><div style="text-align: justify;">2. Tawakkal</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Bukhari</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Muslim</div><div style="text-align: justify;">- Imaduddin Abul Fida Ismail bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsirul Quranil 'Azhim, Maktabah Ash-Shofa, Kairo, 2004</div><div style="text-align: justify;">- Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim al-Jauziyah, Madarijus Sâlikîn baina Manâzili Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în, Dar el-Hadits, Kairo, 2003</div><div style="text-align: justify;">- Sayyid Hawwa, Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus, Dar es-Salam, Kairo, 2007</div><div style="text-align: justify;">- Silsilatu A'mâl Al-Qulûb (Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid)</div><div style="text-align: justify;">3. Taqwa</div><div style="text-align: justify;">- Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Jâmi'ul Bayân 'an Âeil Qurân, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Ibnu Katsir</div><div style="text-align: justify;">- Sahih Bukhari</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Muslim</div><div style="text-align: justify;">- Musnad Ahmad</div><div style="text-align: justify;">- Abu 'Îsa Muhammad bin Îsa at-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Maktabah Al-Ma'ârif lin Nasyr wat Tauzî', Riyadh, tanpa tahun. </div><div style="text-align: justify;">- Imam Tqiyuddin Abul Abbâs Ahmad bin Abdul Halîm bin Taimiyah al-Harrâny, Majmu' Fatâwa, Dar el-Wafâ', Kairo, 2005</div><div style="text-align: justify;">- Madarij Salikin (Imam Ibnul Qayyim)</div><div style="text-align: justify;">- Silsilah A'mâlil Qulûb (Syeikh Shalih al-Munajjid)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">4. Mahabbatullah</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Thabari (Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Al-Quran Al-Azhîm (Ibnu Katsir)</div><div style="text-align: justify;">- Fathul Bâri (Ibnu Hajar al-Asqalâny)</div><div style="text-align: justify;">- Madârijus Sâlikîn (Ibnu Qayyim al-Jauziyah)</div><div style="text-align: justify;">- Majmu' Fatawa (Ibnu Taimiyah)</div><div style="text-align: justify;">- Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytâqîn, Dar el-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1992</div><div style="text-align: justify;">- Imam Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyâ' Ulumiddin, Maktabat al-Iman, Kairo, 1996</div><div style="text-align: justify;">- Silsilah A'mâlil Qulûb (Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid) </div><div style="text-align: justify;">5. Wara'</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Bukhari (Imam Bukhari)</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Muslim (Imam Muslim)</div><div style="text-align: justify;">- Musnad Ahmad (Imam Ahmad bin Hanbal)</div><div style="text-align: justify;">- Sunan Tirmidzi (Abu 'Îsa at-Tirmîdzi) </div><div style="text-align: justify;">- Sunan Ibnu Majah, Maktabah Al-Ma'ârif lin Nasyr wat Tauzî', Riyadh, tanpa tahun </div><div style="text-align: justify;">- Madarijus Sâlikîn (Ibnu Qayyim al-Jaziyah)</div><div style="text-align: justify;">- Ihya' Ulumiddin (Imam Al-Ghazali)</div><div style="text-align: justify;">- Sisilatu a'mâlil Qulûb (Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid) </div><div style="text-align: justify;">- Syeikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn, Syarh Riyâdhus Shâlihin, Maktabah al-Îmân, Kairo</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">6. Khauf</div><div style="text-align: justify;">- Imam Abil Laits Nasr bin Muhammad al-Samarqandi, Tanbîhul Ghâfilin, Dar el-Fajr Lit Turats, 2004, Kairo </div><div style="text-align: justify;">- Ihya Ulumiddin, (Imam al-Ghazali) </div><div style="text-align: justify;">- Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Ibnu Katsir)</div><div style="text-align: justify;">- Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Tasîrul Karîmir Rahmân Fî Tafsîr Kalâmil Mannân, Dar el-'Aqidah, 2007, Kairo</div><div style="text-align: justify;">- Majmû' Fatâwâ (Imam Ibnu Taimiyah)</div><div style="text-align: justify;">- Muhammad Ahmad bin Abdurrahman bin Qudâmah al-Maqdisi (Ibnu Qudâmah Al-Maqdisi), Mukhtashor Minhâjul Qâshidîn, Dar el-Fajr lit Turats, 2005, Kairo </div><div style="text-align: justify;">- Syarh Riyâdh al-Shalihin (Syaikh Utsaimin)</div><div style="text-align: justify;">- Al-Mustakhlas fi Tazkiyatil Anfus, (Sa'id Hawa)</div><div style="text-align: justify;">- Silsilatu A'malil Qulub, (Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid) </div><div style="text-align: justify;">7. Raja'</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Bukhari</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Muslim</div><div style="text-align: justify;">- Sunan Tirmidzi</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Ibnu Katsir</div><div style="text-align: justify;">- Madarij Al-Sâlikîn</div><div style="text-align: justify;">- Mukhtashar Munhâj Al-Qashidîn</div><div style="text-align: justify;">- Al-Mustakhlash fî Tazkiyat al-Anfus</div><div style="text-align: justify;">- Silsilah A'mâl Al-Qulûb</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">8. Sabar</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Bukhari</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Muslim</div><div style="text-align: justify;">- Musnad Imam Ahmad</div><div style="text-align: justify;">- Fathul Bâri</div><div style="text-align: justify;">- Majmu' Fatawa</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Ibnu Katsir</div><div style="text-align: justify;">- Madarijus Sâlikîn </div><div style="text-align: justify;">- Sisilatu a'mâlil Qulûb </div><div style="text-align: justify;">9. Syukur</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Bukhari</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Muslim</div><div style="text-align: justify;">- Musnad Ahmad</div><div style="text-align: justify;">- Abu Daud Sualiman bin al-Asy'ats as-Sijistâni, Sunan Abi Daud, Maktabh al-Ma'ârif lin Nasyr wat Tauzî', Riyadh</div><div style="text-align: justify;">- Fathul Bâri</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Ibnu Katsir</div><div style="text-align: justify;">- Madarijus Sâlikîn </div><div style="text-align: justify;">- Sisilatu A'mâlil Qulûb </div><div style="text-align: justify;">10. Ridha</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Bukhari</div><div style="text-align: justify;">- Shahih Muslim</div><div style="text-align: justify;">- Thabrani dalam Kitab Al-Ausath,</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Ibnu Katsir</div><div style="text-align: justify;">- Sunan Abi Daud</div><div style="text-align: justify;">- Dr. Aidh Al-Qarni, Lâ Tahzan, Maktabah Abikan, Riyadh, 2006 </div><div style="text-align: justify;">- Nashaihul Ibad, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, </div><div style="text-align: justify;">- Silsilah A'mâlul Qulub </div><div style="text-align: justify;">11. Tafakkur</div><div style="text-align: justify;">- Ihya Ulumuddin (Al-Ghazali)</div><div style="text-align: justify;">- Imam Abul Faraj Abdurrahman bin Ali al-Jauzi, Shaid al-Khâtir Dar el-Hadits, Kairo, 2005</div><div style="text-align: justify;">- Imam Muhammad bin Abu Bakr bin Qayyim al-Jauziyah, Al-Fawâid, Dar el-Hadits, Kairo, 2004)</div><div style="text-align: justify;">- Majmu' Fatawa (Ibnu taimiyah)</div><div style="text-align: justify;">- Tafsir Ibnu Katsir (Ibnu Katsir)</div><div style="text-align: justify;">- Tanbîh al-Ghafilin, (Abul Laits as-Samarqandi) </div><div style="text-align: justify;">- Madârij Al-Sâlikîn (Ibnul Qayyim)</div><div style="text-align: justify;">- Syeikh Muhamad bin Shalih al-Utsaimin, Al-Qawaid al-Mutsla fi as-Sifât wa Asmâ'illâh al-Husna, Dar Ibnul Jauzi, 2005, Kairo</div><div style="text-align: justify;">- Silsilah A'malil Qulub </div><div style="text-align: justify;">12. Muhasabah</div><div style="text-align: justify;">1. Al-Mustakhlash fi tazkiyatil anfus; Said Hawwa</div><div style="text-align: justify;">2. Silsilah A'malil Qulûb; (Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid)</div><div style="text-align: justify;">3. Ihya Ulumiddin; (Imam Al-Ghazali)</div><div style="text-align: justify;">4. Mukhtashar Minhajil Qashidîn; (Ibnu Qudâmah Al-Maqdisi)</div><div style="text-align: justify;">5. Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Taujîhât Nabawiyyah 'Alath Thariîq; Dar el-Wafâ', 1999, Kairo.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div></div>andinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991973410444232360.post-3052905245755242222010-05-16T14:09:00.000+08:002010-05-16T17:04:03.414+08:00Sajak Negeri Para Bedebah<div style="overflow:auto;width:470px;height:200px;padding:8px;border:1px solid #cccccc"><br />
<br />
<div style="text-align: center;"><b><span class="Apple-style-span" style="color: red;">NEGERI PARA BEDEBAH</span></b></div><div style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="color: blue;">by: Adhie M Massardi</span></div><div style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="color: red;"><br />
</span></div><div style="text-align: center;">Ada satu negeri yang dihuni para bedebah</div><div style="text-align: center;">Lautnya pernah dibelah tongkat Musa</div><div style="text-align: center;">Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah</div><div style="text-align: center;">Dari langit burung-burung kondor</div><div style="text-align: center;">menjatuhkan bebatuan menyala-nyala</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?</div><div style="text-align: center;">Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah</div><div style="text-align: center;">Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah</div><div style="text-align: center;">Atau menjadi kuli di negeri orang</div><div style="text-align: center;">Yang upahnya serapah dan bogem mentah</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">Di negeri para bedebah</div><div style="text-align: center;">Orang baik dan bersih dianggap salah</div><div style="text-align: center;">Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan</div><div style="text-align: center;">Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah</div><div style="text-align: center;">Karena hanya penguasa yang boleh marah</div><div style="text-align: center;">Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">Maka bila negerimu dikuasai para bedebah</div><div style="text-align: center;">Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah</div><div style="text-align: center;">Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum</div><div style="text-align: center;">Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah</div><div style="text-align: center;">Usirlah mereka dengan revolusi</div><div style="text-align: center;">Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi</div><div style="text-align: center;">Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi</div><div style="text-align: center;">Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan.</div><div style="text-align: center;"><br />
</div></div>andinovahttp://www.blogger.com/profile/00637030180496131120noreply@blogger.com0